Mengkonseptualisasikan Rantai Pasokan Berdarah dan Kegagalan Akuntabilitas

Laporan analitis ini ditujukan untuk mengkaji secara kritis fenomena “Rantai Pasokan yang Berdarah” (Bloody Supply Chain), sebuah konsep yang merangkum hubungan kausal antara rantai nilai global dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang serius, kekerasan, atau pendanaan konflik bersenjata di wilayah produsen. Rantai pasokan yang berdarah mencakup siklus lengkap, mulai dari perolehan bahan mentah (hulu/upstream) hingga pengiriman produk akhir kepada konsumen (hilir/downstream). Karakteristik utama dari rantai pasokan semacam ini adalah bahwa ekstraksi dan produksi sumber daya, yang seringkali terjadi di wilayah yang rentan, digunakan untuk membiayai kelompok bersenjata, memicu kerja paksa, dan menyebabkan kekejaman lain, sehingga melanggengkan konflik regional dan pelanggaran berat terhadap hukum internasional.

Perusahaan Multinasional (MNC) yang berada di ujung hilir rantai pasokan global memegang kendali finansial dan daya beli yang masif. Keputusan operasional MNC, seperti mencari biaya produksi terendah, seringkali secara tidak langsung mendorong praktik-praktik eksploitatif di hulu, di mana regulasi lemah dan penegakan hukum minimal. Oleh karena itu, tanggung jawab mereka meluas jauh melampaui operasi langsung mereka sendiri, mencakup seluruh hubungan bisnis mereka, termasuk pemasok pihak ketiga.

Pilar-Pilar Kerangka Kerja Bisnis dan HAM PBB (UNGPs)

Kerangka kerja fundamental yang mengatur tanggung jawab korporasi dalam konteks global adalah Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs). Kerangka ini, yang diadopsi pada tahun 2011, menetapkan ekspektasi global mengenai perilaku perusahaan. UNGPs didasarkan pada tiga pilar yang saling terkait, dirancang untuk memastikan perlindungan yang memadai bagi rightsholders (pemegang hak) di seluruh dunia:

  1. Kewajiban Negara untuk Melindungi HAM: Pilar pertama menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban primer untuk melindungi individu dan komunitas dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan. Negara harus menetapkan regulasi yang memadai dan menegakkan hukum secara efektif.
  2. Tanggung Jawab Korporasi untuk Menghormati HAM (Corporate Responsibility to Respect): Pilar kedua menggarisbawahi tanggung jawab independen korporasi untuk menghormati HAM. Ini berarti perusahaan harus bertindak dengan uji tuntas (Due Diligence) untuk mencegah, mengurangi, dan, jika perlu, menyediakan upaya remediasi terhadap dampak buruk HAM yang mereka sebabkan atau berkontribusi padanya.
  3. Akses ke Remediasi: Pilar ketiga mensyaratkan bahwa korban pelanggaran HAM terkait bisnis harus memiliki akses ke mekanisme ganti rugi dan perbaikan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.

Tanggung Jawab Korporasi: Dari Keterlibatan Finansial menuju Kausalitas Hukum

Tanggung jawab MNC dalam rantai pasokan yang berdarah timbul dari keterlibatan mereka yang luas dalam rantai nilai, di mana operasi, produk, atau layanan mereka terkait langsung dengan dampak merugikan oleh hubungan bisnis mereka. Kegagalan mendasar korporasi adalah mengabaikan kewajiban Due Diligence ini, yang dalam kasus-kasus ekstrem dapat dikategorikan sebagai aiding and abetting (membantu dan bersekongkol) atau causal contribution (kontribusi kausal) terhadap pelanggaran.

Meskipun UNGPs telah menjadi panduan global, bukti-bukti empiris dari studi kasus sektor konflik menunjukkan bahwa kegagalan sistemik bukanlah terletak pada kurangnya definisi tanggung jawab, melainkan pada implementasi dan penegakannya. Analisis ini mengungkapkan bahwa fokus yang berlebihan pada Pilar 2 (Tanggung Jawab Korporasi) melalui kerangka sukarela telah mengabaikan kelemahan parah pada Pilar 1 dan Pilar 3. Jika Negara Host—misalnya, di Republik Demokratik Kongo (RDK) atau Bangladesh—tidak memiliki kapasitas, kemauan politik, atau tata kelola yang memadai untuk melarang kerja paksa atau memastikan keselamatan kerja, maka MNC yang beroperasi di wilayah tersebut memiliki kewajiban yang jauh lebih tinggi untuk mengimplementasikan Due Diligence yang sangat ketat. Kegagalan Negara untuk melindungi menempatkan MNC dalam posisi di mana, melalui kelalaian atau keuntungan dari kondisi eksploitatif, mereka secara efektif menjadi penyebab atau kontributor pelanggaran HAM.

Ketika pelanggaran besar terjadi, dan pemerintah domestik gagal memberikan ganti rugi, litigasi transnasional (Pilar 3) menjadi satu-satunya jalur akuntabilitas. Namun, dalam konteks hukum, pembuktian hubungan kausalitas antara keputusan pembelian MNC yang berbasis di negara maju dan cedera yang dialami oleh individu di negara produsen masih menghadapi tantangan yang sangat tinggi. Kegagalan sistemik ini menunjukkan perlunya regulasi yang mengikat, karena kerangka sukarela tidak mampu mengatasi jurang akuntabilitas yang muncul akibat kelemahan tata kelola di tingkat negara dan kesulitan akses ke remediasi yang efektif bagi korban.

Mekanisme Kunci: Human Rights Due Diligence (HRDD) dan Batasan Kerangka Sukarela

Mandat dan Empat Langkah HRDD

Human Rights Due Diligence (HRDD) adalah inti dari Tanggung Jawab Korporasi untuk Menghormati HAM (Pilar 2 UNGPs). HRDD bukan hanya proses yang statis, melainkan proses berkelanjutan, berorientasi risiko, yang memungkinkan perusahaan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan memitigasi dampak buruk HAM dan lingkungan, baik yang disebabkan oleh aktivitas mereka sendiri maupun yang terkait langsung dengan hubungan bisnis mereka.

Proses HRDD yang selaras dengan UNGPs harus mencakup empat langkah utama:

  1. Identifikasi dan Penilaian Risiko: Perusahaan diwajibkan untuk mengidentifikasi dan menilai dampak aktual dan potensial merugikan dari aktivitas bisnis mereka. Penilaian ini harus proaktif, memprioritaskan dampak yang paling parah dan paling mungkin terjadi terhadap HAM. Kunci dalam langkah ini adalah fokus pada dampak lingkungan yang berpotensi melanggar HAM, terutama terhadap kelompok rentan. Hal ini memerlukan keterlibatan pemangku kepentingan, seperti masyarakat sekitar wilayah operasional, konsultan sumber daya independen, serta pembela HAM dan lingkungan, untuk memastikan penilaian risiko yang berbasis kenyataan.
  2. Integrasi Temuan dan Pengambilan Tindakan: Temuan risiko yang diperoleh melalui penilaian harus diintegrasikan ke dalam pengambilan tindakan yang tepat untuk mencegah dan mengurangi dampak yang ditimbulkan. Prinsip ini harus diterapkan pada seluruh aktivitas bisnis, mencakup rantai pasok yang ekstensif, dan dalam hubungannya dengan perusahaan lain yang berhubungan. Proses ini harus bergerak melampaui sekadar kebijakan tertulis menjadi praktik pembelian dan operasional yang bertanggung jawab.
  3. Pelacakan dan Pemantauan Efektivitas: Perusahaan selanjutnya perlu melacak dan mengevaluasi keefektifan penanganan dampak HAM dan lingkungan yang telah dilakukan secara berkelanjutan. Pelacakan ini memerlukan evaluasi berkala oleh sumber ahli di berbagai bidang untuk memastikan langkah mitigasi benar-benar mencapai tujuannya.
  4. Komunikasi dan Pelaporan Publik: Langkah terakhir menuntut transparansi. Perusahaan perlu memublikasikan hasil temuan dan penanganannya kepada pihak eksternal, terutama kepada rightsholders yang terkena dampak, guna memberikan informasi dan memperoleh umpan balik untuk langkah perbaikan selanjutnya.

Tantangan Implementasi: “Fobia HAM” dan Tata Kelola yang Lemah

Meskipun kerangka HRDD jelas, implementasinya di lapangan menghadapi hambatan struktural dan budaya yang signifikan, yang menjelaskan mengapa “rantai pasokan yang berdarah” masih terus ada.

Salah satu hambatan utama yang sering dijumpai di sektor industri adalah apa yang disebut sebagai “fobia HAM”. Ketakutan ini muncul dari pola pikir di kalangan industri bahwa jika mereka melakukan proses uji tuntas yang mendalam dan transparan, mereka secara implisit akan dianggap telah melakukan atau mengakui pelanggaran. Akibatnya, banyak perusahaan cenderung menghindari Due Diligence yang serius, atau melakukan Due Diligence hanya sebagai tick-box exercise yang dangkal, yang membatasi identifikasi risiko pada risiko material perusahaan (finansial, reputasi) saja, dan mengabaikan risiko dampak buruk terhadap manusia (rightsholders).

Kegagalan ini diperparah oleh lemahnya tata kelola dan penegakan hukum di banyak yurisdiksi produsen. Di Indonesia, misalnya, meskipun terdapat kerangka regulasi yang mempromosikan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (ESG), seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017, mewujudkan akuntabilitas dan penegakan hukum yang efektif masih menjadi tantangan berat. Kasus pelanggaran tata kelola perusahaan yang berujung pada sanksi hukum berat masih memiliki koefisien rendah, dengan mayoritas kasus berhenti pada teguran administratif, bukan sanksi pidana atau denda yang setimpal. Skandal nyata seperti pelanggaran izin tambang oleh PT Timah Tbk (2025), yang menyebabkan kerusakan lingkungan senilai Rp271 triliun di Bangka Belitung, menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum dalam menangani pelanggaran ESG yang masif.

Tantangan ini tidak hanya mencakup kelemahan hukum, tetapi juga kurangnya koordinasi antar-lembaga pengawasan (misalnya antara OJK, KPK, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK), yang menyebabkan tumpang tindih regulasi dan penegakan yang tidak konsisten. Kelemahan ini membuka ruang bagi praktik greenwashing, di mana perusahaan melaporkan data ESG yang menyesatkan untuk mengelabui investor dan publik, alih-alih melakukan perbaikan substansial.

Fenomena ini menunjukkan bahwa fokus HRDD harus didorong oleh mandat untuk mengukur dan bertindak berdasarkan risiko dampak pada orang, yang melampaui risiko material bagi perusahaan. Jika perusahaan teknologi hanya berfokus pada risiko supply disruption dan bukan pada anak-anak yang dieksploitasi untuk menambang kobalt, maka upaya HRDD mereka akan tetap dangkal. Regulasi wajib diperlukan untuk memaksa mereka mengukur dan bertindak berdasarkan risiko HAM yang sebelumnya mereka abaikan.

Untuk memperjelas disparitas antara mandat UNGPs dan praktik korporasi, berikut adalah ringkasan kegagalan khas dalam setiap langkah HRDD:

Tabel 3: Empat Langkah HRDD dan Kegagalan Khas Korporasi

Langkah HRDD (UNGPs/OHCHR) Tujuan Kunci Kegagalan Khas Korporasi
Identifikasi dan Penilaian Risiko Fokus pada dampak terhadap rightsholders Terbatas pada risiko finansial/reputasi perusahaan; Mengabaikan kelompok rentan; “Fobia HAM”.
Integrasi dan Tindakan Mencegah dan mengurangi dampak di seluruh rantai nilai Tick-box exercise; Kebijakan tertulis tidak diterapkan pada praktek pembelian yang menekan harga (misal, sektor garmen)
Pelacakan dan Evaluasi Memantau keefektifan mitigasi Audit internal yang tidak independen; Gagal melibatkan pemangku kepentingan untuk validasi; Data yang tidak memadai.
Komunikasi dan Pelaporan Transparansi kepada pihak eksternal Greenwashing; Publikasi data ESG yang menyesatkan; Menahan informasi kritis terkait pelanggaran berat.

Analisis Sektor Konflik Utama: Bukti Pelanggaran HAM dalam Rantai Pasokan Global

Rantai pasokan yang berdarah terkonsentrasi di sektor-sektor yang sangat bergantung pada ekstraksi sumber daya alam atau tenaga kerja murah, di mana ketidakstabilan politik dan tata kelola yang lemah memungkinkan eksploitasi.

Sektor Teknologi dan Mineral Konflik

Sektor teknologi, yang didorong oleh permintaan global akan perangkat elektronik dan kendaraan listrik, sangat bergantung pada mineral yang seringkali berasal dari Wilayah yang Terkena Konflik dan Berisiko Tinggi (Conflict-Affected and High-Risk Areas/CAHRAs). Mineral seperti Timah, Tungsten, Tantalum, dan Emas (3TG), serta Kobalt, dikenal sebagai “mineral konflik” karena perdagangannya digunakan untuk membiayai kelompok bersenjata, memicu kerja paksa, dan menyebabkan kekejaman lain.

Kasus Kobalt dan 3TG di RDK

Republik Demokratik Kongo (RDK) adalah contoh utama. Meskipun pemerintah RDK memiliki kecenderungan memprioritaskan masyarakatnya untuk bekerja di sektor pertambangan, ini dilakukan tanpa adanya dukungan maupun kebijakan solutif terhadap konflik yang menimpa mereka. Akibatnya, perdagangan internasional, khususnya yang mendorong pertambangan kobalt, memiliki peran penting terhadap kegiatan para penambang artisanal di lapangan, yang seringkali dipaksa atau dieksploitasi, termasuk dalam bentuk kerja paksa dan eksploitasi anak di bawah umur. Eksploitasi anak di pertambangan Kobalt di RDK merupakan pelanggaran nilai-nilai yang terdapat dalam HAM Internasional, dan telah disebut sebagai salah satu bentuk “genosida tersembunyi”.

Akuntabilitas MNC dan Litigasi Lintas Batas

MNC teknologi besar, termasuk Apple, Microsoft, Dell, dan Tesla, telah menghadapi tuduhan membantu dan bersekongkol (aiding and abetting) dalam penggunaan pekerja anak di penambangan kobalt RDK. Gugatan International Rights Advocates di Amerika Serikat pada tahun 2019, meskipun awalnya ditolak karena kesulitan pembuktian hubungan kausalitas, menemukan titik balik pada Maret 2024 ketika Pengadilan Banding untuk Sirkuit Distrik Columbia mengafirmasi bahwa penggugat memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan klaim ganti rugi.

Selain litigasi perdata, terdapat upaya yang makin strategis untuk menegakkan akuntabilitas di yurisdiksi yang lebih ketat. Pemerintah RDK mengajukan tuntutan pidana terhadap anak perusahaan Apple di Prancis dan Belgia atas tuduhan penggunaan mineral konflik, termasuk 3TG, yang diselundupkan secara ilegal melalui Rwanda. Tindakan ini menyoroti harapan yang makin besar bahwa pertambangan ilegal dapat diakhiri, terutama jika strategi Due Diligence UE diperluas untuk mencakup regulasi yang disertai dengan langkah-langkah praktis untuk mendukung transparansi dan penegakan hukum di area konflik.

Sektor Manufaktur: Garmen, Keselamatan Kerja, dan Perbudakan Modern

Sektor garmen global bergantung pada jaringan produksi yang terdistribusi secara luas, di mana merek-merek adibusana dunia menekan harga, yang pada gilirannya menghasilkan kondisi kerja eksploitatif dan lingkungan kerja yang berbahaya.

Tragedi Rana Plaza: Kegagalan Keselamatan Kerja

Runtuhnya gedung pabrik tekstil Rana Plaza di Dhaka, Bangladesh pada tahun 2013 adalah manifestasi paling tragis dari kegagalan Due Diligence K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di rantai pasokan garmen. Bencana ini menewaskan lebih dari 1.000 orang dan melukai sekitar 2.500 lainnya. Penyebab utama kecelakaan adalah desain dan konstruksi bangunan yang tidak sesuai standar keamanan, diperburuk oleh tekanan pemilik untuk tetap beroperasi meskipun telah ditemukan retakan serius sehari sebelumnya. Tragedi ini menyoroti bagaimana MNC di hilir secara implisit mendorong risiko dengan menuntut biaya produksi terendah, memaksa pemasok untuk mengabaikan standar K3 mendasar.

Ancaman Perbudakan Modern

Di seluruh Asia, buruh garmen menghadapi ancaman perbudakan modern dan eksploitasi yang kian meningkat. Negara-negara seperti India dan Bangladesh telah masuk dalam daftar risiko ekstrem, bersama Tiongkok dan Myanmar. Buruh garmen di Kamboja dan Vietnam juga menghadapi ancaman perbudakan modern yang menguat. Kondisi ini diperparah oleh tekanan ekonomi global, seperti yang terjadi akibat pandemi COVID-19, yang memaksa buruh bekerja di sektor informal dan sangat rentan terhadap kondisi kerja paksa dan eksploitasi. Praktik-praktik ini, yang merupakan pelanggaran berat HAM, menunjukkan bahwa Due Diligence sosial dalam rantai pasokan garmen masih sangat lemah.

Industri Ekstraktif, Konflik Lahan, dan Kerusakan Lingkungan

Industri ekstraktif (seperti pertambangan, kehutanan, dan perkebunan skala besar) seringkali menjadi penyebab pelanggaran HAM yang terkait dengan hak atas tanah dan lingkungan.

Penggusuran Paksa dan Konflik Hak Atas Tanah

Penggusuran paksa, didefinisikan sebagai pengusiran paksa yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunakan sumber daya lahan untuk hunian atau usaha, merupakan konsekuensi umum dari pembangunan proyek prasarana besar atau ekspansi industri ekstraktif. Praktik ini melanggar hak atas tempat tinggal permanen dan hak atas kepemilikan pribadi.

Di Indonesia, konflik tanah sering terjadi akibat ekspansi perkebunan, khususnya kelapa sawit. Konflik timbul karena kepentingan yang bersaing antara masyarakat adat, komunitas transmigran, dan bisnis korporasi atas tanah dan hutan.Ketika perusahaan gagal melakukan penilaian dampak lingkungan dan sosial yang memadai, dan tidak menyediakan kompensasi atau konsultasi yang berarti kepada penduduk setempat, konflik akan timbul.

Dampak Lingkungan sebagai Pelanggaran HAM

Aktivitas industri yang tidak bertanggung jawab adalah penyumbang terbesar pencemaran lingkungan. Area industri dan manufaktur secara historis menjadi penyebab utama pencemaran tanah melalui pembuangan limbah yang tidak tepat (limbah berbahaya dan tidak berbahaya) dan penambangan. Selain pencemaran tanah, industri memengaruhi kualitas air melalui pembuangan limbah cair yang mengancam kehidupan akuatik dan kualitas air minum.

Dampak ekologis ini secara langsung merupakan pelanggaran HAM bagi komunitas yang rentan. Gas beracun seperti sulfur dioksida mengasamkan tanah dan air, merusak tanaman, yang berdampak pada hak atas pangan dan kesehatan. Lebih jauh, penggundulan hutan untuk industri ekstraktif berkontribusi pada deforestasi, mengurangi persediaan air bersih, dan menghilangkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon dioksida. Hal ini secara fundamental melanggar prinsip pembangunan berkelanjutan dari perspektif sosial dan lingkungan.

Sektor ekstraktif, baik mineral maupun agrikultur, merupakan titik awal yang menunjukkan keterkaitan antara HAM, Lingkungan, dan Tata Kelola (Nexus Triple). Ketika perusahaan gagal melakukan penilaian dampak lingkungan dan sosial (E) yang memadai, konflik sosial (S) adalah hasil yang tidak terhindarkan. Kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh industri yang ceroboh menghilangkan sumber daya alam dasar (air, tanah produktif) yang esensial bagi hak-hak sosial, yang pada gilirannya memicu konflik dan ketidakstabilan tata kelola (G). Kegagalan akuntabilitas di hulu secara langsung memicu krisis kemanusiaan di hilir rantai pasok.

Tabel 2: Sintesis Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Rantai Pasokan Kritis

Sektor Industri Studi Kasus Kunci Pelanggaran HAM Inti Sumber Daya/Lokasi Kritis
Teknologi/Ekstraktif Kobalt Mining (DRC) Kerja Paksa, Eksploitasi Anak, Pendanaan Konflik Bersenjata Mineral Konflik (Kobalt, 3TG)
Manufaktur/Garmen Rana Plaza, Pabrik di Asia Keselamatan Kerja Fatal (K3), Perbudakan Modern, Kondisi Eksploitatif Pakaian, Tekstil (Bangladesh, Asia Tenggara)
Ekstraktif/Agrikultur Kelapa Sawit, Pertambangan Penggusuran Paksa, Konflik Lahan, Kerusakan Lingkungan/Deforestasi Tanah, Hutan, Sumber Daya Alam

Arah Baru Akuntabilitas: Dari Sukarela menuju Regulasi Wajib Lintas Batas (Mandatory Due Diligence)

Kegagalan yang konsisten dari kerangka kerja sukarela dan lemahnya penegakan hukum di negara-negara produsen telah mendorong komunitas internasional untuk mencari mekanisme akuntabilitas yang mengikat secara hukum.

Litigasi Transnasional dan Prinsip “No Safe Heaven”

Ketika mekanisme remediasi domestik gagal, hukum internasional menuntut agar pelaku kejahatan internasional—termasuk entitas korporasi yang terlibat dalam eksploitasi berat atau kekejaman—tidak mendapat tempat berlindung (no save heaven principle). Prinsip aut dedere aut punierre (ekstradisi atau adili) mengamanatkan bahwa negara harus mengadili serta memberi hukuman kepada pelaku kejahatan internasional yang berada di bawah yurisdiksi mereka.

Meskipun prinsip ini kuat, implementasi melalui litigasi transnasional masih menghadapi rintangan yurisdiksi dan pembuktian. Kasus gugatan terhadap perusahaan teknologi besar di AS menunjukkan bahwa pembuktian hubungan kausalitas antara korporasi di hilir dan cedera spesifik yang dialami oleh individu di hulu adalah tantangan hukum yang signifikan. Namun, dengan adanya tuntutan pidana yang diajukan oleh pemerintah RDK terhadap anak perusahaan Apple di Eropa, terlihat adanya upaya strategis untuk mencari yurisdiksi yang menawarkan standar akuntabilitas yang lebih tinggi dan peluang penegakan yang lebih besar.

Reformasi Regulasi: The EU Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD)

Uni Eropa (UE) telah merintis reformasi signifikan dengan mengadopsi Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD). Regulasi ini merupakan pergeseran mendasar dari kerangka soft law (UNGPs) yang sukarela menuju hard law yang wajib, yang bertujuan menciptakan kerangka hukum seragam di pasar tunggal UE dan meningkatkan daya saing internasional melalui perilaku bisnis yang bertanggung jawab.

Mandat Wajib dan Cakupan Luas

CSDDD mewajibkan perusahaan dalam cakupannya untuk secara aktif mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan mengakhiri dampak buruk HAM dan lingkungan dari aktivitas mereka, baik di Eropa maupun di luar negeri. Penerapan aturan ini akan dimulai secara bertahap, dengan kelompok perusahaan pertama mulai tunduk pada aturan tersebut pada Juli 2028, dan penerapan penuh dijadwalkan pada Juli 2029.

Persyaratan utama CSDDD mencakup kewajiban bagi perusahaan untuk:

  • Membentuk dan mempertahankan prosedur keluhan dan notifikasi yang efektif.
  • Memantau efektivitas langkah-langkah Due Diligence yang telah diterapkan
  • Mengomunikasikan hasil Due Diligence secara publik.
  • Mengadopsi dan menerapkan rencana transisi mitigasi perubahan iklim, yang harus selaras dengan tujuan netralitas iklim Perjanjian Paris 2050.

Mekanisme Penegakan dan Upaya Terakhir

Directive ini memberikan mekanisme penegakan yang kuat, termasuk denda moneter yang dapat dikenakan berdasarkan turnover (omset) perusahaan dalam kasus pelanggaran. Ini merupakan sanksi tegas yang jauh melampaui teguran administratif.

Yang paling signifikan secara kebijakan adalah kewajiban untuk melakukan intervensi hingga ke upaya terakhir (last resort). Perusahaan yang mengidentifikasi dampak buruk HAM atau lingkungan oleh mitra bisnis mereka, dan mendapati bahwa dampak tersebut tidak dapat dicegah atau diakhiri melalui upaya mitigasi dan engagement, diwajibkan untuk mengakhiri hubungan bisnis tersebut. CSDDD bertujuan untuk menjadi standar global baru bagi Due Diligence wajib.

Penerapan CSDDD mewakili pengakuan hukum bahwa kerangka sukarela tidak cukup untuk mengatasi kegagalan pasar dan pelanggaran HAM yang struktural. Dengan menjadikan HRDD wajib, UE secara efektif mengekspor standar etika mereka (Brussels Effect), memaksa pemasok global, termasuk di Indonesia dan RDK, untuk meningkatkan standar operasional mereka agar tetap dapat mengakses pasar UE.

Tabel 1: Kerangka DUE DILIGENCE: Perbandingan UNGPs vs. EU CSDDD

Kriteria Perbandingan Prinsip Panduan PBB (UNGPs) EU CSDDD (Corporate Sustainability Due Diligence Directive)
Status Hukum Sukarela (Soft Law/Standar Global) Wajib (Mandatory Hard Law)
Cakupan Rantai Nilai Seluruh aktivitas dan hubungan bisnis Rantai nilai hulu dan hilir tertentu (dengan penekanan pada hulu)
Fokus Utama Dampak HAM terhadap manusia Dampak HAM dan Lingkungan yang Merugikan
Kewajiban Kepatuhan Iklim Tidak eksplisit diwajibkan Wajib mengadopsi rencana transisi iklim (bagi perusahaan besar)
Mekanisme Penegakan Akses ke remediasi (non-yudisial) Litigasi, denda berdasarkan turnover, dan sanksi

Kewajiban “mengakhiri hubungan bisnis” sebagai upaya terakhir dalam CSDDD menciptakan dilema etika yang kompleks. Meskipun secara hukum terlihat sebagai penegakan akuntabilitas tertinggi, tindakan divestasi yang tidak bertanggung jawab dapat melanggar prinsip do no harm UNGPs, terutama jika mengakhiri hubungan bisnis secara tiba-tiba justru meninggalkan komunitas rentan (misalnya, penambang artisanal kobalt) tanpa mata pencaharian, sementara masalah mendasar tetap ada. Oleh karena itu, regulasi ini harus diiringi dengan panduan ketat yang memprioritaskan keterlibatan (engagement) dan investasi untuk memperbaiki kondisi lokal (seperti meningkatkan K3 di pertambangan artisanal) sebagai solusi utama, dan hanya melakukan terminasi jika kemitraan secara aktif dan berkelanjutan memicu kekejaman, seperti pendanaan kelompok bersenjata.

Kesimpulan

Analisis ini menegaskan bahwa “rantai pasokan yang berdarah” adalah produk dari kegagalan sistemik yang kompleks. Kegagalan ini berakar pada ketidakseimbangan struktural di mana MNC di hilir dapat memaksakan biaya sosial dan lingkungan kepada negara-negara produsen di hulu, dan secara bersamaan memelihara jarak kausal yang memadai untuk menghindari akuntabilitas hukum. Kerangka UNGPs yang bersifat sukarela terbukti tidak memadai untuk mengatasi masalah struktural ini, diperparah oleh fenomena “fobia HAM” di kalangan korporasi dan ketidakmampuan negara produsen untuk menegakkan hukum domestik.

Pelanggaran berat terbukti di sektor-sektor kunci: eksploitasi anak dan kerja paksa dalam mineral konflik (kobalt/3TG) yang memicu instabilitas ; kondisi kerja yang fatal dan ancaman perbudakan modern di sektor garmen; dan konflik lahan serta kerusakan ekologis yang melanggar hak-hak komunitas rentan di industri ekstraktif. Pergeseran menuju regulasi wajib lintas batas, terutama melalui adopsi CSDDD oleh Uni Eropa, mewakili langkah maju yang krusial untuk menutup celah akuntabilitas yang telah lama dieksploitasi oleh korporasi.

Rekomendasi untuk Perusahaan Multinasional (MNC)

Untuk secara efektif menghormati HAM dan menghilangkan keterkaitan dengan rantai pasokan yang berdarah, MNC harus menerapkan reformasi mendasar:

  1. Mengadopsi HRDD yang Berpusat pada Manusia (Human-Centric): MNC harus mengalihkan fokus Due Diligence dari sekadar mitigasi risiko material internal perusahaan (reputasi atau finansial) ke identifikasi dan pencegahan dampak buruk terhadap rightsholders. Ini memerlukan keterlibatan yang berarti dengan kelompok rentan, masyarakat terdampak, dan pembela HAM di lapangan, alih-alih mengandalkan audit internal yang dangkal.
  2. Meningkatkan Transparansi dan Ketertelusuran Rantai Pasok: Menerapkan teknologi pelacakan (traceability) untuk mineral konflik dan memublikasikan hasil penilaian dampak lingkungan dan sosial, serta audit K3, yang dilakukan secara independen. Transparansi ini penting untuk memperoleh umpan balik dan memulihkan kepercayaan publik.
  3. Memperkuat Upaya Remediasi yang Efektif: Membangun mekanisme pengaduan operasional yang non-yudisial, efektif, dan dapat diakses oleh pekerja hulu (misalnya, penambang artisanal, buruh garmen) di negara produsen. Ini bertujuan untuk memastikan akses cepat ke ganti rugi dan perbaikan, sesuai dengan Pilar 3 UNGPs.

Rekomendasi untuk Pemerintah dan Badan Regulasi

Pemerintah di negara home dan host, serta badan regulator internasional, harus mengambil langkah tegas untuk memperkuat Pilar 1 (Perlindungan Negara) dan Pilar 3 (Remediasi) untuk melengkapi CSDDD dan mengatasi kelemahan sistemik yang ada:

  1. Akselerasi Adopsi Due Diligence Wajib Global: Pemerintah non-UE (khususnya di Asia dan Amerika Latin) harus mempertimbangkan adopsi undang-undang Due Diligence yang mengikat secara hukum, mencontoh CSDDD. Tindakan ini akan menciptakan lingkungan bisnis yang setara (level playing field) dan berkelanjutan secara global.
  2. Penguatan Penegakan Hukum dan Koordinasi Domestik: Lembaga pengawasan domestik harus meningkatkan koordinasi lintas sektoral untuk menanggulangi pelanggaran ESG, khususnya kerusakan lingkungan yang masif dan pelanggaran hak pekerja. Penegakan hukum harus menjatuhkan sanksi pidana dan denda yang proporsional dan berat, bukan hanya teguran administratif, untuk mengatasi budaya akuntabilitas yang lemah.
  3. Memfasilitasi Litigasi Lintas Batas: Negara home MNC harus mengadopsi undang-undang yang memungkinkan tuntutan pidana atau perdata terhadap MNC yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat di negara host, dengan mengurangi hambatan pembuktian kausalitas dan yurisdiksi. Hal ini krusial untuk menjamin bahwa korporasi tidak mendapat tempat berlindung (no safe heaven) dari kejahatan internasional yang mereka sebabkan atau dukung

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

24 − 17 =
Powered by MathCaptcha