Konektivitas dalam Jaringan Geopolitik

Pengembangan infrastruktur, khususnya jaringan koridor transportasi internasional, telah diakui secara historis sebagai fondasi integrasi ekonomi global. Dari Jalur Sutra kuno hingga inisiatif kontemporer, jalur perdagangan ini memfasilitasi pertukaran barang, ide, dan budaya, berkontribusi pada pembentukan elemen budaya baru antar peradaban. Fungsi vital ini mendorong para ahli untuk mengkategorikan dan menganalisis jaringan logistik dan infrastruktur ini sebagai katalisator perdagangan global.

Namun, ketika koridor transportasi strategis (seperti jaringan jalan dan kereta api) dibangun melintasi atau berdekatan dengan wilayah perbatasan yang bersengketa—baik konflik laten maupun aktif—proyek tersebut secara inheren mengakuisisi peran ganda. Jaringan koridor ini tidak hanya memfasilitasi pergerakan barang, tetapi juga membentuk lanskap geopolitik di wilayah-wilayah yang dilaluinya, menjadikannya instrumen proksi kedaulatan dan pengaruh bagi negara-negara yang terlibat. Di sinilah muncul paradoks sentral laporan ini: Bisakah infrastruktur, yang secara teknis dirancang untuk integrasi ekonomi, benar-benar meredakan konflik kedaulatan, atau justru memicu eskalasi militer dan ketegangan sosial?

Ruang Lingkup Metodologi

Laporan ini bertujuan untuk membedah peran ganda koridor transportasi. Tesis utamanya adalah bahwa keberhasilan infrastruktur dalam mencapai perdamaian berkelanjutan (sebagaimana didefinisikan dalam kerangka resolusi konflik) sangat bergantung pada inklusivitas tata kelola dan keberhasilan mitigasi risiko “penggunaan ganda” (dual-use).

Untuk mencapai analisis tingkat ahli ini, laporan menggunakan kerangka teori resolusi konflik yang dikemukakan oleh Johan Galtung (Peace-Making, Peace-Keeping, Peace-Building) untuk mengevaluasi dampak infrastruktur. Fokus utama analisis adalah Studi Kasus China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) di Gilgit-Baltistan. Studi kasus ini dianggap kritis karena secara jelas menggambarkan dilema kedaulatan dan militerisasi yang ditimbulkan oleh proyek infrastruktur besar yang didominasi oleh kepentingan strategis eksternal.

Kerangka Konseptual: Koridor Transportasi sebagai Instrumen Geopolitik

Teori Integrasi Ekonomi versus Realitas Geopolitik

Secara teoretis, pembangunan infrastruktur diyakini mendorong perdamaian melalui peningkatan interdependensi ekonomi. Jalur Sutra, sebagai contoh historis, menunjukkan bagaimana rute perdagangan signifikan selama berabad-abad tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi tetapi juga memungkinkan pertukaran budaya yang vital.

Namun, pandangan yang didasarkan semata-mata pada manfaat ekonomi mengabaikan realitas geopolitik. Dalam konteks modern, koridor internasional sering kali didorong oleh investasi strategis modern yang berorientasi pada kepentingan negara donor. Ketika jaringan ini melewati batas-batas yang diperebutkan, ia secara otomatis menjadi instrumen geopolitik. Keputusan mengenai jenis proyek, sumber pendanaan utama, dan konteks geografisnya menjadi penentu utama apakah koridor tersebut berfungsi sebagai jalur perdamaian atau jalur proyeksi kekuatan. Sebuah proyek yang secara eksplisit memperkuat klaim teritorial satu pihak dalam sengketa, seperti yang sering terjadi dalam inisiatif bilateral besar, secara fundamental bertentangan dengan tujuan integrasi yang damai.

Infrastruktur dalam Model Resolusi Konflik (Galtung’s Framework)

Resolusi konflik, menurut Galtung, melibatkan tiga model utama: Peace-Making (menghentikan kekerasan, seringkali melalui paksaan atau litigasi) , Peace-Keeping (mengurangi tindakan kekerasan melalui intervensi, misalnya perbaikan jalan oleh pasukan perdamaian TNI di MONUSCO) , dan Peace-Building (menciptakan perubahan struktural untuk perdamaian berkelanjutan).

Infrastruktur transportasi idealnya harus melayani tujuan Peace-Building. Tujuan utama resolusi konflik adalah membangun hubungan baru yang tahan lama di antara pihak-pihak yang berkonflik. Peace-Building menuntut rekonstruksi struktur sosial, politik, dan ekonomi, serta demiliterisasi pemikiran keamanan. Oleh karena itu, Infrastruktur Perdamaian harus melampaui sekadar fungsi fisik (mengangkut barang) dan berfokus pada keadilan distributif, inklusivitas lokal, dan penguatan tata kelola sipil yang demokratis.

Analisis Ketegangan Inti: Koridor Geopolitik Kontra Peace-Building

Terdapat sebuah kontradiksi mendasar ketika koridor transportasi dirancang sebagai “Instrumen Geopolitik” yang memproyeksikan kekuatan negara donor atau negara transit. Peace-Building mensyaratkan adanya demiliterisasi pemikiran keamanan dan perlunya melindungi hak asasi manusia dan keamanan warga negara.

Koridor strategis, di sisi lain, seringkali melibatkan keamanan militer yang intensif, seperti yang terlihat dalam CPEC yang dikawal oleh Divisi Keamanan Khusus yang terdiri dari 150.000 tentara. Prioritas utama proyek-proyek tersebut beralih dari kepentingan ekonomi lokal yang inklusif menjadi kepentingan strategis dan militer.

Jika infrastruktur di wilayah sengketa meminggirkan penduduk lokal dari proses pengambilan keputusan dan memaksakan kehadiran militer yang besar, ia gagal mencapai tujuan Peace-Building. Sebaliknya, ia menguatkan struktur politik yang bermasalah, termasuk potensi pelanggaran hak asasi manusia  dan menanam benih ketegangan sosial di masa depan. Kegagalan untuk memastikan inklusivitas ekonomi dan politik lokal berarti bahwa proyek tersebut hanya membangun koneksi fisik tanpa membangun fondasi perdamaian yang berkelanjutan.

Table 1: Perbandingan Teoretis Koridor Transportasi: Integrasi vs. Eskalasi

Dimensi Kritis Koridor Pro-Integrasi (Peace Infrastructure) Koridor Konflik (Geopolitical Tool)
Tujuan Primer Peningkatan pertukaran barang, ide, dan budaya; integrasi sosial-ekonomi. Proyeksi kekuatan regional/global; pengamanan kepentingan strategis dan sumber daya.
Tata Kelola Transparan, partisipatif, inklusif terhadap kepentingan lokal. Otoritatif, didominasi oleh kepentingan eksternal/donor; kurangnya keterlibatan pembuat kebijakan lokal.
Risiko Keamanan Fokus pada keamanan manusia (human security) dan demiliterisasi. Peningkatan kehadiran militer, risiko penggunaan ganda (dual-use), eskalasi ketegangan perbatasan.
Pendanaan Ideal MDBs/IFIs dengan pengamanan yang ketat (safeguards) dan fokus pada keberlanjutan. Pendanaan bilateral/negara-ke-negara (state-to-state) yang sering kali kurang mematuhi kebijakan perlindungan sosial/lingkungan.

Studi Kasus Kritis: China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) di Gilgit-Baltistan

Komplikasi Sengketa Teritorial dan Kedaulatan

China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) berfungsi sebagai studi kasus utama untuk memahami dilema koridor di wilayah sengketa. Koridor ini melintasi Gilgit-Baltistan (GB), sebuah wilayah yang dikuasai oleh Pakistan tetapi secara historis diklaim oleh India (bagian dari sengketa Kashmir).

Investasi infrastruktur dan ekonomi yang masif di bawah CPEC, seperti pembangunan jaringan jalan dan pelabuhan, semakin memperumit sengketa teritorial yang telah berlangsung sejak 1947. Integrasi CPEC ke dalam hubungan Sino-Pakistan telah memperkenalkan dimensi geopolitik baru, mengubah dinamika konflik dengan menempatkan Tiongkok sebagai pemangku kepentingan kritis. Hal ini secara inheren memperkuat posisi Pakistan atas wilayah tersebut, yang secara langsung dilihat oleh India sebagai pelanggaran terhadap klaim kedaulatan mereka. Ketegangan ini tercermin dalam dinamika konflik regional yang memuncak, termasuk tindakan sepihak India dan eskalasi operasi militer di Kashmir.

Dilema Penggunaan Ganda (Dual-Use) dan Militerisasi

Salah satu kekhawatiran terbesar mengenai CPEC adalah dugaan penggunaan ganda yang meluas, di mana infrastruktur sipil juga melayani tujuan militer Tiongkok dan Pakistan. Proyek ini, yang merupakan bagian dari inisiatif Belt and Road (BRI) yang lebih luas, telah dicurigai sebagai platform untuk mengembangkan pengaruh dan kekuatan militer Tiongkok secara global.

Bukti militerisasi sangat jelas. Untuk kepentingan CPEC, Tiongkok telah membentuk Divisi Keamanan Khusus yang mengerahkan 150.000 tentara yang dirotasikan di dalam dan di luar Pakistan, tujuannya adalah memberikan keamanan untuk proyek pembangunan. Lebih lanjut, terdapat laporan mengenai pengembangan pangkalan udara dan laut di Jiwani, Provinsi Baluchistan, sebuah wilayah yang rawan konflik, yang meningkatkan kekhawatiran strategis. Dokumen juga menunjukkan proposal untuk membangun zona ekonomi khusus yang akan digunakan untuk memproduksi pesawat tempur, sistem navigasi, dan peralatan keras militer lainnya—sebuah aplikasi militer yang eksplisit.

Penggunaan ganda ini mempercepat transfer teknologi komersial-militer, memperkuat industri pertahanan. Meskipun pejabat Pakistan menepis laporan ini sebagai “propaganda Barat” yang menggunakan pola pikir zero-sum game , temuan ini menegaskan bahwa proyek infrastruktur raksasa ini memiliki aplikasi militer yang disengaja. Karakteristik ini mengubah aset ekonomi menjadi aset strategis, secara langsung meningkatkan risiko eskalasi militer dan memproyeksikan kehadiran militer Tiongkok, yang dilihat sebagai ancaman oleh kekuatan regional lain.

Dampak Ekonomi dan Sosial Lokal: Kesenjangan Inklusivitas

Meskipun CPEC menjanjikan aliran perdagangan, peningkatan pariwisata, dan pembangunan industri , manfaat ekonomi dan sosialnya bagi masyarakat lokal di Gilgit-Baltistan masih jauh dari inklusif. Wilayah tersebut beroperasi tanpa memengaruhi keputusan kebijakan untuk CPEC, menciptakan marginalisasi politik dan ekonomi.

Pembangunan di wilayah periferi seperti GB sering mengalami perubahan struktural. Kegagalan untuk menerapkan kebijakan ekonomi yang inklusif, platform pembangunan berkelanjutan, dan perlindungan pemeliharaan budaya dapat menghasilkan ketegangan atau interaksi budaya yang tidak jelas di masa depan. Untuk mencapai keberlanjutan yang sejati, manfaat CPEC harus didistribusikan secara adil di antara semua pemangku kepentingan, yang mana saat ini terhambat oleh kurangnya sistem tata kelola yang jelas dan partisipatif di wilayah yang disengketakan tersebut.

Tata Kelola dan Pendanaan: Peran Institusi Multilateral

Kebijakan Pengamanan (Safeguard Policy) Bank Pembangunan Multilateral (MDB)

Institusi keuangan pembangunan multilateral (IFIs) seperti Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) beroperasi dengan mandat dan kerangka kerja yang lebih hati-hati di wilayah sensitif. Bank Dunia, misalnya, memiliki Kebijakan Operasional Khusus (OP 7.60) untuk proyek di wilayah sengketa.

Prinsip inti OP 7.60 adalah non-prasangka (non-prejudice). Kebijakan ini menyatakan bahwa Bank dapat mendukung proyek di wilayah sengketa hanya jika pemerintah yang berkepentingan setuju bahwa proyek tersebut dapat dilanjutkan tanpa merugikan klaim kedaulatan pihak lain. Tujuan kebijakan ini adalah menghindari kompromi terhadap posisi Bank atau negara-negara yang bersangkutan, mengingat proyek-proyek tersebut dapat menimbulkan masalah pelik yang memengaruhi hubungan antar negara tetangga.

ADB juga memiliki Kebijakan Upaya Perlindungan (Safeguard Policy Statement) untuk memastikan perlindungan lingkungan dan sosial dalam proyek yang didanai. Selain itu, bank pembangunan multilateral (MDB) bekerja sama dengan lembaga pembiayaan pembangunan nasional (DFI) untuk memobilisasi pendanaan. Penting untuk dicatat bahwa DFI nasional memerlukan peningkatan kapasitas, kepastian kebijakan, dan mandat yang lebih luas untuk mengatasi tantangan dan meningkatkan mobilisasi pendanaan yang sensitif terhadap konflik dan iklim.

Risiko Pendanaan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Mega proyek infrastruktur yang sensitif secara geopolitik menuntut pertimbangan cermat mengenai biaya konstruksi, struktur pendanaan, risiko mata uang, dan tipe self-equity. Pendanaan yang bersumber dari skema bilateral (state-to-state), yang seringkali tidak terikat pada safeguard MDB, menimbulkan risiko yang lebih besar.

Kritik dari masyarakat sipil menunjukkan bahwa hutang Bank Dunia untuk proyek-proyek di Indonesia berpotensi melanggar safeguard Bank Dunia sendiri dan terindikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Jika proyek yang didanai MDB pun dapat melanggar standar mereka sendiri, risiko dalam proyek bilateral yang kurang transparan jauh lebih besar. Proyek-proyek yang mendanai infrastruktur di wilayah sengketa tanpa mematuhi kerangka pengawasan yang ketat cenderung mengabaikan perlindungan sosial dan lingkungan, memperburuk ketidakadilan lokal.

Analisis Celah Tata Kelola (Governance Gap)

Kebijakan Safeguard MDB, khususnya OP 7.60, berfungsi sebagai standar tata kelola internasional yang gagal dipenuhi oleh proyek bilateral yang didorong oleh kepentingan geopolitik.

Kebijakan OP 7.60 dirancang untuk menghindari memihak dalam sengketa kedaulatan. Namun, proyek seperti CPEC secara eksplisit memperkuat klaim kedaulatan satu pihak (Pakistan atas Gilgit-Baltistan). Hal ini menunjukkan adanya “celah tata kelola” yang signifikan di mana aktor-aktor negara besar dapat menggunakan investasi infrastruktur strategis untuk memproyeksikan pengaruh, memicu eskalasi geopolitik, sambil menghindari pengawasan dan pertanggungjawaban standar MDB. Celah ini adalah inti dari masalah keamanan koridor, karena kurangnya transparansi dan kepatuhan terhadap prinsip non-prasangka secara langsung meningkatkan risiko eskalasi militer dan pelanggaran hak lokal. Untuk memitigasi risiko ini, komunitas internasional harus menuntut agar semua proyek di wilayah sengketa, terlepas dari sumber pendanaannya, mematuhi prinsip non-prasangka OP 7.60.

Table 2: Analisis Kebijakan Pendanaan Proyek Infrastruktur di Wilayah Sengketa

Institusi/Kerangka Kebijakan Utama Terkait Sengketa Fokus Risiko Utama Kepatuhan Proyek Bilateral (CPEC)
Bank Dunia (WB) OP/BP 7.60 (Projects in Disputed Areas). Risiko Kedaulatan dan Geopolitik (Non-Prasangka). Rendah (CPEC secara eksplisit memperkuat klaim satu pihak).
ADB/IFIs Safeguard Policy Statement. Risiko Lingkungan, Sosial, dan HAM. Moderat hingga Rendah (tergantung implementasi dan kritisisme masyarakat sipil).
Bilateral/State-to-State Beragam/Non-Transparan (Contoh: Tiongkok). Risiko Penggunaan Ganda dan Transparansi Utang. Sangat Rendah (Tidak ada mekanisme safeguard independen).

Merancang Infrastruktur Perdamaian (Peace Infrastructure Framework)

Prinsip Desain Inklusif dan Keberlanjutan

Infrastruktur Perdamaian (Peace Infrastructure) harus dirancang dengan prinsip inklusivitas dan keberlanjutan yang kuat. Desain ini harus didasarkan pada kriteria keberlanjutan lingkungan dan sosial, serta mengintegrasikan rencana investasi yang memandu investasi publik dan swasta untuk jangka panjang.

Agar pembangunan berjangka panjang dan efektif, kondisi sosioekonomi masyarakat lokal harus dipertimbangkan dan didukung secara aktif. Prinsip inklusivitas politik sangat penting; pemangku kepentingan lokal, terutama di wilayah yang terpinggirkan seperti Gilgit-Baltistan, harus diberi peran untuk memengaruhi keputusan kebijakan dan memastikan manfaat didistribusikan secara adil. Program-program pembangunan berkelanjutan harus mencakup aspek sosioekonomi, seperti pemberdayaan wanita dan peningkatan pendapatan lokal di negara berkembang.

Memitigasi Risiko Penggunaan Ganda (Dual-Use)

Mitigasi risiko dual-use memerlukan pergeseran paradigma keamanan. Ini membutuhkan demiliterisasi pemikiran keamanan, dengan fokus utama pada perlindungan hak asasi manusia dan keamanan warga negara, serta penerapan kontrol sipil yang demokratis atas sektor keamanan. Proyek infrastruktur yang sensitif konflik tidak boleh dilihat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) strategis yang kritis.

Keterlibatan militer dalam pembangunan, seperti sinergi antara Kementerian PU dan TNI AD di Indonesia, dapat mendukung konektivitas dan ketahanan air. Namun, peran ini harus di bawah pengawasan sipil yang ketat dan bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat luas, bukan untuk memperkuat kemampuan militer strategis. Untuk membatasi risiko transfer teknologi komersial-militer, transparansi penuh pada kontrak infrastruktur besar harus menjadi standar, termasuk mekanisme pengawasan internasional.

Kerangka Kerja Keberlanjutan dan Advokasi Jangka Panjang

Pembangunan yang bertujuan untuk resolusi konflik dan perdamaian harus didukung oleh strategi jangka panjang. Ini melibatkan program penjangkauan yang luas dan komunikasi yang efektif untuk meningkatkan pemahaman tren konflik dan mempromosikan perubahan praktis dalam mengatasi konflik.

Salah satu komponen kunci Peace-Building adalah keadilan sosial dan pengakuan hak. Pembangunan koridor harus secara eksplisit mengakui dan memayungi masyarakat adat di wilayah perbatasan, mengakui hak mereka atas lahan dan sumber daya, sebagai bagian penting dari upaya membangun perdamaian yang adil. Strategi ini memastikan bahwa pembangunan fisik selaras dengan rekonstruksi struktur sosial dan politik yang berkelanjutan.

Pergeseran Fokus: Dari Konektivitas Fisik ke Institusional

Transformasi koridor transportasi menjadi Peace Infrastructure yang sejati memerlukan perubahan fokus fundamental dari sekadar “konektivitas fisik” (pembangunan jalan dan rel) menjadi “konektivitas institusional dan sosial” (tata kelola, keadilan distributif, dan hak asasi manusia). Konektivitas fisik yang kuat di wilayah sengketa, jika tidak dibarengi dengan tata kelola yang kuat, hanya memfasilitasi pergerakan militer dan sumber daya, yang dapat memperburuk konflik.

Oleh karena itu, desain Peace Infrastructure harus menjadikan prinsip inklusivitas lokal  dan demiliterisasi  sebagai Indikator Kinerja Utama (KPI), bukan sekadar volume perdagangan. Institusi MDB dan pemerintah harus mensyaratkan pelatihan dan keterlibatan tenaga kerja lokal yang substansial, serta mekanisme pembagian manfaat yang jelas melalui zona ekonomi khusus (SEZ) , untuk memastikan keadilan sosial dan mencegah ketegangan sosial-budaya di masa depan. Hal ini menjamin bahwa pembangunan menciptakan hubungan baru yang tahan lama di antara pihak-pihak yang berkonflik, alih-alih hanya melayani kepentingan eksternal.

Table 3: Prinsip Utama Desain dan Implementasi Infrastruktur Perdamaian (Peace Infrastructure)

Prinsip Pilar Deskripsi dan Kriteria Kinerja Kritis Mitigasi Risiko Utama
Kedaulatan & Non-Prasangka Kepatuhan mutlak terhadap prinsip non-prasangka (OP 7.60). Semua pihak yang bersengketa harus setuju bahwa proyek tidak memvalidasi klaim kedaulatan mana pun. Eskalasi Geopolitik, Komplikasi Sengketa Teritorial.
Inklusivitas Ekonomi (Equity) Mekanisme pembagian manfaat yang jelas (SEZ, tenaga kerja) yang melibatkan komunitas periferi. Mencegah marginalisasi politik Gilgit-Baltistan. Ketidakpuasan Lokal, Konflik Sosial-Budaya.
Transparansi & Anti-Militerisasi Kontrol sipil demokratis, audit proyek, dan penolakan provisi dual-use yang jelas. Melindungi hak asasi manusia dalam proses keamanan. Penggunaan Ganda, Peningkatan Kehadiran Militer (Divisi Keamanan Khusus).
Keberlanjutan Sosial (Peace-Building) Fokus pada rekonstruksi struktur sosial. Pemberdayaan wanita dan perlindungan masyarakat adat di perbatasan. Kegagalan Perdamaian Jangka Panjang, Kehancuran Struktur Sosial.

Kesimpulan

Analisis menunjukkan bahwa koridor transportasi di wilayah perbatasan yang bersengketa adalah aset geopolitik dengan risiko yang melekat. Meskipun secara teoretis koridor ini dapat berfungsi sebagai katalisator integrasi ekonomi dan budaya , dalam praktiknya, skema pendanaan bilateral besar yang didorong oleh kepentingan strategis (seperti CPEC) cenderung memicu eskalasi. Kasus Gilgit-Baltistan menegaskan bahwa ketika proyek mengabaikan inklusivitas lokal  dan secara eksplisit mendukung klaim kedaulatan satu pihak melalui militaritas dan dual-use , mereka gagal total dalam kerangka Peace-Building.

Institusi multilateral menawarkan standar tata kelola yang esensial (OP 7.60) untuk memastikan proyek berjalan tanpa merugikan sengketa kedaulatan. Namun, celah tata kelola yang memungkinkan aktor bilateral menghindari standar ini adalah ancaman utama bagi stabilitas regional. Keberhasilan perdamaian tidak diukur dari panjang jalan yang dibangun, tetapi dari seberapa adil manfaat didistribusikan dan seberapa efektif demiliterisasi pemikiran keamanan dapat ditegakkan.

Rekomendasi Kebijakan untuk Negara Pembangun (Host Countries)

  1. Penguatan Mandat DFI Nasional untuk Inklusivitas:Pemerintah negara-negara transit harus memperkuat mandat lembaga pembiayaan pembangunan nasional (DFI) mereka untuk tidak hanya memobilisasi pendanaan tetapi juga untuk secara eksplisit mengatasi tantangan sosial-ekonomi di wilayah konflik. Kebijakan harus mengamanatkan pengembangan keterampilan dan dukungan pendapatan bagi masyarakat lokal sebagai komponen wajib proyek.
  2. Harmonisasi Regulasi Lintas Batas:Memastikan bahwa koridor subregional (seperti IMT-GT atau GMS) dikembangkan dalam kerangka kerja yang sensitif konflik, menghilangkan kesenjangan konektivitas yang memperburuk isolasi di wilayah perbatasan yang terabaikan. Pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan harus secara eksplisit bertujuan untuk memayungi hak masyarakat adat dan memastikan keamanan manusia.

Rekomendasi Kebijakan untuk Institusi Keuangan Multilateral (MDBs/IFIs)

  1. Penegakan Universal Prinsip Non-Prasangka:MDB harus bekerja untuk menjadikan prinsip non-prasangka (OP 7.60) sebagai norma global, menuntut agar semua proyek besar, terlepas dari sumber pendanaan, yang melintasi wilayah sengketa mematuhi standar ini. Mekanisme pemantauan independen harus dibentuk untuk mengaudit kepatuhan dan mencegah pelanggaran safeguard MDB yang berpotensi menyebabkan pelanggaran HAM.
  2. Penolakan Kemitraan Dual-Use:MDB harus meninjau ulang kebijakan co-financing dan secara tegas menolak kemitraan dengan donor atau lembaga yang terbukti menggunakan infrastruktur yang didanai untuk tujuan militer, terutama yang melibatkan kebijakan transfer teknologi komersial-militer.

Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang (Kerangka Peace Infrastructure)

  1. Penerapan Kontrol Sipil Demokratis:Memperkuat pengawasan sipil dan demiliterisasi pemikiran keamanan di wilayah perbatasan. Keterlibatan militer dalam pembangunan (sinergi PU-TNI) harus difokuskan pada ketahanan sipil, bukan pada proyeksi kekuatan militer strategis, dan harus transparan serta bertanggung jawab kepada masyarakat sipil.
  2. Integrasi Hak Asasi Manusia sebagai KPI Proyek:Desain infrastruktur harus mengintegrasikan perlindungan HAM dan keamanan warga negara sebagai metrik kinerja inti, sejalan dengan tuntutan reformasi mekanisme resolusi sengketa internasional. Peace Infrastructure harus diukur berdasarkan kemampuan proyek untuk membangun hubungan baru yang tahan lama di antara pihak-pihak yang berkonflik, bukan hanya dari volume perdagangan yang dihasilkan. Strategi ini harus menjadi bagian dari upaya jangka panjang (advokasi dan komunikasi) untuk mempromosikan perubahan kebijakan praktis.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

83 − = 73
Powered by MathCaptcha