Definisi dan Lingkup Dilema Perdagangan-HAM
Hubungan antara diplomasi perdagangan dan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan titik ketegangan yang mendefinisikan politik internasional kontemporer. Dilema inti yang dihadapi negara-negara ketika bernegosiasi atau berdagang dengan mitra yang memiliki catatan buruk HAM adalah konflik inheren antara pengejaran keuntungan ekonomi maksimal melalui liberalisasi perdagangan dan kewajiban normatif untuk menjunjung tinggi standar HAM universal. Dilema ini secara fundamental menempatkan kepentingan nasional pragmatis—seringkali dianalisis melalui lensa Realisme—di atas nilai-nilai kosmopolitan yang diusung oleh Liberalisme.
Tanggung jawab utama pemerintah, seperti yang ditekankan dalam tradisi hukum dan politik global, adalah melindungi hak-hak yang tidak bisa dicabut (unalienable rights)—yaitu hak-hak alamiah yang melekat pada setiap orang. Keyakinan ini membentuk dasar bagi legitimasi kebijakan luar negeri yang mempromosikan HAM. Secara historis, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 merupakan tonggak ukur ketaatan dan penghormatan terhadap standar HAM internasional di seluruh dunia. DUHAM tidak hanya menjadi dokumen bersejarah yang mengartikulasikan definisi umum mengenai martabat dan nilai-nilai manusia, tetapi juga menetapkan standar etika minimum yang diakui secara universal, bahkan oleh negara yang tidak meratifikasi atau melakukan aksesi. Prinsip-prinsip dasarnya, seperti larangan perbudakan dan perdagangan orang dalam bentuk apa pun, wajib dilarang, merupakan penegasan bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama.
Kerangka Teoritis Hubungan Internasional: Realisme vs. Liberalisme dalam Isu Linkage
Perspektif Hubungan Internasional (HI) memberikan kerangka analitis yang esensial untuk memahami bagaimana negara menavigasi dilema perdagangan-HAM, terutama melalui perdebatan mengenai linkage (pengaitan) isu.
Pandangan Realis
Dari perspektif Realis, negara adalah aktor utama yang bertindak demi kepentingan diri sendiri dalam sistem internasional yang anarkis. Realisme memprioritaskan keamanan, kelangsungan hidup, dan akumulasi sumber daya serta prestise. Dalam konteks perdagangan, isu HAM sering kali dianggap sebagai isu soft power atau low politics yang harus tunduk pada kepentingan ekonomi strategis dan geopolitik. Para penganut Realisme berargumen bahwa upaya untuk memaksakan perubahan perilaku HAM melalui intervensi atau sanksi yang luas dapat berpotensi mengarah pada regresi dan kehancuran jika tidak ada kekuatan superior yang memiliki otoritas untuk menjaga ketertiban yang damai dalam proses perubahan tersebut. Oleh karena itu, diplomasi perdagangan harus fokus pada keuntungan material dan menghindari komplikasi normatif.
Pandangan Liberalis
Sebaliknya, teori Liberalis melihat dunia dihuni oleh beragam aktor—negara, organisasi internasional (IOs), organisasi non-pemerintah (NGOs), dan perusahaan multinasional (MNCs)—yang mengejar berbagai tujuan, berlandaskan kerjasama dan diplomasi. Liberalis percaya bahwa kerjasama dan manfaat timbal balik selalu memungkinkan terwujudnya “masyarakat kolektif”. Institusi internasional, seperti PBB dan ICC, secara efektif mempromosikan perlindungan HAM dan perdamaian. Liberalisme secara fundamental mendukung pengaitan isu perdagangan dan ekonomi dengan norma HAM (linkage), melihatnya sebagai sarana untuk mencapai tujuan normatif melalui kerjasama. Konsep Liberalisme menekankan evolusi dan kemajuan, yang bertentangan dengan pandangan Realis yang skeptis terhadap perubahan mendasar dalam sistem anarki.
Strategi Hibrida: Koersi Normatif Neo-Liberal
Meskipun Liberalisme tradisional menekankan kerjasama, perkembangan kebijakan luar negeri negara-negara adidaya pasar menunjukkan adanya sintesis antara kedua teori tersebut—sebuah pendekatan yang dapat disebut sebagai Koersi Normatif. Instrumen kebijakan modern (seperti yang akan diulas di Bagian II, misalnya Magnitsky dan UFLPA) menggunakan kekuatan pasar dan sanksi koersif (alat Realis) untuk memaksakan norma dan nilai-nilai HAM (tujuan Liberalis). Negara-negara dengan kekuatan pasar besar (AS dan UE) kini menggabungkan ideologi normatif dengan kekuatan ekonomi yang nyata. Hal ini menciptakan strategi yang melampaui diplomasi murni dan cenderung bersifat regulatory warfare, di mana tujuan normatif Liberalis didorong oleh mekanisme kekuatan ekonomi Realis. Konsekuensinya, diplomasi perdagangan tidak lagi sekadar tentang tarif, tetapi juga tentang standarisasi etika dan kepatuhan hukum transnasional.
Dilema Kedaulatan dan Tanggung Jawab Internasional
Konflik moral dan politik yang mendalam juga berakar pada tarik-menarik antara prinsip kedaulatan negara (yang menolak intervensi eksternal) dan tanggung jawab HAM universal. Hukum HAM internasional mewajibkan negara untuk memberikan sanksi yang tepat bagi pelaku kejahatan internasional (seperti perdagangan orang) dan menyediakan perlindungan hukum bagi korban, termasuk hak-hak dasar para tenaga kerja ilegal.
Kewajiban negara untuk melindungi hak-hak individu dari pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi atau negara lain merupakan dasar bagi legitimasi kebijakan luar negeri yang mempromosikan HAM. Namun, prinsip universalitas ini sering berhadapan langsung dengan prinsip kedaulatan non-intervensi, konflik inti yang sangat jelas dalam pendekatan regional seperti yang dianut oleh ASEAN. Dalam banyak kasus, perbedaan pandangan antarnegara dalam penentuan sanksi atau perlindungan hukum menjadi kendala signifikan dalam upaya kolektif global.
Mekanisme Kebijakan Global: Instrumentalisasi Perdagangan untuk HAM
Negara-negara dengan kekuatan ekonomi signifikan telah mengembangkan mekanisme kebijakan yang secara eksplisit menginstrumentalisasi perdagangan dan keuangan sebagai alat diplomasi HAM. Mekanisme ini menandai pergeseran dari sanksi ekonomi umum yang seringkali tidak efektif menjadi regulasi bertarget dan berbasis rantai pasok.
Sanksi Bertarget (Targeted Sanctions) dan Akuntabilitas
Program Sanksi Magnitsky Global (Global Magnitsky Sanctions Program) di AS adalah contoh utama kebijakan yang menggunakan kekuatan finansial untuk tujuan HAM. Program ini menargetkan individu dan entitas yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat atau korupsi signifikan.
Implementasi dan Efektivitas Magnitsky
Signifikansi sanksi Magnitsky terletak pada kemampuannya memisahkan hukuman dari perdagangan massal, memfokuskan tindakan koersif langsung pada aktor jahat. Instrumen ini memiliki implikasi finansial yang substansial (pembekuan aset, larangan visa). Laporan tahunan yang diwajibkan oleh undang-undang ini, seperti Global Magnitsky Human Rights Accountability Report, menunjukkan penerapan yang konsisten terhadap pelanggar di berbagai yurisdiksi.
Meskipun sanksi Magnitsky berhasil secara simbolis—menjaga komitmen AS terhadap HAM dan politik domestik—efektivitasnya dalam mengubah kebijakan makro rezim masih diperdebatkan. Efektivitas yang paling menonjol terletak pada gangguan jaringan keuangan individu yang berkuasa. Ini berarti bahwa dampak yang diharapkan bukan terletak pada perubahan kebijakan negara target secara menyeluruh, melainkan pada penekanan dan pembatasan kemampuan finansial para pelaku pelanggaran.
Regulasi Rantai Pasok dan Prinsip Due Diligence Wajib
Pendekatan terbaru adalah regulasi berbasis rantai pasok, yang menciptakan tren pembatasan dari “sisi permintaan” (demand-side) yang memanfaatkan kekuatan pasar konsumen utama untuk mendorong perubahan perilaku di negara produsen.
Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur (UFLPA) AS
Pada Desember 2021, AS mengesahkan UFLPA, yang melarang impor barang yang dibuat, seluruhnya atau sebagian, melalui kerja paksa dari Wilayah Otonomi Uyghur Xinjiang (XUAR), Tiongkok. Peraturan ini berlaku mulai Juni 2022. Signifikansi utama UFLPA adalah kriteria larangannya yang sangat luas: ia tidak hanya mencakup impor langsung dari XUAR, tetapi juga barang yang mengandung komoditas utama (seperti kapas, yang mencakup 20% pasokan global, atau silikon, 45% produksi global) yang berasal dari wilayah tersebut. Hal ini menuntut audit rantai pasok yang ketat dari importir AS.
Regulasi Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR)
Uni Eropa juga memperkuat tren ini dengan Regulasi Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR), yang disetujui pada April 2023. EUDR menetapkan persyaratan hukum bagi perusahaan Eropa untuk mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati dan pelanggaran HAM dalam rantai pasokan internasional mereka. Peraturan ini merupakan bagian dari tren di mana konsumen utama komoditas pertanian memanfaatkan pangsa pasar mereka untuk menuntut produksi yang berkelanjutan dan bebas dari pelanggaran etika.
Ekspor Biaya Kepatuhan (Compliance Costs)
Penerapan UFLPA dan EUDR memiliki konsekuensi transnasional yang penting. Regulasi ini secara efektif memindahkan beban dan biaya human rights due diligence (HRDD) dari importir di AS atau UE ke perusahaan dan produsen di negara mitra dagang. Negara-negara adidaya pasar telah mengubah diplomasi perdagangan menjadi urusan audit dan sertifikasi transnasional. Perusahaan di negara produsen dipaksa untuk membuktikan kepatuhan mereka kepada otoritas asing, yang menuntut transparansi end-to-end yang sulit dicapai, terutama di sektor-sektor yang kompleks dan terfragmentasi.
Risiko Konsekuensi yang Tidak Disengaja (Unintended Consequences)
Meskipun bertujuan untuk menekan rezim yang melanggar HAM, sanksi dan pembatasan perdagangan yang tidak dirancang secara hati-hati dapat memperburuk kondisi ekonomi dan membatasi hak atas pekerjaan, terutama bagi kelompok yang secara struktural tidak beruntung dan terpinggirkan.
Untuk mengatasi potensi dampak buruk ini, Komnas HAM Indonesia telah mengajukan rekomendasi penting, termasuk perlunya reformasi program perlindungan yang mematuhi norma-norma HAM dan pembentukan kerangka kerja yang selaras dengan prinsip-prinsip HAM untuk pemulihan berkelanjutan. Kerangka kerja ini harus mencakup kewajiban inti negara terhadap hak atas pekerjaan, seperti memastikan akses pekerjaan bagi kelompok marjinal, mencegah diskriminasi, dan membuat strategi nasional di bidang ketenagakerjaan.
Tabel Essensial I: Perbandingan Mekanisme Linkage Perdagangan-HAM Utama (AS vs. UE)
| Mekanisme | Global Magnitsky Act (AS) | UFLPA (AS) | EUDR (UE) | GSP+ (UE) |
| Tujuan Utama | Menargetkan pelanggar individu/entitas HAM berat dan korupsi. | Melarang impor dari XUAR/Tiongkok yang terkait kerja paksa. | Memastikan rantai pasok bebas deforestasi dan pelanggaran HAM. | Memberikan akses pasar dengan syarat kepatuhan HAM/ILO. |
| Instrumen Utama | Sanksi Finansial dan Visa. | Pembatasan Impor (Rebuttable Presumption). | Due Diligence Wajib Korporasi. | Privilese Perdagangan (Conditionality). |
| Lingkup Dampak | Individu/Entitas Politik/Keuangan. | Rantai Pasok Global (Tekstil, Teknologi). | Rantai Pasok Komoditas Pertanian. | Hubungan Bilateral Negara Mitra. |
Studi Kasus Geopolitik: Dilema Moral dan Dualisme Diplomasi
Dilema ASEAN: Dualisme Diplomasi dan Krisis Myanmar
Krisis di Myanmar pasca-kudeta militer merupakan ilustrasi paling jelas dari dilema moral dan dualisme diplomasi di tingkat regional. Piagam ASEAN menekankan prinsip kedaulatan, integritas teritorial, dan non-intervensi, tetapi pada saat yang sama, ia mendorong negara-negara anggota untuk membentuk badan HAM. Konflik antara kedua prinsip ini menghasilkan “dualisme diplomasi”.
Gagalnya Soft Diplomacy dan Hipokrisi Ekonomi
Meskipun kekerasan terhadap warga sipil meningkat, ASEAN secara institusional memilih pendekatan yang sangat hati-hati dan dialog, menolak memberikan sanksi tegas terhadap rezim militer (Tatmadaw). Hukuman yang diberikan terbatas, seperti tidak mengundang pemimpin Junta (Min Aung Hlaing) ke KTT ASEAN. Tindakan ini bersifat simbolis dan jauh dari koersif.
Dilema ini diperburuk oleh keterlibatan ekonomi anggota ASEAN. Dualisme ini terlihat jelas ketika anggota ASEAN, sambil beretorika tentang perdamaian, terus berdagang dengan rezim militer. Setidaknya 138 perusahaan berbasis di Singapura dan 12 perusahaan di Thailand terlibat dalam perdagangan sejak kudeta terakhir. Bahkan dugaan mencuat mengenai keterlibatan tiga BUMN industri pertahanan Indonesia (PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia) dalam perdagangan senjata dengan Tatmadaw, termasuk setelah pembantaian etnis Rohingya pada Februari 2021.
Struktur Moral Hazard Regional
Prinsip non-intervensi yang dijunjung tinggi di ASEAN menciptakan lingkungan di mana pelanggaran HAM berat cenderung tidak ditindaklanjuti dengan konsekuensi ekonomi yang parah. Ketika anggota ASEAN secara ekonomi mendukung rezim pelanggar , hal ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi jangka pendek dan stabilitas regional diutamakan di atas nilai-nilai HAM, yang secara kelembagaan menyubsidi kelangsungan rezim tersebut. Struktur ini menciptakan moral hazard, memungkinkan negara-negara yang melanggar HAM merasa aman dari tekanan yang terkoordinasi secara regional. Solusi HAM yang efektif di Asia Tenggara oleh karena itu memerlukan redefinisi fundamental terhadap prinsip kedaulatan dan non-intervensi ASEAN.
Tabel Essensial II: Dualisme Diplomasi ASEAN vs. Standar Global HAM (Studi Kasus Myanmar)
| Aspek | Pendekatan ASEAN (Prinsip Non-Intervensi) | Pendekatan Normatif Global (Kewajiban HAM) | Dampak Dilema |
| Tanggung Jawab | Fokus pada stabilitas regional dan kedaulatan. | Kewajiban negara untuk melindungi HAM, termasuk intervensi normatif. | Konflik kedaulatan versus tanggung jawab melindungi penduduk, menghasilkan kelumpuhan aksi. |
| Aksi Terhadap Junta | Dialog hati-hati, menghindari sanksi, dan tidak mengundang pemimpin Junta. | Penerapan sanksi yang tepat terhadap pelanggar. | Memberikan ruang bagi rezim pelanggar untuk melanjutkan tindakan tanpa konsekuensi ekonomi yang parah. |
| Keterlibatan Ekonomi | Perdagangan senjata oleh perusahaan anggota ASEAN (Singapura, Thailand, Indonesia) dengan Tatmadaw. | Larangan dukungan material terhadap rezim yang melakukan pelanggaran berat. | Hipokrisi kolektif di mana retorika HAM dibatalkan oleh kepentingan ekonomi bilateral. |
Kasus Tiongkok (Xinjiang/Uighur): Konflik Ekonomi vs. Moralitas
Kasus Tiongkok dan dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur di Xinjiang menyoroti bagaimana kekuatan ekonomi raksasa menghadapi tekanan HAM. Xinjiang adalah produsen komoditas vital seperti silikon dan kapas, yang merupakan 20% pasokan kapas global dan 45% produksi silikon global. Ketergantungan global pada rantai pasok Tiongkok menimbulkan dilema besar.
Pembatasan Tindakan Negara
Indonesia menghadapi dilema akut. Meskipun menjalin hubungan strategis dengan Tiongkok sebagai mitra investasi dan perdagangan , Indonesia, sebagai negara berbasis Islam, menempatkan perlindungan hak-hak Muslim Uighur sebagai prioritas moral. Namun, keterbatasan tindakan langsung terhadap Tiongkok timbul dari pertimbangan geopolitik, kepentingan ekonomi, dan kompleksitas hubungan bilateral yang mendalam. Indonesia memilih soft diplomacy melalui forum internasional seperti OKI dan PBB. Pilihan ini mencerminkan bagaimana kebijakan yang didasarkan pada moralitas seringkali harus mundur di hadapan realpolitik dan keseimbangan kekuatan internasional.
Kekuatan Konsumen sebagai Agen Diplomasi
Ketika negara-negara enggan bertindak karena pertimbangan realpolitik dan kepentingan ekonomi, tekanan untuk perubahan berpindah ke aktor non-negara, termasuk perusahaan multinasional (MNCs) dan konsumen. Tekanan global, diperkuat oleh regulasi seperti UFLPA, memicu respons korporasi. Contohnya, perusahaan kimia Jerman BASF didesak untuk keluar dari Xinjiang karena klaim pelecehan terhadap Uighur. Demikian pula, Toshiba dilaporkan menghentikan kerja sama dengan mitra Tiongkok karena tekanan terkait kerja paksa Uighur. Penarikan diri korporasi ini menunjukkan bahwa diplomasi perdagangan semakin digerakkan oleh tekanan bottom-up (pasar dan etika konsumen) daripada top-down (diplomasi negara), terutama ketika melibatkan isu-isu HAM yang sensitif dengan kekuatan ekonomi dominan.
Tata Kelola Korporasi (MNCs) dan Kerangka Hukum (UNGPs)
Perusahaan Multinasional (MNCs) adalah aktor utama penggerak globalisasi dan liberalisasi ekonomi, yang meningkatkan ketergantungan melalui perdagangan dan investasi asing langsung (FDI). Oleh karena itu, kerangka hukum yang mengatur tanggung jawab mereka terhadap HAM menjadi krusial.
Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs)
Untuk mengatasi maraknya pelanggaran HAM yang timbul dari operasi perusahaan, Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs), yang diadopsi pada tahun 2011. Kerangka ini didasarkan pada Tiga Pilar:
- Pilar I: Kewajiban Negara untuk Melindungi (State Duty to Protect):Negara harus menjamin dan melindungi individu dari ancaman pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi. Peran negara dalam menjamin implementasi pilar-pilar ini sangat penting.
- Pilar II: Tanggung Jawab Korporasi untuk Menghormati (Corporate Responsibility to Respect):Korporasi harus menerapkan due diligence (uji tuntas) yang memadai untuk mencegah dan menghindari pelanggaran HAM yang dapat timbul dari operasional bisnis mereka.
- Pilar III: Akses terhadap Pemulihan (Access to Remedy):Penyediaan akses pemulihan yang efektif bagi korban, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.
Perusahaan besar mengakui tanggung jawab ini, menghormati hak asasi yang diakui secara internasional (International Bill of Human Rights, standar ILO), dan menghindari keterlibatan dalam perbudakan modern. Mereka juga mengakui pentingnya menghormati hak individu yang berasal dari kelompok atau populasi yang sangat rentan, seperti masyarakat adat, perempuan, dan tenaga kerja migran.
Peran dan Tantangan Perusahaan Multinasional (MNCs)
MNCs memiliki produktivitas yang relatif tinggi dibandingkan industri manufaktur domestik di negara berkembang. Namun, ada tantangan signifikan dalam memastikan due diligence yang menyeluruh.
Diskon Kepatuhan di Negara Berkembang
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sering menghadapi masalah kebijakan investasi yang sering berubah-ubah, yang mengirimkan sinyal ambigu kepada calon investor asing. Meskipun FDI masif terjadi (misalnya, masuknya MNCs skala besar ke Indonesia antara 1967 dan 1974 ), banyak MNCs enggan memproduksi atau membeli produk setengah jadi dari pasar domestik dan masih bergantung pada impor komponen utama dari perusahaan induk di negara asal.
Inkonsistensi regulasi domestik dan ketidakpastian kebijakan investasi dapat secara tidak langsung mengurangi insentif bagi MNCs untuk berinvestasi dalam HRDD yang komprehensif. Perusahaan cenderung fokus pada mitigasi risiko politik dan hukum domestik yang tidak stabil, yang seringkali mengesampingkan fokus pada risiko HAM/etika. Oleh karena itu, peran negara dalam menjamin implementasi Pilar I (Kewajiban untuk Melindungi) sangat krusial untuk menciptakan lingkungan di mana perusahaan termotivasi untuk memenuhi Pilar II.
Kesimpulan
Rekapitulasi Dilema Moral-Politik
Dilema moral dan politik dalam diplomasi perdagangan yang berhadapan dengan pelanggaran HAM adalah sebuah konflik abadi yang tidak dapat dipecahkan, tetapi harus dikelola. Analisis menunjukkan bahwa upaya rekonsiliasi antara kepentingan ekonomi pragmatis dan imperatif moral menghasilkan kebijakan yang terpecah-pecah: di tingkat global, negara-negara adidaya pasar menggunakan alat koersif-normatif untuk memaksakan standarisasi etika; sementara di tingkat regional, dualisme struktural (seperti di ASEAN) memprioritaskan stabilitas regional di atas akuntabilitas HAM, menciptakan moral hazard bagi rezim otoriter.
Rekomendasi Kebijakan Multilevel untuk Koherensi Diplomatik
Untuk mencapai koherensi antara kepentingan perdagangan dan perlindungan HAM, strategi diplomatik harus diimplementasikan pada tingkat multilevel:
Integrasi HAM sebagai Core Obligation dalam Kerangka Perdagangan
Negara harus secara eksplisit mengintegrasikan kepatuhan HAM dan standar ILO (termasuk anti-perbudakan modern) ke dalam perjanjian perdagangan bilateral dan multilateral, menjadikannya kondisi yang tidak dapat ditawar. Penguatan diplomasi ekonomi harus berjalan seiring dengan tujuan nasional yang melampaui keuntungan finansial, memastikan bahwa aktivitas negara berkontribusi pada pengembangan berkelanjutan dan hak-hak asasi.
Mandatori Human Rights Due Diligence (HRDD) Transnasional
Negara-negara harus mendukung dan mengadopsi kerangka kerja HRDD wajib yang meniru model UE (EUDR) dan AS (UFLPA). Pendekatan ini memindahkan tanggung jawab dari komitmen sukarela ke persyaratan hukum, memaksa perusahaan untuk melakukan uji tuntas yang ketat dalam rantai pasok mereka. Pemanfaatan teknologi untuk transparansi end-to-end sangat penting untuk memverifikasi sumber komoditas di wilayah berisiko tinggi (misalnya, silikon dan kapas di Xinjiang).
Penerapan Sanksi yang Lebih Bertarget dan Humana
Model sanksi harus dirancang untuk meminimalkan dampak negatif terhadap populasi rentan, pekerjaan, dan kemiskinan, sejalan dengan prinsip-prinsip HAM. Menggunakan model Global Magnitsky yang berfokus pada individu dan entitas adalah alat koersif yang lebih etis dibandingkan sanksi ekonomi luas yang memiskinkan warga sipil yang tidak bersalah.
Reformasi Institusi Regional
Institusi regional seperti ASEAN harus memulai diskusi mendalam mengenai kapan pelanggaran HAM berat melampaui prinsip non-intervensi dan memicu tindakan kolektif. Untuk mengatasi dualisme yang ada, penangguhan keanggotaan atau sanksi ekonomi terkoordinasi harus dipertimbangkan untuk memastikan bahwa kepentingan ekonomi anggota tidak secara simultan menyubsidi rezim yang melanggar HAM.
Proyeksi Masa Depan Hubungan Perdagangan-HAM Global
Masa depan diplomasi akan semakin diwarnai oleh “persaingan standar,” di mana kekuatan pasar besar menggunakan regulasi HAM/Lingkungan mereka (misalnya EUDR) sebagai alat geopolitik untuk mendikte persyaratan perdagangan global. Selain itu, korporasi, konsumen, dan NGO akan terus memainkan peran diplomatik yang krusial, terutama ketika negara-negara enggan bertindak karena pertimbangan realpolitik. Keberhasilan diplomasi di masa depan akan diukur tidak hanya dari volume perdagangan, tetapi yang lebih penting, dari kualitas etis dari perdagangan tersebut. Rekonsiliasi antara keuntungan dan moralitas menuntut agar diplomasi menjadi sebuah mekanisme yang secara aktif memastikan bahwa perdagangan berkontribusi pada martabat manusia.
