Ajaran Khonghucu, atau Konfusianisme, merupakan salah satu sistem filosofis dan etika sosial yang paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Asia Timur. Sistem ini tidak hanya membentuk dasar pemerintahan, pendidikan, dan moralitas pribadi di Tiongkok selama lebih dari dua milenium, tetapi juga menjadi cetak biru fundamental bagi identitas budaya di negara-negara seperti Korea dan Jepang.
Laporan ini menyajikan ulasan mendalam mengenai ajaran Khonghucu, dimulai dari konteks historis pendiriannya, pilar-pilar etika inti, struktur kanon suci, hingga evolusi pemikiran pasca-Konfusius dan manifestasi praktisnya dalam ritual sosial dan keagamaan.
Konteks Historis dan Filsafat Awal Khonghucu
Riwayat Hidup Kongzi dan Periode Awal
Pendiri ajaran ini adalah Kong Fuzi atau Kongzi (Master Kong), yang nama lahirnya adalah Kong Qiu Ia hidup antara tahun 551 SM hingga 479 SM. Masa hidup Kongzi menempatkan beliau pada periode kritis dalam sejarah Tiongkok yang dikenal sebagai Periode Musim Semi dan Musim Gugur, yang mendahului kekacauan masif Zaman Negara Berperang.
Ajaran kebajikan Kongzi, yang dikenal sebagai Khonghucu, lahir sebagai respons langsung terhadap kegagalan tatanan sosial yang ada. Tujuannya adalah merestorasi keteraturan melalui penanaman moralitas dan etika yang mendalam.
Konteks Geopolitik: Kekacauan Dinasti Zhou dan Negara Berperang
Tujuan filosofis Kongzi harus dipahami dalam konteks politiknya. Periode Negara Berperang (Warring States Period, sekitar 475–221 SM) merupakan era yang ditandai oleh fragmentasi politik yang intens dan konflik berkepanjangan di antara tujuh negara besar yang bersaing memperebutkan kekuasaan. Kekacauan ini timbul dari kemunduran Dinasti Zhou, di mana raja Zhou kehilangan kekuasaan politiknya dan hanya berfungsi sebagai boneka (figurehead). Aturan aristokrat tradisional runtuh, digantikan oleh profesional militer yang memprioritaskan peperangan strategis di atas kode etik yang mapan.
Melihat situasi ini, Konfusianisme dapat dipahami sebagai ideologi yang muncul dari krisis tata kelola. Sementara filosof lain pada era Hundred Schools of Thought, seperti Legalism, mengusulkan solusi melalui hukum yang ketat, dan Daoisme melalui harmoni dengan alam, Kongzi menawarkan solusi yang lebih mendasar: restorasi nilai-nilai moral kuno dan Li (ritual atau kesusilaan). Ajaran Khonghucu mencari stabilitas dan harmoni sosial di tengah kekacauan, meyakini bahwa solusi etika yang bersifat internal (moralitas) dan eksternal (ritual) akan lebih berkelanjutan daripada solusi yang bersifat militeristik atau legalistik otoriter.
Konsep Junzi: Merestorasi Status melalui Karakter
Dalam masyarakat yang kehilangan tatanan hierarkis tradisionalnya, Kongzi memperkenalkan standar baru untuk kepemimpinan: Junzi (君子), atau ‘gentleman’/manusia ideal.
Junzi adalah pengejawantahan orang yang dibina secara moral dan merupakan ideal Konfusianisme. Konsep ini menegaskan bahwa status moral tidak lagi bergantung pada garis keturunan atau kekayaan aristokrat, melainkan pada karakter dan integritas. Individu didorong untuk menjadi Junzi melalui pembelajaran seumur hidup, refleksi diri, dan praktik kebajikan. Ini merupakan konsep yang revolusioner karena ia memberikan potensi mobilitas sosial berdasarkan meritokrasi moral, yang esensial untuk membangun administrasi negara yang kompeten di tengah disrupsi politik.Pilar-Pilar Etika Inti Konfusianisme
Inti ajaran Khonghucu, yang menjadi fondasi bagi kultivasi diri menuju ideal Junzi, berpusat pada serangkaian kebajikan fundamental, sering disebut Lima Kebajikan Tetap (meski beberapa kebajikan paling utama dibahas secara khusus).
Ren (仁): Kebajikan Universal dan Substansi Batin
Ren diterjemahkan sebagai kemanusiaan, kebajikan, belas kasih, atau kebaikan universal (benevolence). Kebajikan ini merupakan yang paling mendasar dan terpenting (most primary and most important) dalam ajaran Khonghucu. Ren adalah kebaikan batiniah yang harus dikembangkan oleh setiap individu sebagai fondasi moral sebelum mereka dapat berinteraksi secara etis di lingkungan sosial.
Li (禮): Ritual, Kesusilaan, dan Manifestasi Eksternal
Li adalah konsep multidimensi yang mencakup ritual, adat istiadat, kepantasan, dan kesusilaan (propriety). Dalam perspektif Khonghucu, Li adalah prinsip moral dinamis yang memungkinkan ekspresi atau manifestasi dari kebaikan batiniah (Ren).
Penting untuk dipahami bahwa Li bukan sekadar tradisi kosong atau etiket kuno. Kongzi melihatnya sebagai metodologi pendidikan dan pelatihan kognitif. Praktik Li yang berulang-ulang—seperti mengikuti upacara dan adat yang benar—dipercayai dapat memperluas cakrawala, kesadaran, dan kemampuan seseorang.5 Dengan mempraktikkan bentuk luar yang benar, batiniah individu secara bertahap diubah, sehingga Li menjadi pengejawantahan tertinggi dari Junzi.
Yi (義): Kebenaran dan Integritas Moral
Yi merujuk pada kebenaran, kewajiban, atau integritas (righteousness). Yi memainkan peran krusial sebagai jembatan moralitas. Dalam hubungan dialektis antara kebajikan inti, Ren berfungsi sebagai substansi atau kebaikan batiniah, Li sebagai bentuk atau perilaku eksternal, dan Yi adalah ideal ontologis eksternal yang memastikan bahwa manifestasi Ren melalui Li dilakukan dengan motivasi moral yang benar. Keharmonisan interaksi antara Ren dan Yi disempurnakan melalui praktik Li oleh Junzi.
Xiao (孝): Bakti kepada Orang Tua sebagai Akar Moral
Xiao (Bakti kepada orang tua atau Filial Piety) adalah kebajikan yang menekankan penghormatan mendalam terhadap keluarga dan para tetua. Khonghucu meyakini bahwa Xiao adalah langkah pertama untuk menegakkan diri dalam kehidupan yang suci dan merupakan “pokok kewajiban, daripadanya ajaran agama berkembang” (Hau King 1:4-6).
Konsep Xiao berfungsi sebagai model prototipal untuk tata kelola. Ketaatan dan rasa hormat yang ditunjukkan dalam keluarga (Ayah-Anak) diterjemahkan langsung menjadi loyalitas dan tanggung jawab dalam struktur politik (Penguasa-Rakyat). Dengan mengabdi kepada orang tua, seseorang belajar untuk mengabdi kepada pemimpin dan masyarakat, sehingga hubungan keluarga menjadi unit pendidikan moral yang utama.
Kanon Suci (Jing Shu) dan Analisis Teks Doktrinal
Kanon suci Khonghucu, yang menjadi dasar studi filosofis dan teologis, terbagi menjadi dua kategori utama: Kitab Empat (Si Shu) dan Lima Klasik (Wu Jing).
Kitab Empat (Si Shu 四書)
Si Shu adalah fondasi filosofis dan panduan etika Khonghucu yang dikompilasi setelah wafatnya Kongzi, dan sebagian besar digunakan sebagai kurikulum pendidikan.
- Lun Gi / Lun Yu (論語) – Kitab Sabda Suci (Analects): Merupakan kumpulan ajaran, ucapan, dan percakapan langsung Nabi Kongzi dengan para muridnya. Teks ini dianggap sebagai sumber primer yang paling penting untuk memahami pemikiran Kongzi. Kitab ini terdiri dari dua jilid.
- Da Xue / Thai Hak (大學) – Kitab Ajaran Besar: Kitab ini adalah tuntunan sistematis mengenai pembinaan diri. Ditulis oleh Cing Cu / Zheng Zi, salah satu murid Kongzi, kitab ini menguraikan proses kultivasi moral yang bertingkat, dimulai dari pengembangan diri individu, mengatur keluarga, memerintah negara, hingga mencapai kedamaian di bawah langit
- Zhong Yong / Tiong Yong (中庸) – Kitab Tengah Sempurna (Doctrine of the Mean): Ditulis oleh Cu Su / Zi Si, cucu Kongzi. Teks ini membahas konsep keseimbangan, harmoni, dan pentingnya mencari serta mempertahankan jalan tengah yang sempurna dalam segala aspek perilaku moral dan spiritual.
- Meng Zi / Bing Cu (孟子) – Kitab Bingcu: Kitab ini berisi ajaran-ajaran Mencius, filsuf penerus utama Kongzi, yang mengembangkan lebih lanjut ajaran tentang sifat dasar manusia (akan dibahas di Bagian IV).
Lima Klasik (Wu Jing 五經): Kurikulum Negara
Wu Jing merupakan koleksi kitab suci yang dihimpun oleh Nabi Kongzi, bersumber dari ajaran para Nabi Purba dan Raja Suci, yang membentuk dasar keagamaan dan budaya Khonghucu.
Lima Klasik ini berfungsi sebagai kurikulum komprehensif yang dirancang untuk menghasilkan seorang Junzi yang mampu menjadi pemimpin negara yang berbudi luhur. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan pelatihan yang terintegrasi—bukan hanya etika, tetapi juga sejarah, seni, dan metafisika. Penggunaan sejarah (Shu Jing), seni (Shi Jing), etiket (Li Jing), metafisika (Yi Jing), dan analisis politik (Chun Qiu Jing) dalam kurikulum ini menunjukkan bahwa Konfusianisme meletakkan fondasi meritokrasi yang kuat di atas pembelajaran yang multidisiplin.
Nabi Kongzi berperan penting dalam kanon ini; beliau tidak hanya menghimpun teks-teks tersebut, tetapi juga memberikan penafsiran (seperti Shi Yi dalam Yi Jing) dan penilaian moral terhadap peristiwa sejarah (dalam Chun Qiu Jing). Tindakan beliau sebagai Mu Duo (木鐸), Genta Rohani Tian, memberikan otoritas normatif dan ilahi terhadap warisan sejarah kuno ini.
Berikut adalah rangkuman isi dan peran spesifik dari masing-masing kitab dalam Wu Jing :
Kitab Lima Klasik (Wu Jing)
| No. | Kitab (Pinyin) | Terjemahan | Isi Utama | Peran Pedagogis |
| 1. | Shi Jing (詩經) | Kitab Sajak/Puisi | Kumpulan 305 sajak (Guo Feng, Xiao Ya, Da Ya, Song). Sajak tertua dari dinasti Shang. | Menghasilkan orang yang ramah, lembut, tulus, dan baik (pendidikan emosi). |
| 2. | Shu Jing (書經) | Kitab Hikayat | Dokumentasi sejarah suci Dinasti Xia, Shang, dan Zhou, sejak Tang Yao (2357 SM). | Menghasilkan orang yang berpengetahuan luas dan menembusi masa lalu (pendidikan sejarah dan tata kelola). |
| 3. | Yi Jing (易經) | Kitab Perubahan | Kitab Wahyu tentang metafisika universal (Wu Ji, Tai Ji, Yin Yang, Ba Gua). Berisi Sepuluh Sayap (Shi Yi) tafsir Kongzi. | Menghasilkan orang yang bersih, tenang, mengerti makna inti (pendidikan kosmos dan metafisika). |
| 4. | Li Jing (禮經) | Kitab Kesusilaan | Terdiri dari Zhou Li, Yi Li, dan Li Ji. Aturan ritual, upacara, dan moral dasar kaum Ru. | Menghasilkan orang yang hormat, cermat, berwibawa, dan penuh kesungguhan (pendidikan etiket sosial dan ritual). |
| 5. | Chun Qiu Jing (春秋經) | Kitab Chun Chiu | Catatan sejarah kritis yang ditulis oleh Nabi Kongcu, mengandung penilaian moral terhadap berbagai peristiwa. | Menghasilkan orang yang mampu menyesuaikan bahasanya (pendidikan retorika dan penilaian moral). |
Perdebatan Filosofis dan Perkembangan Pasca-Kongzi
Setelah Kongzi wafat, ajaran Khonghucu mengalami perkembangan signifikan dan perdebatan internal, terutama mengenai pertanyaan ontologis fundamental: sifat dasar manusia. Dua tokoh utama dalam periode klasik yang mengembangkan ajaran Konfusianisme adalah Mencius (Mengzi) dan Xunzi.
Mencius (Mengzi): Sifat Asli Manusia Adalah Baik (Xing Shan)
Mencius (sekitar 372–289 SM) berpegangan pada pandangan idealistik bahwa sifat asli manusia pada dasarnya adalah baik.9 Ia berargumen bahwa manusia dilahirkan dengan “tunas moral” (moral sprouts)—potensi kebaikan yang secara alami ada di dalam hati nurani.1Tunas-tunas ini, jika dipelihara dan dikembangkan melalui kultivasi diri dan praktik Li, akan tumbuh menjadi kebajikan penuh (Ren, Yi, dsb.). Menurut Mencius, peran Li dan pendidikan adalah untuk memelihara apa yang sudah baik secara bawaan.
Xunzi: Sifat Asli Manusia Adalah Buruk (Xing E) dan Keharusan Budaya
Xunzi (sekitar 310–238 SM) dikenal sebagai filsuf Khonghucu besar ketiga di zaman kuno dan merupakan representasi sayap realistik dalam ajaran tersebut. Ia mengambil posisi yang bertentangan dengan Mencius, berpendapat bahwa sifat asli manusia adalah buruk (Xing E), didorong oleh naluri dan keinginan untuk kekayaan serta keuntungan pribadi (self-profiting).
Xunzi mengemukakan bahwa segala sesuatu yang baik merupakan hasil dari usaha dan pembentukan manusia. Jika keinginan dan naluri ini dibiarkan berkembang, pertarungan akan selalu terjadi, dan masyarakat akan jatuh ke dalam kekacauan. Oleh karena itu, Li (ritual) dan pendidikan, dalam pandangan Xunzi, berfungsi sebagai alat pemaksa eksternal dan praktik sosial yang diatur untuk mengendalikan naluri buruk, menciptakan keteraturan, dan mengubah manusia menjadi baik melalui disiplin dan upaya.
Rekonsiliasi Filosofis: Pentingnya Kultivasi
Meskipun terdapat perbedaan mendasar mengenai titik awal ontologis manusia, kedua filsuf tersebut memiliki kesamaan penting: kultivasi karakter adalah prioritas utama.10 Bagi Mencius, kultivasi memelihara kebaikan; bagi Xunzi, kultivasi mengubah keburukan.
Xunzi secara khusus menekankan pentingnya Li sebagai praktik sosial bersama yang membantu masyarakat mengatasi kecenderungan alami menuju egoisme dan kesukuan.10 Perbedaan pandangan ini menghasilkan dinamika dan fleksibilitas filosofis yang memungkinkan Khonghucu bertahan dalam jangka panjang, beradaptasi baik dalam situasi idealis yang menekankan moralitas penguasa (Mengzi) maupun dalam situasi politik pragmatis yang memerlukan kontrol sosial yang ketat (Xunzi).
Perbandingan pandangan ini dapat dirangkum sebagai berikut:
Perbandingan Pandangan Mengenai Sifat Dasar Manusia
| Filosof | Periode (SM) | Pandangan Dasar Sifat Manusia | Peran Li (Ritual) |
| Mengzi (Mencius) | Sekitar 372–289 | Baik Secara Bawaan (Xing Shan) – Memiliki ‘tunas moral’. | Untuk memelihara dan mengembangkan potensi kebaikan yang sudah ada. |
| Xunzi | Sekitar 310–238 | Buruk/Berorientasi Keuntungan (Xing E) – Naluri dasar menyebabkan konflik. | Alat paksa eksternal untuk mengendalikan naluri, menciptakan keteraturan, dan mencapai kebaikan melalui usaha. |
Ajaran Sosial, Struktur Keluarga, dan Praktik Keagamaan
Lima Hubungan Kemasyarakatan (Wu Lun 五倫): Fondasi Keteraturan
Untuk mencapai harmoni sosial yang didambakan di tengah kekacauan, Kongzi merumuskan Wu Lun, yang merupakan sistem hierarkis yang mendefinisikan lima hubungan dasar masyarakat. Sistem ini didasarkan pada resiprositas kewajiban, di mana pihak yang superior harus menunjukkan kebajikan dan tanggung jawab moral (Ren), sementara pihak inferior memiliki kewajiban untuk patuh, menghormati, dan menunjukkan kesetiaan (Yi dan Xiao).
Lima hubungan tersebut adalah:
- Penguasa dan Rakyat (Kewajiban keadilan vs. Loyalitas).
- Ayah dan Anak (Kewajiban kasih sayang vs. Bakti/Xiao).
- Suami dan Istri (Kewajiban kepemimpinan vs. Kepatuhan).
- Kakak dan Adik (Kewajiban kemurahan hati vs. Rasa hormat).
- Teman dan Teman (Kewajiban kepercayaan dan persahabatan).
Hubungan ini, yang diimbangi oleh moralitas dan resiprositas, memastikan setiap individu mengetahui tempatnya, sehingga mengurangi gesekan sosial. Legitimasi hierarki ini bergantung pada moralitas pihak superior. Jika penguasa gagal menunjukkan Ren atau Yi, legitimasi ketaatan yang dituntut dari rakyatnya akan runtuh.
Penerapan Praktis: Ritual Xiao dan Sembahyang Leluhur
Praktik ritual adalah inti dari Khonghucu. Salah satu ritual paling penting dan ekspresi tertinggi dari Xiao (Bakti) adalah Sembahyang Leluhur.
Ritual ini biasanya dilaksanakan pada Malam Imlek, dan merupakan cerminan dari nilai moral dan etika yang mendasari kehidupan masyarakat Tionghoa.
Makna dan Tujuan Sembahyang Leluhur
Sembahyang leluhur dipandang sebagai perjalanan spiritual yang menghubungkan generasi masa kini dengan warisan yang ditinggalkan oleh para pendahulu. Tradisi ini menekankan pengaruh roh leluhur terhadap kehidupan dan berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya menghargai akar keluarga dan identitas. Tujuan utama dari ritual ini meliputi
- Menghormati dan merenungkan ajaran serta kebijaksanaan yang diwariskan.
- Menjaga kelestarian sejarah keluarga.
- Merawat roh leluhur dengan sesajian dan doa agar mereka berbahagia.
- Mengharapkan berkah, bimbingan, dan perlindungan dari arwah leluhur.
Kongzi menekankan bahwa menghormati orang tua dan leluhur adalah pokok kewajiban. Melalui ritual ini, Khonghucu secara efektif menginstitusionalisasikan sejarah keluarga, memastikan kontinuitas etika antar-generasi, dan menjadikan keluarga sebagai unit pendidikan moral primer.
Prosedur Ritual
Ritual sembahyang biasanya dilakukan oleh keluarga Tionghoa di malam Imlek untuk memperkuat ikatan keluarga.
- Altar dan Perangkat: Meja khusus (altar) yang umumnya berwarna merah diisi dengan berbagai peralatan sembahyang. Elemen penting termasuk patung yang mewakili roh leluhur, dupa (Hio) sebagai simbol penghormatan, dan lilin yang menyala sebagai penerangan jalan bagi roh.
- Sien Ci (Papan Leluhur): Papan leluhur, yang dikenal sebagai Sien Ci atau Shen Wei, adalah elemen penting yang melambangkan tempat tinggal roh leluhur. Jika papan leluhur tidak tersedia, potret leluhur akan digantung.
- Persembahan: Persembahan dibagi menjadi yang dibakar (kertas dan uang tiruan, melambangkan pengiriman harta ke roh) dan yang tidak dibakar (makanan dan minuman yang akan dinikmati keluarga setelah upacara).
- Kepemimpinan: Upacara ini biasanya dipimpin oleh lelaki tertua atau orang yang paling dihormati dalam keluarga.
- Hari Raya Keagamaan Utama
Selain sembahyang leluhur, penganut Agama Khonghucu merayakan beberapa hari raya penting:
- Imlek (Tahun Baru Kongzi Li): Perayaan ini merupakan momentum untuk memperbaharui diri.Tujuannya adalah menyatukan umat, mengenang leluhur, menguatkan iman melalui doa bersama, dan menapaki kemakmuran menuju tahun yang baru. Perayaan Imlek didahului oleh Hari Persaudaraan (kegiatan sosial/amal) dan Sembahyang Leluhur sehari sebelum Tahun Baru.
- Cap Go Meh: Diperingati pada hari ke-15 kalender China, menandai akhir perayaan Imlek. Tujuannya adalah mengirimkan doa kepada orang tua dan memohon kepada Tuhan (Tian). Perayaan ini sering melibatkan ibadah di kelenteng dan pertunjukan Barongsai.
- Sembahyang Besar Kepada Tian Yang Maha Esa: Ritual yang menekankan pengakuan terhadap Tian (Tuhan Yang Maha Esa), yang mencerminkan sifat monoteistik dalam ajaran Khonghucu.
Pengaruh di Asia Timur
Ajaran Khonghucu sangat berpengaruh dalam membentuk etika, politik, dan kebudayaan di berbagai negara Asia Timur. Misalnya, di Korea, ajaran Khonghucu berakar kuat dalam pembentukan etika dan identitas bangsa, khususnya terkait dengan struktur keluarga dan semua klan yang memiliki hubungan darah. Penekanan pada hierarki, bakti, dan pendidikan telah menjadi kekuatan pendorong di balik disiplin sosial dan keberhasilan ekonomi di kawasan tersebut.
Khonghucu di Era Modern: Filsafat, Agama, dan Relevansi Global
Sifat Khonghucu seringkali diperdebatkan dalam kajian akademis, di mana ia dilihat secara bergantian sebagai filsafat etika-politik, sistem nilai kebudayaan, atau agama yang terorganisir. Bukti menunjukkan bahwa Khonghucu adalah sistem terpadu yang mengandung unsur filsafat pemikiran, politik, dan kebudayaan. Aspek keagamaan terlihat jelas dalam pengakuan terhadap Tian sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan dalam ritual penting seperti Sembahyang Leluhur, yang melibatkan penghormatan terhadap roh.
Mengingat penekanan Khonghucu pada ritual kenegaraan, tata kelola, dan harmonisasi sosial di bawah mandat Tian (Langit), Khonghucu dapat berfungsi sebagai ‘agama sipil’ (civil religion) yang secara efektif membentuk etika politik dan identitas seluruh bangsa, melampaui sekadar ketaatan individu.
Kritik dan Tantangan Modern
Dalam konteks modern, Khonghucu menghadapi kritik, terutama dari perspektif yang mengedepankan individualisme dan kesetaraan. Struktur hierarkis Wu Lun dan penekanan pada Li seringkali dianggap sebagai tradisi yang membatasi, terutama oleh pemikir modern yang cenderung mengkritisi tradisi otoriter.
Namun, di dalam Khonghucu terdapat ketegangan dinamis antara kewajiban yang ketat (struktur Li dan Wu Lun) dan kebebasan moral internal (Ren dan Junzi). Ketika menghadapi kritik terhadap hierarki, reinterpretasi Khonghucu yang relevan berfokus pada sisi Ren—empati universal dan kasih sayang—untuk mempertahankan relevansi filosofisnya, sambil memoderasi tuntutan Li yang mungkin dianggap kaku.
Kontinuitas Relevansi
Terlepas dari kritik, elemen-elemen inti Khonghucu tetap relevan secara global:
- Ren dan Junzi: Konsep kebajikan universal (Ren) dan ideal manusia yang terus berkultivasi (Junzi) menyediakan kerangka etika yang kuat untuk perilaku pribadi dan profesional.
- Tata Kelola Berbasis Kebajikan: Ajaran Khonghucu menekankan bahwa tata kelola yang baik harus berakar pada kebajikan (moralitas pemimpin), bukan hanya pada kekuasaan atau hukum. Prinsip ini terus menyumbang pada diskusi kontemporer tentang kepemimpinan yang etis.
- Stabilitas Sosial: Peran Khonghucu dalam menanamkan disiplin, etika kerja, dan struktur keluarga yang stabil di Asia Timur menunjukkan bahwa sistem ini merupakan kekuatan pendorong di balik stabilitas sosial dan kemajuan di kawasan tersebut.
Kesimpulan: Warisan dan Kontinuitas Ajaran Khonghucu
Ajaran Khonghucu adalah sistem etika yang komprehensif, dibangun di atas fondasi respons terhadap kekacauan politik di Zaman Negara Berperang. Sistem ini bertujuan merestorasi tatanan melalui kultivasi moral individu (menjadi Junzi) dan penegakan keteraturan sosial yang hierarkis namun resiprokal (Wu Lun).
Fondasi doktrinalnya terletak pada pilar-pilar etika seperti Ren (kemanusiaan), Li (kesusilaan), Yi (kebenaran), dan Xiao (bakti), yang diinstitusionalisasikan melalui kanon suci Si Shu dan Wu Jing. Kanon ini berfungsi sebagai kurikulum pendidikan negara yang luas, mencakup sejarah, ritual, dan metafisika, yang semuanya dirancang untuk membentuk pemimpin yang bermoral dan berintegritas.
Meskipun terdapat perbedaan filosofis mendalam mengenai sifat dasar manusia—yang terwakili oleh idealisme Mencius (Xing Shan) dan realisme Xunzi (Xing E)—keseluruhan tradisi Khonghucu sepakat pada keharusan kultivasi diri dan penerapan Li untuk mencapai peradaban. Praktik-praktik keagamaan, terutama Sembahyang Leluhur dan perayaan hari raya, adalah manifestasi praktis dari kebajikan Xiao dan komitmen Khonghucu terhadap kesinambungan historis dan ikatan keluarga.
Sebagai sistem yang menggabungkan filsafat, politik, dan agama sipil, Khonghucu terus menawarkan warisan yang kaya dan nuansanya tetap menjadi subjek studi kritis yang relevan dalam membentuk etika pribadi dan tatanan sosial di dunia modern.
