Akses terhadap pasar film yang sangat besar di yurisdiksi dengan regulasi yang ketat, seperti Tiongkok dan negara-negara di Timur Tengah, telah menjadi elemen yang sangat penting bagi model bisnis film-film blockbuster internasional, terutama dari Hollywood. Namun, profitabilitas yang didapat dari akses ini sering kali menuntut penyerahan kontrol naratif dan kompromi mendasar terhadap prinsip kebebasan berekspresi.

Analisis ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam arsitektur sensor antara dua wilayah utama ini. Sensor di Tiongkok (PRC) berakar kuat pada pertimbangan ideologis, politik, dan keamanan negara, yang secara fundamental menuntut perubahan plot, dialog, dan karakter. Fokus utamanya adalah menghilangkan kritik terhadap Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan memproyeksikan citra nasional yang positif di mata dunia. Sebaliknya, sensor di Timur Tengah, khususnya di negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council), didorong oleh etika moral dan agama yang konservatif, dan terutama berfokus pada penghilangan adegan yang eksplisit—seperti konten intimasi, kekerasan grafis, atau representasi LGBTQ+ secara visual.

Kompromi naratif ini memiliki implikasi yang semakin meluas di luar batasan pasar Tiongkok itu sendiri. Fenomena sensor mandiri (self-censorship) yang dilakukan studio-studio Hollywood secara proaktif telah menarik perhatian dan kritik dari pembuat kebijakan di Amerika Serikat. Terdapat risiko strategis yang muncul, di mana kompromi dengan sensor Tiongkok dapat mengancam dukungan resmi dari pemerintah AS, misalnya melalui potensi larangan akses terhadap aset militer Departemen Pertahanan (DoD) melalui legislasi seperti SCRIPT Act. Hal ini menempatkan studio pada posisi yang semakin sulit, menghadapi biaya kepatuhan ganda (risiko pasar vs. risiko geopolitik).

Melalui kekuatan pasarnya yang masif, Tiongkok telah berhasil menormalisasi kontrol naratif global. PKT kini secara efektif berperan dalam menentukan konten dan pesan film yang dirilis di seluruh dunia, sehingga hanya narasi yang tidak menyinggung rezim yang sangat mengontrol ini yang dapat menjangkau layar bioskop secara global. Normalisasi ini memaksa Hollywood untuk berfungsi sebagai saluran pasif bagi kebijakan luar negeri Tiongkok, mengubah narasi global untuk kepentingan geopolitik otoriter.

The Geopolitical and Economic Imperative

The Financial Reality of Global Distribution

Meskipun laporan terbaru menunjukkan bahwa pangsa pasar Tiongkok untuk film-film Hollywood telah menurun signifikan, diperkirakan hanya menyumbang sekitar 5% dari total pendapatan box office domestik Tiongkok pada tahun 2023, pasar ini tetap dianggap krusial. Akses ke pasar Tiongkok adalah penentu keberhasilan bagi banyak blockbuster mahal yang diproduksi di Hollywood. Untuk film yang membutuhkan pendapatan global maksimal agar mencapai ambang profitabilitas, Tiongkok—yang tanpa pertanyaan merupakan pasar teater terbesar dan terpenting di dunia —menawarkan dorongan pendapatan internasional yang tak tertandingi.

Di sisi lain, pasar Timur Tengah, terutama negara-negara GCC seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar, menunjukkan pertumbuhan pesat dan juga merupakan pendorong pendapatan internasional yang substansial. Walaupun standar moralnya sangat ketat, potensi audiens yang besar di wilayah tersebut membuat studio bersedia untuk melakukan adaptasi yang diperlukan agar film dapat ditayangkan.

The Economics of Self-Censorship

Untuk memitigasi risiko penolakan film yang sudah selesai (yang akan sangat mahal), studio-studio Hollywood telah mengadopsi strategi manajemen risiko komersial berupa sensor mandiri proaktif (pre-emptive adaptation). Strategi ini melibatkan perubahan narasi di tahap skrip (pra-produksi) untuk memastikan film tersebut akan mendapatkan izin rilis yang didambakan.

Contoh adaptasi preventif ini mencakup penghapusan garis dialog sensitif, seperti dalam film World War Z di mana semua referensi yang menempatkan Tiongkok sebagai asal muasal wabah zombie dihilangkan dari naskah akhir. Meskipun demikian, strategi ini tidak selalu berhasil, karena World War Z pada akhirnya tetap ditolak oleh sensor Tiongkok.1Contoh lain yang menunjukkan upaya sensor mandiri yang ekstrem adalah perubahan latar belakang karakter utama di film Doctor Strange, di mana karakter yang aslinya berasal dari Tibet diubah menjadi Celtic. Menurut penulis skenario, keputusan ini dibuat untuk menghindari risiko “mengasingkan satu miliar orang” dan membahayakan rilis film di pasar Tiongkok.

Studio dipaksa untuk mempertaruhkan jutaan dolar dalam produksi dengan pengetahuan bahwa kepatuhan terhadap regulasi yang ada dapat diubah sewaktu-waktu. Hal ini menuntut pendekatan lobi dan negosiasi yang konstan, di luar kepatuhan konten semata, karena proses sensor yang arbitrer dapat digunakan sebagai alat tawar-menawar.

Geopolitical Response and the SCRIPT Act

Praktik studio Hollywood yang secara proaktif mengubah plot, dialog, dan latar demi menghindari antagonisme terhadap pejabat Tiongkok telah menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pembuat kebijakan AS. Sensor mandiri ini dipandang sebagai ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi dan secara efektif menjadikan Hollywood terlibat dalam propaganda Beijing.

Sebagai respons, muncul usulan legislasi, seperti SCRIPT Act (Stopping Censorship, Restoring Integrity, Protecting Talkies Act), yang bertujuan untuk mengatasi pengaruh Tiongkok yang berkembang atas konten media global. Undang-undang ini akan membatasi dukungan yang diterima studio Hollywood dari Departemen Pertahanan AS. Dukungan DoD sangat penting untuk film-film aksi besar, karena memberikan akses ke aset militer mahal seperti jet, tank, atau pangkalan angkatan laut.

Analisis terhadap situasi ini mengungkapkan bahwa studio kini menghadapi biaya kepatuhan ganda yang rumit. Mereka harus memilih antara: 1) Menyerahkan kontrol naratif untuk mengamankan pendapatan box office Tiongkok, atau 2) Mempertahankan integritas artistik dan narasi untuk mendapatkan dukungan krusial dari DoD, yang diperlukan untuk genre film aksi/militer. Jika dukungan DoD diprioritaskan, studio harus menghindari sensor Tiongkok, sebuah pilihan strategis yang memaksakan kesulitan yang jauh lebih besar daripada sekadar kompromi artistik. Film aksi bertema militer AS kini berada di bawah pengawasan geopolitik tertinggi, yang mungkin memaksa studio untuk menghindari narasi yang membutuhkan dukungan DoD jika mereka ingin mengamankan pasar Tiongkok.

Architectures of Regulatory Control: China vs. The Middle East

Meskipun Tiongkok dan Timur Tengah sama-sama menerapkan sensor ketat, filosofi yang mendasari, fokus utama, dan mekanisme penegakannya menunjukkan perbedaan yang mendasar.

The PRC Model: Ideology and State Apparatus

Di Tiongkok, sensor didorong oleh tujuan politik dan ideologis. Partai Komunis Tiongkok (PKT) memandang seni, termasuk film, sebagai metode kontrol sosial. Secara historis, industri film di Tiongkok telah digunakan untuk mempromosikan ideologi dan reformasi politik negara, terutama sejak Revolusi Kebudayaan.

Proses Kontrol NFRA: Badan pengatur utama adalah National Film Administration (NFRA). Proses persetujuan formal melibatkan tiga langkah: 1) Studio menyerahkan skrip atau film akhir untuk ditinjau; 2) NFRA dapat menerima, menolak, atau menawarkan saran perubahan; 3) Film diserahkan kembali setelah diedit untuk dikonfirmasi.

Namun, ciri khas dari sensor Tiongkok adalah ambiguitas hukum dan sifat arbitrer dari penegakannya. Meskipun terdapat ketentuan larangan yang samar-samar, seperti larangan “menggambarkan tindakan cabul dan tidak suci”  atau “kultus atau takhayul” , keputusan akhir sering kali bergantung pada iklim geopolitik saat itu dan negosiasi di balik layar. Regulator Tiongkok memiliki kekuasaan untuk menolak film meskipun skripnya sudah disetujui, seperti yang terjadi pada The Karate Kid, yang akhirnya memerlukan pemotongan 12 menit karena antagonisnya adalah orang Tiongkok.

Fleksibilitas NFRA untuk menolak konten berdasarkan preferensi estetik yang minor (misalnya, adegan di RoboCop dianggap terlalu mengganggu meskipun vital untuk plot ), menunjukkan bahwa proses sensor melampaui kepatuhan checklist dan berfungsi sebagai alat tawar-menawar yang kuat untuk memaksa konsesi yang lebih besar dari studio.

The Middle East Model: Cultural Conservatism and Religious Morality

Di Timur Tengah, sensor sebagian besar berakar pada standar agama, etika moral, dan tradisi kultural. Survei menunjukkan bahwa mayoritas warga negara Arab mendukung regulasi yang lebih ketat terhadap konten yang mengandung kekerasan dan romantis, serta konten yang dianggap menyinggung.

Proses Regulasi GCC: Di negara-negara seperti Arab Saudi, GCAM (General Commission for Audiovisual Media) mengelola Layanan Klasifikasi dan Izin Konten Film. Distributor wajib menyerahkan film internasional dan lokal untuk screening dan evaluasi, memastikan kepatuhan dengan standar yang disetujui. Otoritas kemudian mengeluarkan keputusan izin, meminta modifikasi, atau menolak konten jika tidak sesuai.

Fokus utama kepatuhan di Timur Tengah adalah pada presentasi visual. Persyaratan untuk menyediakan terjemahan bahasa Arab yang akurat dan linguistik yang benar untuk film non-Arab  menunjukkan fokus pada penyelarasan pesan film dengan norma-norma lokal, untuk memastikan tidak ada penyinggungan yang tidak disengaja. Tidak seperti Tiongkok yang sering menuntut perubahan plot ideologis, sensor ME lebih pragmatis dalam menargetkan adegan spesifik yang melanggar kesopanan publik, seperti ciuman atau ketelanjangan.

Untuk memperjelas perbedaan struktural dan filosofis ini, tabel berikut merangkum karakteristik inti dari kedua sistem sensor:

Comparison of Core Censorship Ideologies and Enforcement

Kriteria Perbandingan Tiongkok (PRC) Timur Tengah (GCC/KSA)
Pendorong Utama Politik, Ideologis, Kontrol Negara, Keamanan Nasional Agama, Konservatisme Moral, Tradisi Kultural
Badan Regulasi Kunci NFRA (National Film Administration) Otoritas Klasifikasi Media Pemerintah (e.g., GCAM KSA)
Fokus Sensor Utama Integritas Narasi, Politik, Sejarah, Kritik Sosial, Representasi Tiongkok Perilaku Eksplisit (Seksual/Intimasi), Agama (Blasphemi), LGBTQ+
Tingkat Modifikasi yang Diminta Tinggi (seringkali mengubah plot atau karakter, Narrative Re-Contextualization) Sedang hingga Tinggi (fokus pada Visual Cutting adegan spesifik)
Sikap terhadap LGBTQ+ Penghapusan total konteks (Censorship by Erasure) Larangan total di pasar konservatif, atau Penghapusan Adegan Seksual/Ciuman di pasar yang lebih moderat

The Taxonomy of “Red Lines” and Content Modification

Pemahaman mendalam tentang “garis merah” yang dilarang sangat penting bagi studio yang mencari rilis di pasar-pasar yang sensitif ini. Garis merah dapat diklasifikasikan berdasarkan domain: politik, moral/seksual, dan agama/supernatural.

Political and Historical Sensitivity (PRC Core Focus)

Sensor Tiongkok sangat sensitif terhadap konten yang menantang legitimasi PKT atau merusak citra nasional.

  1. Isu Tiga T dan Kedaulatan:

Isu-isu yang dianggap menyentuh kedaulatan negara, dikenal sebagai “Tiga T” (Tibet, Taiwan, dan Tiananmen), adalah larangan mutlak.2Film yang berhubungan dengan Dalai Lama, seperti Kundun atau Seven Years in Tibet, dilarang.Sensor meluas ke kritik terhadap kebijakan historis Tiongkok, seperti Revolusi Kebudayaan. Bahkan, film-film domestik yang mencoba meninjau masa lalu yang sulit, seperti An Unfinished Film karya Lou Ye yang mengkritik penanganan pandemi COVID-19 di Wuhan, hampir tidak memiliki peluang untuk diputar di Tiongkok.

  1. Representasi Nasional Negatif:

Hollywood diminta untuk mengubah alur cerita yang menggambarkan warga Tiongkok dalam cahaya negatif, terutama sebagai penjahat, korban yang lemah, atau asal usul masalah global. Dalam Skyfall, adegan di mana James Bond membunuh seorang penjaga keamanan Tiongkok dihapus karena regulator Tiongkok tidak akan mentolerir warga Tiongkok dibunuh oleh orang asing. Film The Karate Kid (2010), meskipun merupakan co-production dengan skrip yang disetujui, ditolak oleh sensor awal karena antagonisnya adalah orang Tiongkok. Perubahan narasi ini berupaya mengubah makna film, misalnya, mengubah Karate Kid dari kisah tentang seorang underdog yang mengalahkan penganiaya menjadi kisah tentang seorang Amerika yang menemukan kedamaian melalui seni bela diri tradisional Tiongkok.

Sexual, Intimacy, and Gender Issues (Cross-Regional Sensitivity)

Isu-isu yang berkaitan dengan seksualitas dan intimasi disensor secara universal di kedua wilayah, tetapi dengan tujuan yang berbeda.

  1. Nudity dan Intimasi Heteroseksual:

Pemotongan visual adalah standar di kedua wilayah. Konten yang menggambarkan ketelanjangan, adegan kelahiran, atau tindakan cabul dilarang. Dalam rilis 3D Titanic di Tiongkok, adegan ketelanjangan Rose dipotong.

  1. Konten LGBTQ+:

Ini adalah kategori yang paling kontroversial dan menunjukkan perbedaan utama antara sensor ideologis Tiongkok dan sensor etika visual Timur Tengah.

  • Tiongkok (Sensor Ideologis): Sensor cenderung melakukan penghapusan total konteks (censorship by erasure). Dalam Bohemian Rhapsody, suntingan meluas hingga menghilangkan referensi homoseksualitas, pasangan sesama jenis, dan bahkan penyakit AIDS Freddie Mercury. Dialog di mana Mercury membahas seksualitasnya dan perkenalan pasangannya Jim Hutton dipotong. Bahkan penyiar Tiongkok mengganti istilah “gay man” dengan “kelompok khusus” dalam subtitle. Tiongkok khawatir tentang apa yang dipikirkan penonton, sehingga mengubah narasi inti untuk menghilangkan konten ideologis yang tidak disetujui.
  • Timur Tengah (Sensor Etika Visual): Di sebagian besar negara GCC, fokusnya adalah pada larangan visual atas ketidakpantasan publik. Film Eternals (Marvel) dilarang total di Arab Saudi, Qatar, dan Kuwait setelah studio menolak menghapus adegan ciuman sesama jenis. Sementara itu, negara-negara lain seperti UEA, Mesir, dan Lebanon menunjukkan versi Eternals yang menghapus adegan ciuman, tetapi mempertahankan konteks hubungan, di mana karakter pahlawan super gay Phastos masih diperlihatkan menikah dengan seorang pria dan membesarkan anak bersama. Regulator di wilayah ini berupaya mempertahankan kesopanan visual di ruang publik, tetapi bersedia mempertahankan elemen plot hubungan gay, asalkan tidak ada peragaan fisik yang eksplisit.

Takhayul, Agama, dan Teks Suci

Kedua wilayah menerapkan pembatasan pada konten spiritual yang kontroversial. Tiongkok secara tegas melarang film yang “mempromosikan kultus atau takhayul”. Larangan ini sangat ketat sehingga memaksa film horor domestik untuk menambahkan akhir yang rasionalistik, di mana segala sesuatu yang paranormal dijelaskan sebagai “hanya mimpi” atau “hipnosis”. Ini menciptakan preseden di mana narasi Tiongkok dipaksa untuk mematuhi interpretasi rasionalistik negara, membatasi eksplorasi imajinatif dalam genre fiksi, dan bahkan menyebabkan larangan film seperti Ghostbusters.

Film-film yang menangani tema agama yang sensitif atau dianggap menghujat, seperti Noah dan The Da Vinci Code, juga menghadapi larangan total di Tiongkok dan Timur Tengah karena sensitivitas keagamaan di kedua wilayah.

Mechanisms of Adaptation: From Script to Screen

Strategi adaptasi film internasional untuk pasar Tiongkok dan Timur Tengah melibatkan serangkaian langkah, mulai dari tahap konseptual hingga pasca-produksi.

Proactive Self-Censorship (Adaptasi Preventif)

Langkah paling efektif dan paling mengganggu bagi integritas artistik adalah sensor mandiri yang terjadi pada tahap awal produksi. Studio, bersaing untuk mendapatkan peluang akses ke pasar Tiongkok, bersedia membuat kompromi yang bermasalah pada kebebasan berekspresi, termasuk perubahan pada “pemeran, plot, dialog, dan latar”.

Studio kini menyadari bahwa penulis skrip harus memiliki “pengetahuan praktis” tentang pasar global dan regulasi regional, mengadaptasi materi sumber agar tidak memicu sensor di pasar besar sejak awal. Bahkan ada kasus di mana studio secara langsung mengundang sensor pemerintah Tiongkok ke lokasi syuting untuk memberikan saran tentang cara menghindari regulasi. Misalnya, penghilangan referensi Tiongkok yang sensitif, seperti asal virus di World War Z, dilakukan secara proaktif oleh studio sebelum film final diserahkan.

Post-Production Editing and Versioning

Setelah produksi, studio sering kali harus membuat versi film yang berbeda (versioning) untuk pasar yang berbeda.

  1. Suntingan Visual (Cutting):

Teknik ini adalah yang paling umum dan sering digunakan di Timur Tengah untuk menghilangkan adegan yang terlalu eksplisit atau mengandung kekerasan grafis. Di Tiongkok, cutting digunakan untuk menghilangkan adegan seks atau bedah yang dianggap mengganggu, seperti yang terlihat dalam film Prometheus.

  1. Pengubahan Narasi Pasca-Produksi:

Ini melibatkan perubahan yang lebih substansial pada cerita. Misalnya, penambahan adegan spesifik yang positif bagi Tiongkok—seperti adegan tambahan dalam versi Tiongkok Iron Man 3—dilakukan untuk memuluskan rilis dan memenuhi tuntutan kerjasama.

  1. Manipulasi Subtitling dan Dubbing:

Studio menggunakan subtitel dan dubbing untuk mengubah atau menghilangkan dialog sensitif tanpa perlu memotong adegan visual. Kasus yang paling jelas adalah Bohemian Rhapsody, di mana dialog kunci tentang status AIDS Freddie Mercury dibisukan dan tidak diberi subtitle dalam versi Tiongkok, mengubah pengalaman naratif secara halus.

Tabel berikut merangkum taksonomi teknik modifikasi yang diterapkan pada film internasional:

Taxonomy of Film Modification Techniques

Teknik Modifikasi Deskripsi Operasional Contoh Relevansi dan Target Pasar
Visual Cutting (Temporal) Pemotongan eksplisit adegan yang mengandung nudity, kekerasan grafis, atau intimasi/ciuman eksplisit. Eternals (Ciuman sesama jenis di ME), Titanic (Nudity di Tiongkok), Prometheus (Adegan bedah/seks di Tiongkok)
Dialogue/Subtitle Alteration Pembisuan dialog atau perubahan terjemahan/dubbing untuk menghilangkan referensi politik, agama, atau LGBTQ+ yang sensitif. Bohemian Rhapsody (Mengganti “gay man” menjadi “special group” di Tiongkok)
Narrative Re-Contextualization Mengubah atau menghilangkan elemen plot kunci yang mengacu pada sumber bencana, konflik, atau kejahatan, terutama yang melibatkan negara penyensor. World War Z (Menghapus referensi Tiongkok sebagai asal virus)
Character Retconning Mengubah ras, peran, atau sifat (protagonis/antagonis) untuk menghindari penggambaran negatif terhadap kelompok etnis atau pemerintah. Skyfall (Penjahat Tiongkok dihapus), The Karate Kid (Antagonis Tiongkok diubah)
Scene Addition (Commercial/Co-Production) Penambahan adegan spesifik yang menampilkan product placement atau karakter Tiongkok yang menguntungkan, untuk memuluskan rilis. Iron Man 3 (Penambahan adegan versi Tiongkok)

Artistic Integrity and the Moral Rights Debate

odifikasi yang signifikan, terutama yang mengubah narasi inti atau karakter, menimbulkan pertanyaan etis yang serius tentang integritas artistik. Suntingan regional yang tidak sah dapat melanggar Hak Moral Cipta (Moral Rights) sutradara dan penulis, yang bertujuan untuk melindungi karya dari “perlakuan yang merendahkan” (derogatory treatment), distorsi, atau mutilasi.

Banyak pembuat film, termasuk sutradara Tiongkok seperti Feng Xiaogang, secara terbuka menyebut sensor sebagai “siksaan” dan seringkali “konyol,” yang memaksa mereka mengubah karya yang baik menjadi sesuatu yang buruk. Meskipun ada tekanan, pembuat film Arab sering menggunakan alegori, simbolisme, dan kiasan untuk menyampaikan poin politik atau sosial mereka, menjadikan setiap film yang lolos sensor sebagai tindakan perlawanan yang berani.

Strategic Implications and Conclusions

Praktik sensor dan adaptasi budaya dalam distribusi film global adalah hasil dari kalkulasi ekonomi yang cermat, yang kini semakin diperumit oleh dinamika geopolitik.

The Ethical and Reputational Cost

Keterlibatan Hollywood dalam sensor mandiri yang dilakukan secara diam-diam menimbulkan risiko reputasi yang signifikan. Dengan menyetujui penghapusan materi yang sensitif (terutama konten LGBTQ+ atau kritik politik), industri ini merusak kredibilitasnya sebagai pembela kebebasan berekspresi. Risiko ini menjadi lebih tajam ketika pembuat film dan aktor harus menjelaskan mengapa narasi mereka berubah untuk pasar tertentu, yang berpotensi menyebabkan reaksi publik yang negatif di Barat.

Strategic Avoidance and Market Resiliency

Analisis menunjukkan bahwa strategi Hollywood dalam mengejar rilis Tiongkok dengan segala biaya adalah strategi yang semakin berisiko. Tiongkok telah berhasil membangun “benteng sinematik” domestik, di mana film lokal mendominasi 80% pasar.7 Keberhasilan sinema domestik Tiongkok menunjukkan bahwa hyper-local storytelling dapat menghasilkan keuntungan yang sangat besar, membuktikan bahwa pasar tidak sepenuhnya bergantung pada output Hollywood.

Studio harus menyadari bahwa kepatuhan total tidak menjamin rilis, dan ketaatan yang berlebihan dapat memicu masalah di pasar Barat melalui undang-undang seperti SCRIPT Act. Oleh karena itu, strategi distribusi dan produksi harus bergeser:

  1. Pengelolaan Kepatuhan Ganda: Studio yang memproduksi film aksi militer harus mengintegrasikan risiko hilangnya dukungan DoD ke dalam perencanaan anggaran dan produksi. Pilihan antara aset DoD dan akses pasar Tiongkok kini menjadi keputusan strategis tingkat eksekutif.
  2. Versioning Efisien untuk ME: Pasar Timur Tengah menunjukkan fokus sensor yang lebih pragmatis pada etika visual. Studio dapat mengembangkan paket suntingan ME yang efisien yang hanya menargetkan visual cutting (ciuman, kekerasan grafis), alih-alih mengubah narasi inti.
  3. Diversifikasi Investasi Global: Daripada hanya membiarkan Beijing mendikte output kreatif globalnya, strategi jangka panjang yang lebih tangguh memerlukan diversifikasi. Hollywood dapat meningkatkan investasi dalam co-production atau dukungan untuk pasar regional lain (seperti Eropa, Korea, atau Jepang) yang menunjukkan potensi pertumbuhan budaya yang kuat, sehingga mengurangi ketergantungan strategis pada satu pasar otoriter.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

18 − = 13
Powered by MathCaptcha