Latar Belakang Epistemologis: Mengapa Mencari Rasionalitas Universal

Pencarian atas konsep “Akal” (Reason) yang universal merupakan proyek filosofis fundamental yang berakar pada klaim universalitas yang dibawa oleh Pencerahan (Enlightenment) Barat. Proyek ini mengandaikan adanya kemampuan kognitif dan normatif fundamental yang dimiliki bersama oleh umat manusia, terlepas dari konteks budaya atau agama. Namun, analisis komparatif yang cermat menunjukkan bahwa, meskipun fungsi dasar akal—misalnya, kemampuan untuk mengatur, mensistematisasi, dan menghasilkan pengetahuan—mungkin universal, bentuk epistemologis dan teleologisnya sangat bervariasi antar peradaban.

Tulisan ini berpendapat bahwa tujuan mencari “Akal” universal bukanlah untuk mengidentifikasi bentuk tunggal yang memaksakan hegemoni filsafat Barat, melainkan untuk menemukan fungsi bersama yang memungkinkan berbagai peradaban untuk beradaptasi, bernegosiasi dengan modernitas, dan membangun jalur kemajuan alternatif. Jika Kant memandang akal sebagai legislator otonom yang membebaskan subjek dari otoritas eksternal, tradisi Timur (seperti Neo-Konfusianisme dan Islam) memandang akal sebagai alat teleologis yang terikat pada tatanan kosmik atau tujuan ilahi. Dengan membandingkan model-model ini, dimungkinkan untuk melakukan kritik metahistoris terhadap klaim bahwa modernitas hanya dapat dicapai melalui sekularisme radikal dan kemajuan linier.

Struktur Argumentasi dan Peta Jalan Studi Komparatif

Tulisan ini disusun dalam tiga bagian utama: pertama, perbandingan model rasionalitas; kedua, analisis strategi negosiasi modernitas di negara-negara mayoritas non-Barat; dan ketiga, kritik terhadap gagasan kemajuan linier.

Tulisan ini berargumen bahwa model rasionalitas yang paling berkelanjutan dan etis adalah yang bersifat integratif dan teleologis, bukan otonom dan instrumental. Model integratif ini, yang ditunjukkan oleh konsep Li (Neo-Konfusianisme) dan Mashlahah (Islam), menawarkan kerangka kerja di mana akal tidak harus mengorbankan tradisi atau nilai-nilai etis demi kemajuan material. Kritik terhadap teleologi kemajuan Barat (seperti yang diuraikan oleh Adorno dan Horkheimer) semakin memperkuat perlunya mengadopsi model kemajuan multilinear dan siklus yang telah lama dipegang oleh peradaban Asia.

Epistemologi Komparatif: Memetakan “Akal” dari Otonomi hingga Tatanan Kosmik

Akal Otonom Barat: Kant dan Kedaulatan Subjek

Dalam konteks Pencerahan Barat, terutama dalam filsafat Immanuel Kant (1781), Akal Teoretis (Vernunft) diangkat sebagai pusat otoritas dan pengetahuan. Akal Kantian ditandai oleh otonomi radikal: subjek rasional dipandang sebagai legislator moral bagi dirinya sendiri, melepaskan diri dari tuntutan tradisi, wahyu, atau otoritas eksternal. Konsep ini krusial bagi fondasi modernitas Barat karena ia memberikan landasan bagi hukum moral yang universal dan sumber pengetahuan yang independen.

Akal otonom Kant ini secara historis memicu dualisme epistemologis yang menjadi karakter utama pandangan dunia Barat modern. Dualisme ini melihat sains dan agama, atau akal dan wahyu, sebagai hal yang bertentangan dan tidak dapat disatukan secara harmonis. Dengan menempatkan akal di atas wahyu dan dunia di atas akhirat, epistemologi Barat modern yang skeptis memisahkan tradisi dari modernitas, memperkuat sekularisme. Inti dari pemikiran ini adalah bahwa pusat otoritas dipindahkan dari entitas luar (Tuhan atau kosmos) ke dalam diri individu yang rasional.

Logos Yunani: Rasionalitas sebagai Keterikatan Kosmik

Sebelum Pencerahan, pemikiran Barat sangat dipengaruhi oleh konsep Logos Yunani, yang mewakili prinsip rasional dan tatanan yang mengatur alam semesta. Logos bersifat objektif dan eksternal; rasionalitas manusia dilihat sebagai cerminan atau partisipasi dalam tatanan kosmik yang sudah ada, bukan sebagai pembuat hukumnya sendiri.

Meskipun secara historis Kant dan filsuf pra-Pencerahan lain memiliki komitmen bersama terhadap rasionalitas dan etika , perbedaan teleologisnya signifikan. Sementara Kantianisme berfokus pada kedaulatan subjek, Logos memandang rasionalitas sebagai keterikatan pada tatanan luar. Mencari Akal Universal dalam perbandingan ini harus mengakui bahwa rasionalitas dapat berfungsi untuk menjembatani tatanan yang lebih tinggi (seperti yang dilakukan Maimonides atau Spinoza, yang berkomitmen pada rasionalitas dan etika) atau untuk mengisolasi subjek sepenuhnya (seperti dalam akal teoretis Kant).

Tatanan Kosmik Timur: Prinsip (Li) dalam Neo-Konfusianisme

Dalam filsafat Neo-Konfusianisme, terutama yang dikodifikasi oleh Zhu Xi (dikenal sebagai “Sekolah Prinsip”), konsep sentral Li (Prinsip atau Tatanan) menawarkan model akal yang terintegrasi secara metafisik. Li adalah prinsip universal yang mendasari realitas dan harus diinternalisasi oleh individu.

Neo-Konfusianisme, yang telah bertahan dan beradaptasi selama lebih dari dua milenium, menunjukkan sifat filosofi yang sangat dinamis. Zhu Xi melakukan sintesis filosofis yang signifikan dengan meminjam konsep Li dan Qi (kekuatan materi) dari Daoisme dan Buddhisme. Sintesis ini menciptakan kerangka metafisik yang koheren, memungkinkan Konfusianisme merespons tantangan intelektual sambil menjamin kelangsungan hidupnya.

Akal dalam tradisi ini berfungsi sebagai jalan menuju pembinaan moral diri dan penghormatan. Li bukan sekadar akal teoretis yang otonom; ia adalah tatanan etika yang terjalin dengan kosmos. Dalam filsafat Tiongkok, Tao (“jalan”) pada dasarnya adalah “jalan manusia,” di mana manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur melalui keutamaan dan hidup yang baik. Artinya, Akal adalah kemampuan untuk menyelaraskan diri dengan tatanan moral kosmik yang lebih besar, memandang rasionalitas sebagai cerminan dan pemelihara tatanan tersebut.

Rasionalitas Teleologis Islam: Ra’yu dan Ijtihad

Dalam tradisi Islam, akal (Ra’yu) digunakan sebagai alat penting dalam Ijtihad (usaha keras seorang mujtahid) untuk menafsirkan nash yang ambigu (zhannīy al-dilālah) atau untuk merumuskan hukum dalam menghadapi masalah-masalah baru yang tidak diatur secara eksplisit oleh wahyu.

Mekanisme ini sangat mengandalkan konsep Mashlahah (kemaslahatan atau kepentingan umum). Mashlahah yang sah (al-mashlahah al-mursalah) harus memenuhi dua kriteria utama yang melibatkan akal: pertama, ia harus sejalan dan senapas dengan maksud-maksud syara’ (Maqashid as-Syar’iyyah—tujuan syariat) ; dan kedua, mashlahah harus dapat dicapai dan diterima secara logis oleh akal sehat (rationable).

Dengan demikian, akal dalam Islam bersifat teleologis: ia beroperasi secara rasional (logis dan masuk akal), tetapi kinerjanya diarahkan dan dibatasi oleh tujuan yang lebih tinggi, yaitu tercapainya kemaslahatan publik sesuai dengan tujuan ilahi. Ini secara implisit menolak model akal otonom Kantian, di mana akal tidak terikat pada otoritas atau tujuan transenden apa pun.

Sintesis Locus Rasionalitas

Perbandingan ini mengungkapkan kontradiksi mendasar dalam lokus otoritas rasionalitas. Kant memindahkan pusat otoritas dari Tuhan/Kosmos ke subjek individu, menegaskan kebebasan akal secara radikal. Sebaliknya, Li mempertahankan otoritas kosmos/alam, di mana akal adalah kemampuan untuk mencerminkan dan menginternalisasi tatanan eksternal. Sementara itu, Ra’yu menempatkan akal sebagai alat yang terikat pada tujuan ilahi.

Jika kita mencari Akal universal, perbedaannya terletak pada apakah akal itu bebas (otonom) atau terikat (teleologis/kosmik). Model-model Akal di Timur sering kali berfungsi sebagai mekanisme keseimbangan dan adaptasi yang memastikan kontinuitas tradisi. Misalnya, kemampuan Neo-Konfusianisme untuk menyerap unsur asing atau penggunaan Ijtihad dalam Islam untuk memastikan relevansi hukum menunjukkan bahwa akal digunakan untuk menjaga keutuhan sistem, berbeda dengan Pencerahan Barat yang melihat akal sebagai pemicu diskontinuitas radikal.

Tabel A: Perbandingan Kerangka Akal (Reason) dalam Filsafat Timur dan Barat

Kerangka Filosofis Konsep Akal Sentral Lokus Otoritas Fungsi Utama Keterikatan
Pencerahan Barat Vernunft (Kant) Subjek Otonom Legislasi Moral & Pengetahuan Otonom, Bebas dari Wahyu
Filsafat Yunani Logos Tatanan Kosmik (Objektif) Mencerminkan Tatanan Alam Terikat pada Tatanan Eksternal
Neo-Konfusianisme Li (Prinsip) Kosmos/Metafisika Etis Pembinaan Moral Diri, Harmoni Teleologis (Kosmik, Etis)
Filsafat Islam Ra’yu dalam Ijtihad Teks/Tujuan Syariat (Maqashid) Mencapai Mashlahah (Kemaslahatan) Teleologis (Terikat Tujuan Ilahi)

Pencerahan dan Negosiasi Sekularisme di Peradaban Non-Barat

Genealogi Sekularisme Barat: Paket Dualisme Epistemologis

Di Barat, sekularisasi muncul sebagai konsekuensi inheren dari proses modernisasi di era Pencerahan. Dalam proses ini, peran agama sebagai pusat nalar digantikan oleh akal. Sekularisme menekankan aspek duniawi dan material, sedangkan nilai-nilai spiritual tidak lagi menjadi prioritas utama. Masyarakat yang sekuler memusatkan perhatian pada kehidupan dunia dan benda-benda fisik semata.

Karakteristik kunci sekularisme Barat adalah dualisme radikal. Epistemologi sekuler memandang sains dan agama berada pada ranah yang berbeda dan tidak boleh saling mencampuri. Dualisme ini memisahkan wahyu dari akal, dan tradisi dari modernitas. Konteks politik historis, seperti Revolusi Prancis 1789 dengan prinsip Liberté, Égalité, Fraternité, memperkuat nasionalisme sekuler, yang menjadi sebab keruntuhan monarki absolut dan feodalisme, sekaligus menandai pemisahan agama dan negara. Dalam pandangan Barat, sekularisme menjadi prasyarat untuk modernitas.

Studi Kasus Islam: Modernitas Melalui Integrasi (Tajdid)

Gerakan Pencerahan di negara-negara mayoritas Muslim, yang dikenal sebagai Tajdid atau reformasi, menunjukkan upaya menyeimbangkan tradisi agama dengan gagasan modernitas tanpa mengadopsi dualisme radikal Barat.

Reformasi Hukum Melalui Ijtihad: Isu-isu modern, termasuk tantangan ekonomi Islam kontemporer, dijawab melalui mekanisme Ijtihad. Ijtihad memungkinkan pembaruan pemikiran hukum Islam dan merupakan inti dari upaya reformasi. Konsep Mashlahah berperan penting di sini, memastikan bahwa akal digunakan untuk menghasilkan solusi yang rasional (rationable), etis, dan kontekstual, selaras dengan tujuan syariat. Akal berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan relevansi hukum Islam di era modern.

Reformasi Pendidikan (Studi Kasus Muhammadiyah): Gerakan reformasi pendidikan Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah pada awal abad ke-20, adalah contoh nyata negosiasi ini. Pendidikan tradisional (model pesantren/surau) dianggap sangat konservatif dan tidak memenuhi standar pendidikan modern. Pendirian Madrasah Ibtidaiyyah oleh Kiyai Dahlan merupakan perpaduan antara spiritualitas keislaman dari pesantren dengan instrumen dan kurikulum dari sistem sekolah Belanda. Ini adalah upaya adopsi teknik modern (seperti kurikulum terstruktur dan metode pengajaran) tanpa harus mengadopsi ideologi sekuler radikal di baliknya.

Keberhasilan atau kegagalan reformasi ini sangat bergantung pada faktor agama, politik, dan sosial spesifik dalam masyarakat Muslim tertentu. Model ini menunjukkan bahwa modernitas dapat dicapai melalui adopsi instrumental sambil menolak dualisme epistemologis Barat. Gerakan-gerakan ini menggunakan akal yang sangat pragmatis untuk adaptasi, yang dapat disebut sebagai konservatisme adaptif—menggunakan rasionalitas untuk melestarikan tradisi dengan membuatnya relevan, bukan untuk menghancurkannya.

Dinamika di Peradaban Hindu dan Buddha: Adaptasi Non-Dualistik

Peradaban Hindu dan Buddha juga menunjukkan strategi adaptasi yang menghindari pemisahan radikal antara tradisi dan modernitas.

Strategi Adaptasi Hindu: Umat Hindu menghadapi tantangan global seperti Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Strategi adaptasi berfokus pada mempertahankan nilai-nilai inti dalam menghadapi lingkungan sosial dan budaya baru yang menuntut partisipasi dalam teknologi global. Adaptasi ini menyoroti bagaimana modernitas dipandang sebagai tantangan teknologis dan sosial, yang memerlukan respons strategis, bukan sebagai panggilan untuk melepaskan spiritualitas.

Strategi Buddha dan Modernisasi Media: Dalam tradisi Buddha, modernitas sering kali melibatkan evolusi cara penyampaian ajaran. Seni keagamaan Buddha telah bertransformasi dari media tradisional (patung, lukisan) ke berbagai bentuk ekspresi kontemporer, termasuk teknologi digital dan platform online. Inovasi ini mengubah cara makna spiritual dan filosofis disampaikan dalam konteks dunia modern. Di sini, akal digunakan untuk memodernisasi medium penyampaian ajaran untuk menjangkau audiens yang lebih luas, tetapi pesan spiritual inti tetap dipertahankan.

Kesimpulan Sub-Bab: Menolak Sekularisme Radikal

Studi kasus di peradaban mayoritas non-Barat menunjukkan penolakan yang konsisten terhadap sekularisme radikal sebagai prasyarat modernitas. Modernitas yang diadopsi sering kali merupakan modernisme integratif, di mana rasionalitas Pencerahan disaring secara selektif. Komponen instrumental (teknologi, sistem administrasi, kurikulum modern) diadopsi karena menghasilkan efisiensi, sementara komponen ideologis (yang menuntut penolakan wahyu dan dualisme) ditolak karena dianggap bertentangan dengan ontologi dan etika setempat.

Model-model ini memperluas definisi modernitas untuk mencakup jalur yang menggunakan akal sebagai alat konservatisme adaptif, memastikan bahwa rasionalitas dapat hidup berdampingan dengan otoritas agama.

Tabel B: Strategi Negosiasi Modernitas dan Sekularisme di Berbagai Peradaban

Peradaban Model Modernitas Strategi Akal/Tradisi Tujuan Adaptasi
Barat (Pencerahan) Modernitas Sekuler Dualisme Radikal (Akal vs. Wahyu) Otonomi Subjek, Kemajuan Linier
Islam (Tajdid) Modernisme Integratif Ijtihad (Akal teleologis terikat Mashlahah) Mempertahankan relevansi Hukum Islam
Neo-Konfusianisme Konservatisme Adaptif Sintesis Filosofis (Li dan Qi) Keseimbangan Kosmik, Pembinaan Moral
Hindu/Buddha Modernisasi Media/Struktur Adaptasi non-dualistik Mempertahankan makna spiritual inti dalam konteks baru

Kritik Terhadap Teleologi Linier: Membedah Gagasan “Kemajuan” Global

Kemajuan (Progress) sebagai Narasi Hegemonik Barat dan Waktu Linier

Gagasan tentang “kemajuan” (progress) dalam Pencerahan Barat didasarkan pada konsep waktu yang linier. Waktu linier mengandaikan bahwa sejarah adalah akumulasi kemajuan yang tak terhindarkan dan bergerak maju dari kondisi yang primitif ke kondisi yang superior—sebuah teleologi yang sering diukur melalui industrialisasi, penguasaan alam, dan penyebaran model politik liberal. Model kemajuan linier ini telah dipaksakan secara internasional, mengabaikan jalur perkembangan lokal dan menuntut negara-negara lain untuk “mengejar” standar tunggal Barat.

Konsep ini, yang secara budaya sangat khas Barat , menjadi standar universal yang membenarkan intervensi politik dan ekonomi global.

Kritik Adorno dan Horkheimer: Kegagalan Dialektika Pencerahan

Filsuf Mazhab Frankfurt, seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer, mengajukan kritik mendalam terhadap proyek Pencerahan. Mereka berpendapat bahwa logika pencerahan, yang awalnya bertujuan membebaskan manusia melalui pengetahuan dan rasio, telah bertransformasi menjadi mekanisme yang menegaskan kekuasaan dan kontrol total.

Kegagalan ini berakar pada dominasi rasionalitas instrumental—akal yang berfokus pada efisiensi cara tanpa mempertimbangkan tujuan moral atau etis. Totalitarianisme modern muncul sebagai konsekuensi dari logika Pencerahan ini.

Negara otoritarian muncul ketika rasio dan ilmu pengetahuan digunakan semata-mata untuk menegakkan kekuasaan, bukan untuk memperluas kebebasan manusia. Kritik ini menyoroti bahwa kekacauan dan totalitarianisme bukan karena kekurangan rasio, tetapi karena kekeliruan dalam tujuan dan penggunaan rasio tersebut, yang mengabaikan aspek moral dan etis. Rasionalitas instrumental yang tanpa batas pada akhirnya membenarkan penindasan. Kritik ini menyediakan landasan filosofis mengapa peradaban non-Barat mencari model kemajuan yang secara inheren terikat pada etika.

Model Kemajuan Alternatif dan Konsep Waktu Non-Linier

Pencarian model kemajuan yang berbeda merupakan penolakan terhadap pemaksaan teleologi linier Barat. Upaya ini sering melibatkan pengakuan terhadap ontologi waktu yang berbeda.

Waktu Siklus dan Spiral (Timur): Berbeda dengan waktu linier Barat, banyak tradisi Timur, seperti Buddhisme dan metafisika Cina (Yin-Yang) , memandang perubahan dan waktu secara siklus atau spiral. Prinsip Yin (pasif, ketenangan) dan Yang (aktif, gerak) bekerja dalam sintesis harmonis. Dalam perspektif ini, kemajuan tidak diukur sebagai akumulasi tanpa akhir, tetapi sebagai pencapaian keseimbangan dan pemulihan tatanan. Ini menunjukkan upaya dekolonisasi narasi sejarah dengan menolak gagasan bahwa Timur harus terus-menerus “mengejar” Barat.

Model Ekonomi dan Ekologis Alternatif (Sirkular): Filosofi siklus menemukan aplikasinya dalam isu kontemporer. Model Ekonomi Sirkular (Circular Economy) muncul sebagai solusi terhadap kelemahan model ekonomi linier yang dominan—yang dicirikan oleh konsumsi sumber daya alam yang berlebihan. Ekonomi sirkular, yang berfokus pada penggunaan kembali dan keberlanjutan, adalah penerapan modern dari filosofi non-linier yang menekankan keseimbangan dan pembaruan, bukan akselerasi dan limbah.

Model Kemajuan Politik Alternatif (KAA/Non-Blok): Di arena politik, penolakan terhadap jalur kemajuan tunggal Barat diekspresikan melalui Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang digerakkan oleh Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno. KAA bertujuan untuk memperkuat solidaritas dan kerja sama antar negara yang baru merdeka untuk menghadapi tantangan pascakolonialisme. Gerakan Non-Blok, yang lahir dari semangat KAA, mewakili jalur kemajuan politik yang menolak penjajahan dan prioritas yang didikte oleh kekuatan hegemonik Barat. KAA adalah manifestasi dari kemajuan yang berpusat pada solidaritas horizontal dan penentuan nasib sendiri, bukan akumulasi kekuasaan linier.

Kesimpulan

Tulisan ini menyimpulkan bahwa konsep “Akal” yang universal terletak pada fungsi responsifnya—kemampuannya untuk secara cerdas dan pragmatis beradaptasi dengan realitas baru. Namun, Akal yang paling efektif dan etis adalah yang menolak premis otonomi radikal yang ditawarkan oleh Kant dan memilih model teleologis dan integratif yang ditemukan dalam filsafat Timur.

Model Neo-Konfusianisme (Li) dan Islam (Mashlahah) menunjukkan bahwa akal dapat digunakan secara logis (rationable) tanpa memisahkan diri dari otoritas etis, kosmik, atau spiritual. Rasionalitas yang terikat pada moralitas, seperti yang diwajibkan oleh Maqashid as-Syar’iyyah , menawarkan perlindungan yang lebih kuat terhadap distopia totalitarianisme modern yang dihasilkan oleh rasionalitas instrumental yang tidak bermoral.

Model modernitas yang diadopsi di Asia/Afrika bersifat selektif, mengadopsi instrumen modern sambil menolak ideologi dualisme epistemologis yang memisahkan akal dari wahyu.

Hasil analisis ini memiliki implikasi signifikan bagi politik global. Modernitas harus diakui sebagai proses multilinear. Mengadopsi model kemajuan yang berpusat pada keseimbangan (siklus, seperti dalam Ekonomi Sirkular ) dan solidaritas (seperti yang diadvokasi oleh KAA ) adalah kebutuhan kontemporer, terutama dalam menghadapi tantangan ekologis dan sosial yang ditimbulkan oleh model linier Barat.

Pengakuan terhadap Akal sebagai kemampuan adaptasi etis memungkinkan dialog peradaban yang setara. Ia menolak standar tunggal kemajuan dan memberikan legitimasi filosofis bagi negara-negara untuk menggunakan rasionalitas mereka dalam kerangka teologis atau kosmologis yang telah teruji, sehingga menghasilkan kemajuan yang relevan secara lokal dan berkelanjutan secara global.

Analisis ini membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana model rasionalitas kolektif—berbeda dengan fokus Kant pada individu rasional—beroperasi dalam sistem pengambilan keputusan Neo-Konfusian dan Islam. Perlu dieksplorasi lebih dalam bagaimana mekanisme adaptive conservatism menggunakan akal untuk melestarikan tradisi dalam menghadapi perubahan teknologi yang pesat, seperti Revolusi Industri 4.0. Penelitian harus meluas untuk mengkaji bagaimana konsep waktu non-linier dapat secara aktif membentuk tata kelola dan kebijakan publik di luar domain ekonomi, misalnya dalam perencanaan urban dan reformasi sosial.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 2 = 2
Powered by MathCaptcha