Pergeseran Paradigma Keamanan Global

Perubahan iklim, yang secara tradisional dipandang sebagai masalah lingkungan, kini telah bertransformasi menjadi ancaman keamanan non-tradisional yang paling menantang di abad ke-21. Skala dampaknya telah menjangkau aspek eksistensial, memaksa redefinisi keamanan dari sekadar perlindungan terhadap serangan eksternal bersenjata menjadi pemeliharaan keberlangsungan hidup manusia, ketersediaan pangan, dan air bersih. Tanpa aksi kerja sama global yang terkoordinasi, berbagai penelitian menegaskan bahwa intensitas bencana akan meningkat secara eksponensial, mulai dari krisis pangan, gelombang migrasi besar-besaran, hingga potensi runtuhnya stabilitas ekonomi global. Oleh karena itu, krisis iklim harus dipahami sebagai ancaman nyata yang memerlukan respons strategis dan geopolitik.

Definisi Keamanan Iklim: Dari Ekologi ke Eksistensi Strategis

Keamanan Iklim (Climate Security) didefinisikan sebagai kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami, memitigasi, dan mengelola dampak perubahan iklim terhadap stabilitas politik, ekonomi, dan sosial di berbagai tingkat, dari lokal hingga global. Dalam konteks modern, isu ini telah melampaui batas tradisional keamanan. Negara-negara yang selama ini merasa aman karena kekuatan militer dan ekonominya pun kini rentan terhadap dampak iklim yang menjalar.

Keamanan saat ini bukan lagi semata-mata soal mempertahankan garis perbatasan, tetapi lebih kepada menjaga keberlanjutan sumber daya esensial. Ketika kekeringan ekstrem melanda atau permukaan laut naik, dampak yang terjadi — hilangnya mata pencaharian petani, meningkatnya migrasi internal, dan pembesaran ketegangan sosial — merupakan tantangan keamanan yang jauh lebih mendalam dibandingkan banyak krisis konvensional yang terlihat di permukaan.

Konsep Kunci: Iklim sebagai ‘Pengganda Ancaman’ (Threat Multiplier)

Konsep Iklim sebagai ‘Pengganda Ancaman’ (Threat Multiplier) adalah kerangka kerja analitis yang menegaskan bahwa perubahan iklim jarang menjadi satu-satunya penyebab konflik atau ketidakstabilan, melainkan berfungsi memperburuk atau meng-eskalasi kerentanan sosial, ekonomi, dan politik yang sudah ada dalam suatu sistem.

Pengakuan atas konsep ini telah mencapai tingkat tertinggi dalam kalkulus geopolitik global, dengan Dewan Keamanan PBB secara eksplisit mengakui perubahan iklim sebagai ‘pengganda ancaman’ dalam perdebatan mengenai dampaknya terhadap perdamaian. Hal ini berarti tekanan iklim—seperti kekeringan, banjir, atau badai dahsyat—membebani sistem sosial dan institusional yang sudah rapuh (misalnya, tata kelola yang korup, ketidaksetaraan historis, atau kurangnya infrastruktur), yang kemudian mengubah krisis lingkungan menjadi krisis keamanan bersenjata. Krisis iklim, melalui mekanisme penggandaan ini, menjadi cermin dari sistem global yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi di atas keberlanjutan, sekaligus menguji integritas moral dan eksistensial manusia.

Mekanisme Kausatif: Translasi Stres Iklim Menjadi Konflik

Dampak fisik dari perubahan iklim tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi langsung, tetapi juga diterjemahkan melalui jalur kausalitas yang kompleks menuju instabilitas sosial dan konflik bersenjata. Mekanisme utamanya berpusat pada kelangkaan sumber daya, yang kemudian memicu persaingan dan kekerasan.

Kelangkaan Sumber Daya dan Persaingan

Kelangkaan air dan lahan subur merupakan jalur transmisi tekanan iklim yang paling langsung dan efektif memicu konflik internal.

  1. Kelangkaan Air dan Kekerasan Komunal

Kekeringan yang berkepanjangan dan kondisi iklim yang panas merupakan sumber potensial tindakan kriminalitas atau aksi kekerasan bagi penduduk terdampak. Ilmuwan sosial mengamati bahwa kesulitan memperoleh air untuk berbagai keperluan dapat membuat orang lebih mudah tersinggung, cepat ‘naik darah’, dan cenderung melakukan perbuatan kasar.

Kekeringan telah terbukti memicu persoalan serius berupa aneka tindak kriminal atau kekerasan di berbagai wilayah, dan ini bukan fenomena baru. Misalnya, di Desa Sumber, Klaten, Jawa Tengah, pada Maret 2015, sesama kaum tani bermusuhan dan terlibat rebutan air untuk tanaman. Kasus ini menyoroti bagaimana isu air yang diperparah oleh privatisasi dan penyedotan air skala besar, ditambah dengan kegagalan negara hadir untuk menyelesaikan konflik sumber daya dasar, dapat memicu ketegangan yang lebih besar.

  1. Ancaman terhadap Ketahanan Pangan

Perubahan iklim, melalui pergeseran musim tanam dan peningkatan frekuensi bencana, mengancam secara serius ketahanan pangan. Bagi petani dataran tinggi, ketersediaan air, suhu, dan pencahayaan sinar matahari sangat krusial; pergeseran musim tanam dapat memaksa mereka memajukan waktu tanam atau mengganti jenis tanaman, yang membutuhkan modal besar. Jika benih tidak tersedia, petani bahkan bisa absen menanam, yang berdampak pada persaingan atas lahan subur yang semakin berkurang dan mengancam keamanan ekonomi.

Tautan Kuantitatif Iklim-Konflik (Climate-Conflict Link)

Analisis dari para peneliti mengkonfirmasi adanya hubungan statistik antara perubahan iklim dan eskalasi kekerasan yang telah terjadi di berbagai belahan dunia selama 12 ribu tahun terakhir. Studi kuantitatif terbaru menemukan bahwa perubahan kecil pada suhu dan curah hujan dapat meningkatkan risiko terjadinya konflik, dari konflik interpersonal yang remeh hingga perang saudara.

Penelitian menemukan bahwa kenaikan suhu dalam satu simpangan baku (standar deviasi), yang setara dengan kenaikan sekitar 3 derajat Celsius di konteks lokal, dapat meningkatkan ketegangan interpersonal sebesar 4%, sementara risiko konflik antarkelompok seperti perang saudara atau kerusuhan naik hingga 14%. Disparitas angka ini, di mana risiko konflik kolektif jauh lebih tinggi, menunjukkan adanya efek ambang batas (threshold effect) yang non-linear. Artinya, tekanan iklim memiliki efek pengganda yang sangat kuat begitu masalah tersebut mencapai skala komunal. Tekanan pada individu (yang berwujud emosi dan kriminalitas) dapat memicu krisis sosial, tetapi tekanan yang memengaruhi mata pencaharian kelompok (seperti perebutan air atau gagal panen) lebih cepat diterjemahkan menjadi konflik bersenjata dan keruntuhan sosial-politik.

Pola kausalitas ini juga terbukti secara historis, menghubungkan keruntuhan peradaban-peradaban besar seperti peradaban Maya di Amerika Selatan (abad ke-5), kejatuhan Dinasti Tang di Cina (abad ke-8), dan lenyapnya Dinasti Khmer (abad ke-14) dengan kekeringan yang berkepanjangan saat peristiwa itu terjadi.

Studi Kasus Krisis Governance dan Runtuhnya Stabilitas Politik

Dampak iklim tidak beroperasi dalam ruang hampa; ia berinteraksi dengan kerentanan institusional dan tata kelola negara yang lemah, mempercepat keruntuhan politik.

  1. Interaksi Iklim dan Tata Kelola

Ketidakstabilan politik seringkali berfungsi sebagai mekanisme pemicu trauma yang memperkuat dampak negatif dari krisis iklim. Di wilayah Global South, pesimisme ekonomi akibat dampak fisik iklim (kekeringan, banjir) diperburuk oleh ketidakstabilan politik lokal, korupsi yang tinggi, atau kekerasan politik. Lingkungan politik yang tidak aman menghilangkan rasa kontrol dan prediktabilitas kehidupan sehari-hari, melumpuhkan harapan masa depan yang stabil, dan pada gilirannya meningkatkan kerentanan psikologis terhadap ancaman lain. Kemampuan suatu negara dalam menanggapi krisis iklim menunjukkan kualitas tata kelolanya; krisis iklim bertindak sebagai pengungkap kelemahan institusional.

  1. Dampak Makro pada Stabilitas Politik

Kekeringan ekstrem memiliki kapasitas untuk meruntuhkan pilar kekuasaan. Sejarah politik Indonesia mencatat bagaimana dampak kekeringan berkepanjangan pada tahun 1965 dan tahun 1997 telah memicu runtuhnya pilar kekuasaan pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Kenyataan ini menegaskan adanya kaitan yang jelas dan langsung antara tekanan ekologis jangka panjang dan instabilitas politik makro. Bagi negara yang sangat rentan, kebijakan kesehatan mental yang efektif harus diintegrasikan dengan solusi berbasis keamanan sumber daya, karena mengurangi ancaman fisik adalah intervensi psikologis yang paling mendasar.

Tabel 1. Rantai Kausatif: Dari Fenomena Iklim ke Hasil Keamanan

Fenomena Iklim Jalur Kausatif (Tekanan/Stress) Indikator Keamanan yang Terganggu Hasil Keamanan Non-Tradisional
Kenaikan Permukaan Laut/Intrusi Air Asin Kehilangan lahan pertanian/pulau, kerusakan infrastruktur, salinitas Keamanan Pangan, Integritas Teritorial Migrasi Paksa Lintas Batas, Potensi Konflik Batas Negara
Kekeringan Berkepanjangan/Banjir Ekstrem Gagal panen, kelangkaan air, dislokasi ekonomi, trauma psikologis Keamanan Ekonomi, Stabilitas Politik, Keamanan Kesehatan Konflik Sumber Daya (Air/Lahan), Kriminalitas, Runtuhnya Pilar Kekuasaan
Gelombang Panas/Suhu Tinggi Peningkatan stres fisiologis dan psikologis Kohesi Sosial, Keamanan Kesehatan Kekerasan Interpersonal (Kriminalitas), Eskalasi Risiko Perang Saudara (14% Kenaikan)

Migrasi Paksa dan Krisis Kemanusiaan

Salah satu manifestasi paling nyata dari perubahan iklim sebagai pengganda ancaman adalah perpindahan populasi dalam skala masif, yang dikenal sebagai migrasi lingkungan atau pengungsi iklim. Fenomena ini menciptakan krisis kemanusiaan dan sekaligus menantang kapasitas keamanan di negara penerima.

  1. Dinamika Pengungsi Iklim (Climate Displacement)

Bencana alam yang dipicu oleh iklim, seperti siklon tropis, kenaikan permukaan air laut, intrusi air asin, kekeringan, dan banjir, memberikan efek domino yang mengancam berbagai aspek keamanan manusia, termasuk lingkungan, ekonomi, pangan, dan kesehatan.

Perubahan iklim menciptakan faktor “dorongan” (push factors), seperti hilangnya mata pencaharian dan bencana berulang, dan faktor “tarikan” (pull factors) di tempat lain, yang pada akhirnya menghasilkan migrasi lingkungan. Misalnya, Bangladesh, yang setiap tahunnya mengalami dampak perubahan iklim parah, termasuk siklon tropis yang menyebabkan kerugian ekonomi signifikan (Siklon Amphan 2020 merugikan $131 juta). Dampak ini memicu migrasi lingkungan dari Bangladesh menuju India, meskipun seringkali menghadapi hambatan berupa masuknya penduduk secara ilegal dan kebijakan yang terbatas informasinya.

Studi Kasus Geopolitik Migrasi Iklim

Migrasi internal maupun lintas batas yang dipicu oleh iklim memiliki potensi besar untuk menjadi katalisator bagi konflik yang lebih besar, terutama di wilayah yang sudah rentan secara politik.

  1. Suriah: Interaksi Kekeringan dan Ketidakstabilan

Krisis Suriah sering dikutip sebagai studi kasus klasik di mana krisis air memicu ketidakstabilan. Kekeringan terburuk dalam sejarah (2006–2011), yang diperparah oleh kebijakan pertanian intensif dan praktik over-ekstraksi air tanah yang tidak berkelanjutan, memaksa sekitar 1,5 juta petani dan keluarga mereka bermigrasi ke pusat-pusat perkotaan. Perpindahan masif ini memperparah ketegangan sosial yang sudah ada di pusat-pusat perkotaan, yang kemudian meledak menjadi perang saudara. Ini menunjukkan bagaimana tekanan iklim dapat berfungsi sebagai percikan api yang membakar ketegangan politik dan sosial yang telah menumpuk.

  1. Tantangan Geopolitik Negara Penerima

Lonjakan perpindahan yang dipicu bencana menuntut mekanisme regional dan internasional yang manusiawi dan terkoordinasi. Hal ini krusial karena negara penerima perlu didukung untuk dapat menyerap migran secara efektif, terutama untuk mencegah munculnya konflik lokal dan ketegangan sosial di wilayah baru. Kehilangan pulau-pulau kecil, seperti yang dicatat di Indonesia (setidaknya 24 pulau tenggelam sejak 2005) akibat kenaikan permukaan air laut, tidak hanya menciptakan pengungsi iklim, tetapi juga berpotensi memengaruhi garis perbatasan negara dan memicu sengketa teritorial di masa depan. Oleh karena itu, migrasi iklim membawa konsekuensi yang berpotensi meningkatkan risiko keamanan dari non-tradisional menjadi konflik teritorial tradisional.

Ancaman Eksistensial dan Ketidakstabilan Regional (Fokus Indo-Pasifik)

Wilayah Indo-Pasifik, mencakup Asia Tenggara dan Negara Kepulauan Pasifik (PICs), adalah salah satu titik fokus kerentanan tertinggi terhadap dampak iklim, dengan implikasi geopolitik yang sangat serius.

Ancaman Eksistensial di Negara Kepulauan Pasifik (PICs)

Kenaikan permukaan air laut merupakan ancaman eksistensial bagi seluruh negara kepulauan, khususnya yang memiliki topografi rendah. Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan bahwa pemanasan dan kenaikan permukaan air laut mengancam masyarakat di pesisir Pasifik Barat Daya.

  1. Kerentanan Topografis dan Dampak Nyata

Negara-negara seperti Kiribati berada dalam bahaya kritis; studi menunjukkan bahwa dua pertiga daratannya berada kurang dari 2 meter di atas permukaan laut rata-rata. Peningkatan suhu, pemanasan laut, dan pengasaman laut berpadu, menimbulkan kerusakan jangka panjang pada ekosistem dan ekonomi laut.

Dampak nyata sudah terlihat di lapangan, misalnya di Pulau Serua, Fiji, di mana desa dan pantai telah diterpa erosi dan banjir selama dua dekade, yang menyebabkan hancurnya tanggul laut, tenggelamnya pemukiman, serta lenyapnya tanaman pangan dan tanah subur akibat intrusi air laut.

  1. Ancaman Eksistensial sebagai Veto Geopolitik

Ancaman eksistensial ini membawa dimensi geopolitik baru. Kegagalan untuk melindungi negara-negara kepulauan dari kehancuran berarti hilangnya kedaulatan, yang merupakan kegagalan total sistem internasional. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan kekuatan regional lainnya memandang Pasifik sebagai wilayah strategis. Dengan demikian, upaya bantuan adaptasi dan ketahanan kepada PICs menjadi alat diplomasi pertahanan dan pengaruh strategis utama, karena kegagalan dalam menjaga eksistensi mereka dapat menciptakan kekosongan atau instabilitas yang dapat dieksploitasi oleh kekuatan yang bersaing untuk mempertahankan pengaruh di kawasan.

Ketidakstabilan Regional di Asia Tenggara (ASEAN)

Perubahan iklim di Asia Tenggara memiliki potensi besar memicu ketidakstabilan regional. Negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, terutama di wilayah pesisir atau yang bergantung pada pertanian, bisa menghadapi konflik internal karena kelangkaan sumber daya.

  1. Respon ASEAN dan Diplomasi Regional

ASEAN telah berupaya merespons ancaman ini melalui inisiatif seperti ASEAN Working Group on Climate Change (AWGCC), yang berfokus pada transisi energi terbarukan dan penurunan emisi. Contoh konkret keberhasilan awal termasuk promosi transportasi publik yang berhasil menurunkan 1,9% emisi gas rumah kaca di kawasan. Indonesia dan Thailand, sebagai negara anggota kunci, turut berperan dalam menghadapi perubahan iklim regional, misalnya Thailand yang telah mengembangkan energi terbarukan hingga mencapai 14,9% dari sumber energinya pada tahun 2023.

  1. Kebutuhan Integrasi Strategis

Krisis iklim menuntut penyelarasan prioritas geopolitik dan risiko iklim di kawasan. Lebih lanjut, perubahan iklim, meskipun awalnya isu non-tradisional, memiliki potensi untuk memperburuk isu keamanan tradisional. Kehilangan pulau-pulau kecil di perbatasan laut, misalnya, dapat memicu sengketa batas maritim. Oleh karena itu, diperlukan diplomasi pencegahan (preventive diplomacy) yang segera fokus pada pemetaan ulang batas maritim berbasis skenario kenaikan permukaan laut, serta respons lintas negara yang terintegrasi guna menciptakan keamanan regional yang lebih tangguh.

Respons Strategis dan Tata Kelola Keamanan Iklim

Menghadapi tantangan perubahan iklim sebagai pengganda ancaman memerlukan integrasi kebijakan multi-sektor, menggabungkan mitigasi global, adaptasi lokal, dan diplomasi pertahanan regional.

Evolusi Doktrin Keamanan Nasional dan Militer

Perubahan iklim menuntut evolusi doktrin pertahanan negara. Tentara dan aparat keamanan tidak lagi dapat hanya berfokus pada ancaman bersenjata konvensional, tetapi harus secara aktif dilibatkan dalam upaya mitigasi bencana, penanganan krisis pangan, dan evakuasi korban bencana iklim.

  1. Integrasi Risiko dalam Perencanaan

Perencanaan keamanan nasional dan militer harus secara eksplisit memasukkan risiko iklim dalam skenario dan latihan. Selain itu, infrastruktur kritis—seperti pembangkit listrik, jalur pasokan, dan fasilitas kesehatan—harus dirancang atau disesuaikan agar tahan terhadap cuaca ekstrem. Upaya diversifikasi energi juga menjadi bagian integral dari doktrin pertahanan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi suatu negara.

  1. Diplomasi Pertahanan Regional

Di tingkat regional, diplomasi pertahanan berperan penting. Indonesia memiliki potensi besar untuk memaksimalkan peran ini melalui forum ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM). Forum ini dapat digunakan untuk mendorong kerja sama dalam latihan militer gabungan yang berfokus pada respons terhadap bencana terkait iklim, serta kolaborasi dengan mitra strategis (seperti Selandia Baru, Jepang, dan Australia) untuk membangun kapasitas pertahanan yang adaptif. Respons lintas negara yang terintegrasi ini sangat diperlukan guna memastikan ketahanan regional.

Strategi Adaptasi dan Ketahanan (Resilience)

Respons yang efektif harus fokus pada adaptasi dan peningkatan ketahanan sosial dan fisik, yang harus berjalan bersamaan dengan upaya mitigasi.

  1. Penilaian Kerentanan dan Aksi Konkret

Langkah awal yang esensial adalah melakukan penilaian kerentanan dan risiko untuk mengidentifikasi daerah dan masyarakat yang paling berisiko terhadap dampak perubahan iklim. Hasil penilaian ini memandu perencanaan upaya penanganan perubahan iklim, yang kemudian diintegrasikan ke dalam pertimbangan perencanaan kota. Aksi adaptasi konkret mencakup pembangunan infrastruktur tahan bencana (misalnya, dinding penahan, modifikasi bangunan), sistem peringatan dini, serta pengembangan cadangan pangan dan program perlindungan sosial.

  1. Pendekatan Berbasis Komunitas

Ketahanan sosial dapat ditingkatkan melalui komunitas lokal yang mampu membangun sistem pangan lokal, agroekologi, konservasi lahan, dan program adaptasi berbasis masyarakat. Investasi pada ketahanan sosial ini sangat penting karena dapat mengurangi kerentanan dan memperkuat kemampuan masyarakat untuk menanggulangi kerugian dan kerusakan akibat bencana, yang jika tidak ditangani dapat menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan.

Keadilan Iklim dan Geopolitik Transisi Energi

Isu perubahan iklim telah menjadi medan politik global baru, dengan negara-negara besar memainkan peran sentral bukan hanya sebagai penghasil emisi, tetapi juga sebagai penentu arah kebijakan dan persaingan geopolitik.

  1. Persaingan Geopolitik Hijau

Langkah-langkah ambisius oleh negara-negara maju, seperti Inflation Reduction Act (IRA) di Amerika Serikat dan Green Deal di Uni Eropa, serta dorongan Tiongkok untuk industri ramah lingkungan, tidak terlepas dari kepentingan geopolitik. Dominasi teknologi hijau, penguasaan rantai pasok mineral kritis, dan persaingan industri energi terbarukan kini menjadi sumber ketegangan baru. Analisis menunjukkan bahwa Tiongkok telah mempercepat aksi iklim karena keyakinan bahwa transisi energi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, menghilangkan pandangan bahwa iklim dan ekonomi adalah hal yang eksklusif.

  1. Keharusan Pendanaan Keadilan Iklim

Untuk negara-negara berkembang, sangat penting untuk memperjuangkan komitmen negara-negara maju dalam hal dukungan iklim dan pertukaran inovasi, serta menghindari jebakan ketergantungan bahan bakar fosil. Inisiatif seperti Loss and Damage Fund adalah langkah penting untuk memastikan keadilan iklim, membantu negara-negara yang paling terdampak, terutama di Afrika dan Pasifik, dalam menghadapi kerugian akibat bencana alam. Namun, efektivitas dana ini sangat bergantung pada komitmen nyata negara-negara maju; tanpa penyaluran dana yang agresif, kebijakan ini berisiko hanya menjadi janji kosong.

Tabel 2. Kerangka Respons Keamanan Iklim: Mitigasi, Adaptasi, dan Diplomasi

Tingkat Intervensi Fokus Utama (Tujuan) Contoh Aksi Strategis (Sesuai Data) Implikasi Keamanan Jangka Panjang
Mitigasi Global Mengurangi Pemicu Ancaman (Emisi GRK) Transisi energi, Kebijakan Net Zero (AS IRA, Tiongkok, UE Green Deal) Mengurangi frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem, meredam pemicu awal
Adaptasi Lokal & Nasional Meningkatkan Ketahanan Sistem (Resilience) Penilaian risiko, pembangunan infrastruktur tahan bencana, sistem peringatan dini, cadangan pangan Mengurangi kerentanan sosial dan ekonomi, menstabilkan politik internal
Diplomasi & Regional Manajemen Krisis dan Pencegahan Konflik Lintas Batas Kerja sama ADMM (Respons Bencana), mekanisme migrasi iklim terkoordinasi, Pendanaan Loss and Damage Mempertahankan stabilitas regional, mencegah konflik lintas batas akibat sengketa sumber daya dan migrasi

Kesimpulan

Analisis menunjukkan bahwa perubahan iklim telah bertransisi secara definitif dari isu lingkungan menjadi ancaman keamanan non-tradisional dengan kapasitas nyata untuk melumpuhkan negara dan mengguncang stabilitas regional. Konsep “Pengganda Ancaman” terbukti secara empiris. Mekanisme utamanya adalah melalui kelangkaan sumber daya, di mana tekanan iklim memperburuk kerentanan sosial dan politik yang sudah ada, memicu konflik secara eksponensial. Di kawasan Indo-Pasifik, ancaman ini bersifat eksistensial, terutama bagi negara-negara kepulauan yang menghadapi kemungkinan hilangnya kedaulatan teritorial. Kesulitan untuk menetapkan sebab tunggal konflik tidak boleh menjadi alasan untuk menunda tindakan, sebab dampak perubahan iklim sudah nyata dan tersebar luas.

Berdasarkan mekanisme kausalitas dan kerentanan regional yang teridentifikasi, berikut adalah rekomendasi kebijakan strategis:

  1. Prioritas Resiliencedi Negara Fragile: Intervensi kebijakan dan alokasi dana harus diprioritaskan pada wilayah yang mengalami tumpang tindih antara kerentanan iklim yang tinggi dan tata kelola yang buruk (korupsi atau ketidakstabilan politik). Di wilayah inilah dampak iklim paling cepat bertranslasi menjadi konflik fisik dan keruntuhan politik. Oleh karena itu, membangun ketahanan iklim harus diartikulasikan sebagai upaya penguatan institusi dan pemberantasan korupsi.
  2. Formalisasi Mekanisme Migrasi Iklim Regional:ASEAN dan forum regional lainnya wajib segera merancang dan mengimplementasikan kerangka kerja yang terkoordinasi dan manusiawi untuk menangani perpindahan populasi massal yang dipicu iklim. Mekanisme ini harus mencakup dukungan terstruktur bagi negara penerima untuk mencegah munculnya konflik lokal dan ketegangan sosial akibat beban migrasi.
  3. Memperkuat Diplomasi Pertahanan Preventif:Doktrin pertahanan harus mengintegrasikan risiko iklim secara penuh. Pemanfaatan forum regional, seperti ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM), harus dimaksimalkan untuk latihan gabungan yang berfokus pada respons bencana, sekaligus memitigasi risiko keamanan maritim (sengketa teritorial) yang mungkin timbul akibat kenaikan permukaan laut dan hilangnya pulau-pulau di perbatasan.
  4. Menuntut Keadilan Iklim yang Berimbang:Negara-negara berkembang harus menggunakan forum universal untuk menyuarakan kerentanan mereka. Perlu ada penekanan kuat untuk menuntut komitmen nyata pada pendanaan iklim, terutama Loss and Damage Fund. Selain itu, kerja sama internasional harus memastikan bahwa transisi energi global didasarkan pada transfer teknologi yang adil dan tidak didominasi semata-mata oleh kepentingan geopolitik dan persaingan rantai pasok dari negara-negara besar.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 66 = 67
Powered by MathCaptcha