Disrupsi Digital dalam Lanskap Keagamaan Global
Revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah menjadi katalis bagi disrupsi yang meluas dalam kehidupan beragama, melampaui sekadar modernisasi teknis. Digitalisasi kini direfleksikan sebagai restrukturisasi fundamental dalam cara agama disebarkan dan dialami oleh umat manusia. Mediatisasi agama (proses di mana media menjadi bagian integral dari pesan dan praktik keagamaan) menuntut perumusan ulang konsep Teologi Digital—sebuah bidang studi yang menguji bagaimana prinsip-prinsip iman yang transenden berinteraksi dengan realitas digital yang imanen. Dalam konteks Indonesia dan global, perkembangan ini tidak hanya menyediakan sarana baru untuk komunikasi, tetapi juga mengubah sifat komunitas, otoritas spiritual, dan bahkan definisi kemanusiaan itu sendiri.
Rumusan Masalah Kunci
Laporan ini berfokus pada eksplorasi tiga dimensi kritis dalam interaksi Teknologi dan Teologi. Pertama, laporan mengkaji bagaimana platform digital mengubah struktur otoritas tradisional dan memicu komodifikasi pesan suci. Kedua, laporan menganalisis implikasi teologis dari praktik ibadah dan ritual non-inkarnasional atau virtual. Ketiga, pertanyaan etika yang paling mendesak adalah sejauh mana Kecerdasan Buatan (AI) dapat menggantikan peran klerus dan apa batas etis yang tidak boleh dilanggar dalam konteks teologis fundamental seperti konsep Imago Dei (manusia sebagai citra Allah). Analisis ini bertujuan untuk memberikan landasan kritis bagi institusi keagamaan dan regulator dalam merumuskan respons yang bertanggung jawab dan berakar pada prinsip-prinsip spiritual.
Digitalisasi Agama: Peran Media Sosial dalam Penyebaran Iman dan Transformasi Ibadah
Media Sosial sebagai Akselerator Dakwah dan Evangelisme
Digitalisasi telah memperluas jangkauan pesan agama secara eksponensial. Riset menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi sarana yang sangat penting dalam menyebarkan dakwah dan pendidikan Islam, memungkinkan pesan keagamaan mencapai audiens global yang lebih luas dan cepat. Platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok kini menjadi saluran utama untuk menyampaikan pesan-pesan keislaman, di mana konten digital Islami—berupa edukasi, hiburan, atau nasihat bernilai Islami—berkembang pesat.
Demikian pula, dalam tradisi Kristen, terdapat pandangan bahwa umat didorong untuk menerima dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan dan melaksanakan tugas serta tanggung jawab gereja. Iman Kristen menjadi dasar untuk menerima perkembangan IPTEK yang digunakan untuk memfasilitasi ibadah dan pendidikan agama. Pemanfaatan teknologi ini menegaskan bahwa alat digital dapat dilihat sebagai cara untuk mendukung praktik keagamaan kontemporer.
Fenomena Ibadah Online dan Streaming
Perkembangan teknologi telah mengubah praktik ibadah secara mendasar. Penggunaan platform streaming untuk ibadah virtual telah menjadi fenomena yang semakin umum, memodifikasi cara umat Kristen beribadah, berkomunikasi, dan mengakses sumber daya rohani. Dalam Islam, ritual keagamaan besar, termasuk pengalaman spiritual saat Umrah atau Haji, kini sering kali didokumentasikan dan disajikan melalui live streaming dan konten video. Hal ini menandakan adanya pergeseran cara umat beriman mencari dan mengalami spiritualitas—dari kehadiran fisik menjadi konsumsi digital.
Analisis Dampak Spiritual dan Sosiologis Ibadah Virtual
Ibadah online menghadirkan tantangan teologis yang signifikan, terutama mengenai konsep komunitas (jemaat) dan kehadiran ilahi (divine presence). Digitalisasi memunculkan pertanyaan tentang bagaimana praktik virtual memengaruhi pemahaman dan pengalaman spiritual. Meskipun akses meningkat, terdapat risiko bahwa digitalisasi dapat mengurangi kedalaman dan keintiman hubungan spiritual antar jemaat dan hubungan individu dengan Tuhan.
Dalam teologi, ibadah secara historis dipahami sebagai tindakan inkarnasional atau membutuhkan kehadiran fisik, di mana komuni dan persekutuan antarumat adalah esensial. Dengan adanya streaming, terjadi pergeseran struktural. Digitalisasi awalnya dilihat sebagai alat penyebaran. Namun, ketika ibadah beralih ke format streaming, esensi komunal dan embodied presence (kehadiran fisik) tempat ibadah terancam. Ibadah yang disiarkan secara daring menggeser fokus dari partisipasi komunal yang aktif menjadi konsumsi spiritual yang bersifat individual dan pasif. Konsekuensi dari proses mediatisasi ini adalah risiko terbentuknya spiritualitas yang terfragmentasi, di mana ikatan sosial keagamaan yang kuat melemah, meskipun akses terhadap informasi keagamaan meningkat pesat. Oleh karena itu, digitalisasi menuntut refleksi teologis yang inklusif untuk menjembatani peluang akses dengan tantangan dalam mempertahankan substansi spiritual dan komunal.
Transformasi Otoritas: Fenomena Influencer Agama dan Komodifikasi Pesan Ilahi
Pergeseran Otoritas dari Klerus Tradisional ke Digital Influencer
Lanskap keagamaan digital dicirikan oleh hybriditas, yaitu perpaduan antara praktik keagamaan tradisional dengan elemen budaya digital yang populer. Hal ini telah memicu evolusi peran ulama, pendeta, dan biksu, di mana otoritas kini bergeser dari mimbar ke layar.
Fenomena Muslimah Influencer, misalnya, menandakan pergeseran dalam dakwah kultural, di mana pengaruh dan legitimasi tidak lagi sepenuhnya bergantung pada sanad keilmuan formal, tetapi juga oleh popularitas, keterampilan produksi konten, dan gaya hidup digital. Otoritas pastoral tradisional menghadapi dampak mediatisasi ini karena konten kreator digital memediasi hubungan antara jemaat dan pemimpin agama. Dalam model tradisional, legitimasi didasarkan pada pendidikan formal dan struktur kelembagaan, sedangkan dalam model digital, legitimasi sering kali didasarkan pada popularitas, jangkauan audiens, dan monetisasi. Pergeseran ini menunjukkan adanya kompetisi di ranah digital yang diatur oleh logika pasar.
Kontroversi Komersialisasi Dakwah (Spiritualitas vs. Komoditas)
Media sosial, selain menjadi sarana penyampaian pesan keislaman, juga dimanfaatkan sebagai ajang untuk menebar kebaikan melalui konten dakwah yang dimonetisasi. Model monetisasi konten digital Islami meliputi crowdfunding, iklan (ads), dan donasi. Namun, hal ini menimbulkan dilema etika yang serius. Penelitian menyoroti kontroversi komersialisasi dakwah dari perspektif Dakwah Profetik , mempertanyakan moralitas di balik mengubah pesan suci menjadi komoditas.
Algoritma platform secara inheren mendorong monetisasi untuk mempertahankan keberlanjutan konten. Model bisnis platform digital didasarkan pada engagement dan potensi keuntungan. Ketika dakwah menjadi komoditas yang terikat pada model ekonomi ini, muncul pertanyaan etika: apakah fokus pada keuntungan (yang didorong oleh model bisnis platform) berisiko menggeser tujuan spiritual utama dakwah, yaitu menyebarkan kebaikan tanpa diskriminasi? Tantangan praktis yang ada termasuk kurangnya regulasi iklan yang halal dan kebutuhan bagi kreator konten untuk mengembangkan model monetisasi yang sejalan dengan prinsip syariah. Konsekuensi yang lebih dalam adalah potensi hilangnya keikhlasan dan terciptanya premium spirituality, di mana akses ke ajaran agama yang berkualitas menjadi terbatas bagi audiens yang mampu membayar atau terjangkau oleh iklan tertentu.
Tabel Esensial 1 menyajikan perbandingan struktural antara model otoritas keagamaan tradisional dan digital:
Tabel Esensial 1: Perbandingan Otoritas Keagamaan: Tradisional vs. Digital
| Dimensi Otoritas | Model Tradisional (Klerus/Ulama) | Model Digital (Influencer Agama) | Implikasi Teologis |
| Sumber Legitimasi | Pendidikan Formal, Sanad Keilmuan, Struktur Kelembagaan | Popularitas, Jangkauan Audiens, Keterampilan Konten, Monetisasi | Pergeseran dari Ilmiah/Silsilah ke Kapital Popularitas. Risiko dakwah dangkal. |
| Bentuk Komunikasi | Khotbah/Tausiyah tatap muka, Diskusi Komunal, Konseling Privat | Konten digital (Video, Live Stream), Narasi cepat, Interaksi Asimetris | Menekankan kecepatan dan visual di atas kedalaman dan konteks. |
| Hubungan dengan Jemaat | Inkarnasional, Hubungan Jemaat Permanen, Kedalaman Pastoral | Mediated, Hubungan Transaksional, Fokus pada Visual/Emosi | Erosi pelayanan pastoral dan komunal. Umat menjadi konsumen spiritual. |
Kecerdasan Buatan dan Krisis Peran Klerus: Eksplorasi Robot Pendeta dan Biksu AI
Implementasi AI dalam Institusi Keagamaan Global
Kecerdasan Buatan (AI) telah memasuki kehidupan umat beragama secara intensif. Implementasi AI di institusi keagamaan menunjukkan bahwa teknologi ini tidak lagi terbatas pada sektor sekuler:
- Gereja Protestan: Pada musim panas 2023, di Gereja Protestan Paul Church di Jerman, sebanyak 300 umat mendengarkan khotbah agama yang disampaikan oleh pendeta berupa robot AI.
- Kuil Buddha: Kuil Kodai-ji Buddhist Temple di Jepang telah menggunakan AI sejak 2019. Biksu KANNON MINDAR, yang bertenaga AI, tersedia kapan saja untuk memberikan nasihat berdasarkan doktrin Buddha.
- Masjid Agung: Sejak tahun 2023, Masjid Agung di Arab Saudi menempatkan robot AI untuk melayani pertanyaan umat dalam 11 bahasa, termasuk permintaan siraman rohani melalui pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an.
Realitas ini memicu pertanyaan penting yang diajukan oleh banyak teolog dan pemimpin agama: Apakah akan datang era di mana peran ulama, pendeta, dan biksu tradisional akan digantikan oleh robot kecerdasan buatan?
Batasan Fungsi AI dalam Pelayanan Inkarnasional
Dalam konteks pelayanan praktis, AI dapat bertindak sebagai alat bantu yang efisien, misalnya, ChatGPT dapat membantu penulisan khotbah, atau alat seperti Whisper dapat secara otomatis membuat transkrip video khotbah.
Meskipun demikian, AI tidak dapat menggantikan inti pelayanan spiritual. Para pendeta yang telah berinteraksi dengan teknologi ini mencatat bahwa meskipun bahasa AI berfungsi dengan baik, semua spiritualitas dan emosi tampaknya hilang dari komunikasi robot. Kehadiran AI menimbulkan tantangan serius bagi para pemimpin pelayanan untuk mengidentifikasi batas antara menggunakan teknologi sebagai alat bantu dengan risiko alat bantu tersebut menggantikan citra Allah (Imago Dei) dalam hubungan antarpribadi yang bersifat inkarnasional.
Adopsi AI didorong oleh keinginan institusi agama untuk mencapai efisiensi dan ketersediaan layanan spiritual 24/7. Hal ini secara bertahap menyebabkan rasionalisasi tugas-tugas spiritual, di mana nasihat keagamaan mulai diperlakukan sebagai informasi yang dapat diolah secara statistik dan algoritmik. Dampak mendalam dari tren ini adalah risiko dehumanisasi pelayanan. Jika umat mulai beralih sepenuhnya ke avatar AI untuk menjawab pertanyaan teologis terdalam, hubungan pastoral —yang esensinya terletak pada empati, kehadiran, dan hati nurani manusia—akan tererosi secara signifikan.
Tantangan Etika dan Teologi Eksistensial di Era AI
Krisis Epistemologis: AI dan Otoritas Teks Suci
Tantangan teologis yang paling mendalam muncul dari kemampuan generatif AI, yang berpotensi memodifikasi sumber otoritas agama. Seorang penasihat senior World Economic Forum (WEF) pernah menyarankan bahwa AI dapat digunakan untuk “menulis ulang” Alkitab agar menjadikannya “lebih inklusif” dan menarik secara global sebagai kitab suci. Lebih jauh, sejarawan dan filsuf Israel, Yuval Noah Harari, meramalkan potensi AI untuk menciptakan teks agama global.
Wacana ini menimbulkan tantangan sastra dan teologis yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap otoritas agama yang sudah mapan di seluruh dunia. Secara teologis, keyakinan fundamental banyak agama, seperti Kekristenan, adalah bahwa Alkitab diilhami oleh Tuhan melalui instrumen manusia. Kebenaran ini tidak dapat ditiru oleh mesin. Pemimpin agama Kristen menyatakan bahwa mereka tidak akan percaya bahwa teks yang dibuat oleh AI diilhami dengan cara yang sama seperti Kitab Suci yang mereka yakini.
Kemampuan AI memproses dan mensintesis data teks suci (misalnya, membuat “Bab Satu dari kitab suci baru” berdasarkan sintesis agama-agama dunia) merupakan titik awal yang berbahaya. Upaya untuk menciptakan teks agama “lebih baik” atau “lebih inklusif” menyiratkan penempatan AI sebagai otoritas yang secara implisit lebih tinggi daripada wahyu ilahi yang telah diterima. Konsekuensi terbesar dari krisis epistemologis ini adalah pergeseran sumber kebenaran dari yang transenden (Tuhan/Wahyu) menjadi yang imanen (Algoritma/Kecerdasan Buatan).
Etika Eksistensial: Imago Dei dan Hati Nurani AI
Kehadiran AI menghadirkan tantangan serius bagi pemahaman tradisional tentang hakikat manusia, terutama dalam konsep Imago Dei (manusia sebagai gambar Allah). Dalam teologi, jika manusia adalah gambar Allah, maka semua tindakan manusia—termasuk dalam pengembangan AI—harus mencerminkan sifat Allah yang kudus, adil, dan penuh kasih.
Terdapat kontras kualitatif yang tak terjembatani antara manusia dan mesin. AI bertindak berdasarkan input, statistik, dan pelatihan machine learning. Sebaliknya, manusia memiliki hati nurani (conscience) yang ditanamkan oleh Allah dan dipanggil untuk mewujudkan kasih, keadilan, dan belas kasih. Seorang pendeta Katolik berpendapat bahwa Tuhan “berbicara kepada kita di kedalaman jiwa kita,” sesuatu yang tidak akan pernah bisa ditiru oleh AI. Penggunaan AI dalam pelayanan spiritual yang bersifat mendalam berisiko mendegradasi fungsi hati nurani ini, karena nasihat yang diberikan AI didasarkan pada probabilitas statistik, bukan pada pemahaman empati dan moral yang transenden.
Tabel Esensial 2 menyajikan batasan teologis antara pelayanan manusia dan fungsi AI.
Tabel Esensial 2: Analisis Etis dan Teologis: Perbandingan Fungsi Manusia dan AI dalam Pelayanan Spiritual
| Fungsi Pelayanan | Klerus Manusia (Hati Nurani/Imago Dei) | Klerus AI (Algoritma/Data) | Tantangan Etika Kritis |
| Interpretasi Teks Suci | Membutuhkan Konteks, Empati, dan Hikmat Rohani; Dianggap diilhami Tuhan | Berdasarkan Input Statistik, Pelatihan Machine Learning, dan Sintesis Data | Risiko menggantikan Wahyu dengan Optimasi Algoritmik. |
| Kapasitas Etis | Memiliki Conscience (Hati Nurani); Harus mencerminkan Kasih dan Keadilan Allah | Bertindak tanpa kesadaran; Tidak mampu mewujudkan sifat Allah yang kudus | Dehumanisasi; Pengambilan keputusan spiritual tanpa fondasi moral transenden. |
| Hubungan Spiritual | Bersifat Inkarnasional, Memfasilitasi hubungan Antarpribadi dengan Allah | Bersifat Instrumental, Efisien, Tersedia 24/7 | Risiko menggantikan kedalaman hubungan dengan kemudahan layanan. |
Dampak Negatif Digitalisasi: Polarisasi, Radikalisasi, dan Literasi Digital
Media Sosial sebagai Platform Propaganda Digital
Meskipun media sosial adalah alat yang efektif untuk penyebaran agama, platform ini juga telah menjadi ruang yang sangat efektif untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang bersifat radikal, termasuk narasi ekstremisme. Media sosial berfungsi sebagai platform utama penyebaran propaganda radikal melalui konten yang dapat merangsang emosi dan memobilisasi kelompok tertentu. Berbagai bentuk ekspresi radikal, termasuk propaganda ekstrem dan rekrutmen online, dapat ditemukan dalam dinamika propaganda digital ini.
Polarisasi Sosial dan Peran Algoritma
Perkembangan teknologi, khususnya media sosial, telah membawa perubahan besar dalam praktik keberagamaan. Namun, platform ini sering kali memicu polarisasi informasi dan polarisasi sosial. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan engagement cenderung menyajikan konten yang memperkuat keyakinan yang sudah ada pada pengguna, membentuk apa yang dikenal sebagai echo chamber.
Teknologi informasi sering kali diasumsikan bersifat netral. Namun, dalam konteks ideologi keagamaan, desain struktural platform (yaitu, algoritma yang mengutamakan interaksi emosional dan sensasional) secara tidak disengaja memihak konten yang ekstrem atau provokatif. Ini berarti bahwa media sosial secara struktural mendorong non-moderasi dan mempercepat disintegrasi sosial-keagamaan. Fenomena ini merusak upaya moderasi beragama dan literasi digital, yang sangat diperlukan untuk mengatasi dinamika sosial yang berubah dan mewujudkan masyarakat yang lebih inklusif dan toleran. Upaya dakwah yang moderat menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk menembus kebisingan algoritmik yang didominasi oleh narasi yang memancing emosi dan memecah belah.
Kerangka Regulasi dan Etika Responsif
Respons Institusi Keagamaan Global
Institusi keagamaan tradisional mulai merespons tantangan digital dan AI dengan serius. Gereja Katolik, misalnya, menunjukkan respons proaktif: Vatikan pada Juni 2023 menerbitkan aturan etika setebal 140 halaman mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menggunakan AI untuk tujuan pembekalan agama. Meskipun ada pendeta yang terkesan dengan efisiensi dan kualitas bahasa AI, mereka secara konsisten mengakui hilangnya emosi dan spiritualitas yang tidak dapat digantikan oleh mesin.
Kebutuhan Reformasi Struktural dan Regulatif
Diperlukan reformasi struktural, regulatif, dan kultural dalam tubuh peradilan agama untuk menghadapi gelombang digitalisasi 5.0. Hal ini di Indonesia mencakup penggunaan bukti digital, yang dijuluki “dosa digital,” seperti chat dan jejak media sosial di ruang sidang peradilan agama. Reformasi ini harus memastikan peradilan tetap adaptif terhadap zaman tanpa kehilangan ruh keadilan substantif dan nilai-nilai syariah yang menjadi pijakan. Selain itu, pengembangan teknologi Islam yang lebih inklusif dan berbasis riset mendalam menjadi kebutuhan mendesak di era transformasi digital ini.
Kerangka Etika Monetisasi Konten Keagamaan
Kontroversi komersialisasi dakwah menunjukkan perlunya eksplorasi lebih dalam mengenai peran regulator. Tantangan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan aturan teknis, tetapi membutuhkan panduan yang bersifat teologis-filosofis. Respons awal institusi seringkali berfokus pada aspek teknis penggunaan teknologi. Namun, tantangan yang lebih dalam (seperti Imago Dei atau integritas wahyu) menuntut regulasi yang mencakup moralitas dan integritas ajaran.
Regulasi harus menjembatani hukum sekuler dengan prinsip-prinsip teologis mengenai komodifikasi. Jika pesan agama diubah menjadi layanan premium melalui model monetisasi berbasis iklan atau produk berbayar, hal itu dapat menciptakan kesenjangan akses informasi keagamaan. Diperlukan kerangka kerja etika yang transparan dan akuntabel untuk memastikan bahwa tujuan spiritual penyebaran kebaikan tetap menjadi prioritas utama, bukan motif keuntungan.
Tabel Esensial 3: Model Etika Komersialisasi Konten Keagamaan
| Model Monetisasi | Tantangan Etika Utama | Prinsip Panduan Teologis/Syariah | Respon Regulator/Institusi |
| Iklan (Ads) | Kurangnya Regulasi Iklan Halal/Etis; Risiko clickbait dan komodifikasi pesan suci | Harus selaras dengan nilai-nilai agama; Transparansi tujuan komersial | Kebutuhan regulasi iklan halal dan kesadaran digital di kalangan kreator. |
| Donasi/Fundraising | Memungkinkan Eksploitasi Emosi Jemaat; Fokus pada branding pribadi | Akuntabilitas jelas; Fokus utama harus pada penyebaran kebaikan (Mission) | Perlunya eksplorasi peran regulator dalam komersialisasi dakwah. |
| Produk Berbayar (E-book/Kursus) | Kesenjangan Akses Informasi Keagamaan; Mengubah spiritualitas menjadi layanan premium | Memastikan konten primer dapat diakses; Jaminan kualitas keilmuan | Mengintegrasikan etika monetisasi dalam reformasi regulatif keagamaan. |
Kesimpulan
Sintesis Temuan Kunci
Analisis menunjukkan bahwa digitalisasi agama adalah keniscayaan yang membawa peluang akses yang luar biasa, tetapi pada saat yang sama memicu krisis berlapis. Media sosial (MS) telah mengubah dinamika otoritas keagamaan, menggesernya dari keilmuan formal ke kapital popularitas, dan memicu dilema komodifikasi pesan suci. Sementara itu, Kecerdasan Buatan (AI) menghadirkan krisis eksistensial, khususnya mengenai peran klerus dan sifat teks suci. Inti dari iman—seperti inspirasi ilahi, keberadaan hati nurani (conscience), dan tuntutan kehadiran inkarnasional dalam pelayanan—terbukti tidak dapat direplikasi atau digantikan secara kualitatif oleh teknologi yang beroperasi berdasarkan statistik dan algoritma.
Rekomendasi bagi Pemimpin Agama dan Institusi Keagamaan
- Mewujudkan Pelayanan Inkarnasional Digital (Digital Incarnational Ministry): Institusi keagamaan harus menggunakan AI sebagai alat augmentasi (penambah efisiensi) dan bukan substitusi (pengganti) peran klerus. Fokus harus tetap pada pemeliharaan kedalaman hubungan antarpribadi dalam pelayanan pastoral, bahkan ketika disalurkan melalui media digital. Batasan harus dijaga untuk mencegah AI menggantikan citra Allah dalam hubungan manusia-Tuhan.
- Membangun Benteng Teologis: Institusi harus secara proaktif merespons tantangan epistemologis AI. Hal ini melibatkan penegasan kembali konsep wahyu, inspirasi ilahi, dan Imago Dei sebagai batas tak tertembus bagi Kecerdasan Buatan. Filsafat Teknologi Keagamaan perlu dikembangkan untuk memandu adopsi teknologi agar mencerminkan nilai-nilai ilahi seperti kasih dan keadilan.
- Investasi dalam Literasi Digital Keagamaan: Pendidikan harus ditujukan kepada umat dan klerus untuk memahami bahaya polarisasi algoritmik, risiko echo chamber, dan mekanisme propaganda radikal di media sosial. Program literasi harus menekankan pentingnya moderasi beragama dan toleransi dalam lingkungan digital.
Rekomendasi bagi Regulator dan Akademisi
- Mengembangkan Kerangka Etika Digital Berbasis Teologi: Regulator dan akademisi harus berkolaborasi untuk menyusun regulasi yang menjembatani hukum sekuler dengan prinsip-prinsip teologis (Syariah, Etika Kristen) mengenai otonomi AI dan komodifikasi agama. Kerangka ini harus memastikan transparansi dalam monetisasi konten keagamaan untuk menjaga integritas pesan suci.
- Mendorong Riset Interdisipliner: Diperlukan peningkatan riset interdisipliner yang mengintegrasikan kajian teknologi, sosiologi, dan teologi. Pendekatan ini akan memungkinkan para peneliti untuk menghasilkan rekomendasi strategis yang kontekstual dan aplikatif untuk mengelola hubungan kompleks antara iman dan mesin.
