Konteks Global dan Kontradiksi Kebijakan (Jalur Aman vs. Jerat Maut)
Krisis perlindungan global saat ini ditandai oleh kontradiksi yang tajam: di satu sisi, terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah individu yang terpaksa melarikan diri dari konflik, penganiayaan, dan bencana; di sisi lain, negara-negara maju yang secara tradisional merupakan penyedia suaka, mengadopsi kebijakan imigrasi yang semakin restriktif. Respon ini menciptakan dikotomi yang brutal antara kebutuhan universal akan perlindungan dan praktik penolakan perbatasan, sebuah narasi yang digambarkan sebagai pertarungan antara “Jalur Aman” yang etis dan “Jerat Maut” yang diciptakan oleh kebijakan.
Kebijakan pengetatan—termasuk pendirian tembok perbatasan, militerisasi kontrol maritim, dan strategi pengalihan tanggung jawab suaka (outsourcing)—didasarkan pada logika deterrence politik. Tujuan eksplisitnya adalah mengurangi kedatangan ireguler dengan membuat proses mencari suaka menjadi sesulit dan serumit mungkin, bahkan jika itu berarti mengorbankan keselamatan nyawa. Analisis ini menunjukkan bahwa strategi deterrence yang kejam tersebut secara fundamental tidak kompatibel dengan kewajiban hukum internasional, khususnya kewajiban kemanusiaan mendasar yang tidak dapat diderogasi. Kebijakan ini adalah manifestasi penggunaan kedaulatan negara (kontrol perbatasan) untuk secara sengaja menghindar dari kewajiban perjanjian internasional.
Pilar Hukum Internasional Pengungsi dan Prinsip Non-Derogasi
Struktur perlindungan global berlandaskan pada kerangka hukum yang mapan. Pilar utama adalah Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, yang menetapkan definisi status pengungsi dan kewajiban hukum negara pihak untuk memberikan perlindungan. Definisi pengungsi menurut instrumen ini mencakup juga kategori seperti Refugees Sur Place (mereka yang menjadi pengungsi karena keadaan di negara asal terjadi saat mereka berada di luar negeri).
Lebih jauh dari perjanjian spesifik, perlindungan hak asasi manusia adalah prinsip jus cogens—norma hukum umum yang mengikat secara universal. Perlindungan ini mengikat semua negara, bahkan negara yang bukan pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951. Sebagai contoh, Indonesia, meskipun bukan negara pihak, tetap memiliki tanggung jawab normatif sebagai negara transit. Tanggung jawab ini didorong oleh prinsip hukum umum dan kebiasaan hukum internasional (jus cogens) yang mewajibkan negara untuk melindungi hak asasi manusia sebagai bentuk perlindungan terhadap kemanusiaan. Kegagalan negara untuk menindaklanjuti amanat hak atas suaka ke dalam produk hukum nasional (misalnya, undang-undang) menghambat perlindungan yang berlandaskan HAM, menyebabkan tidak terpenuhinya secara maksimal hak-hak dasar para pencari suaka.
Prinsip Kunci: Non-Refoulement (Prinsip Non-Pengusiran Paksa)
Prinsip non-refoulement adalah batu penjuru (cornerstone) Hukum Pengungsi Internasional dan menjadi tolok ukur utama dalam menilai legalitas kebijakan imigrasi ketat. Prinsip ini melarang negara mengusir atau mengembalikan seseorang dengan cara apa pun ke wilayah di mana nyawa atau kebebasan mereka terancam, atau di mana mereka menghadapi risiko penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi.
Status hukum non-refoulement adalah absolut. Prinsip ini tertanam dalam berbagai instrumen hukum internasional, menjadikannya kewajiban yang mengikat secara jamak (enshrined in a multitude of international law instruments) pada negara-negara, termasuk Konvensi Pengungsi 1951, Konvensi Menentang Penyiksaan, dan perjanjian hak asasi manusia regional seperti Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (ECHR).
Kebijakan pengetatan yang dianalisis dalam laporan ini mencoba menciptakan mekanisme untuk menghindari kewajiban perlindungan ini, terutama melalui pengalihan tanggung jawab ke luar batas negara. Namun, jika mekanisme seperti skema transfer ke negara ketiga ditolak oleh Mahkamah Agung Inggris berdasarkan risiko refoulement , hal ini menegaskan bahwa niat politik untuk menghindar tidak dapat mengalahkan pengujian legalitas berdasarkan prinsip HAM. Dengan demikian, non-refoulement adalah norma yang tidak dapat diderogasi, bahkan melalui perjanjian bilateral pengalihan tanggung jawab.
Strategi Pengalihan Tanggung Jawab Suaka (Asylum Outsourcing) Dan Kegagalan Legalitas
Strategi asylum outsourcing atau pengalihan tanggung jawab suaka adalah upaya negara-negara maju untuk mendelegasikan kewajiban pemrosesan dan perlindungan pengungsi kepada negara ketiga, seringkali negara berkembang, dengan imbalan finansial. Praktik ekstrateritorial ini bertujuan menghindari yurisdiksi dan pengawasan domestik, tetapi secara legal dan etis, terbukti gagal total.
Model Pemrosesan Lepas Pantai (Offshore Processing): Kasus Australia
Australia mempelopori model ini melalui kebijakan yang dikenal sebagai Pacific Solution. Kebijakan ini melibatkan pengiriman paksa pencari suaka yang tiba secara ireguler dengan perahu ke kamp-kamp detensi di luar wilayah kedaulatan Australia, terutama di Pulau Manus (Papua Nugini/PNG) dan Nauru. Kebijakan ini diperkenalkan kembali pada tahun 2013 dan telah menjadi simbol kekejaman yang disengaja.
Pengalihan Beban dan Sumber Daya Terbatas: Kebijakan ini merupakan bentuk “pengalihan tanggung jawab” (burden shifting) dari negara maju yang kaya sumber daya (Australia) kepada negara berkembang yang memiliki sumber daya terbatas (Nauru dan PNG). Tindakan ini bertentangan dengan prinsip solidaritas global dan tanggung jawab bersama dalam melindungi pencari suaka, karena berpotensi membebani sistem sosial dan ekonomi negara penerima dan secara tidak langsung dapat memengaruhi hak asasi manusia penduduk lokal.
Pelanggaran HAM Sistematis dan Setara Penyiksaan: Laporan-laporan dari organisasi hak asasi manusia internasional telah mendokumentasikan pelanggaran sistematis di pusat-pusat lepas pantai. Amnesty International menyatakan bahwa perlakuan yang dialami pencari suaka yang ditahan di pusat-pusat yang dikelola Australia di Nauru setara dengan penyiksaan berdasarkan hukum internasional. Penderitaan psikologis dan fisik ini sengaja ditimbulkan sebagai alat kebijakan yang dirancang untuk mencegah pengungsi tiba melalui jalur laut ke Australia. Pelanggaran yang didokumentasikan mencakup kekerasan fisik dan seksual, kurangnya akses pengobatan yang tepat bagi orang sakit, serta kasus-kasus di mana orang tua menyaksikan anak-anak mereka menderita tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahkan, pengungsi yang telah berhasil diakui status suakanya dipaksa untuk tetap tinggal di Nauru, memperpanjang penderitaan mereka secara tidak perlu.
Model Transfer ke Negara Ketiga Aman: Kasus Inggris-Rwanda
Inggris mengadopsi model yang serupa melalui UK-Rwanda Asylum Partnership Agreement, yang direncanakan untuk mendeportasi migran yang tiba secara ilegal ke Rwanda. Di Rwanda, klaim suaka mereka akan diproses dan mereka diberikan suaka di sana, bukan di Inggris. Pemerintah Inggris berpendapat bahwa rencana ini legal.
Putusan Mahkamah Agung dan Standar “Negara Aman”: Meskipun Pengadilan Tinggi Inggris awalnya menganggap rencana tersebut legal , Mahkamah Agung Inggris (Supreme Court) dengan suara bulat memutuskan bahwa skema tersebut melanggar hukum, membatalkan keputusan sebelumnya. Keputusan ini didasarkan pada prinsip non-refoulement.
Mahkamah Agung menemukan bahwa terdapat risiko nyata (real risk) terjadinya onward refoulement di Rwanda. Bukti ekstensif dari UNHCR menunjukkan bahwa Rwanda tidak memiliki sistem yang memadai atau rekam jejak yang dapat menjamin penghormatan terhadap prinsip non-refoulement. Ditemukan bahwa Rwanda memiliki masalah dalam menilai klaim suaka secara adil dan terdapat kekhawatiran mengenai pelanggaran HAM oleh otoritas Rwanda, termasuk tidak menghormati non-refoulement terhadap pencari suaka lain.
Implikasi Tanggung Jawab Berkelanjutan: Putusan Mahkamah Agung ini sangat krusial karena memperkuat prinsip tanggung jawab berkelanjutan (continuing responsibility) dalam hukum internasional. Negara pengirim (Inggris) tidak dapat melepaskan diri dari kewajiban non-refoulement hanya karena pemindahan terjadi di luar batas wilayah mereka. Kegagalan sistem negara penerima (Rwanda) untuk melindungi pengungsi secara efektif, secara otomatis dianggap sebagai kegagalan legal negara pengirim.
Tabel berikut merangkum perbandingan model kebijakan ketat ini:
Tabel 1. Komparasi Model Kebijakan Suaka Ketat Global dan Pelanggaran Hukum Inti
| Model Kebijakan | Contoh Negara Penerap | Mekanisme Utama | Tujuan Kebijakan (Klaim) | Prinsip Hukum Internasional yang Dilanggar | Referensi Kritis |
| Pemrosesan Lepas Pantai | Australia (Nauru/PNG) | Detensi dan pemrosesan di luar wilayah yurisdiksi utama. | Deterensi total, “Menghentikan Kapal.” | Larangan Penyiksaan/Perlakuan Tidak Manusiawi, Pengalihan Tanggung Jawab (Burden Shifting). | Amnesty International, Laporan HRW |
| Outsourcing Suaka | Inggris (Rwanda) | Transfer pencari suaka ke negara ketiga untuk diproses dan diselesaikan. | Mencegah kedatangan ireguler, Membagi beban. | Risiko Refoulement Nyata, Erosi Konsep “Negara Ketiga Aman,” Tanggung Jawab Berkelanjutan. | Supreme Court UK, UNHCR Evidence |
| Kontrol Maritim Agresif | Uni Eropa (Frontex) | Intersepsi dan Pushbacks di laut lepas (Aegean, Mediterania). | Keamanan perbatasan, Mencegah pendaratan. | Prinsip Non-Refoulement, Larangan Pengusiran Kolektif, Kewajiban Penyelamatan Jiwa. | UNHCR, Laporan Akademik |
Kontrol Perbatasan Yang Dimilitarisasi: Tembok, Intersepsi, Dan Jerat Maut
Selain pengalihan tanggung jawab, negara-negara maju menggunakan kontrol perbatasan yang dimiliterisasi dan dipersenjatai, termasuk penghalang fisik dan penolakan paksa (pushbacks), sebagai alat deterensi langsung. Kebijakan ini secara efektif mengkriminalisasi tindakan mencari suaka, mengubah perlindungan kemanusiaan menjadi masalah keamanan nasional dan menyebabkan Jerat Maut.
Politik Tembok Perbatasan: Kasus AS-Meksiko
Pembangunan tembok perbatasan di sepanjang perbatasan selatan antara Amerika Serikat dan Meksiko merupakan contoh kebijakan yang mengutamakan keamanan domestik di atas hak suaka internasional. Mil pertama tembok perbatasan sudah dibangun sejak era Presiden Bill Clinton pada 1990-an, tetapi kebijakan era Presiden Donald Trump secara signifikan memperluas dan memperkuat penghalang ini.
Pembangunan tembok, dengan ketinggian 18 hingga 30 kaki dan mencakup area lebih dari 2.000 mil, bertujuan utama mengurangi penyeberangan ilegal. Meskipun pembangunan tembok ini diklaim mampu menurunkan penyeberangan ilegal sebesar 84 persen di area yang dilewati , dampaknya terhadap kemanusiaan sangat merugikan. Kebijakan America First yang sempit cenderung mengabaikan kerja sama dan perjanjian internasional, alih-alih berorientasi pada urusan domestik.
Alih-alih menghentikan aliran orang, kebijakan tembok ini memaksa imigran dan pengungsi (termasuk mereka dari El Salvador dan Honduras) untuk mengambil rute yang lebih terpencil, mematikan, dan berbahaya, seperti gurun atau daerah yang sangat dijaga ketat oleh 5.000 agen Garda Nasional. Organisasi kemanusiaan seperti Border Angels telah berjuang memberikan bantuan kepada para imigran dan pengungsi yang menjadi korban dampak negatif dari kebijakan Tembok Trump.
Operasi Kontrol Maritim Eropa dan Pelanggaran Pushback
Uni Eropa mengandalkan Badan Penjaga Perbatasan dan Pantai Eropa (Frontex) untuk mengelola perbatasan eksternalnya, di mana kontrol terhadap orang dan migrasi dilakukan berdasarkan aturan bersama. Namun, operasi kontrol maritim di Mediterania telah menjadi lokasi praktik pelanggaran HAM yang sistematis, yang dikenal sebagai pushbacks.
Pelanggaran Non-Refoulement di Laut: Pushbacks adalah praktik yang mengakibatkan pemindahan orang yang mencari perlindungan, baik secara individu maupun kelompok, tanpa penilaian individual yang sesuai dengan kewajiban HAM dan jaminan proses hukum. Praktik ini melanggar secara total hukum internasional dan Eropa, termasuk larangan pengusiran kolektif dalam Konvensi HAM Eropa dan prinsip non-refoulement.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, telah menerima banyak laporan yang menunjukkan bahwa pencari suaka di laut Eropa telah didorong kembali ke laut lepas atau terapung-apung di kapal yang tidak layak. Aturan yang diimplementasikan oleh Frontex, yang bertujuan mencegah kapal mendarat di wilayah Uni Eropa, bertentangan dengan landasan dasar perlindungan pengungsi Eropa. Pelaporan yang berkelanjutan mengenai pushbacks mengindikasikan kegagalan sistematis pihak Uni Eropa dalam menegakkan salah satu hak asasi manusia yang paling fundamental. Bahkan, terdapat gugatan yang diajukan terhadap Frontex atas kegagalannya bertindak sesuai dengan kewajiban HAM di wilayah Laut Aegea, yang mengakibatkan “kebijakan serangan sistematis dan meluas yang ditujukan terhadap populasi sipil yang mencari suaka di Uni Eropa”.
Jerat Maut: Korban Jiwa sebagai Indikator Kegagalan Kebijakan
Korelasi antara kebijakan pencegahan yang ketat dan peningkatan korban jiwa sangat jelas. Penutupan jalur aman memaksa individu mengambil rute maritim yang sangat berbahaya, di mana perahu-perahu mereka dicegat (interception) dan kadang-kadang didorong kembali.
- Statistik Kematian Global yang Mengerikan:Tahun 2023 dicatat oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) sebagai tahun paling mematikan bagi migran dalam satu dekade. Sejak 2014, Proyek Migran Hilang IOM telah mendokumentasikan 63.872 kasus kematian atau hilangnya migran di seluruh dunia, dengan perkiraan angka sebenarnya jauh lebih tinggi karena kesulitan pengumpulan data di lokasi terpencil. Sejak 2014, jasad 26.553 orang yang meninggal sewaktu bermigrasi belum dapat ditemukan.
- Konsentrasi Korban di Rute Laut:Di rute menuju Eropa, lebih dari 3.000 orang tewas atau hilang pada tahun 2021 saja, saat mencoba menyeberang Mediterania Tengah, Barat, dan Atlantik. Jumlah ini meningkat dari 1.544 korban pada tahun 2020. Penyeberangan laut ini sebagian besar dilakukan dengan perahu karet yang penuh sesak dan tidak layak melaut, banyak di antaranya terbalik atau kempes. Dalam satu insiden tragis pada 14 Juni 2023, sebuah kapal pukat bernama Adriana tenggelam di pesisir Yunani, menyebabkan kematian lebih dari 600 jiwa.
Terdapat korelasi kuat antara peningkatan kontrol perbatasan, praktik pushbacks oleh otoritas seperti Frontex, dan peningkatan kematian di laut. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang mengutamakan keamanan dan penolakan di atas penyelamatan dan hak asasi manusia, mengubah perbatasan menjadi zona kematian yang diciptakan oleh negara (State-created death zones).
Tabel 2. Dampak Kemanusiaan: Korban Jiwa di Rute Migrasi Paling Mematikan
| Rute Migrasi Utama | Fokus Geografis | Total Kematian/Hilang (Data Kunci) | Penyebab Utama Kematian | Korelasi Kebijakan Ketat |
| Laut Mediterania Tengah/Barat | Eropa Selatan, Afrika Utara | >3,000 pada 2021 saja (UNHCR) | Kapal tenggelam/tidak layak, Intersepsi/Pushbacks | Peningkatan operasi Frontex dan penutupan jalur aman memaksa rute laut yang lebih panjang dan berbahaya. |
| Rute Atlantik (Kep. Canary) | Afrika Barat Laut ke Spanyol | 1,153 (2021) | Tenggelam | Patroli ketat di Mediterania mengalihkan rute ke Atlantik yang jauh lebih berisiko. |
| Global (2023) | Seluruh Dunia | Tahun Paling Mematikan dalam Satu Dekade (IOM) | Tenggelam (50% lebih), Kecelakaan kendaraan, Kekerasan. | Deterensi memaksa pengungsi mengambil risiko yang lebih tinggi di rute yang tidak dipantau (misalnya, Darien Gap). |
Analisis Kritis Pelanggaran Hukum Internasional Dan Erosi Norma
Kebijakan imigrasi ketat di negara-negara maju, seperti yang dimanifestasikan dalam outsourcing dan kontrol perbatasan militeristik, tidak hanya menimbulkan tragedi kemanusiaan, tetapi juga merusak fondasi normatif hukum internasional.
Pelanggaran Hak untuk Mencari Suaka (Right to Seek Asylum)
Hak untuk mencari suaka merupakan hak asasi manusia yang dijamin. Hak ini memastikan bahwa setiap orang yang dipaksa melarikan diri dari perang, kekerasan, atau penganiayaan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan di negara tempat mereka mencari perlindungan. Hak untuk mencari suaka juga mencakup kewajiban bagi negara untuk menyediakan akses aman ke wilayah perbatasan, di mana perbatasan harus tetap terbuka bagi semua orang yang terpaksa melarikan diri.
Kebijakan pushbacks dan tembok perbatasan secara eksplisit membatasi akses aman, melanggar hak fundamental ini. Terdapat juga pelanggaran larangan perlakuan tidak manusiawi. Perlakuan yang disengaja kejam dan merendahkan martabat, seperti yang didokumentasikan di Nauru, yang bertujuan untuk deterrence dan menciptakan penderitaan, telah disamakan dengan penyiksaan. Hal ini melanggar secara langsung larangan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi berdasarkan hukum internasional (misalnya, Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Ancaman Terhadap Prinsip Non-Refoulement dan Pengusiran Kolektif
Ancaman terbesar yang ditimbulkan oleh kebijakan suaka ketat adalah erosi kewajiban non-refoulement.
Risiko Onward Refoulement: Dalam skema pengalihan tanggung jawab ke negara ketiga yang rapuh (seperti Inggris-Rwanda), risiko kritisnya adalah refoulement sekunder atau onward refoulement. Dalam skema ini, individu yang seharusnya tidak pernah dikembalikan akan menghadapi risiko nyata perlakuan buruk atau penganiayaan di mana mereka dikembalikan ke negara asalnya atau ke negara ketiga yang tidak aman. Mahkamah Agung Inggris mengakui bahwa meskipun kapasitas Rwanda mungkin dapat dibangun di masa depan, kapasitas struktural untuk menghilangkan risiko refoulement belum ada pada saat kebijakan tersebut dipertimbangkan. Pengakuan yudisial ini menunjukkan bahwa hukum internasional tidak mentoleransi pengalihan tanggung jawab ke lokasi di mana integritas prinsip non-refoulement diragukan.
Larangan Pengusiran Kolektif: Praktik pushbacks yang dilakukan di perbatasan laut Eropa (Aegean, Mediterania) dikategorikan sebagai pengusiran kolektif. Larangan pengusiran kolektif secara tegas diatur dalam instrumen hak asasi manusia regional dan internasional. Pengusiran massal yang dilakukan tanpa pemeriksaan individual dan jaminan proses hukum melanggar kewajiban ini, yang menjamin bahwa sebelum setiap keputusan pengusiran, pemeriksaan spesifik harus dilakukan.
Erosi Solidaritas Global dan Yurisdiksi Ekstrateritorial
Krisis legalitas terletak pada upaya negara untuk menciptakan blind spot yurisdiksi melalui ekstrateritorialitas. Dengan memindahkan masalah ke luar batas negara, negara maju mencoba melepaskan diri dari pengawasan domestik dan internasional.
Namun, hukum pengungsi bersifat ekstrateritorial ketika negara pengirim mempertahankan kontrol atau mengetahui risiko yang mungkin terjadi. Keputusan Mahkamah Agung Inggris menunjukkan bahwa yurisdiksi de facto atas tindakan (seperti pemindahan paksa atau pengelolaan kamp outsourcing) memicu tanggung jawab hukum. Artinya, perlindungan HAM mengikuti individu, terlepas dari lokasi fisik mereka.
Kebijakan seperti Pacific Solution dan skema Rwanda juga merusak kerangka kerja perlindungan yang didasarkan pada solidaritas dan pembagian beban global. Negara-negara kaya menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk membeli persetujuan negara-negara miskin untuk menanggung beban krisis , sebuah praktik yang secara fundamental merusak prinsip tanggung jawab bersama yang seharusnya diadvokasi oleh UNHCR.
Merumuskan Jalur Aman Dan Perlindungan Berkelanjutan (Solusi)
Untuk mengatasi pelanggaran sistematis yang terjadi akibat kebijakan Jerat Maut, diperlukan penegasan kembali komitmen terhadap Hukum Internasional melalui pembangunan dan perluasan “Jalur Aman dan Legal” (Safe and Legal Pathways). Jalur aman merupakan mitigasi risiko legal dan kemanusiaan, yang memungkinkan individu mendapatkan akses perlindungan tanpa dipaksa mengambil rute berbahaya yang didominasi oleh penyelundup manusia.
Definisi dan Pentingnya Jalur Aman dan Legal
Jalur aman memberikan akses perlindungan yang terstruktur, memastikan individu diperlakukan dengan hormat dan menerima perawatan manusiawi, serta klaim mereka diperlakukan secara adil tanpa diskriminasi. UNHCR mengadvokasi solusi komprehensif ini. Dengan menyediakan jalur resmi dan aman, negara maju menghilangkan basis bisnis para penyelundup dan memastikan bahwa individu yang memenuhi syarat mendapatkan perlindungan yang layak dan manusiawi.
Mekanisme Perlindungan Legal yang Ada
Beberapa mekanisme hukum yang sudah ada harus diperluas dan diutamakan sebagai alternatif nyata bagi kebijakan deterrence:
Program Resettlement Resmi: Program penerimaan pengungsi yang terstruktur dan dikelola oleh negara ketiga, seperti US Refugee Admissions Program (USRAP), memungkinkan pengungsi yang terdaftar untuk bertransisi dengan sukses ke kehidupan baru. Program ini menyediakan bantuan uang tunai, medis, manajemen kasus, dan layanan pekerjaan yang dirancang untuk memfasilitasi kemandirian.
Visa Kemanusiaan dan Visa Khusus: Visa kemanusiaan menawarkan jalur migrasi legal bagi individu yang menghadapi penganiayaan tetapi mungkin tidak dapat mengakses jalur suaka tradisional. Contohnya adalah Australia Global Special Humanitarian Visa (Subclass 202), yang memungkinkan pengajuan usulan bagi individu yang berada di luar negara asalnya dan menghadapi penganiayaan. Selain itu, visa kemanusiaan digunakan dalam konteks tanggap krisis, seperti bantuan tempat tinggal dan perawatan medis yang diberikan Republik Ceko kepada pengungsi Ukraina.
Penguatan Perlindungan di Negara Transit: Negara-negara transit, seperti Indonesia, memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak dasar pencari suaka dan pengungsi. Indonesia terikat pada Konvensi Hak-Hak Anak dan prinsip jus cogens universal yang mewajibkan perlindungan HAM. Meskipun posisi Indonesia saat ini adalah sebagai negara transit yang menyediakan singgah sementara , perlindungan hukum domestik perlu diperkuat, termasuk melalui ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan protokolnya, serta pembuatan peraturan perundang-undangan turunan untuk menindaklanjuti amanat hak atas suaka.
Tabel 3. Mekanisme Jalur Aman dan Legal
| Mekanisme Jalur Aman | Fungsi Utama | Contoh Program/Instrumen | Keuntungan Legal/Etis |
| Program Resettlement | Memindahkan pengungsi terdaftar dari negara transit ke negara ketiga permanen. | US Refugee Admissions Program (USRAP) , Program ORR. | Pembagian beban global yang terstruktur, Solusi jangka panjang, Menghormati Konvensi 1951. |
| Visa Kemanusiaan Khusus | Menyediakan jalur migrasi legal bagi individu yang menghadapi penganiayaan. | Australian Global Special Humanitarian Visa (Subclass 202) , Visa Kemanusiaan untuk Ukraina (Republik Ceko). | Mengurangi ketergantungan pada penyelundup, Memenuhi Hak Asasi Manusia dan Hak Mencari Suaka. |
| Perlindungan De Facto (Jus Cogens) | Kewajiban negara non-pihak untuk memberikan perlindungan minimum HAM. | Kebijakan Indonesia (Perpres 125/2016). | Memperkuat prinsip jus cogens universal, Memberikan perlindungan sementara yang manusiawi. |
Rekomendasi Reformasi Kebijakan Kontrol Perbatasan
Negara-negara harus mereformasi kebijakan kontrol perbatasan mereka agar konsisten dengan hukum internasional.
- Kewajiban Penyelamatan dan Pendaratan (Rescue and Disembarkation):Operasi maritim harus memprioritaskan penyelamatan jiwa di laut, sejalan dengan konvensi Hukum Laut Internasional seperti UNCLOS 1982, SOLAS, dan SAR. Intersepsi harus selalu disertai dengan penentuan place of safetyyang aman.
- Pembubaran Mekanisme Outsourcing:Berdasarkan putusan Mahkamah Agung dan bukti penderitaan di kamp-kamp lepas pantai, kebijakan offshore processingdan transfer ke negara ketiga harus dihentikan karena terbukti secara inheren tidak mampu menjamin prinsip non-refoulement.
Kesimpulan: Menegaskan Keadilan Di Balik Kebijakan Suaka
Eksaminasi kritis terhadap kebijakan suaka dan pengungsian global menunjukkan bahwa strategi pengetatan yang dianut oleh negara-negara maju adalah manuver politik yang disengaja untuk menghindari kewajiban hukum dan kemanusiaan. Kebijakan seperti outsourcing suaka (Australia, Inggris-Rwanda) dan militerisasi perbatasan (Trump Wall, pushbacks Frontex) merupakan bentuk pelanggaran sistematis terhadap inti Hukum Internasional, terutama prinsip non-refoulement yang bersifat jus cogens.
Kebijakan-kebijakan ini terbukti gagal sebagai alat deterensi yang etis; alih-alih menghentikan migrasi, mereka hanya mengubah “Jalur Aman” menjadi “Jerat Maut,” memaksa individu untuk mengambil rute yang semakin mematikan, yang ditandai oleh peningkatan korban jiwa yang didokumentasikan oleh IOM dan UNHCR. Pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari pengusiran kolektif hingga perlakuan yang setara dengan penyiksaan, terjadi karena negara maju berusaha menciptakan blind spot yurisdiksi di luar batas wilayah mereka.
Keadilan dalam kebijakan suaka hanya dapat dicapai melalui penegasan kembali komitmen global terhadap Jalur Aman dan Solidaritas. Negara-negara maju harus dipertanggungjawabkan atas pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh kebijakan ekstrateritorial mereka. Penarikan diri dari mekanisme deterrence yang kejam dan investasi pada program resettlement yang terstruktur dan visa kemanusiaan, merupakan satu-satunya cara untuk menjamin bahwa hak setiap orang untuk mencari dan menikmati suaka dihormati secara universal, sesuai dengan semangat Konvensi Pengungsi 1951.
