Kontradiksi dan Keunikan Pemikiran Rosa Luxemburg

Rosa Luxemburg (Róża Luksemburg, 5 Maret 1871 – 15 Januari 1919) adalah salah satu tokoh teoretikus Marxis yang paling berpengaruh, seorang revolusioner yang diakui baik di Polandia maupun Jerman, dan figur sentral dalam gerakan sosialis internasional pada pergantian abad ke-20. Keunikan posisinya dalam sejarah gerakan kiri terletak pada kemampuannya menavigasi dan mengkritik dua aliran dominan pada masanya: Revisionisme di sayap kanan, yang dipimpin oleh Eduard Bernstein, dan sentralisme revolusioner Kaum Bolshevik, yang dipimpin oleh Vladimir Lenin, di sayap kiri. Ia dikenal sebagai pendukung demokrasi sosialis yang tegas (champion of socialist democracy), dan warisan intelektualnya berpusat pada dialektika kritis antara keharusan ekonomi (keruntuhan kapitalisme) dan kebutuhan etis-politik akan partisipasi massa yang radikal dan kebebasan politik yang menyeluruh.

Luxemburg memperoleh landasan intelektual yang kuat, meraih gelar Doktor Hukum (Dr. jur.) dari Universitas Zurich pada tahun 1897. Latar belakang akademis ini memungkinkannya menghasilkan karya-karya yang menempatkannya sebagai ekonom politik yang serius, paling nyata dalam analisis kritisnya terhadap akumulasi kapitalis. Namun, di samping ketegasan analisis ekonominya, ia secara simultan menekankan prinsip kebebasan politik. Tesis sentral dari pemikirannya menegaskan bahwa keruntuhan ekonomi kapitalis (suatu proses objektif yang tak terhindarkan) tidak akan secara otomatis menghasilkan sosialisme. Sebaliknya, transformasi tersebut membutuhkan intervensi subjektif, yang, agar benar-benar revolusioner dan humanis, harus dicapai melalui mekanisme demokrasi massa dan partisipasi penuh, menolak dekret elit atau otoritarianisme partai. Prinsip ini diabadikan dalam pernyataannya yang paling terkenal: “Kebebasan selalu dan secara eksklusif adalah kebebasan bagi dia yang berpikir berbeda”.

Jejak Sejarah dan Pembentukan Politik (1871–1914)

Latar Belakang dan Komitmen Internasionalisme

Rosa Luxemburg dilahirkan sebagai Rozalia Luksenburg pada tahun 1871 di Zamość, yang saat itu merupakan bagian dari Kongres Polandia di bawah kekuasaan Kekaisaran Rusia. Ia berasal dari keluarga Yahudi sekuler dan menjadi aktif dalam politik revolusioner sejak masa mudanya. Pendidikan akademisnya di Zurich, Swiss, berpuncak pada perolehan gelar doktoral pada tahun 1897.

Komitmen politik awal Luxemburg berakar pada internasionalisme kelas. Ia adalah salah satu pendiri Sosial Demokrasi Kerajaan Polandia dan Lithuania (SDKPiL). Partai ini secara eksplisit menolak nasionalisme Polandia demi perjuangan kelas internasional. Langkah ini merupakan indikasi awal dari orientasi teoretis dan politiknya, di mana solidaritas global kaum pekerja dianggap jauh lebih mendesak daripada klaim penentuan nasib sendiri nasional.

Pada tahun 1898, Luxemburg pindah ke Jerman dan bergabung dengan Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD), yang pada saat itu merupakan kekuatan sosialis terbesar dan paling terorganisir di dunia. Dalam SPD, ia dengan cepat menjadi suara terdepan bagi sayap revolusioner partai, menentang kecenderungan reformis yang tumbuh di dalam kepemimpinan.

Revolusi 1905 dan Teori Pemogokan Massa

Pengalaman langsung dalam Revolusi Rusia 1905, di mana Luxemburg aktif di Polandia sebelum kembali ke Berlin, menjadi landasan bagi pengembangan teori revolusionernya. Karya monumentalnya, Pemogokan Massa, Partai Politik, dan Serikat Buruh (1906), menganalisis fenomena Pemogokan Massa dalam konteks revolusioner Rusia, yang digambarkannya sebagai “sebuah eksperimen historis pertama kali dalam skala besar yang bermakna perlawanan”.

Dalam teori ini, Luxemburg berargumen bahwa aksi massa adalah proses sejarah yang organik, muncul secara spontan dari kontradiksi sosial yang mendalam, dan “bukan produk artifisial” yang dapat diorganisir atau dipanggil dari atas oleh komite partai. Pemahaman ini memperkuat penekanannya pada spontanitas dan kesadaran massa sebagai pendorong utama perubahan revolusioner. Bagi Luxemburg, internasionalisme bukan hanya prinsip moral semata, tetapi juga prinsip metodologis Marxisme yang melihat dinamika revolusioner—seperti Pemogokan Massa—sebagai fenomena trans-nasional yang secara organik muncul dari kontradiksi kapitalisme global, menolak cetak biru yang dibuat oleh sentral komite nasional.

Linimasa Kehidupan dan Karya Kritis Rosa Luxemburg

Tahun Peristiwa Kunci (Sejarah/Biografi) Karya Teoritis/Aktivitas Utama
1871 Lahir di Zamość, Kongres Polandia
1897 Meraih gelar Dr. Jur., Universitas Zurich Co-founder SDKPiL
1898-1899 Pindah ke Jerman, bergabung dengan SPD Publikasi Social Reform or Revolution? (Kritik Bernstein)
1905-1906 Aktif dalam Revolusi Rusia; Kembali ke Berlin Pengembangan teori Pemogokan Massa
1913 Publikasi The Accumulation of Capital (Teori Imperialisme)
1914-1918 Menentang WWI, dipenjara Pendiri Liga Spartakus (anti-perang)
1918 (Akhir) Dibebaskan; Pendirian KPD (Partai Komunis Jerman) Penulisan The Russian Revolution (Kritik Bolshevik)
1919 (Jan) Pembunuhan oleh Freikorps

Karya Kunci I: Kritik terhadap Revisionisme dalam Reformasi atau Revolusi? (1899)

Perdebatan Melawan Ide Adaptasi Kapitalis

Salah satu kontribusi politik Luxemburg yang paling awal dan paling berpengaruh adalah pamfletnya Social Reform or Revolution? (1899), yang awalnya diterbitkan sebagai serangkaian artikel. Karya ini adalah tanggapan langsung terhadap ide-ide “revisionisme” yang dipromosikan oleh Eduard Bernstein. Bernstein berpendapat bahwa kapitalisme telah beradaptasi, dan kontradiksi internal yang diprediksi oleh Marxisme klasik tidak akan menghasilkan keruntuhan. Oleh karena itu, sosialisme dapat dicapai secara bertahap melalui reformasi sosial yang disahkan oleh negara dan partisipasi dalam politik elektoral dan parlementer.

Luxemburg menjadi penentang Bernstein yang paling gigih (most implacable). Ia melihat revisionisme sebagai ide utopis yang menipu massa dengan ilusi bahwa sosialisme akan tercapai hanya dengan memilih perwakilan ke dalam jabatan publik.

Batasan Struktural Reformasi Sosial

Analisis Luxemburg mengenai batas reformasi sangat tajam. Ia menekankan bahwa perjuangan untuk reformasi sosial (seperti undang-undang perlindungan tenaga kerja) adalah hal yang penting dan sentral, namun reformasi ini harus dipahami sebagai alat untuk membangun kekuatan proletariat, bukan tujuan akhir itu sendiri.

Luxemburg berargumen bahwa reformasi—atau yang ia sebut sebagai “kontrol sosial”—bukanlah ancaman terhadap eksploitasi kapitalis, melainkan sekadar “pengaturan eksploitasi”. Ia secara sinis menyamakan undang-undang perlindungan tenaga kerja terbaik dengan ordonansi kotapraja yang mengatur pembersihan jalan, menunjukkan bahwa reformasi tersebut tidak mengandung esensi “sosialisme” apa pun karena tidak mengubah relasi produksi fundamental.

Menurutnya, jika aktivitas serikat buruh dan parlementer yang dicanangkan Bernstein berhasil, program gerakan sosialis akan tereduksi menjadi “reformasi kapitalisme,” bukan “realisasi sosialisme”; “pengurangan eksploitasi,” bukan “penghapusan sistem kerja upah”. Dengan kata lain, tujuan revolusioner di balik Marxisme akan terbalik, digantikan oleh pemeliharaan sistem melalui penindasan penyalahgunaan kapitalisme, alih-alih penindasan kapitalisme itu sendiri.

Demokrasi dan Pukulan Palu Revolusi

Meskipun menolak reformisme, Luxemburg adalah pendukung tegas demokrasi. Ia menyatakan bahwa demokrasi “sangat diperlukan” (indispensable). Namun, ia mengemukakan premis yang mendalam: demokrasi diperlukan bukan karena membuat penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat menjadi mubazir, melainkan karena membuat penaklukan kekuasaan itu “perlu dan mungkin”.

Luxemburg menjelaskan kontradiksi utama: meskipun relasi produksi di masyarakat kapitalis mungkin bergerak mendekati relasi sosialis, “hubungan-hubungan politik dan yuridisnya menegakkan tembok kokoh” di antara kedua masyarakat tersebut. Perkembangan reformasi sosial dan demokrasi borjuis justru memperkuat dan mengonsolidasikan tembok ini. Oleh karena itu, hanya “pukulan palu revolusi, yakni penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat lah yang bisa menghancur-leburkan tembok itu”. Ini adalah inti dari kritiknya: tanpa perubahan struktural radikal melalui revolusi, sistem negara borjuis—yang dirancang oleh dan untuk kelas borjuis—akan selalu membatasi upaya sosialis untuk mengubah kepemilikan produktif secara kolektif.

Perbandingan Doktrin Utama Rosa Luxemburg

Aspek Teoretis Rosa Luxemburg (Sosialisme Demokratis Radikal) Eduard Bernstein (Revisionisme/Reformisme) Vladimir Lenin (Bolshevisme/Partai Vanguard)
Mekanisme Transisi Revolusi diperlukan untuk menaklukkan dan menghancurkan negara borjuis; reformasi adalah proses untuk membangun kekuatan kelas. Transisi bertahap, damai, dan legal melalui reformasi sosial dan parlemen. Perebutan kekuasaan politik oleh partai pelopor yang disiplin, memimpin Diktatur Proletariat.
Batasan Kapitalisme Kapitalisme memiliki batas ekonomi absolut dan akan menuju keruntuhan (breakdown) karena keharusan ekspansi non-kapitalis. Kapitalisme mampu beradaptasi dan mengatasi krisis melalui kredit, kartel, dan reformasi. Kapitalisme menuju tahap Imperialisme, fokus utama pada kekuasaan politik dan penghancuran sistem lama.
Peran Demokrasi Kebebasan politik total sangat penting; “Kebebasan adalah kebebasan bagi dia yang berpikir berbeda”. Demokrasi massa (spontanitas) adalah sumber energi revolusi. Demokrasi borjuis yang ada cukup untuk mencapai sosialisme. Demokrasi dibatasi oleh tujuan revolusioner; institusi borjuis (Majelis Konstituante) dapat dibubarkan demi kekuasaan dewan pekerja/partai.
Imperialisme Konsekuensi ekonomi yang tak terhindarkan dari masalah realisasi kapital, menghasilkan militarisme dan penghancuran non-kapitalis. Fenomena yang dapat dikelola melalui regulasi atau perdagangan damai. Tahap tertinggi kapitalisme; Fokus pada persaingan antar-monopoli negara-negara imperialis.

Sumbangsih Ekonomi: Teori Imperialisme dan The Accumulation of Capital (1913)

Masalah Realisasi dan Batasan Kapitalisme

Kontribusi teoretis terbesar Rosa Luxemburg terletak dalam karya ekonominya, The Accumulation of Capital (1913). Karya ini bertujuan untuk menjelaskan hukum ekonomi yang mengatur perluasan sistem kapitalis secara keseluruhan. Karya ini merupakan tantangan langsung terhadap interpretasi “neo-harmonist” dalam Marxisme yang cenderung mengurangi tekanan krisis, dan sebaliknya, Luxemburg berupaya menegaskan kembali gagasan bahwa kapitalisme memiliki batas ekonomi absolut dan akan menuju keruntuhan yang tak terhindarkan (inevitable breakdown).

Tesis sentral Luxemburg adalah bahwa akumulasi kapitalis tidak dapat berlanjut dalam sistem “tertutup” yang hanya terdiri dari kapitalis dan pekerja, karena adanya masalah realisasi (realization problem) surplus nilai. Kapitalis menghasilkan lebih banyak nilai surplus (nilai-lebih) daripada yang dapat dibeli kembali oleh pekerja dan kapitalis itu sendiri. Untuk mewujudkan surplus nilai ini dalam bentuk uang dan mempertahankan akumulasi, sistem kapitalis memerlukan interaksi berkelanjutan dengan formasi sosial dan ekonomi non-kapitalis—sebuah periferi di luar inti kapitalis.

Imperialisme sebagai Strategi Kelangsungan Hidup

Hubungan antara inti kapitalis dan periferi non-kapitalis ini bersifat dua arah. Pertama, dunia non-kapitalis berfungsi sebagai pasar bagi komoditas surplus dari inti kapitalis, memungkinkan realisasi nilai surplus. Kedua, dunia non-kapitalis bertindak sebagai sumber pasokan input penting, seperti bahan baku, dan tenaga kerja murah.

Imperialisme, dalam pandangan Luxemburg, adalah konsekuensi langsung dari dorongan kapital untuk berekspansi mencari pasar eksternal ini. Imperialisme diperlukan bagi reproduksi kapital karena menyediakan pasokan bahan baku dan mempersiapkan konsumen untuk realisasi komoditas.

Namun, perlu dicatat bahwa perluasan pasar kapitalis untuk realisasi nilai surplus tidak selalu bersifat geografis. Kritik terhadap teorinya sendiri menunjukkan bahwa kapitalisme juga memperluas pasar dengan membuka ruang-ruang sosial dan kultural baru bagi konsumsi massal, di samping meningkatkan kekuatan produktif yang memungkinkan realisasi nilai-lebih yang lebih besar di dalam masyarakat kapitalis itu sendiri.

Militarisme dan Penghancuran Mode Produksi Pra-Kapitalis

Luxemburg secara eksplisit menghubungkan teori ekonominya dengan kritik kerasnya terhadap militerisme dan perang, yang dilihatnya sebagai akibat langsung dari dorongan ekspansi modal. Kekuatan negara, melalui militarisme dan perang, menjadi kendaraan utama bagi proses akumulasi. Bahkan pengeluaran militer itu sendiri menjadi “sebuah provinsi akumulasi”.

Lebih mendalam, analisis Luxemburg menunjukkan bahwa akumulasi tidak hanya bersifat eksploitatif, tetapi juga destruktif. Kapitalisme secara sistematis merusak dan menghancurkan mode produksi pra-kapitalis, seperti pertanian petani dan kerajinan tangan, menggantinya dengan produksi komoditas untuk menciptakan pasar bagi barang-barangnya sendiri. Luxemburg menggambarkan proses ini sebagai “pertempuran tanpa henti kapital melawan ikatan sosial dan ekonomi penduduk asli,” di mana perlawanan penduduk asli sering kali berlanjut hingga mereka “benar-benar kelelahan, atau punah”.

Hubungan kausal ini sangat penting: bagi Luxemburg, imperialisme adalah proses penghancuran struktural yang didorong oleh kebutuhan intrinsik kapitalisme untuk mengatasi batas internalnya. Hal ini memberikan dasar teoretis yang kuat bagi penolakan kerasnya terhadap Perang Dunia I, yang ia anggap sebagai manifestasi puncak dari akumulasi yang didorong oleh negara dan militarisme.

Tragedi Revolusi Jerman dan Kritik Bolshevisme (1914–1919)

Menentang Perang dan Liga Spartakus

Ketika Perang Dunia I meletus pada tahun 1914, Luxemburg mengambil posisi internasionalis yang teguh, menentang keputusan Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) untuk mendukung pembiayaan perang (war credits). Tindakan ini dilihatnya sebagai pengkhianatan mendasar terhadap prinsip internasionalisme sosialis. Akibat dari aktivisme anti-perangnya, ia dipenjarakan beberapa kali di Jerman.

Saat berada di balik jeruji besi, ia bersama Karl Liebknecht dan Clara Zetkin mendirikan Gruppe Internationale, yang kemudian berganti nama menjadi Liga Spartakus (Spartakusbund). Liga ini didirikan sebagai bentuk protes terhadap dukungan SPD terhadap perang dan termotivasi oleh oposisi terhadap keterlibatan Jerman dalam WWI serta keinginan untuk mendirikan republik sosialis.

Pada tahun 1917, Liga Spartakus bergabung dengan Partai Sosial Demokrat Independen Jerman (USPD), namun kemudian berpisah. Setelah Revolusi Jerman yang menggulingkan Kaiser Wilhelm II pada akhir 1918 , Liga Spartakus berubah menjadi Partai Komunis Jerman (KPD) pada Desember 1918. Sebagai ahli teori utama, Luxemburg menulis platform KPD, yang menyerukan langkah-langkah revolusioner segera, termasuk pelucutan senjata polisi, pembentukan Garda Merah, pengambilalihan dewan pekerja dan tentara, serta sosialisasi bank dan perusahaan besar.

Kritik Terhadap Revolusi Rusia (The Russian Revolution)

Meskipun secara vokal mendukung Revolusi Oktober 1917 sebagai tindakan pertama proletariat internasional untuk merebut kekuasaan, Luxemburg juga mengembangkan kritik keras terhadap kebijakan Bolsheviks saat dia berada di penjara pada tahun 1918. Karya ini, The Russian Revolution: A Critical Appreciation, diterbitkan secara anumerta pada tahun 1922 oleh Paul Levi.

Luxemburg memuji kaum Bolshevik karena merebut kekuasaan, tetapi mengkritik kebijakan sentralis mereka, terutama pembubaran Majelis Konstituante dan kebijakan mereka mengenai penentuan nasib sendiri nasional. Ia berpendapat bahwa tindakan-tindakan ini berisiko merusak tujuan sosialis dari revolusi.

Pusat dari kritiknya adalah masalah demokrasi dalam konteks revolusioner. Ia menekankan perlunya publik oposisional yang sehat. Dalam manuskrip yang belum selesai, ia menulis kutipan yang kini ikonik:

“Kebebasan hanya untuk para pendukung pemerintah, hanya untuk anggota partai—betapapun banyaknya jumlah mereka— bukanlah kebebasan. Kebebasan selalu dan secara eksklusif adalah kebebasan bagi dia yang berpikir berbeda.”.

Luxemburg berpendapat bahwa kebebasan ini sangat bergantung pada esensi “pembangkang” dan tanpa itu, semua aspek “menyegarkan, menyembuhkan, dan memurnikan dari kebebasan politik” akan gagal.

Kritik ini bersifat epistemologis: mereka yang tumbuh di bawah kapitalisme tidak memiliki gagasan nyata tentang seperti apa sosialisme itu, sehingga satu-satunya jalan ke depan adalah menciptakan bentuk-bentuk demokrasi terluas dan terdalam yang mungkin. Tanpa itu, revolusi akan tercekik oleh Komite Sentral yang percaya bahwa mereka sendirilah yang memegang program revolusioner. Analisis ini bersifat prediktif, menunjukkan bahaya potensi totalitarian dalam pandangan sentralis Lenin, meskipun beberapa pihak berpendapat bahwa Luxemburg setuju dengan Lenin dalam semua masalah fundamental terkait Revolusi Oktober dan perlunya Revolusi Jerman untuk menyelamatkan Revolusi Rusia dari keterisolasian.

Kematian di Tengah Gelombang Kontra-Revolusi

Pada Januari 1919, meletus Pemberontakan Spartakus (Januarkämpfe) di Berlin, dipicu oleh serikat pekerja dan elemen radikal lainnya. Pemberontakan ini, yang berlangsung dari 5 hingga 12 Januari 1919, tidak direncanakan atau dipimpin oleh KPD/Liga Spartakus.

Meskipun demikian, Friedrich Ebert, pemimpin SPD sentris yang menjabat sebagai Kanselir, dengan cepat menyewa unit paramiliter irregular yang dikenal sebagai Freikorps untuk secara brutal menumpas pemberontakan.

Pada 15 Januari 1919, Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht ditangkap, disiksa, dan dieksekusi di luar hukum (extrajudicial killing) oleh Freikorps. Kematiannya yang tragis di tangan pasukan yang secara efektif disewa oleh pemerintahan yang terdiri dari sosialis moderat menggarisbawahi kegagalan SPD untuk memecahkan “tembok kokoh” negara borjuis melalui revolusi, yang telah diperingatkan oleh Luxemburg dalam Reformasi atau Revolusi?

Warisan Intelektual dan Relevansi Abad Ke-21

Sosialisme Demokratis dan Humanisme Revolusioner

Warisan Rosa Luxemburg yang paling abadi adalah komitmennya terhadap sosialisme yang berakar pada demokrasi radikal. Ia menjadi simbol global perlawanan terhadap totaliterisme dan otoritarianisme dalam gerakan kiri.

Bagi Luxemburg, sosialisme tidak boleh dikorbankan demi efisiensi politik. Ia mendesak agar aktivitas revolusioner harus diiringi dengan “humanisme mendalam”. Dalam seruan menentang hukuman mati, ia menulis bahwa “setiap tetesan air mata yang mengalir, ketika seharusnya bisa dihindari, adalah sebuah tuduhan,” menekankan bahwa bahkan di tengah pergolakan revolusioner, kemanusiaan harus dipertahankan. Humanisme radikalnya ini menjadi landasan etis mengapa kebebasan, terutama kebebasan pembangkang, adalah prasyarat keberhasilan revolusi, bukan sekadar pelengkap borjuis.

Imperialisme dan Kritik Globalisasi Kontemporer

Analisis ekonomi Luxemburg dalam The Accumulation of Capital menawarkan kerangka kerja yang sangat relevan untuk memahami dinamika kapitalisme di abad ke-21. Teorinya mengenai kebutuhan kapitalisme untuk terus menerus berekspansi dan menghancurkan formasi non-kapitalis  selaras dengan kritik terhadap neoliberalisme dan globalisasi.

Saat kapitalisme menghadapi batas geografis, ekspansinya semakin diarahkan pada penetrasi ruang-ruang sosial dan kultural yang baru (seperti yang dicatat dalam kritik terhadap teorinya), mengubah aspek-aspek kehidupan yang sebelumnya non-komoditas menjadi komoditas. Teorinya membantu menjelaskan konflik sumber daya global, krisis lingkungan, dan ketergantungan struktural antara inti dan periferi.

Perspektif Feminis Etis dan Transformasi Sosial Total

Meskipun Luxemburg tidak secara eksplisit memisahkan perjuangan feminis dari perjuangan kelas, pemikirannya telah diinterpretasikan melalui lensa feminis etis. Ia memahami definisi Marxis bahwa pekerjaan rumah tangga adalah unproductive labor dalam kerangka kapitalis, namun menegaskan bahwa ini bukanlah penghinaan terhadap perempuan, karena produktivitas dalam kapitalisme semata-mata berarti produksi nilai surplus, dan banyak pekerjaan berharga lainnya (seperti tukang kayu pemerintah) juga unproductive dalam arti ini.

Warisan terpentingnya di bidang ini adalah penekanan bahwa transformasi sosialis memerlukan transformasi menyeluruh dari semua hubungan sosial, termasuk hubungan keluarga dan hubungan erotis (familial and erotic relations). Pandangan ini menantang model sosialis yang hanya berfokus pada perubahan struktur ekonomi atau politik negara. Karena sosialisme sejatinya “tidak dapat diketahui” oleh mereka yang dibesarkan di bawah kapitalisme, proses penciptaan masyarakat baru harus melalui bentuk-bentuk demokrasi paling luas agar masyarakat dapat “mulai tidak hanya bermimpi bersama tetapi juga mewujudkan cara-cara baru dalam berinteraksi dan hidup bersama”.

Kesimpulan: Rosa Luxemburg—Sang Teoretikus Keruntuhan dan Kebebasan

Rosa Luxemburg meninggalkan warisan yang kompleks dan abadi, menjadi jembatan antara Marxisme klasik dan kritik modern terhadap otoritarianisme. Kontribusi utamanya dapat disintesis menjadi tiga poros: mendirikan imperialisme sebagai syarat hidup kapitalisme; menekankan revolusi sebagai pukulan palu yang mutlak diperlukan untuk menembus tembok negara borjuis; dan menuntut demokrasi total sebagai prasyarat etis dan epistemologis bagi setiap upaya sosialis yang berhasil.

Ia adalah seorang ahli teori keruntuhan, yang secara ilmiah menunjukkan bahwa kapitalisme akan mencapai batasnya, dan sekaligus seorang ahli teori kebebasan, yang berulang kali memperingatkan bahwa tanpa partisipasi massa dan kebebasan yang luas, setiap revolusi akan mengalami degenerasi. Kematiannya, yang terjadi di tangan Freikorps yang bertindak atas perintah sosialis moderat, secara tragis menggarisbawahi kegagalan gerakan sosialis arus utama Jerman untuk memahami tuntutan revolusioner yang ia ajukan.

Pada akhirnya, warisan Luxemburg terletak pada dialektika abadi antara nasib historis kapitalisme dan tugas politik yang harus diemban oleh proletariat: membangun sebuah demokrasi massa yang radikal, yang memastikan bahwa sosialisme, ketika ia datang, adalah perwujudan kebebasan—terutama kebebasan untuk terus membantah dan menciptakan. Warisannya berfungsi sebagai antitesis abadi terhadap kapitalisme neoliberal dan sentralisme birokratis, menjadikannya figur yang relevan dalam setiap diskusi kontemporer tentang Marxisme humanis dan demokrasi sosialis.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9 + 1 =
Powered by MathCaptcha