Kontestasi ideologi antara Demokrasi Liberal dan Otoritarianisme Kontemporer telah kembali menjadi kekuatan pendorong utama dalam politik global, mengakhiri periode singkat harapan unipolar pasca-Perang Dingin. Persaingan ini melampaui konflik militer tradisional; ia memengaruhi kebijakan luar negeri, membentuk aliansi ekonomi dan keamanan baru, dan memanifestasikan dirinya dalam konflik regional, seperti di Laut Cina Selatan dan Eropa Timur. Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai bagaimana tipe rezim secara fundamental membentuk dinamika geopolitik global saat ini.
Kerangka Konseptual dan Evolusi Kontestasi Ideologi Abad Ke-21
Awal dan Realitas Kontemporer Kontestasi Ideologi
Periode setelah tahun 1991, pasca-runtuhnya Uni Soviet, sempat memunculkan asumsi mengenai “akhir sejarah” (The End of History), di mana idealisme demokrasi liberal dianggap sebagai model pemerintahan yang universal dan tak terelakkan. Harapannya adalah bahwa kekuatan besar seperti Rusia dan Tiongkok akan secara bertahap berintegrasi ke dalam tatanan internasional liberal yang dipimpin Barat.
Namun, realitas kontemporer menunjukkan divergensi tajam. Di bawah kepemimpinan Vladimir Putin di Rusia dan Xi Jinping di Tiongkok, kedua negara tersebut telah menjadi semakin otoriter. Transformasi tipe rezim ini, khususnya sejak dekade terakhir, telah mengubah hubungan internasional dari potensi kerja sama menjadi konfrontasi yang didorong oleh perbedaan mendasar dalam sistem politik.
Karakteristik Tipe Rezim Utama
Dalam perpolitikan, jenis rezim menentukan cara sebuah negara diatur dan bagaimana kekuasaan didistribusikan. Demokrasi liberal modern dicirikan oleh sistem di mana pembagian kekuasaan dan prosedur demokrasi telah terlembaga. Ini mencakup pemilihan umum yang bebas, hak untuk berpartisipasi bagi semua anggota masyarakat politik, dan komunikasi yang bebas serta terbuka.
Sebaliknya, negara otoriter dicirikan oleh pemerintahan pusat yang kuat. Meskipun otoritarianisme kontemporer mungkin menghadapi kritik karena membatasi kebebasan, para pendukungnya sering mengklaim bahwa sistem ini memiliki keunggulan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan melaksanakan kebijakan jangka panjang secara lebih cepat tanpa hambatan politik, dibandingkan dengan sistem demokrasi. Instrumen yang digunakan oleh rezim otoriter untuk mempertahankan kekuasaan tetap tidak berubah, yaitu propaganda, sensor, dan kekerasan.
Fenomena Rezim Hibrida dan Kemunduran Demokrasi
Kontestasi ideologi modern diperumit oleh munculnya rezim hibrida, suatu realitas politik yang menjembatani sistem demokrasi dan otoritarianisme. Selain itu, proses demokratisasi global tidak berjalan secara linear, melainkan kerap disertai dengan fenomena kemunduran demokrasi (democratic backsliding). Kemunduran ini membuka peluang bagi otoritarianisme baru yang mengadopsi strategi modern, seperti manipulasi media dan populisme, sambil tetap mempertahankan fasad prosedural demokrasi.
Fenomena ini berarti bahwa pemerintah sering menggunakan berbagai perangkat dan kekuasaannya untuk membatasi hak-hak sipil demi mempertahankan kekuasaan. Sebagai contoh, dalam konteks Indonesia, tantangan kemunduran demokrasi telah dikaitkan dengan faktor-faktor utama, termasuk kurangnya kebebasan berekspresi, dominasi kontrol eksekutif yang meningkat, dan isu kualitas pemilu. Perkembangan ini menghambat pertumbuhan demokrasi yang berkelanjutan dan sehat, serta mengikis kepercayaan publik terhadap sistem politik secara keseluruhan. Kehadiran rezim hibrida ini menyulitkan upaya promosi demokrasi oleh Barat, karena mereka tidak lagi menghadapi diktator klasik, tetapi rezim yang secara prosedural “kompetitif”.
Instrumentalitas Ideologi dalam Kebijakan Luar Negeri
Ideologi tidak hanya berfungsi sebagai sistem nilai internal, tetapi telah diinstrumentasikan sebagai alat utama kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional dan membentuk tatanan global.
Strategi Barat: Promosi Nilai dan Tatanan Berbasis Aturan (RBO)
Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Barat secara konsisten memposisikan diri sebagai promotor nilai-nilai demokrasi liberal, hak asasi manusia, dan ekonomi pasar bebas. Bagi Washington, kebijakan demokratisasi memegang posisi fundamental di alam pikiran para pengambil keputusan. Demokratisasi ini berfungsi sebagai instrumen politik luar negeri yang memberikan keleluasaan untuk mereformasi struktur politik dan ekonomi global yang secara inheren menguntungkan bagi kepentingan Amerika Serikat.
Meskipun AS memainkan peran di permukaan sebagai pelopor demokrasi, analisis menunjukkan bahwa komitmen sejatinya seringkali diarahkan pada pemenuhan kepentingan perusahaan kapitalis dan swasta. Dalam pandangan strategis AS, pemerintahan yang tidak demokratis dilihat sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional mereka. Dalam konteks yang lebih luas, negara-negara demokrasi ini juga perlu memberikan pengawasan dan menagih pertanggungjawaban dari negara atau korporasi yang menguasai teknologi untuk mencegah penyalahgunaan yang menunjang otoritarianisme digital.
Strategi Otoritarian: Multipolaritas, Stabilitas, dan Non-Intervensi
Negara-negara yang didominasi oleh rezim otoritarian, terutama Tiongkok dan Rusia, menawarkan narasi alternatif yang secara eksplisit menentang hegemoni Barat. Presiden Rusia Vladimir Putin secara terbuka menyatakan bahwa model globalisasi liberal telah “usang” (obsolete) dan “kehilangan tujuannya”. Narasi ini mendukung pandangan bahwa sistem hubungan internasional unipolar sedang digantikan oleh dunia multipolar yang lebih adil, di mana gelombang pertumbuhan ekonomi beralih ke pasar-pasar berkembang.
Di sisi lain, Tiongkok mengedepankan model pemerintahan yang menekankan stabilitas, kedaulatan, dan non-intervensi dalam urusan domestik negara lain. Pendekatan non-intervensi ini menarik bagi banyak negara di Global South yang resisten terhadap persyaratan politik yang sering menyertai bantuan atau investasi Barat. Paradigma otoritarianisme ini memang dapat menjadi penghambat bagi ambisi Tiongkok sebagai adidaya ekonomi global , tetapi pada saat yang sama, ia memberikan keunggulan dalam kecepatan pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan strategis jangka panjang tanpa terhambat oleh proses politik yang kompleks.
Perbedaan instrumentalitas ini menciptakan dilema efektivitas kebijakan global. Ketika promosi demokrasi oleh AS dipandang sebagai selimut bagi kepentingan kapitalis , hal itu melemahkan kredibilitas nilai-nilai Barat. Akibatnya, banyak mitra baru lebih memilih tawaran pragmatis dari model non-intervensi Tiongkok atau Rusia, yang menjanjikan pertumbuhan tanpa kondisi politik yang mengikat kedaulatan, yang pada akhirnya mempercepat polarisasi global.
Persaingan Global Melalui Instrumen Non-Militer: Alat Kekuatan Abad Ke-21
Persaingan ideologi modern tidak hanya dimenangkan melalui konflik militer, tetapi melalui penerapan kekuatan non-militer yang canggih di ranah digital dan ekonomi.
Otoritarianisme Digital dan Kontrol Global
Otoritarianisme digital (AD) adalah karakteristik baru yang melekat dalam proses pembentukan hukum, kebijakan, dan penegakan hukum dalam rezim otoriter. Ini merupakan ancaman serius yang bertindak seperti “kanker yang menggerogoti demokrasi,” yang secara perlahan dapat mematikan demokrasi dari dalam tubuh sendiri.
Mekanisme Otoritarianisme Digital:
- Kooptasi Institusi Demokratis:AD digunakan untuk meredefinisikan institusi demokratis demi mengokohkan kekuasaan, misalnya melalui penggunaan buzzer politik untuk memanipulasi opini publik tentang isu-isu sensitif.
- Represi dan Pengawasan:Politik kekuasaan terlibat atau membiarkan serangan digital terhadap pers. Hukum dan penegakan hukum bekerja sebagai instrumen represif yang lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada perlindungan kebebasan pers dan hak digital sebagai elemen dasar negara hukum demokratis. Represi ini melibatkan pelibatan cyber troops, influencer, dan pihak-pihak yang melakukan peretasan.
- Ekspor Model:Tiongkok secara aktif memperluas dan mempromosikan model kontrol sosial berbasis teknologi sebagai praktik terbaik global, didorong oleh respons internal mereka terhadap pandemi COVID-19. Contohnya termasuk kerja sama dengan Serbia dan Turki untuk memasang kamera pengenal wajah canggih untuk tujuan pengawasan. Fenomena ini menjadi perhatian serius global. Penting untuk dicatat bahwa ekspor peralatan AD tidak melulu datang dari Tiongkok; banyak negara demokrasi seperti Prancis, Italia, Jerman, dan Inggris juga berpartisipasi dalam memperkuat otoritarianisme di negara-negara seperti Arab Saudi dan Ethiopia.
Geopolitik Ekonomi: Infrastruktur vs. Utang
Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative—BRI) Tiongkok merupakan inti dari kebijakan luar negeri Beijing, yang mempromosikan konektivitas perdagangan dan secara fundamental menantang tatanan liberal pasca-Perang Dunia II yang dipimpin oleh Amerika Serikat. BRI bertujuan untuk mengatasi “kesenjangan infrastruktur” global, mengembangkan pasar baru bagi perusahaan Tiongkok, menyalurkan kelebihan kapasitas industri ke luar negeri, dan memperkuat ikatan dengan negara-negara mitra melalui proyek infrastruktur yang didanai pinjaman.
Inisiatif ini sering dituduh sebagai “diplomasi jebakan utang” yang digunakan untuk mendapatkan pengaruh strategis atas negara-negara miskin. Sebagai tanggapan, AS dan G7 meluncurkan inisiatif pembangunan alternatif, yang bertujuan untuk menunjukkan manfaat nyata dari bermitra dengan negara demokrasi dan menawarkan pertumbuhan berkelanjutan tanpa dibebani oleh pinjaman Tiongkok yang berpotensi memberatkan. Tiongkok, di sisi lain, menuduh AS sebagai “pencipta sebenarnya dari jebakan utang”.
Perang Informasi dan Manipulasi Pengaruh Asing (FIMI)
Ranah informasi telah menjadi medan pertempuran ideologi yang krusial. Tiongkok dan Rusia menunjukkan konvergensi yang signifikan dalam operasi manipulasi informasi dan interferensi asing (FIMI). Operasi pengaruh siber ini menjadi semakin canggih, memanfaatkan kemajuan teknologi seperti propaganda berbasis AI, deepfakes, dan model transformer yang mampu menghasilkan gambar fotorealistik dari deskripsi teks.
Tujuan utama FIMI adalah mengikis kepercayaan publik terhadap institusi Barat dan institusi demokratis. Media sosial telah menjadi arena utama bagi aktor-aktor non-negara dan aktor negara, yang secara efektif memengaruhi opini publik dan keputusan global, bahkan dalam perundingan diplomatik.
Penggunaan interdependensi global, khususnya di bidang teknologi dan ekonomi, telah dipersenjatai oleh otoritarianisme modern. Negara-negara otoriter tidak hanya menantang nilai-nilai demokrasi; mereka menyediakan infrastruktur (melalui ekspor AD) dan insentif ekonomi (melalui BRI) untuk menolak model Barat. Hal ini mengubah kontestasi ideologi menjadi perang kontrol atas aliran informasi, perdagangan, dan pengawasan.
Transformasi Aliansi dan Polarisasi Geopolitik
Persaingan ideologi telah mempercepat polarisasi global yang tajam, yang ditandai dengan konsolidasi blok-blok yang didukung oleh ideologi yang berbeda, meskipun kepentingan nasional seringkali tetap mendominasi keputusan beraliansi.
Konsolidasi Blok Demokrasi
Negara-negara Barat cenderung mempromosikan demokrasi liberal dan mengkonsolidasikan aliansi keamanan tradisional, seperti NATO, sambil membentuk kemitraan regional baru yang didasarkan pada nilai-nilai dan kepentingan strategis yang sama. Contohnya termasuk Quadrilateral Security Dialogue (QUAD) yang melibatkan AS, Jepang, India, dan Australia. Aliansi ini dirancang untuk memperkuat tatanan berbasis aturan dan menahan tantangan ideologi serta proyeksi kekuatan militer dari Tiongkok di Indo-Pasifik.
Kebangkitan BRICS sebagai Poros Alternatif
Di sisi lain, kebangkitan aliansi seperti BRICS (yang kini mencakup Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Mesir, Iran, UEA, dan Ethiopia) berfungsi sebagai poros kekuatan alternatif. Polarisasi global dipicu oleh persaingan antara kekuatan besar dan perbedaan nilai-nilai politik. Negara-negara BRICS menekankan non-intervensi dan kedaulatan, berlawanan dengan promosi demokrasi Barat.
BRICS mewakili sepertiga luas daratan bumi dan hampir setengah populasi planet, menyumbang 40% dari ekonomi global berdasarkan daya beli. Meskipun BRICS tidak dapat dianggap sebagai aliansi ideologis murni—mengingat anggotanya mencakup demokrasi besar seperti India—aliansi ini merupakan aliansi kepentingan strategis dan ekonomi yang secara kolektif menantang hegemoni Barat dan tatanan liberal unipolar.
Tabel: Manifestasi Persaingan Ideologi: Demokrasi vs. Otoritarianisme Kontemporer
| Dimensi Politik Global | Model Demokrasi Liberal (Barat) | Model Otoritarian Kontemporer (Sino-Rusia) |
| Pilar Nilai Utama | Hak Asasi Manusia, Pluralisme, Ekonomi Pasar, Kebebasan Pers, Tatanan Berbasis Aturan. | Stabilitas, Kedaulatan Absolut, Non-Intervensi, Kontrol Negara, Kepentingan Nasional Kuat. |
| Alat Kebijakan Luar Negeri | Demokratisasi (Instrumen Kepentingan Nasional AS ), Bantuan Pembangunan Bersyarat, Sanksi. | Infrastruktur/Konektivitas (BRI) , Transfer Teknologi Pengawasan , Diplomasi Utang, Dukungan Rezim Kuat. |
| Tantangan Internal | Polarisasi, Dominasi Eksekutif, Kemunduran Kebebasan Sipil (Backsliding) , Kritik terhadap Hipokrisi Kapitalis. | Kontrol Total atas Pers dan Ruang Digital (Instrumen Represif Hukum) , Manipulasi Opini Publik (Buzzer). |
| Bentuk Aliansi | Tatanan Berbasis Aturan (NATO, G7, QUAD), Kemitraan Keamanan Ideologis. | Aliansi Kepentingan Strategis/Ekonomi (BRICS) , Multipolaritas, Penolakan Liberalisme. |
Pembentukan aliansi ini menggarisbawahi bahwa meskipun ideologi menyediakan narasi pembenaran (seperti kritik Putin terhadap liberalisme), kepentingan nasional—meliputi aspek pertahanan, ekonomi, tatanan dunia, dan ideologi—tetap menjadi pendorong utama kebijakan luar negeri. Oleh karena itu, polarisasi yang terjadi bukanlah murni ideologis, melainkan mengandung fluiditas yang memungkinkan negara-negara menyeimbangkan diri (balancing) antara kedua blok untuk mengoptimalkan keuntungan strategis dan ekonomi mereka.
Studi Kasus Regional I: Laut Cina Selatan (LCS)
Laut Cina Selatan adalah salah satu medan kontestasi ideologi dan geostrategis yang paling penting. Konflik ini, yang melibatkan klaim teritorial dan perebutan sumber daya alam, berfungsi sebagai ujian krusial terhadap komitmen global terhadap Tatanan Berbasis Aturan (RBO).
Ambisi Otoritarian Tiongkok dan Tantangan terhadap Hukum Internasional
LCS merupakan isu yang kompleks dan kontroversial. Tiongkok memandang wilayah ini sebagai bagian dari “core interests” yang tidak dapat ditawar, didorong oleh paradigma otoritarian yang terpusat. Tindakan tegas Tiongkok, seperti reklamasi pulau buatan dan pembangunan fasilitas militer, telah mengubah lanskap fisik dan strategis kawasan. Fasilitas ini kini memiliki kemampuan Anti-Access/Area Denial (A2/AD) yang signifikan di karang-karang utama, dengan radius operasi yang mencakup hampir seluruh perairan LCS.
LCS mencerminkan bagaimana kekuatan yang didukung oleh model otoritarian yang terpusat menantang prinsip multilateralisme dan aturan internasional yang dipromosikan oleh demokrasi Barat. Kurangnya penyelesaian hukum yang komprehensif, di luar kerangka seperti UNCLOS, serta pertumbuhan kekuatan Tiongkok, menjadi tantangan besar terhadap stabilitas regional.
Respons Demokrasi: Strategi FOIP dan Kemitraan Keamanan
Bagi Amerika Serikat, LCS bukan sekadar sengketa maritim, tetapi merupakan ujian terhadap kredibilitas arsitektur keamanan Indo-Pasifik. Washington mengelola LCS dalam kerangka Free and Open Indo-Pacific (FOIP). Strategi ini secara ideologis memadukan kepentingan inti liberal, yaitu kebebasan navigasi dan supremasi hukum laut internasional, untuk mencegah dominasi regional oleh satu kekuatan.
AS merespons melalui inisiatif seperti Pacific Deterrence Initiative (PDI), mengalokasikan sumber daya besar untuk memperkuat postur militer di kawasan (Guam, Jepang, Filipina). Selain itu, aktor eksternal seperti AS, Jepang, dan Australia (melalui QUAD) berperan dalam mengelola ketegangan, termasuk melalui operasi kebebasan navigasi dan memperdalam kemitraan keamanan regional.
Jika Tiongkok berhasil menguasai LCS di luar kerangka hukum internasional, ini akan menetapkan preseden global yang menunjukkan bahwa kekuatan militer uniter yang didukung oleh sistem otoritarian lebih efektif daripada sistem hukum multilateral. Hal ini menempatkan negara-negara ASEAN dalam dilema strategis akut: apakah mereka harus tunduk pada tekanan ekonomi/militer Tiongkok atau mengandalkan dukungan AS/mitra Quad, yang mungkin tidak selalu menjamin kedaulatan mereka secara absolut.
Studi Kasus Regional II: Eropa Timur (Perang Rusia-Ukraina)
Konflik di Eropa Timur, khususnya perang Rusia-Ukraina, adalah manifestasi fisik dari persaingan ideologis yang menantang tatanan dunia yang ada. Konflik ini berakar pada perbedaan tipe rezim dan interpretasi yang saling bertentangan mengenai kepentingan nasional.
Konflik Ukraina sebagai Perang Ideologi Tatanan Dunia
Invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 adalah upaya yang didorong oleh rezim otoritarian Putin untuk secara eksplisit mendeklarasikan kegagalan dan ketidak relevanan tatanan liberal Barat. Rusia memandang ekspansi NATO dan promosi nilai-nilai Barat sebagai ancaman fundamental terhadap keamanan rezim dan kepentingan nasionalnya.
Kebijakan luar negeri Rusia pada dasarnya berakar pada prioritas keamanan rezim dan penekanan pada kedaulatan yang kuat. Melalui instrumen ini, Rusia berupaya untuk mengubah arsitektur keamanan Eropa yang didirikan berdasarkan prinsip-prinsip liberal.
Polarisasi Aliansi dan Dukungan Strategis
Negara-negara demokrasi Barat (NATO, Uni Eropa) memberikan dukungan masif kepada Ukraina untuk mempertahankan prinsip-prinsip dasar tatanan liberal: kedaulatan, integritas teritorial, dan hak sebuah negara untuk menentukan aliansinya sendiri.
Di sisi lain, konflik ini memperlihatkan dukungan yang berlandaskan kepentingan dari negara-negara otoritarian atau yang memiliki kedekatan strategis dengan Rusia. Misalnya, Suriah mengambil kebijakan luar negeri untuk mendukung Rusia karena hal tersebut dianggap sebagai upaya mencapai kepentingan nasionalnya, termasuk aspek pertahanan dan ideologi. Dukungan terhadap Rusia selaras dengan pandangan yang lebih mengutamakan rezim dengan kekuasaan kuat daripada pemerintah liberal.
Peran Perang Hibrida dan Konvergensi Otoritarian
Perang di Ukraina secara intensif memanfaatkan operasi pengaruh asing (FIMI) dan disinformasi. Rusia dan Tiongkok menunjukkan adanya konvergensi dalam manipulasi informasi ini. Konvergensi Sino-Rusia dalam FIMI merupakan taktik perang ideologi yang strategis, di mana upaya otoritarian global terkoordinasi untuk mendiskreditkan institusi dan nilai-nilai demokrasi Barat, memecah kohesi aliansi Barat, dan menjustifikasi agresi.
Sementara LCS adalah konflik geostrategis mengenai aturan maritim dan klaim teritorial, Eropa Timur adalah konflik eksistensial mengenai model politik. Kedua kasus regional ini menunjukkan bahwa persaingan ideologi global telah bermanifestasi menjadi konflik yang nyata, didukung oleh instrumentalitas kebijakan luar negeri, aliansi, dan perang informasi yang canggih.
Kesimpulan
Kontestasi ideologi antara Demokrasi dan Otoritarianisme telah secara definitif menandai kembalinya persaingan kekuatan besar (Great Power Competition—GPC) yang didorong oleh tipe rezim. Meskipun ideologi mungkin gagal menjadi penentu tunggal tindakan setiap negara (mengingat pragmatisme geopolitik yang terlihat dalam aliansi seperti BRICS ), ideologi berfungsi sebagai kerangka naratif yang membenarkan kebijakan luar negeri dan memicu polarisasi.
Evaluasi Status Quo dan Tantangan Jangka Panjang
Status quo saat ini diwarnai oleh kebangkitan otoritarianisme baru yang tidak monolitik, melainkan berbentuk hibrida dan digital. Proses demokratisasi global menghadapi tantangan kemunduran (backsliding) yang serius.
Tantangan strategis terbesar bagi demokrasi di masa depan adalah Otoritarianisme Digital (AD). AD mengkooptasi institusi, memanipulasi opini, dan melanggar hak digital. Pengendalian atas teknologi yang terkonsentrasi di tangan negara atau korporasi adalah ancaman sistemik yang harus ditangani secara serius.
Kredibilitas dan Resiliensi Demokrasi
Agar nilai-nilai demokrasi dapat dipertahankan di tengah gelombang otoritarianisme global, diperlukan penguatan lembaga demokratis, kesadaran politik masyarakat, dan kerja sama internasional. Negara-negara demokrasi harus mengatasi polarisasi politik internal dan menunjukkan bahwa model mereka mampu memberikan hasil pembangunan ekonomi yang etis, berkelanjutan, dan kompetitif (melawan daya tarik BRI Tiongkok dan klaim “jebakan utang”).
Dinamika ini menunjukkan bahwa politik domestik semakin terkait erat dengan dinamika global. Strategi untuk mempromosikan demokrasi harus mencakup pemahaman mendalam tentang dimensi kultural dan historis. Analisis menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional atau agama di beberapa konteks dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi liberal, namun dalam kasus lain, nilai-nilai lokal justru dapat dipadukan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang lebih sesuai. Oleh karena itu, strategi yang efektif memerlukan kerangka kerja yang tidak monolitik, melainkan menghormati sejarah, budaya, dan identitas nasional masing-masing negara.
Tabel: Kontestasi Ideologis dalam Konflik Regional Kunci
| Konflik Regional | Aktor Pro-Demokrasi/RBO | Aktor Otoritarian/Non-Intervensi | Manifestasi Ideologi Inti |
| Laut Cina Selatan (LCS) | AS (FOIP), Jepang, Australia (QUAD), Filipina. | Tiongkok. | Tatanan Berbasis Aturan Internasional (Kebebasan Navigasi) vs. Klaim Kedaulatan Absolut; Proyeksi Kekuatan Militer Otoritarian (A2/AD). |
| Eropa Timur (Ukraina) | NATO, Uni Eropa, AS, Ukraina. | Rusia (Didukung oleh sekutu seperti Suriah ). | Mempertahankan Prinsip Kedaulatan dan Hak Pilih (Liberalisme) vs. Penantangan Tatanan Pasca-Perang Dingin; Deklarasi Liberalisme Usang. |
