Latar Belakang Sejarah dan Kegagalan Paradigma “Tanah untuk Perdamaian”

Normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan negara-negara Arab dalam kerangka Abraham Accords pada tahun 2020 menandai pemutusan substansial dari konsensus regional yang berlaku selama beberapa dekade. Secara historis, sebagian besar negara Arab menolak mengakui Israel setelah pendiriannya pada tahun 1948, didorong oleh solidaritas terhadap perjuangan Palestina dan penolakan terhadap pendudukan. Preseden normalisasi memang telah ada—yaitu Perjanjian Camp David antara Mesir dan Israel pada tahun 1979, diikuti oleh Perjanjian Wadi Araba dengan Yordania pada tahun 1994. Namun, kedua kesepakatan tersebut terjadi sebagai hasil dari konflik besar dan berfokus pada pertukaran wilayah atau perjanjian perbatasan.

Perjanjian Abraham, yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS), menawarkan paradigma baru. Nama “Abraham” dipilih karena merujuk pada tokoh suci bersama dalam tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam, yang melambangkan persaudaraan ketiga agama. Pendekatan ini secara efektif mengesampingkan syarat tradisional Arab, yaitu resolusi status Palestina yang komprehensif (paradigma “Tanah untuk Perdamaian”) sebagai prasyarat normalisasi. Pergeseran ini menunjukkan bahwa soliditas Arab yang didasarkan pada isu Palestina telah melemah di mata elit politik, membuka jalan bagi pendekatan Realpolitik yang mengutamakan kepentingan nasional dan regional yang mendesak.

Definisi dan Cakupan Abraham Accords (2020-sekarang)

Abraham Accords adalah serangkaian perjanjian yang dimulai pada tahun 2020, yang bertujuan untuk normalisasi penuh hubungan diplomatik antara Israel dan negara-negara Arab tertentu. Negara-negara penandatangan inti adalah Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko. Negara-negara ini menjadi negara Arab pertama dalam beberapa dekade yang menjalin hubungan resmi dengan Israel setelah Mesir dan Yordania.

Tujuan dan prinsip utama dari kesepakatan ini adalah normalisasi hubungan diplomatik dan ekonomi secara menyeluruh, serta kerja sama substantif di berbagai bidang, termasuk teknologi, keamanan, pariwisata, dan pendidikan. Secara politik, Accords mencakup penangguhan (sementara) aneksasi wilayah Tepi Barat oleh Israel. Konsesi ini merupakan tuntutan spesifik dari UEA untuk membenarkan normalisasi. Di balik tujuan yang dideklarasikan, perjanjian ini didorong oleh kalkulasi strategis regional, terutama pembentukan aliansi strategis melawan Iran, yang menjadi kepentingan regional mendasar bagi negara-negara Teluk.

Kerangka Analisis: Dari Balance of Power menuju Balance of Threats

Untuk memahami terjadinya normalisasi ini di tengah nasib Palestina yang belum jelas, analisis harus menggunakan kerangka Balance of Threats yang dikombinasikan dengan perspektif Konstruktivisme. Dalam pandangan ini, aliansi regional tidak hanya dibentuk berdasarkan kekuatan relatif (keseimbangan kekuatan), tetapi berdasarkan ancaman yang dipersepsikan secara bersama (balance of threats).

Temuan penting menunjukkan bahwa normalisasi didorong oleh “gagasan bersama” yang disepakati oleh AS, Israel, dan negara-negara Timur Tengah yang terlibat. Gagasan ini menyatakan bahwa ancaman regional utama yang destabilisasi berasal dari Iran. Persepsi ancaman bersama terhadap hegemoni Iran ini berfungsi sebagai rasionalisasi utama bagi Israel dan negara-negara Arab untuk menormalisasi hubungan. Tujuannya adalah untuk mendelegitimasi dominasi Iran di kawasan tersebut melalui pembentukan blok yang bersatu dan memiliki kapabilitas.

Perkembangan ini terjadi di tengah kegagalan institusional regional yang signifikan. Organisasi mapan seperti Liga Arab dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dinilai gagal memajukan kerja sama regional yang berkelanjutan pasca Arab Uprisings 2011. Kegagalan organisasi-organisasi yang didasarkan pada identitas Arab dan prinsip-prinsip kolektif ini menciptakan kekosongan keamanan. Akibatnya, negara-negara Arab moderat beralih dari forum multilateral yang ideologis ke aliansi bilateral atau trilateral yang fungsional dan ad hoc (seperti Abraham Accords atau I2U2). Fenomena ini menunjukkan pergeseran dari regionalisme berbasis identitas ke regionalisme yang didorong oleh kepentingan, yang menghasilkan “aliansi cair” (liquid alliances) yang lebih fleksibel dan tidak stabil. Abraham Accords adalah manifestasi paling sukses dari aliansi baru yang didorong oleh kebutuhan mendesak akan keamanan rezim.

Motif dan Kalkulus Strategis Para Pihak Penandatangan

Normalisasi hubungan dalam Abraham Accords tidak didorong oleh altruisme, melainkan oleh perhitungan pragmatis yang mendalam, di mana setiap pihak memiliki serangkaian kepentingan strategis, ekonomi, dan domestik yang ingin dicapai melalui kesepakatan tersebut.

Israel: Integrasi, Legitimasi, dan Keamanan

Bagi Israel, Abraham Accords mewakili realisasi dari “mimpi perdamaian sejati, penerimaan timbal balik,” dan upaya bersama untuk melawan musuh-musuh bersama, terutama Iran. Kesepakatan ini membuka kemungkinan baru di banyak bidang, mulai dari perdagangan dan pariwisata hingga inovasi dan investasi. Secara geopolitik, Israel berhasil mengamankan posisinya sebagai “bagian integral dan permanen dari Timur Tengah”.

Signifikansi geopolitik normalisasi ini sangat besar, karena menjadi jalan bagi Israel untuk mencapai cita-cita ideologi The Greater Israel—menjadi negara yang besar, disegani, dan maju tanpa batas di kawasan itu. Melalui Accords, Israel dapat mengalihkan fokus dari manajemen konflik yang memakan energi (isu Palestina) ke pembangunan aliansi fungsional (melawan Iran), memperkuat posisi strategisnya tanpa harus membayar harga politik yang tinggi, seperti penarikan permanen dari Tepi Barat. Analisis menunjukkan bahwa Israel menyadari bahwa keamanan sejati tidak hanya berasal dari kekuatan militer, tetapi dari “mitra tepercaya, kepentingan bersama, dan komitmen terhadap pertumbuhan” yang ditawarkan oleh aliansi regional.

Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain: Pragmatisme Ekonomi dan Kebutuhan Keamanan Kontra-Iran

Bagi negara-negara Teluk, terutama UEA dan Bahrain, normalisasi dipandang sebagai cara untuk mengatasi ketegangan regional dan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan. Motif keamanan sangat menonjol; mereka membutuhkan aliansi strategis formal melawan Iran, yang dianggap sebagai ancaman esensial terhadap stabilitas regional dan domestik. Kerja sama pertahanan dan transfer teknologi keamanan siber merupakan fokus utama.

Di sisi lain, UEA juga menuntut konsesi politik yang bersifat simbolis namun penting: penangguhan aneksasi wilayah Tepi Barat oleh Israel. Walaupun ini hanyalah penangguhan sementara, konsesi tersebut memungkinkan kepemimpinan UEA untuk membenarkan normalisasi kepada publik sebagai langkah yang berhati-hati, yang masih menyisakan ruang untuk mendukung Palestina.

Sudan dan Maroko: Imbalan Politik dan Pengurangan Isolasi

Motivasi Sudan dan Maroko bersifat sangat transaksional, menunjukkan bahwa AS menggunakan normalisasi sebagai alat untuk menukar pengakuan diplomatik dengan imbalan kebijakan luar negeri AS yang sangat spesifik.

Dalam studi kasus Sudan, normalisasi adalah respons langsung terhadap kondisi domestik yang terpuruk. Negara tersebut menderita instabilitas politik dan perekonomian yang kolaps, dengan warisan utang mencapai $60 miliar AS. Sebelum normalisasi, negara donor menyepakati untuk menghapus utang Sudan sebesar $14 miliar dari total utang luar negeri. Normalisasi berfungsi sebagai jalan keluar dari isolasi internasional dan sebagai prasyarat untuk mendapatkan bantuan finansial yang sangat dibutuhkan.

Demikian pula, Maroko menggunakan Accords untuk mendapatkan pengakuan AS atas kedaulatannya di Sahrawi Barat. Kasus Sudan dan Maroko secara kolektif memperkuat pemahaman bahwa normalisasi ini adalah komodifikasi pengakuan diplomatik, sebuah transaksi quid pro quo yang dimediasi oleh AS, jauh dari sekadar perjanjian perdamaian tradisional.

Tabel 1: Analisis Komparatif Motif Negara Penandatangan Abraham Accords

Negara Penandatangan Motif Keamanan Primer Motif Ekonomi/Domestik Kunci Konsesi dari Israel/AS Cakupan Kerjasama Awal
Uni Emirat Arab (UEA) Menghadapi Ancaman Iran Hub Investasi/Teknologi Penangguhan Aneksasi Tepi Barat Perdagangan, Keamanan Siber, Energi
Bahrain Ketergantungan pada Saudi/AS, Ancaman Iran Peningkatan Dukungan Keamanan AS Tidak ada konsesi publik signifikan Keamanan Militer, Intelijen
Sudan Pengurangan Isolasi, Instabilitas Politik Penghapusan Utang ($14 Miliar) Pencabutan dari Daftar Sponsor Terorisme Ekonomi, Bantuan Teknis
Maroko Pengakuan Kedaulatan Sahrawi Barat oleh AS Pariwisata, Teknologi Pertahanan Pengakuan AS atas Kedaulatan Militer, Persenjataan

Peran Fasilitator Amerika Serikat

AS memainkan peran penting sebagai fasilitator utama melalui pendekatan geopolitik. Kebijakan luar negeri AS memprioritaskan penyatuan front kontra-Iran dan mengintegrasikan sekutu MENA ke dalam agenda keamanan regional. Dengan menawarkan imbalan politik yang substansial (seperti bantuan utang atau pengakuan kedaulatan), AS berhasil mendorong negara-negara yang sebelumnya enggan untuk mengambil langkah diplomatik berisiko ini.

Dampak Praktis dan Koridor Kerjasama Baru

Dampak Abraham Accords telah meluas jauh melampaui deklarasi diplomatik, menciptakan integrasi ekonomi dan keamanan yang mendalam dan mengubah hubungan bilateral menjadi aliansi yang fungsional.

Keberhasilan Ekonomi dan Integrasi Deep State

Kerja sama ekonomi, khususnya antara UEA dan Israel, adalah kisah sukses paling signifikan dari Accords. Hubungan kedua negara telah mendorong peningkatan substansial di sektor perdagangan, investasi, dan pariwisata.

Indikator kinerja utama menunjukkan pertumbuhan yang eksponensial dalam waktu singkat. Total perdagangan barang antara Israel dan UEA mencapai lebih dari $3.2 miliar pada tahun 2023. Secara kumulatif, total perdagangan sejak 2020 hingga 2024 telah melampaui $8 miliar. Selain itu, investasi langsung antara kedua negara telah mencapai $10 miliar sejak 2022. Integrasi ini diperkuat oleh konektivitas people-to-people, dengan lebih dari 2 juta warga Israel bepergian ke UEA sejak normalisasi, didukung oleh 49 penerbangan komersial mingguan. Angka-angka ini membuktikan bahwa Accords telah berhasil melampaui simbolisme politik dan menciptakan fondasi ekonomi yang kuat.

Tabel 2: Indikator Kinerja Utama (KPI) Kerjasama Ekonomi Israel-UEA (2020-2024)

Indikator KPI Data Kuantitatif Sumber Data Kunci Implikasi Strategis
Total Perdagangan Bilateral (Barang) Melebihi $3.2 Miliar/tahun (2023) Kecepatan Integrasi Ekonomi Tinggi
Total Perdagangan Bilateral (2020-2024) Lebih dari $8 Miliar Pertumbuhan Eksponensial dalam Waktu Singkat
Total Investasi Langsung Mencapai $10 Miliar (Sejak 2022) Kepercayaan Jangka Panjang Sektor Swasta
Jumlah Wisatawan Israel ke UEA Lebih dari 2 Juta (Sejak Normalisasi) Konektivitas People-to-People Signifikan

Transformasi Kerjasama Keamanan dan Militer

Di bidang keamanan, Abraham Accords mendorong potensi aliansi keamanan baru dan kerja sama pertahanan yang lebih erat di Timur Tengah. Kerja sama militer meliputi perjanjian keamanan bilateral, seperti antara Israel dan Maroko pada tahun 2021, dan antara Israel dan Bahrain pada tahun 2022.

Implikasi paling jelas adalah dalam akuisisi militer dan latihan bersama. UEA dan Maroko telah mulai membeli persenjataan dari Israel, sementara Bahrain dan UEA telah berpartisipasi dalam latihan angkatan laut bersama dengan Israel. Kerja sama ini juga mencakup transfer teknologi keamanan siber.

Penting untuk dicatat bahwa kerja sama militer ini tidak semata-mata ditujukan untuk menghadapi Iran. Transfer teknologi keamanan dan pembelian senjata oleh negara-negara Arab penandatangan juga berfungsi untuk memperkuat keamanan internal rezim mereka. Langkah ini memberikan legitimasi kepada rezim untuk menjaga stabilitas domestik di tengah sentimen publik yang cenderung anti-normalisasi, menunjukkan prioritas ganda: keamanan eksternal (melawan Iran) dan keamanan internal (kontrol rezim).

Multilateralisme yang Diperluas: Pembentukan I2U2

Normalisasi yang dihasilkan oleh Abraham Accords memiliki dampak geopolitik melampaui MENA, yang paling nyata adalah pembentukan I2U2 (India, Israel, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat) pada tahun 2022. Pembentukan kelompok ini didasarkan pada konsep strategis “Indo-Abrahamic Alliance” yang menggarisbawahi perlunya keseimbangan kekuatan di Asia Barat dan menghubungkan dinamika regional dengan Indo-Pasifik.

I2U2 adalah platform yang didorong oleh pragmatisme ekonomi, kolaborasi multilateral, dan otonomi strategis. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi proyek-proyek yang dapat dibiayai untuk menangani tantangan global, dengan fokus di Timur Tengah, Afrika Utara, dan sekitarnya. Kelompok ini berfungsi sebagai jembatan yang secara efektif mengintegrasikan geopolitik Asia Barat ke dalam dinamika Indo-Pasifik, menandakan bahwa Abraham Accords berfungsi sebagai mekanisme strategis AS untuk membangun aliansi global yang fleksibel (flexible grouping) guna menghadapi tantangan geopolitik yang lebih luas.

Perubahan Peta Aliansi Regional (New Regional Architecture)

Abraham Accords telah berfungsi sebagai katalis untuk mendefinisikan kembali arsitektur keamanan regional Timur Tengah, menggantikan sistem aliansi tradisional yang terfragmentasi dengan poros baru yang didorong oleh ancaman bersama.

Konteks Pra-Accords: Fragmentasi dan Liquid Alliances

Sebelum tahun 2020, kawasan MENA dicirikan oleh “aliansi cair” (liquid alliances) yang informal dan tidak stabil, sebuah hasil dari kegagalan organisasi regional tradisional pasca Arab Uprisings 2011. Liga Arab, meskipun merupakan organisasi regional tertua di dunia, jarang memainkan peran dalam masalah keamanan dan kerja sama regional, menunjukkan terbatasnya regionalisme berbasis institusi. Normalisasi Arab-Israel menjadi manifestasi paling sukses dari upaya untuk membangun aliansi fungsional baru yang didorong oleh kebutuhan keamanan rezim dan pergeseran ancaman bersama (Iran).

Munculnya Poros Moderat Baru: Israel-Arab sebagai Blok Kontra-Iran

Abraham Accords telah membentuk “aliansi negara-negara moderat yang percaya pada perdamaian”. Poros baru ini secara terbuka bertujuan untuk mengimbangi dan mendelegitimasi dominasi Iran. Melalui Accords, terjadi pergeseran paradigma, di mana Israel diakui oleh negara-negara penandatangan sebagai bagian integral dan permanen dari Timur Tengah. Aliansi baru ini menawarkan potensi kerja sama di berbagai bidang, termasuk pertahanan udara dan bantuan kemanusiaan, terutama setelah konflik besar seperti yang terjadi pada Oktober 2023.

Dinamika Non-Signatories Kunci

Arab Saudi: The Critical Gatekeeper

Arab Saudi, meskipun tidak menjadi penandatangan Accords, memegang kunci bagi masa depan inisiatif ini. Riyadh menggunakan pengalaman UEA untuk menghindari jebakan dan kesalahan yang mungkin terjadi dalam normalisasi awal. Arab Saudi secara efektif berfungsi sebagai penentu apakah normalisasi akan memperoleh legitimasi regional yang luas atau tetap terbatas pada aliansi ad hoc.

Apabila Arab Saudi memutuskan untuk menormalisasi—yang akan menuntut konsesi signifikan dari Israel terkait isu Palestina—hal itu akan memberikan dukungan psikologis yang besar bagi negara-negara Muslim lainnya untuk mengikuti jejak. Kegagalan Saudi untuk menormalisasi, atau jika normalisasi terjadi tanpa konsesi substantif terkait Palestina, akan membuat Abraham Accords rentan terhadap kritik ideologis dan gejolak publik. Dengan demikian, posisi Riyadh adalah penentu legitimasi yang menentukan prospek jangka panjang arsitektur keamanan regional baru ini.

Iran dan Turki

Iran secara eksplisit memandang Abraham Accords sebagai upaya yang ditujukan untuk mendelegitimasi hegemoni mereka di kawasan. Dari sudut pandang Teheran, normalisasi Arab-Israel memperkuat front ancaman regional. Sementara itu, meskipun tidak ada kritik resmi langsung yang terperinci dalam dokumen yang tersedia, normalisasi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri Turki yang secara tradisional menentang normalisasi penuh tanpa resolusi bagi Palestina.

Potensi Ekspansi: Aksesi Negara Non-MENA

Abraham Accords juga menunjukkan potensi ekspansi geografis melampaui kawasan inti MENA. Aksesi Kazakhstan, sebuah negara mayoritas Muslim di Asia Tengah, meskipun Kazakhstan sudah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel selama lebih dari tiga puluh tahun, merupakan kemenangan simbolis dan strategis bagi AS.

Keputusan Kazakhstan untuk bergabung menunjukkan bahwa Accords telah bertransformasi menjadi platform diplomatik AS untuk menggalang komunitas negara Muslim yang ingin memperkuat hubungan dengan AS dan Israel, diversifikasi kemitraan luar negeri. Ini menegaskan bahwa “merek” Abraham Accords kini meluas ke Asia Tengah, memperkuat narasi bahwa normalisasi terus maju meskipun terjadi konflik Israel-Palestina yang intens.

Tantangan Keberlanjutan dan Krisis Palestina

Terlepas dari keberhasilan ekonomi dan keamanan, Abraham Accords menghadapi tantangan keberlanjutan yang signifikan, yang berpusat pada konflik Israel-Palestina dan ketidakpuasan opini publik.

Isu Keadilan: Kritik Palestina dan Pengkhianatan

Bagi Palestina, Abraham Accords adalah “pengkhianatan” karena negara-negara Arab menormalisasi hubungan tanpa mencapai penyelesaian status Palestina. Normalisasi ini dipandang sebagai penguatan posisi Israel, yang pada akhirnya mempersulit perjuangan Palestina untuk kemerdekaan. Secara psikologis, normalisasi berisiko mengaburkan pandangan generasi masa depan bangsa Arab terhadap perjuangan Palestina, seolah-olah isu tersebut tidak lagi menjadi prioritas sentral.

Gejolak Opini Publik dan Dampak Pasca-Oktober 2023

Tantangan terbesar bagi keberlanjutan Accords adalah diskoneksi antara elite penguasa dan opini publik. Dukungan publik untuk normalisasi telah runtuh secara dramatis menyusul konflik Gaza pada Oktober 2023. Data polling menunjukkan bahwa di negara-negara penandatangan sekalipun, dukungan berada pada tingkat yang sangat rendah, seringkali di bawah 13%. Di Maroko, dukungan turun tajam dari 31% pada tahun 2022 menjadi 13% setelah Oktober 2023. Sementara itu, di negara-negara Teluk seperti UEA, Bahrain, dan Arab Saudi, mayoritas warga memiliki pandangan yang tidak menguntungkan terhadap Accords.

Walaupun demikian, data juga menunjukkan kontradiksi halus: meskipun penolakan terhadap normalisasi politik formal tinggi, ada sejumlah besar publik (misalnya 40% di Arab Saudi) yang menyatakan persetujuan terhadap hubungan informal, seperti olahraga atau bisnis, dengan Israel. Ini menunjukkan ambivalensi publik yang harus dikelola oleh para pemimpin Arab.

Tabel 3: Perbandingan Dukungan Publik terhadap Normalisasi (Pra dan Pasca Konflik Gaza)

Negara Dukungan Normalisasi (Polling 2022) Dukungan Normalisasi (Polling Pasca-Okt 2023) Perubahan Utama (Net) Implikasi Stabilitas Accords
Maroko 31% 13% Penurunan Tajam (18 poin) Peningkatan Risiko Politik Domestik
UEA Terbagi (Sekitar 50% positif) Minoritas (Jauh di bawah 50%) Penurunan Signifikan Tuntutan Keseimbangan Kebijakan Luar Negeri
Arab Saudi (Potensi) Mayoritas Menentang Mayoritas Menentang, tapi 40% setuju Hub. Informal Ambivalensi Terhadap Hubungan Bisnis Negosiasi Saudi Diperlukan Konsesi Besar

Risiko Kebijakan Israel dan Berakhirnya “Fase Bulan Madu”

Ketegangan diplomatik telah meningkat karena tindakan Israel di Tepi Barat, termasuk pembangunan pemukiman dan kunjungan menteri ke kompleks Al-Aqsa di Yerusalem. Seorang analis menyatakan bahwa “fase bulan madu” Abu Dhabi dengan Israel secara efektif telah berakhir karena tindakan sayap kanan Israel yang tidak dapat diabaikan oleh UEA.

Kondisi ini menimbulkan krisis kredibilitas bagi rezim-rezim penandatangan. Para pemimpin Arab yang menormalisasi hubungan berargumen bahwa mereka memiliki jalur yang lebih baik untuk mendukung Palestina melalui hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, jika mereka tidak dapat menggunakan hubungan tersebut untuk menahan atau mengubah kebijakan Israel yang kontroversial—terutama di Tepi Barat—maka Abraham Accords akan kehilangan kredibilitasnya, tidak hanya di mata publik yang menentang, tetapi juga di mata elit regional lain (seperti KSA) yang sedang mempertimbangkan normalisasi. Hal ini mengubah risiko utama Accords dari ancaman eksternal (Iran) menjadi instabilitas domestik dan legitimasi rezim.

Keberlanjutan di Tengah Konflik

Meskipun terjadi ketegangan yang parah dan penurunan dukungan publik, negara-negara penandatangan tetap berkomitmen terhadap Abraham Accords dan belum menunjukkan keinginan untuk mundur atau memutuskan hubungan diplomatik. Mereka memilih untuk menggunakan jalur diplomatik yang ada untuk mendukung Palestina di belakang layar. Keberlanjutan Abraham Accords dalam jangka panjang akan sangat bergantung pada bagaimana para pemimpin ini berhasil menyeimbangkan kepentingan keamanan dan ekonomi mereka yang strategis dengan tuntutan moral dan politik dari populasi mereka di tengah konflik Israel-Palestina yang berkelanjutan.

Kesimpulan

Abraham Accords telah berhasil menciptakan normalisasi de jure dan kerja sama ekonomi serta keamanan yang substantif, mentransformasi hubungan bilateral secara signifikan dalam waktu yang sangat singkat. Perjanjian ini merupakan keberhasilan Realpolitik yang didorong oleh kepentingan bersama untuk melawan hegemoni Iran dan kebutuhan mendesak para penandatangan akan investasi, teknologi, dan dukungan AS. Accords telah membangun arsitektur regional baru yang fleksibel, seperti I2U2, yang menghubungkan Timur Tengah dengan dinamika geopolitik global.

Namun, kerentanan utama Accords terletak pada diskoneksi yang mengkhawatirkan antara elit dan masyarakat. Keengganan Israel untuk memberikan konsesi signifikan pada isu Palestina, ditambah dengan tindakan provokatif di Tepi Barat, telah menciptakan Achilles’ heel bagi aliansi. Selama isu Palestina tetap tidak terselesaikan dan publik Arab menolak normalisasi, stabilitas Accords akan terus berada di bawah risiko instabilitas domestik dan tekanan moral.

Proyeksi keberlanjutan Abraham Accords akan bergantung pada beberapa skenario:

  1. Skenario Optimis (Ekspansi dan Legitimasi): Skenario ini terjadi jika Arab Saudi setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, tetapi hanya dengan konsesi yang signifikan dari pihak Israel, seperti janji yang kredibel menuju solusi dua negara atau penghentian aktivitas di Tepi Barat. Normalisasi Saudi akan memberikan legitimasi yang luas dan dukungan psikologis yang diperlukan bagi Accords untuk menjadi dasar arsitektur keamanan regional yang dominan, meskipun sentimen publik tetap menentang.
  2. Skenario Stagnasi (Integrasi Elit vs. Isolasi Publik): Dalam skenario ini, negara-negara penandatangan mempertahankan hubungan inti (keamanan dan ekonomi) tetapi membekukan interaksi politik tingkat tinggi di depan umum. Fase “bulan madu” akan berakhir, dan pertumbuhan hubungan akan melambat, menjaga Accords tetap bertahan hanya sebagai aliansi kontra-Iran yang tersembunyi, yang rentan terhadap setiap krisis baru di Palestina.
  3. Skenario Pesimis (Kemunduran): Jika konflik Israel-Palestina memburuk secara signifikan, atau jika Israel terus memprovokasi para penandatangan dengan tindakan di Tepi Barat atau Al-Aqsa (seperti yang disorot oleh UEA ), beberapa negara mungkin terpaksa membekukan, atau bahkan secara formal menangguhkan, hubungan diplomatik untuk meredakan tekanan domestik. Dalam skenario ini, proyeksi perluasan Accords akan terhenti.

Rekomendasi Strategis bagi Pemangku Kepentingan Internasional

  1. Mengintegrasikan Isu Palestina: Amerika Serikat dan fasilitator lainnya harus mengintegrasikan kembali isu Palestina ke dalam kerangka Abraham Accords, bukan sebagai prasyarat yang dapat diabaikan, melainkan sebagai pilar stabilitas strategis. Keberlanjutan Accords bergantung pada kemampuan untuk memberikan harapan politik bagi Palestina sambil mempertahankan kerja sama keamanan.
  2. Meningkatkan Akuntabilitas Israel: Negara-negara Arab penandatangan harus didorong untuk menggunakan leverage ekonomi dan diplomatik kolektif yang mereka peroleh dari Accords untuk menuntut akuntabilitas Israel terhadap komitmennya, terutama penahanan aktivitas pemukiman di Tepi Barat. Ini sesuai dengan saran agar UEA meminta Arab Saudi mengambil peran ini.
  3. Memperkuat Konektivitas People-to-People: Meskipun sentimen publik menentang normalisasi politik, peningkatan kerja sama di bidang sains, akademis, dan budaya harus diutamakan. Sementara para pemimpin menandatangani perjanjian, koneksi antar-manusia lah yang pada akhirnya akan menopang hubungan jangka panjang.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

43 − 38 =
Powered by MathCaptcha