Kritik terhadap PDB dan Munculnya Ekonomi Kebahagiaan

Tulisan ini mengulas secara komprehensif bagaimana kebijakan publik telah bergeser dari fokus tunggal pada kekayaan materi menuju investasi eksplisit dalam kegembiraan dan kesejahteraan warga negara. Selama beberapa dekade, Produk Domestik Bruto (PDB) telah menjadi indikator utama kemajuan nasional. Namun, keterbatasan PDB sebagai tolok ukur tunggal kesejahteraan telah diakui secara luas, memicu pergeseran paradigma global, terutama setelah krisis keuangan 2008–2009. Krisis tersebut menyoroti bagaimana fokus eksklusif pada pertumbuhan finansial sering kali mengorbankan segmen masyarakat yang paling rentan.

Pergeseran ini melahirkan konsep alternatif seperti Gross National Happiness (GNH), yang diperkenalkan oleh raja Bhutan pada tahun 1970-an. GNH secara eksplisit mengalihkan fokus dari kesuksesan moneter, menekankan bahwa kemajuan harus diukur berdasarkan kesejahteraan emosional, fisik, dan moral secara keseluruhan. GNH adalah upaya mendalam untuk mengukur kemajuan ekonomi dan moral, berbeda dengan PDB yang hanya berfokus pada output total barang dan jasa.

Kebahagiaan menjadi variabel yang semakin penting dalam ilmu ekonomi—dikenal sebagai Ekonomi Kebahagiaan (Happiness Economics). Pendekatan ini menggabungkan teknik ekonomi dan psikologi untuk mengukur utilitas atau tingkat kepuasan, berfungsi sebagai proksi penting untuk utilitas yang sulit diukur secara eksplisit. Penggunaan Indeks Kebahagiaan atau GNH, yang dipelopori oleh Bhutan, telah menghasilkan data yang menantang anggapan bahwa pendapatan tinggi selalu berkorelasi langsung dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, publikasi World Happiness Report menunjukkan bahwa beberapa negara di Asia Tenggara dapat mencapai indeks kebahagiaan yang baik meskipun tidak termasuk dalam kategori berpendapatan tinggi, menyoroti pentingnya variabel sosial dan non-ekonomi.

Latar Belakang Debat: Kekayaan Material vs. Kondisi Hidup yang Baik

Pertanyaan inti yang dihadapi oleh perencana kebijakan adalah tentang peran fundamental pemerintah. Apakah tujuan utama negara adalah menyediakan kekayaan (wealth/GDP) melalui maksimalisasi efisiensi alokasi sumber daya dan pertumbuhan ekonomi, ataukah peran pemerintah adalah menyediakan kondisi (conditions) yang mendukung warganya untuk mencapai human flourishing?

Ekonomi Kebahagiaan secara fundamental menuntut peran negara yang diperluas. Berbeda dengan fungsi negara tradisional yang hanya mencakup alokasi, distribusi, dan stabilisasi , kerangka kerja baru ini mengharuskan pemerintah untuk memaksimalkan pengukuran domain kehidupan non-ekonomi selain pendapatan atau keuntungan. Pembangunan berkelanjutan menuntut pendekatan holistik yang memberikan bobot yang sama pada aspek kesejahteraan non-ekonomi.

Landasan Filosofis dan Ekonomi Kebahagiaan

Paradoks Easterlin: Memutuskan Hubungan Antara Kekayaan dan Kebahagiaan

Argumen terkuat yang mendukung pergeseran fokus pemerintah dari penyediaan kekayaan ke penyediaan kondisi adalah Paradoks Easterlin. Paradoks ini menyatakan bahwa di tingkat nasional, peningkatan PDB per kapita yang lebih cepat tidak disertai dengan pertumbuhan kebahagiaan yang lebih cepat. Bukti empiris dari Amerika Serikat, misalnya, menunjukkan bahwa tren kebahagiaan cenderung datar atau bahkan sedikit negatif selama periode tujuh dekade, meskipun pendapatan riil rata-rata meningkat lebih dari tiga kali lipat.

Fluktuasi kebahagiaan memang terjadi seiring dengan ekspansi dan kontraksi ekonomi, tetapi dalam jangka panjang, fluktuasi ini cenderung terjadi di sekitar garis tren horizontal, bukan garis tren yang terus meningkat seperti PDB.

Fenomena ini dijelaskan melalui dua mekanisme kausal utama:

  1. Perbandingan Sosial (Social Comparison):Individu cenderung menilai kualitas hidup dan kebahagiaan mereka secara relatif, membandingkan diri mereka dengan orang lain. Ketika PDB nasional tumbuh, pendapatan kolektif meningkat, tetapi standar sosial dan pendapatan komparatif juga meningkat, sehingga efek kebahagiaan bersih menjadi minimal. Ketidakmampuan untuk melepaskan diri dari perbandingan sosial membatasi dampak peningkatan kekayaan absolut.
  2. Adaptasi Hedonis (Hedonic Adaptation):Manusia memiliki kecenderungan untuk terbiasa dengan standar hidup yang lebih tinggi. Peningkatan pendapatan atau perolehan barang mewah (misalnya, peningkatan model ponsel cerdas) hanya menghasilkan peningkatan kebahagiaan yang sementara dan tidak bertahan lama. Orang kembali ke tingkat kebahagiaan awal mereka setelah adaptasi.

Implikasi kebijakan dari Paradoks Easterlin sangat mendasar. Jika perbandingan sosial dan adaptasi hedonis secara inheren mengurangi dampak peningkatan kekayaan individu atau kolektif, maka kebijakan pemerintah yang paling efektif adalah yang berfokus pada barang publik dan dimensi non-ekonomi. Barang publik—seperti udara bersih, lingkungan yang aman, atau jaminan kesehatan universal—sulit untuk diadaptasi secara hedonis atau diperbandingkan secara individu, sehingga menawarkan manfaat kesejahteraan yang lebih berkelanjutan. Oleh karena itu, investasi pemerintah harus diarahkan dari barang privat (yang dikaitkan dengan kekayaan) ke kualitas institusional dan kondisi hidup yang baik.

Peran Negara dalam Kerangka Kesejahteraan: Dari Utilitas Ekonomi ke Utilitas Psikologis

Dalam konteks ekonomi modern, fungsi negara harus diperluas melampaui peran alokasi sumber daya untuk efisiensi produksi, distribusi pendapatan untuk pemerataan, dan stabilisasi ekonomi. Ekonomi Kebahagiaan mendefinisikan kembali peran negara sebagai agen yang berfokus pada penciptaan kondisi untuk memaksimalkan well-being individu.

Kebutuhan akan langkah-langkah kemajuan yang lebih inklusif daripada indikator ekonomi tradisional seperti PDB semakin mendesak, terutama mengingat bukti bahwa lintasan pembangunan manusia saat ini mungkin tidak berkelanjutan secara ekologis. Pemerintah harus mempertimbangkan kebahagiaan bukan hanya sebagai fenomena individual, tetapi sebagai fenomena kolektif yang membutuhkan kemajuan yang seimbang, berkelanjutan, dan adil.

Studi Kasus I: Integrasi Kebahagiaan Holistik—Model Gross National Happiness (GNH) Bhutan

Bhutan adalah studi kasus penting karena menjadi negara pertama yang mengejar kebahagiaan sebagai kebijakan negara. GNH secara resmi dilembagakan sebagai tujuan pemerintah dalam Konstitusi Bhutan yang diberlakukan pada tahun 2008. Konsep GNH ini mencakup pemahaman yang lebih dalam mengenai kebahagiaan, mengakui kebutuhan spiritual, material, fisik, dan sosial masyarakat, serta memandang kebahagiaan sebagai fenomena kolektif yang harus adil dan berkelanjutan secara ekologis.

Struktur dan Mekanisme Kebijakan GNH

Pemerintah Bhutan menggunakan empat pilar utama GNH sebagai dasar pengambilan keputusan legislasi dan kebijakan. Keempat pilar ini mempromosikan pembangunan berkelanjutan, pelestarian budaya, konservasi lingkungan, dan tata kelola yang baik.

Keempat pilar tersebut diperluas menjadi sembilan domain yang membentuk Indeks GNH, memberikan struktur untuk pengukuran kemajuan kesejahteraan multi-dimensi :

  1. Kesejahteraan Psikologis
  2. Kesehatan
  3. Penggunaan Waktu (Time Use)
  4. Pendidikan
  5. Keragaman dan Ketahanan Budaya
  6. Tata Kelola yang Baik (Good Governance)
  7. Vitalitas Komunitas
  8. Ketahanan Ekologis (Ecological diversity and resilience)
  9. Standar Hidup (Living Standards)

Domain Standar Hidup secara eksplisit mengukur kenyamanan materi, termasuk pendapatan rumah tangga per kapita, kepemilikan aset, dan perumahan. Namun, GNH secara keseluruhan memastikan adanya keseimbangan antara dimensi material dan non-material.

Mekanisme pengukuran GNH Index menunjukkan kedalaman komitmen Bhutan. Indeks ini diukur melalui 38 sub-indeks, 72 indikator, dan 151 variabel. Tujuan dari kedalaman pengukuran ini adalah untuk melacak kemajuan kesejahteraan dan secara konkret mengukur apakah setiap individu telah mencapai kecukupan (sufficiency) dalam 33 kondisi GNH yang ditetapkan. GNH Index berfungsi sebagai alat skrining kebijakan yang kuat. Sebelum undang-undang disahkan, analisis terperinci mengenai dampaknya pada sembilan domain ini dapat dilakukan, memastikan bahwa kebijakan publik secara sistematis mendorong kesejahteraan multi-dimensi dan berkelanjutan, jauh melampaui survei kebahagiaan biasa.

Dampak GNH dan Keberhasilan Kebijakan Nyata

Pengadopsian filosofi GNH tidak berarti Bhutan mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Sejak awal 1980-an, negara tersebut mencatat pertumbuhan PDB tahunan rata-rata 7,5%. Selain itu, tingkat kemiskinan menurun drastis dari 36% pada tahun 2007 menjadi 10% pada tahun 2019. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa fokus pada dimensi non-ekonomi dapat berjalan seiring dengan pembangunan sosio-ekonomi yang berkelanjutan.

Pencapaian kebijakan paling menonjol dari penerapan GNH terletak pada pilar Konservasi Lingkungan. Bhutan adalah negara pertama yang diakui sebagai Net Carbon Sink, yang berarti ia menyerap lebih banyak karbon daripada yang dipancarkannya. Hutan Bhutan menyerap sekitar 9 juta ton karbon per tahun, jauh melebihi total emisi nasional. Keberhasilan ini adalah bukti nyata bahwa investasi langsung pemerintah dalam ‘kondisi’ ekologis, yang merupakan prasyarat bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan , menghasilkan hasil kesejahteraan yang terukur dan unik yang tidak akan pernah dicapai oleh pembangunan yang hanya berfokus pada PDB. Kesehatan lingkungan adalah bagian integral dari kesehatan masyarakat dan merupakan kebutuhan untuk memecahkan masalah.

Kerangka GNH: Pilar, Domain, dan Implikasinya dalam Kebijakan

Pilar GNH (4) Domain GNH (9) Fokus Kebijakan Utama Koneksi Kesejahteraan
Tata Kelola yang Baik Tata Kelola yang Baik Akuntabilitas, Transparansi, Kepastian Hukum Kepercayaan Publik, Rasa Aman
Pembangunan Sosio-Ekonomi Berkelanjutan Standar Hidup, Kesehatan, Pendidikan Jaminan Sosial, Pengurangan Kemiskinan, Akses Layanan Keseimbangan Material dan Non-Material
Pelestarian dan Promosi Budaya Keragaman Budaya, Vitalitas Komunitas Kohesi Sosial, Perlindungan Identitas, Nilai Spiritual Solidaritas Sosial dan Dukungan Komunitas
Konservasi Lingkungan Ketahanan Ekologis, Penggunaan Waktu Net Carbon Sink, Regulasi Waktu Kerja, Kualitas Udara/Air Kesejahteraan Intergenerasi dan Kualitas Hidup Fisik

Studi Kasus II: Institusionalisasi Proaktif—Kementerian Kebahagiaan dan Kesejahteraan UEA

Uni Emirat Arab (UEA) menyajikan model yang berbeda, di mana inisiatif kebahagiaan dilembagakan secara proaktif di tengah pertumbuhan ekonomi yang agresif. Pemerintah UEA telah melakukan perubahan besar dalam kinerja birokrasi, beralih dari pemerintahan tradisional ke pemerintahan baru yang menyediakan lebih dari 1.500 layanan pintar.

Pendekatan Hibrida: Menggunakan Kekayaan untuk Membiayai Layanan Kebahagiaan

Model UEA dapat dikategorikan sebagai kebijakan kebahagiaan yang dilekatkan pada kekayaan (wealth-embedded happiness policy). UEA telah mencatat pencapaian ekonomi yang luar biasa, dengan PDB berlipat ganda dan perdagangan luar negeri melonjak dari AED415 miliar menjadi AED2.200 miliar selama 17 tahun. Kekayaan yang dihasilkan ini digunakan untuk mendanai layanan publik yang sangat efisien, yang secara langsung berinvestasi dalam domain Good Governance dan Living Standards GNH.

Fokus strategis pemerintah UEA adalah pada efisiensi layanan dan administrasi. Dengan meluncurkan 330 kebijakan dan inisiatif dan menjadi pemerintah paling efektif dalam belanja publik di dunia, UEA menunjukkan bahwa salah satu cara tercepat untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara di negara berpendapatan tinggi adalah dengan mengurangi friksi birokrasi dan kelambatan administrasi. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan dan efisiensi tata kelola yang baik mungkin merupakan faktor kebahagiaan yang lebih dominan di lingkungan perkotaan yang makmur dibandingkan dengan penekanan pada nilai-nilai spiritual atau ekologi yang ditekankan di Bhutan.

Investasi dalam Kohesi Sosial dan Nilai-nilai Non-Ekonomi

Meskipun kuat secara ekonomi, UEA juga melakukan intervensi eksplisit dalam domain non-ekonomi. Sebagai contoh, inisiatif seperti Dana Pernikahan (Marriage Fund) bertujuan mendorong pernikahan antar-Emirati untuk melestarikan nilai-nilai sosial dan demografis. Kebijakan ini secara langsung berinvestasi dalam Vitalitas Komunitas dan Ketahanan Budaya, menunjukkan bahwa pemerintah UEA menyadari bahwa pertumbuhan PDB saja tidak cukup untuk menjaga kohesi sosial yang merupakan komponen penting kebahagiaan kolektif. Dengan menyediakan kondisi yang mendukung ikatan sosial, pemerintah berkontribusi pada kerangka kebahagiaan yang lebih stabil.

Studi Kasus III: Keamanan Sosial sebagai Prasyarat Kebahagiaan—Model Eropa dan Nordik

Model Eropa, khususnya di negara-negara Nordik, menunjukkan investasi pemerintah yang berfokus pada pembangunan jaring pengaman sosial yang komprehensif. Model ini secara fundamental berinvestasi dalam domain Kesehatan, Penggunaan Waktu, dan Kesejahteraan Psikologis GNH.

Jaminan Kesehatan Komprehensif: Mengurangi Kecemasan dan Ketidakamanan

Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan yang baik sering dianggap sebagai penentu tunggal terpenting dari kesejahteraan, dan perubahan kesehatan yang merugikan memiliki efek negatif dan abadi pada kualitas hidup. Sistem jaminan kesehatan nasional (National Health Insurance) yang komprehensif di banyak negara Eropa berfungsi sebagai investasi pemerintah langsung yang kuat dalam domain Kesehatan.

Penyediaan jaminan kesehatan universal berfungsi sebagai penstabil Kesejahteraan Psikologis kolektif. Dengan menghilangkan kecemasan finansial (financial anxiety) yang terkait dengan biaya penyakit, pemerintah mengurangi sumber utama ketidakbahagiaan yang tidak terkait dengan tingkat pendapatan per kapita. Lingkungan yang bebas dari ancaman ketidakamanan kesehatan adalah kondisi dasar yang memungkinkan flourishing individu, menegaskan peran pemerintah dalam menyediakan kondisi dasar kesejahteraan.

Kebijakan Cuti Berbayar dan Keseimbangan Kerja-Hidup (Work-Life Balance)

Domain Penggunaan Waktu dalam kerangka GNH menekankan perlunya mempertahankan keseimbangan yang harmonis antara kerja dan kehidupan non-kerja. Negara-negara Nordik merupakan contoh terbaik dari investasi dalam domain ini.

Di Swedia, orang tua baru diberikan cuti berbayar yang sangat murah hati, mencapai hingga 480 hari sambil menerima 80% dari gaji mereka. Selain itu, ibu diizinkan mengurangi jam kerja normalnya hingga 25% hingga anak mereka mencapai usia delapan tahun. Islandia memberikan cuti berbayar selama sembilan bulan untuk ibu baru dan tiga bulan untuk ayah baru.

Penyediaan cuti berbayar dan tunjangan anak yang ekstensif ini menciptakan tingkat “keamanan dan kepercayaan” yang sangat tinggi di antara warga negara. Kepercayaan ini adalah faktor kunci dalam kebahagiaan yang lebih tinggi; misalnya, orang Skandinavia memiliki keyakinan yang lebih besar bahwa barang-barang yang hilang (seperti dompet) akan dikembalikan, yang merupakan indikator Good Governance dan Community Vitality yang kuat. Cuti berbayar yang panjang bukan hanya transfer kekayaan; ini adalah manifestasi konkret dari kepercayaan bahwa negara dan sistem ekonomi menghargai peran non-pekerjaan (seperti mengasuh anak) dan menyediakan kondisi bagi masyarakat untuk memiliki otonomi atas waktu mereka. Hal ini menghasilkan produktivitas yang lebih baik dan memisahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi secara efektif.

Analisis Komparatif dan Debat Filosofis

Perbandingan Strategi Investasi Pemerintah dalam Kebahagiaan

Ketiga studi kasus ini menunjukkan tiga jalur berbeda yang dipilih pemerintah untuk mencapai kesejahteraan, meskipun semuanya mengakui keterbatasan PDB.

Tabel berikut menyajikan perbandingan model kebijakan ini:

Perbandingan Strategi Kesejahteraan Nasional

Model Negara Fokus Investasi Utama Filosofi Proksi GNH yang Ditekan
Bhutan (GNH) Nilai Inti, Ekosistem, Tata Kelola Holistik Pembangunan Berpusat pada Nilai Ketahanan Ekologis, Budaya, Penggunaan Waktu
Uni Emirat Arab Layanan Cerdas, Efisiensi Administratif, Kohesi Sosial Terpilih Pemanfaatan Kekayaan untuk Pengalaman Warga Negara Terbaik Tata Kelola yang Baik, Standar Hidup
Eropa/Nordik Jaminan Dasar, Keamanan Sosial, Keseimbangan Waktu Membangun Jaring Pengaman Maksimal Kesehatan, Penggunaan Waktu, Kesejahteraan Psikologis

Evaluasi Inti: Menyediakan Kekayaan (Wealth) vs. Menyediakan Kondisi (Conditions)

Perdebatan tentang peran pemerintah—menyediakan kekayaan atau menyediakan kondisi—merupakan inti dari kebijakan kesejahteraan modern.

Argumen Kekayaan (GDP-Centric): Peran klasik pemerintah adalah memaksimalkan PDB per kapita, mengasumsikan bahwa kekayaan yang dihasilkan pada akhirnya akan memaksimalkan utilitas dan kebahagiaan individu. Kebijakan berfokus pada efisiensi pasar dan pertumbuhan ekonomi.

Argumen Kondisi (Well-being Centric): Peran pemerintah adalah membangun prasyarat non-ekonomi bagi kebahagiaan, termasuk kohesi sosial, keamanan fisik, perlindungan lingkungan, jaminan kesehatan, dan otonomi waktu. Pendekatan ini mengakui bahwa domain kehidupan non-ekonomi harus dimaksimalkan.

Berdasarkan bukti empiris dan kerangka teoretis, tampak jelas bahwa investasi dalam Kondisi Hidup yang Baik adalah peran pemerintah yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam mencapai kebahagiaan kolektif jangka panjang. Paradoks Easterlin secara definitif menunjukkan kegagalan PDB dalam menghasilkan pertumbuhan kebahagiaan jangka panjang. Sebaliknya, domain non-materi GNH (kesehatan, lingkungan, tata kelola, dan penggunaan waktu) menunjukkan korelasi yang signifikan dengan kesejahteraan berkelanjutan.

Negara tidak dapat secara langsung memberikan kebahagiaan (yang bersifat subjektif dan cepat teredam oleh adaptasi), tetapi negara dapat secara efektif menghilangkan sumber-sumber utama ketidakbahagiaan, seperti ketidakamanan finansial akibat sakit, polusi lingkungan, atau tata kelola yang buruk. Dengan berinvestasi dalam kondisi, pemerintah menciptakan lingkungan ekologis dan institusional yang memungkinkan warganya untuk flourish secara mandiri.

Perbandingan peran pemerintah dirangkum sebagai berikut:

Perdebatan Inti: Peran Pemerintah—Kekayaan vs. Kondisi Kebahagiaan

Dimensi Peran Fokus Utama Kebijakan Indikator Proksi Dukungan Teori Mengapa Gagal Menciptakan Kebahagiaan Jangka Panjang
Menyediakan Kekayaan (Wealth Provision) Alokasi Sumber Daya, Pertumbuhan Ekonomi (Peran Klasik) PDB/kapita, Pendapatan Individu Teori Utilitas Ekonomi Neoklasik Adaptasi Hedonis Cepat; Peningkatan Perbandingan Sosial
Menyediakan Kondisi (Conditions Provision) Tata Kelola, Kesehatan, Lingkungan, Keseimbangan Hidup (Peran Holistik) GNH Domain (Health, Time Use, Good Governance) Ekonomi Kebahagiaan, GNH Kebutuhan Investasi Jangka Panjang; Tantangan Pengukuran Subjektif

Tantangan Pengukuran dan Kritik Happiness Washing

Meskipun terdapat dorongan global untuk mengukur kesejahteraan, integrasi kebahagiaan dalam kebijakan menghadapi tantangan besar.

Salah satu tantangan utama adalah masalah subjektivitas. Indeks kebahagiaan, termasuk yang dilaporkan oleh World Happiness Report melalui Gallup World Poll, didapatkan melalui survei yang melibatkan dimensi psikologis individu. Mengubah data subjektif ini menjadi alat kebijakan objektif dan konsisten, serta mengatasi kecenderungan pengukuran yang masih menggunakan indikator kekayaan materi, tetap menjadi pekerjaan yang rumit.

Selain itu, terdapat risiko Happiness Washing. Istilah ini mengacu pada risiko bahwa negara mengadopsi terminologi “kebahagiaan” dan bahkan mendirikan kementerian terkait, hanya untuk tujuan hubungan masyarakat tanpa melakukan perubahan struktural pada sistem ekonomi inti yang masih berfokus pada PDB. Komitmen Bhutan, yang mengintegrasikan GNH ke dalam konstitusi dan kebijakan lingkungan yang radikal (Net Carbon Sink ), menyediakan kontras yang kuat terhadap model yang mungkin hanya mengadopsi istilah “kebahagiaan” sebagai lapisan kosmetik di atas ekonomi tradisional. Agar efektif, kebijakan kebahagiaan harus menjadi alat skrining yang memaksa pemerintah untuk mempertimbangkan konsekuensi non-ekonomi dari setiap keputusan.

Kesimpulan

Analisis komparatif dari model Bhutan, UEA, dan Eropa menunjukkan bahwa intervensi pemerintah yang paling berhasil dalam meningkatkan kebahagiaan adalah yang berfokus pada penyediaan kondisi fundamental yang mengurangi ketidakamanan dan memungkinkan human flourishing.

Kondisi-kondisi ini meliputi:

  1. Perlindungan Modal Alam:Dibuktikan oleh Ketahanan Ekologis Bhutan dan pencapaian status Net Carbon Sink. Kesehatan lingkungan yang terjamin adalah prasyarat untuk kesejahteraan fisik.
  2. Jaminan Sosial Komprehensif:Dibuktikan oleh jaminan kesehatan universal Eropa dan cuti berbayar Nordik, yang menghilangkan ketidakamanan dan menstabilkan Kesejahteraan Psikologis.
  3. Kualitas Institusional:Kinerja Good Governance GNH dan efisiensi layanan cerdas UEA  meningkatkan kepercayaan publik dan mengurangi friksi birokrasi, yang vital untuk kesejahteraan kolektif.

Peran pemerintah terbukti transformatif: fokusnya bergeser dari sekadar mengumpulkan kekayaan menjadi mengelola ekosistem dan kondisi di mana warganya dapat mencapai utilitas psikologis secara berkelanjutan.

Untuk negara yang bertujuan mengintegrasikan kebahagiaan secara efektif ke dalam perencanaan kebijakan publik, direkomendasikan strategi berikut:

  1. Mengadopsi Kerangka Multi-Dimensi Wajib:Pemerintah harus mengadopsi kerangka kerja yang komprehensif, seperti 9 Domain GNH atau model serupa, untuk memastikan bahwa keputusan kebijakan dianalisis dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan, dan kohesi sosial, melampaui metrik PDB semata.
  2. Prioritas Investasi Non-Ekonomi Struktural:Sumber daya harus dialokasikan secara eksplisit untuk kebijakan yang memperbaiki domain Time Use (seperti peraturan work-life balance dan cuti berbayar yang murah hati), Health (memastikan akses universal), dan Ecological Resilience. Investasi ini secara langsung menghilangkan sumber ketidakbahagiaan yang sulit diatasi dengan peningkatan pendapatan.
  3. Penguatan Tata Kelola (Good Governance) sebagai Fondasi Kebahagiaan:Peningkatan tata kelola, termasuk efisiensi administrasi, akuntabilitas, dan pengurangan korupsi, harus menjadi prioritas. Tata kelola yang baik menghasilkan kepercayaan yang merupakan prasyarat vital untuk kohesi sosial dan kesejahteraan kolektif. Pemerintah harus menargetkan penghapusan kelambanan birokrasi dan peningkatan layanan cerdas, seperti yang dicontohkan oleh UEA.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 + 4 =
Powered by MathCaptcha