Krisis Multilateralisme dan Fragmentasi Perdagangan

Sistem perdagangan multilateral global, yang berpusat pada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), kini menghadapi krisis eksistensial. Berawal dari lonjakan Perang Tarif yang dipicu oleh kebijakan unilateral pada pertengahan 2010-an, ancaman terbesar terhadap WTO saat ini bukanlah tarif itu sendiri, melainkan proliferasi Hambatan Non-Tarif (Non-Tariff Barriers/NTBs) dan pergeseran agresif menuju Perjanjian Perdagangan Bilateral/Regional (Regional Trade Agreements/RTAs).

NTBs modern—terutama subsidi industri domestik masif dan standar lingkungan yang diberlakukan secara sepihak—telah menjadi alat utama proteksionisme. Kebijakan-kebijakan ini, seperti Inflation Reduction Act (IRA) AS dan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa, secara langsung menantang prinsip-prinsip dasar WTO, yaitu Perlakuan Paling Disukai (Most-Favored Nation/MFN) dan Perlakuan Nasional (National Treatment).

Krisis ini diperparah oleh kelumpuhan pada mekanisme penyelesaian sengketa WTO—khususnya Badan Banding (Appellate Body/AB). Absennya wasit terakhir ini telah menciptakan kekosongan penegakan hukum, yang mendorong negara-negara untuk mengabaikan aturan multilateral dan semakin memperkuat kecenderungan menuju fragmentasi perdagangan.

Pergeseran Paradigma: Dari Tarif ke Hambatan Non-Tarif (NTBs)

Secara tradisional, negosiasi perdagangan global berfokus pada penurunan tarif (bea masuk). Namun, dalam beberapa dekade terakhir, NTBs telah muncul sebagai mekanisme kontrol perdagangan yang lebih canggih dan sulit dilawan.

Hambatan Non-Tarif (NTBs) didefinisikan sebagai semua langkah non-pajak yang diberlakukan oleh pemerintah untuk mendukung pemasok domestik di atas pemasok asing. NTBs tidak membebankan biaya finansial langsung (duties) seperti tarif, melainkan menciptakan pembatasan melalui:

  1. Persyaratan Konten Lokal (Local Content Requirements): Kewajiban untuk membeli barang atau jasa yang diproduksi secara domestik, atau memberikan preferensi yang hanya diterima jika produsen menggunakan komponen atau layanan lokal.
  2. Standar dan Sertifikasi: Standar produk, sertifikasi, atau penundaan bea cukai yang menciptakan biaya tersembunyi dan tantangan regulasi bagi eksportir.
  3. Subsidi Domestik: Bantuan pemerintah kepada industri lokal yang mendistorsi harga dan keunggulan kompetitif di pasar global.

Saat ini, NTBs secara substansial memengaruhi perdagangan internasional melalui biaya informasi, kepatuhan, dan biaya prosedural. Tren proteksionisme modern semakin bergeser dari tarif sederhana, yang sudah berhasil diturunkan WTO, menuju NTBs yang lebih terselubung dan kompleks.

Erosi Prinsip MFN oleh Perjanjian Bilateral

Prinsip dasar WTO adalah Perlakuan Paling Disukai (MFN), yang mewajibkan semua anggota untuk memberikan perlakuan tarif dan regulasi yang sama kepada produk dari semua negara anggota WTO lainnya. Dengan kata lain, jika suatu negara memberikan perlakuan istimewa kepada satu mitra dagang, ia harus memperluas perlakuan yang sama kepada semua anggota WTO.

Namun, pertumbuhan pesat Perjanjian Perdagangan Regional (RTAs) atau perjanjian bilateral telah secara signifikan mengikis prinsip MFN ini, Terdapat lebih dari 600 RTA yang telah diberitahukan dan berlaku di WTO per Desember 2024. Meskipun RTA diizinkan sebagai pengecualian di bawah GATT Pasal XXIV (dengan syarat menghilangkan tarif pada “secara substansial semua perdagangan”), proliferasi perjanjian eksklusif ini menciptakan lingkungan yang diskriminatif.

Para analis berpendapat bahwa MFN kini menjadi begitu jarang diterapkan—hanya berlaku untuk sebagian kecil perdagangan—sehingga prinsip tersebut mungkin lebih tepat didefinisikan sebagai “Perlakuan Paling Kurang Disukai” (least-favored-nation). RTA dapat melengkapi, tetapi tidak dapat menggantikan sistem multilateral.

Hambatan Non-Tarif Utama: Subsidi dan Proteksionisme Hijau

Dua NTBs yang paling mendistorsi dan menantang sistem WTO adalah subsidi industri dan standar lingkungan baru yang diberlakukan secara unilateral.

Kebuntuan Regulasi Subsidi Industri

Subsidi industri adalah alat proteksionisme kuno yang kini dihidupkan kembali, terutama oleh negara-negara maju. Tujuh puluh persen dari tindakan subsidi yang mendistorsi perdagangan pada tahun 2023 dilakukan oleh ekonomi maju.

Hukum WTO menangani subsidi di bawah Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM Agreement). Subsidi dibagi menjadi dua kategori:

  1. Subsidi Terlarang (Prohibited Subsidies): Subsidi yang dilarang tanpa syarat, yaitu yang tergantung pada kinerja ekspor atau penggunaan barang domestik di atas barang impor (import substitution subsidies).
  2. Subsidi yang Dapat Ditindaklanjuti (Actionable Subsidies): Subsidi lain yang dapat ditentang jika terbukti menyebabkan “dampak buruk” (adverse effects) pada kepentingan anggota lain.

Kelemahan struktural aturan WTO terletak pada Actionable Subsidies:

  • Beban Pembuktian yang Mahal: Anggota WTO harus menunggu hingga kerusakan ekonomi (yang mungkin tidak dapat dipulihkan) terjadi sebelum mengajukan sengketa. Pembuktian dampak buruk sangat sulit dan mahal.
  • Remedi yang Lemah: Upaya pemulihan yang diberikan WTO bersifat prospektif, yang berarti remedi tersebut tidak dapat membatalkan kerugian yang diderita atau menawarkan kompensasi moneter.
  • Kurangnya Transparansi: Persyaratan pelaporan subsidi seringkali terlambat, tidak lengkap, atau tidak ada sama sekali.

Tantangan Proteksionisme Hijau (Green Protectionism)

Subsidi dan standar lingkungan baru yang didorong oleh kebijakan iklim telah menjadi sumber friksi perdagangan yang paling tajam.

Konflik antara Tujuan Iklim dan Aturan WTO

Aturan subsidi WTO saat ini dianggap “usang dan tidak selaras” dengan keharusan keberlanjutan global karena fokusnya terlalu sempit pada distorsi perdagangan, dan bukan pada apakah pendanaan pemerintah mendorong pembangunan berkelanjutan.

Kebijakan-kebijakan utama yang memicu tantangan ini termasuk:

  1. Inflation Reduction Act (IRA) AS: IRA memberikan kredit pajak dan insentif besar bagi produksi energi bersih, namun seringkali mengaitkannya dengan persyaratan konten domestik. Persyaratan ini berisiko besar diklasifikasikan sebagai subsidi terlarang (subsidi substitusi impor) di bawah SCM Agreement.
  2. Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa: CBAM mengenakan biaya karbon pada impor dari negara-negara dengan kebijakan iklim yang kurang ketat. Tindakan ini berpotensi melanggar prinsip MFN (GATT Pasal I) dan Perlakuan Nasional (GATT Pasal III) jika mekanisme tersebut mendiskriminasi produk impor dari negara anggota WTO yang berbeda berdasarkan standar iklim mereka.

Meskipun CBAM mungkin dapat dibenarkan di bawah pengecualian umum GATT Pasal XX (misalnya, untuk melindungi lingkungan) , kerumitan hukum dan risiko litigasi sangat tinggi. Fragmentasi kebijakan iklim ini merusak sistem perdagangan, mengurangi insentif untuk inovasi ramah lingkungan, dan yang terpenting, berisiko mengusir produsen yang lebih miskin dan paling rentan yang kesulitan memenuhi persyaratan ketertelusuran yang mahal.

Krisis Institusional: Kelumpuhan Mekanisme Sengketa WTO

Konteks di mana NTBs dan kebijakan proteksionis bilateral ini muncul adalah sistem WTO yang fungsinya semakin terganggu.

Paralisis Badan Banding

Krisis terbesar WTO saat ini adalah kelumpuhan Badan Banding (Appellate Body/AB), yang merupakan hakim terakhir dalam sengketa perdagangan global. Karena Amerika Serikat menolak menunjuk anggota baru, AB kehilangan kuorum yang diperlukan untuk mendengar banding. AB telah berhenti beroperasi sejak 2019.

Kelumpuhan ini sangat melumpuhkan, karena anggota WTO kini kehilangan hak untuk mengajukan banding. Akibatnya, penyelesaian sengketa dapat terblokir jika salah satu pihak menolak menerima putusan panel tingkat pertama3 Kelumpuhan DSS ini secara efektif melemahkan kemampuan WTO untuk menegakkan aturan multilateral, yang pada gilirannya:

  • Mendorong negara-negara untuk mengambil tindakan unilateral (misalnya, menaikkan tarif baja/aluminium).
  • Mengalihkan negosiasi perdagangan ke forum non-WTO, yang semakin memfragmentasi sistem27

Solusi Sementara: Multi-Party Interim Appeal Arrangement (MPIA)

Sebagai respons terhadap kelumpuhan AB, sekelompok anggota WTO (saat ini 26, termasuk Uni Eropa dan Kanada) telah membentuk Multi-Party Interim Appeal Arbitration Arrangement (MPIA) pada tahun 2020.

MPIA berfungsi sebagai solusi sementara yang menjamin para anggotanya memiliki akses ke sistem penyelesaian sengketa yang berfungsi. Mekanisme ini menggunakan arbitrase di bawah Pasal 25 Dispute Settlement Understanding (DSU) WTO untuk mendengar banding. MPIA dianggap efektif oleh para pesertanya dan berfungsi sebagai “laboratorium” untuk menguji cara-cara baru agar penyelesaian sengketa WTO menjadi lebih efisien.

Jalan ke Depan: Reformasi WTO

Meskipun ketegangan geopolitik dan perlambatan ekonomi global mempersulit konsensus , reformasi WTO menjadi semakin mendesak. Prioritas reformasi meliputi:

  • Pemulihan DSS: Menemukan solusi permanen untuk memulihkan fungsi Badan Banding.
  • Penguatan Aturan Subsidi: Mengubah SCM Agreement dengan menggeser fokus dari pembuktian dampak buruk menjadi aturan yang lebih preskriptif, seperti menambahkan kategori subsidi terlarang yang baru atau menerapkan asumsi yang dapat dibantah (rebuttable presumptions) untuk jenis subsidi tertentu.
  • Transparansi dan Pengawasan: Meningkatkan transparansi praktik perdagangan anggota dan menetapkan mekanisme pemantauan terhadap pemaksaan ekonomi.
  • Plurilateralisme Terbuka: Menggunakan perjanjian plurilateral (kesepakatan antara sub-set anggota) untuk memajukan aturan di area baru (seperti e-commerce atau fasilitasi investasi).

Kesimpulan: Menghadapi Tatanan Perdagangan yang Lebih Terfragmentasi

Peningkatan perang tarif dan proteksionisme, yang kini berpusat pada NTBs yang kompleks, telah menggerogoti dasar multilateralisme yang dibangun WTO. Dengan adanya fragmentasi melalui RTAs dan disfungsi pada sistem penyelesaian sengketa, masa depan perdagangan global tampak semakin terpecah, dicirikan oleh blok-blok regional (regional blocs) dan inisiatif friend-shoring (relokasi produksi ke negara sekutu) yang memprioritaskan keamanan dan ketahanan di atas efisiensi ekonomi murni.

Bagi komunitas internasional, ini bukan hanya masalah economic policy, tetapi masalah tata kelola global. Kegagalan WTO untuk mengatasi NTBs modern dan melunakkan kerangka kerjanya untuk kebijakan seperti green industrial policy berisiko mempercepat perpecahan ekonomi global, yang akan merugikan semua negara, terutama yang paling rentan, dengan membatasi akses pasar dan menghambat penyebaran inovasi. Mengamankan peran WTO sebagai pilar stabilitas menuntut para pemimpin untuk mengalihkan fokus dari tindakan unilateral kembali kepada reformasi multilateral yang sulit, namun krusial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 + 2 =
Powered by MathCaptcha