Pengukuran pembangunan dan kesejahteraan global telah lama menjadi fokus utama ekonomi pembangunan dan kebijakan internasional. Indeks Pembangunan Manusia (HDI), yang dikembangkan oleh ekonom Mahbub ul Haq dan peraih Nobel Amartya Sen, muncul pada tahun 1990 sebagai respons langsung terhadap keterbatasan metrik moneter murni seperti Produk Domestik Bruto (PDB) atau Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita. Premis inti HDI adalah bahwa pembangunan harus diukur lebih dari sekadar kekayaan finansial; ia harus mencerminkan kapasitas masyarakat untuk menjalani kehidupan yang panjang, sehat, dan berpengetahuan.
Konteks Pengukuran Pembangunan Manusia
HDI adalah statistik komposit yang mengukur tingkat pembangunan sosial dan ekonomi suatu negara. Indeks ini dibangun di atas tiga dimensi fundamental, yang masing-masing diwakili oleh indikator dan indeks tersendiri :
- Harapan Hidup yang Panjang dan Sehat: Diukur dengan Indeks Harapan Hidup, berdasarkan Harapan Hidup saat Lahir.
- Pengetahuan: Diukur dengan Indeks Pendidikan, yang merupakan rata-rata geometrik dari Harapan Lama Sekolah (EYS) untuk anak usia sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah (MYS) untuk populasi dewasa berusia 25 tahun ke atas.
- Standar Hidup yang Layak: Diukur dengan Indeks Pendapatan, berdasarkan GNI per Kapita (dikonversi menggunakan Paritas Daya Beli/PPP dalam Dolar Internasional).
Skor untuk ketiga indeks dimensi ini kemudian dikumpulkan menggunakan rata-rata geometrik, menghasilkan nilai HDI akhir antara 0 dan 1. Berdasarkan nilai ini, negara diklasifikasikan ke dalam empat kategori: Pembangunan Manusia Sangat Tinggi (Very High, di atas 0.800), Pembangunan Manusia Tinggi (High, 0.700–0.799), Pembangunan Manusia Sedang (Medium, 0.550–0.699), dan Pembangunan Manusia Rendah (Low, di bawah 0.550). Nilai HDI yang diperoleh seringkali berpengaruh signifikan terhadap kebijakan fiskal dan publik suatu negara.
Relevansi dan Kebutuhan Akan Metrik Pelengkap
Meskipun HDI adalah metrik pembangunan yang paling banyak digunakan dan telah mengubah cara pembangunan dipandang secara global , indeks ini tidak luput dari kritik. Para kritikus menyoroti bahwa pengukuran HDI seringkali cacat, tidak sepenuhnya mencerminkan gambaran kemakmuran yang akurat. Beberapa kritik berfokus pada oversimplifikasi dengan penggunaan satu angka per negara dan metode pembobotan yang dianggap arbitrer, meskipun komponen-komponennya sangat berkorelasi (misalnya, korelasi HDI dengan PDB per kapita adalah 0.87).
Sebagai respons terhadap kritik ini, Program Pembangunan PBB (UNDP) telah memperkenalkan metrik pelengkap. Untuk mengatasi masalah distribusi dan kesenjangan internal, Indeks Pembangunan Manusia yang Disesuaikan dengan Ketidaksetaraan (IHDI) diperkenalkan pada tahun 2010. Sementara itu, untuk mengatasi kegagalan HDI dalam mengintegrasikan biaya eksternalitas lingkungan, metrik keberlanjutan baru seperti Planetary Pressures-adjusted HDI (PHDI) telah menjadi agenda mendesak, terutama dalam Laporan Pembangunan Manusia (HDR) terbaru.
Dekomposisi Kesenjangan: Mengapa HDI Indonesia Tertinggal dari Negara Tetangga di ASEAN
Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara , menunjukkan kemajuan yang stabil dalam pembangunan manusia. Namun, posisi HDI Indonesia secara regional masih tertinggal dari negara-negara tetangga yang sering dijadikan pembanding, khususnya dalam kelompok Pembangunan Manusia Tinggi.
Profil Kuantitatif HDI Indonesia dan Perbandingan Regional
Pada tahun 2023, Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia mencapai 0.728, menempatkannya dalam kategori Pembangunan Manusia Tinggi. Capaian ini merupakan peningkatan sebesar 0.62 poin (0.84 persen) dari tahun sebelumnya, melanjutkan tren peningkatan yang stabil rata-rata 0.72 persen per tahun selama periode 2020–2023. Semua dimensi HDI, termasuk Harapan Hidup, Pengetahuan, dan Standar Hidup yang Layak, menunjukkan peningkatan.
Namun, dalam perbandingan regional di ASEAN, Indonesia (HDI 0.728) berada di posisi keenam. Skor ini berada di bawah rata-rata ASEAN (0.745) dan jauh tertinggal dari negara-negara yang diklasifikasikan memiliki Pembangunan Manusia Sangat Tinggi (seperti Singapura 0.946 dan Malaysia 0.819) maupun negara tetangga dalam kategori Tinggi (seperti Thailand 0.798 dan Vietnam 0.766).
Tabel 1: Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) dan Komponen Utama di ASEAN (Data Terbaru)
| Negara | Peringkat HDI (2023, ASEAN) | Nilai HDI (2023) | Kategori HDI | GNI per Kapita (PPP $ Est. 2025) | Rata-rata Lama Sekolah (MYA, Est.) |
| Singapura | 1 | 0.946 | Sangat Tinggi | 118,710 | N/A |
| Malaysia | 3 | 0.819 | Sangat Tinggi | N/A | 6.8 |
| Thailand | 4 | 0.798 | Tinggi | 26,360 | 15.2 (Est.) |
| Vietnam | 5 | 0.766 | Tinggi | 17,690 | N/A |
| Indonesia | 6 | 0.728 | Tinggi | 17,630 | 5.0 |
Analisis Kesenjangan Dimensi Standar Hidup (GNI per Kapita PPP)
Meskipun Indonesia menyumbang 35.3% dari total PDB regional pada tahun 2020, menjadikannya ekonomi terbesar secara nominal di ASEAN, Indeks Pendapatan per kapita (PPP) menjadi salah satu penahan utama skor HDI. GNI per kapita PPP Indonesia diperkirakan sebesar $17,630. Angka ini sangat mirip dengan Vietnam ($17,690).
Namun, pendapatan per kapita Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara dengan HDI Sangat Tinggi dan Tinggi lainnya, seperti Thailand ($26,360). Kesenjangan pendapatan per kapita ini menggarisbawahi tantangan mendasar. Ini menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan PDB total kuat, pertumbuhan output ekonomi yang dialokasikan per individu, setelah disesuaikan dengan daya beli, masih membatasi kemampuan negara untuk mencapai standar hidup yang setara dengan tetangga regionalnya yang lebih maju. Kesenjangan ini harus diatasi melalui peningkatan produktivitas yang masif untuk mendorong GNI per kapita lebih dekat ke ambang batas negara berpenghasilan tinggi.
Analisis Kesenjangan Dimensi Pengetahuan (Pendidikan)
Dimensi Pendidikan menunjukkan defisit struktural jangka panjang yang signifikan di Indonesia, terutama ketika dibandingkan dengan Malaysia. Indikator kunci di sini adalah Rata-rata Lama Sekolah (MYS), yang mengukur stok akumulasi modal manusia pada populasi usia 25 tahun ke atas.
Rata-rata Lama Sekolah di Indonesia diperkirakan hanya 5.0 tahun, sementara Malaysia mencapai 6.8 tahun. Rata-rata lama sekolah yang rendah (5.0 tahun) menyiratkan bahwa sebagian besar angkatan kerja dewasa di Indonesia saat ini hanya memiliki tingkat pendidikan dasar atau menengah pertama yang telah diselesaikan. Defisit pendidikan yang terakumulasi ini adalah hambatan struktural yang signifikan dan tidak dapat diperbaiki hanya melalui reformasi kurikulum atau kebijakan lima tahunan. Peningkatan MYS secara nasional memerlukan waktu puluhan tahun seiring dengan bergantinya kohort populasi.
Defisit MYS ini membatasi kemampuan angkatan kerja Indonesia untuk beradaptasi dengan pekerjaan bernilai tambah tinggi, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan pendapatan per kapita dan secara fundamental menarik ke bawah skor Indeks GNI. Meskipun indikator prospektif seperti Harapan Lama Sekolah (EYS) mungkin menunjukkan peningkatan yang lebih cepat (misalnya, di Kalimantan Tengah, EYS menunjukkan anak-anak diharapkan menamatkan SLTA), efek positif ini belum tercermin sepenuhnya dalam MYS komposit, yang merupakan cerminan dari investasi pendidikan masa lalu. Oleh karena itu, strategi kebijakan harus mencakup intervensi pendidikan non-formal dan pelatihan keterampilan yang masif untuk meningkatkan kualifikasi angkatan kerja yang sudah ada, di samping penguatan sistem pendidikan formal bagi generasi muda.
Faktor Internal: Heterogenitas dan Ketidakmerataan
HDI di Indonesia ditandai oleh heterogenitas pencapaian yang tinggi di antara berbagai kabupaten/kota, yang mengindikasikan ketidaksetaraan pembangunan manusia yang signifikan dan keberadaan daerah yang masih tertinggal.
Analisis di tingkat sub-nasional menunjukkan bahwa PDB per kapita dan alokasi anggaran pemerintah untuk fungsi pendidikan dan kesehatan memberikan pengaruh positif terhadap HDI di daerah. Sebaliknya, kemiskinan dan rasio ketergantungan memiliki efek negatif. Ini menunjukkan bahwa tantangan Indonesia tidak hanya terletak pada peningkatan rata-rata nasional, tetapi juga pada mengatasi ketidakmerataan alokasi sumber daya dan pembangunan yang tidak seimbang yang mencerminkan disparitas regional. Ketidaksetaraan dalam pembangunan ini adalah kunci yang menahan skor HDI agregat, meskipun terdapat pertumbuhan yang kuat di beberapa pusat ekonomi.
Mengukur Keberlanjutan Pembangunan Manusia: Kritik HDI dan Peran PHDI
Diskusi kontemporer mengenai pembangunan manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks krisis lingkungan. Kritik utama terhadap HDI standar adalah bahwa indeks ini mengabaikan dampak jangka panjang dari model pembangunannya terhadap lingkungan alam.
Keterbatasan HDI dalam Konteks Keberlanjutan
HDI menempatkan negara-negara Global Utara sebagai tolok ukur pembangunan. Namun, model pembangunan yang dicontohkan oleh negara-negara berpenghasilan tinggi, yang ditandai dengan konsumsi sumber daya dan produksi emisi tinggi, tidak dapat diskalakan secara universal. Jika seluruh negara mengadopsi gaya hidup dan pola konsumsi Negara Utara, batas biokfisik planet akan terlampaui. Oleh karena itu, HDI dikritik karena melanggar prinsip keadilan dan universalisasi, karena secara struktural tidak mungkin semua negara mencapai peringkat teratas tanpa merusak planet.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana pembangunan yang berpusat pada manusia dapat dipertahankan jika ia menghasilkan dampak paling buruk terhadap masa depan bersama? Terdapat kebutuhan untuk mengoreksi dampak ekologis dan mengubah cara pengukuran komponen pendapatan untuk fokus pada tingkat PDB yang “cukup” untuk kesejahteraan, bukan PDB yang “maksimum”.
Planetary Pressures-adjusted HDI (PHDI)
Sebagai upaya untuk mengintegrasikan keberlanjutan lingkungan, UNDP memperkenalkan Planetary Pressures-adjusted HDI (PHDI) sebagai indeks eksperimental. PHDI dirancang untuk menyesuaikan (mendiskon) tingkat pembangunan manusia ketika tekanan planet yang berlebihan diperhitungkan.
Metodologi PHDI: Penyesuaian dilakukan berdasarkan rata-rata indeks dari dua metrik utama tekanan planet 17:
- Emisi karbon dioksida per kapita (berbasis produksi).
- Jejak material per kapita.
Indeks tekanan planet, $P$, adalah pelengkap dari rata-rata indeks $\text{CO}_2$ dan jejak material, $A$, di mana $P = (1 – A)$. Dalam skenario ideal tanpa tekanan lingkungan, PHDI akan sama dengan HDI. Namun, seiring meningkatnya tekanan, nilai PHDI akan turun di bawah HDI. PHDI berfungsi sebagai insentif bagi negara untuk mentransformasi model pembangunannya.
Pergeseran Peringkat Global dan Regional: PHDI vs. HDI
Penggunaan PHDI menghasilkan pergeseran peringkat yang dramatis, terutama bagi negara-negara yang sangat maju tetapi memiliki jejak ekologis yang besar.
Tabel 2: Perbandingan Nilai dan Peringkat HDI Standar vs. PHDI di ASEAN (Data 2023)
| Negara | HDI (2023) | Peringkat HDI (ASEAN) | PHDI (2023) | Peringkat PHDI (ASEAN) | Perubahan Peringkat (HDI ke PHDI) |
| Singapura | 0.946 | 1 | 0.618 | 6 | -5 |
| Malaysia | 0.819 | 3 | 0.677 | 5 | -2 |
| Thailand | 0.798 | 4 | 0.726 | 1 | +3 |
| Vietnam | 0.766 | 5 | 0.699 | 2 | +3 |
| Indonesia | 0.728 7 | 6 | 0.684 7 | 3 | +3 |
Penurunan peringkat yang substansial pada negara-negara seperti Singapura (-5 peringkat) dan Malaysia (-2 peringkat) dalam PHDI mengonfirmasi bahwa kemakmuran HDI Sangat Tinggi yang mereka nikmati saat ini dicapai dengan jejak lingkungan yang tidak berkelanjutan. Hal ini menegaskan bahwa pembangunan model negara kaya tidak bersifat universal atau dapat diskalakan tanpa melewati batas planet.
Sebaliknya, negara-negara seperti Thailand, Vietnam, dan Indonesia mengalami kenaikan peringkat relatif di PHDI. Thailand bahkan melonjak ke peringkat 1 PHDI di ASEAN, dan Indonesia naik 3 peringkat ke posisi 3. Peningkatan ini menunjukkan bahwa negara-negara ini, meskipun belum mencapai tingkat HDI tertinggi, memiliki intensitas tekanan lingkungan per unit pembangunan manusia yang lebih rendah dibandingkan tetangga yang lebih kaya dan berpolusi. PHDI dengan demikian memberikan landasan kebijakan yang kuat bagi Indonesia dan negara-negara lain di Global South untuk mengadopsi jalur pembangunan yang menekankan scalability—kemungkinan untuk meningkatkan pembangunan sosial sambil meminimalkan biaya ekologis.
Kesenjangan Kesejahteraan di Negara Berpenghasilan Tinggi: Analisis IHDI dan SHDI
Penggunaan HDI standar dapat menyamarkan disparitas kesejahteraan yang signifikan yang terjadi di dalam batas-batas negara, bahkan di negara-negara yang secara global diklasifikasikan sebagai memiliki Pembangunan Manusia Sangat Tinggi. Disparitas internal ini dianalisis melalui Inequality-adjusted HDI (IHDI) dan Subnational HDI (SHDI).
Inequality-adjusted HDI (IHDI)
IHDI berfungsi untuk mengukur kerugian dalam pembangunan manusia (HDI) akibat ketidaksetaraan dalam distribusi dimensi kesehatan, pendidikan, dan pendapatan di seluruh populasi. IHDI sama dengan HDI hanya jika tidak ada ketidaksetaraan; sebaliknya, nilai IHDI akan turun ketika ketidaksetaraan meningkat.
Perbedaan antara HDI dan IHDI menunjukkan besarnya kerugian pembangunan karena ketidaksetaraan. Di beberapa negara, kerugian keseluruhan akibat ketidaksetaraan di ketiga dimensi dapat berkisar dari hanya beberapa persen (misalnya, Republik Ceko dan Slovenia) hingga lebih dari 40% (misalnya, Angola dan Komoro). IHDI sangat penting untuk mengungkapkan bahwa rata-rata nasional yang tinggi tidak selalu berarti bahwa seluruh penduduk menikmati standar hidup yang setara.
Disparitas Kesejahteraan Sub-Nasional (SHDI)
Untuk menangkap perbedaan distribusi geografis di dalam negara, kerangka Subnational HDI (SHDI) dikembangkan. Analisis SHDI menunjukkan bahwa disparitas regional di negara-negara maju seringkali sebanding dengan kesenjangan pembangunan antar-negara di tingkat global.
Studi Kasus Kesenjangan Regional Amerika Serikat
Amerika Serikat memiliki HDI nasional sebesar 0.938. Namun, ketika diurai ke tingkat negara bagian, terdapat perbedaan yang sangat ekstrem. Massachusetts, negara bagian dengan HDI tertinggi, mencapai skor 0.961, setara dengan negara-negara di peringkat teratas global. Sebaliknya, Mississippi, negara bagian dengan skor terendah, hanya mencapai 0.868. Kesenjangan absolut sebesar 0.093 ini setara dengan perbedaan antara banyak negara di peringkat global.
Studi Kasus Kesenjangan Regional Inggris Raya
Pola serupa terlihat di Inggris Raya, yang rata-rata HDI-nya adalah 0.946. Namun, terdapat polarisasi antara pusat ekonomi dan wilayah periferal. Greater London, pusat keuangan dan metropolitan, memiliki HDI sebesar 0.982. Angka ini jauh melampaui wilayah lain seperti Wales (0.915) dan Northern Ireland (0.913).
Tabel 3: Disparitas Indeks Pembangunan Manusia Sub-Nasional (SHDI) di Negara Maju (Data 2023)
| Negara (Rata-rata HDI) | Wilayah HDI Tertinggi | Nilai HDI (2023) | Wilayah HDI Terendah | Nilai HDI (2023) | Kesenjangan (Absolut) |
| Amerika Serikat (0.938) | Massachusetts | 0.961 | Mississippi | 0.868 | 0.093 |
| Inggris Raya (0.946) | Greater London | 0.982 | Northern Ireland | 0.913 | 0.069 |
Implikasi Kesenjangan Internal
Kesenjangan SHDI yang signifikan di negara-negara yang secara nominal “maju” menunjukkan bahwa pembangunan yang didorong hanya oleh pusat-pusat metropolitan menciptakan ketidakpuasan dan kerentanan sosial-politik yang parah di daerah-daerah lain. Meskipun HDI nasional tinggi, realitas kesejahteraan bagi jutaan penduduk di wilayah-wilayah dengan skor rendah setara dengan negara-negara yang berada puluhan peringkat di bawah pada skala global.
Analisis ini sangat penting sebagai alat diagnostik. Variasi dalam HDI sub-nasional dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti PDB regional yang timpang dan alokasi anggaran pemerintah yang tidak merata. Oleh karena itu, bagi Indonesia, yang memiliki heterogenitas regional tinggi , alat seperti IHDI dan SHDI sangat krusial untuk memastikan bahwa kebijakan desentralisasi dan alokasi dana pembangunan (seperti Dana Alokasi Khusus) diarahkan secara strategis untuk mengurangi perbedaan ini dan menjaga kohesi sosial.
Efektivitas Bantuan Luar Negeri (ODA) dalam Peningkatan HDI
Peran Bantuan Pembangunan Resmi (ODA), yang sering digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur di negara-negara dengan keterbatasan modal seperti Indonesia, telah lama menjadi subjek kontroversi. Penelitian kuantitatif menunjukkan bahwa efektivitas ODA dalam meningkatkan HDI sangat bergantung pada target sektoral dan konteks ekonomi negara penerima.
ODA yang Ditargetkan vs. Dampak Umum
Meskipun kritik sering mempertanyakan efektivitas ODA secara umum, khususnya kekhawatiran mengenai inefisiensi atau potensi penggantian sumber daya domestik, bukti empiris menunjukkan ODA yang diarahkan pada dimensi sosial HDI memiliki dampak yang jelas.
Studi yang meneliti bantuan kesehatan menemukan kaitan langsung antara ODA untuk perawatan kesehatan dengan peningkatan harapan hidup dan penurunan angka kematian anak di negara berkembang. Negara-negara yang menerima bantuan kesehatan lebih besar menyaksikan peningkatan harapan hidup sebesar 4.8 tahun selama satu dekade, dibandingkan hanya 2.7 tahun di negara dengan bantuan terendah. Peningkatan ini juga menghasilkan penurunan angka kematian anak yang jauh lebih besar. Ini mengindikasikan bahwa ODA paling efektif ketika secara langsung menargetkan hambatan dimensi fundamental HDI, seperti Harapan Hidup, menunjukkan bahwa bantuan yang ditujukan untuk meningkatkan modal manusia secara langsung dapat memberikan efek jangka panjang yang signifikan.
Efektivitas ODA Berdasarkan Kategori Pendapatan
Efektivitas ODA tidak bersifat homogen di seluruh spektrum ekonomi global. Analisis kuantitatif terbaru mengenai ODA mitigasi perubahan iklim menunjukkan variasi yang mencolok berdasarkan status pendapatan negara penerima.
Dalam kelompok negara berpendapatan rendah (Low-Income Group), ODA mitigasi perubahan iklim secara positif dan signifikan meningkatkan HDI.Na mun, dalam kelompok negara berpendapatan menengah (Middle-Income Group, kategori yang ditempati Indonesia), ODA serupa tidak berkontribusi pada peningkatan HDI. Ini menunjukkan bahwa masalah absorpsi bantuan dan efektivitas implementasi ODA di negara berpendapatan menengah jauh lebih kompleks.
Kegagalan ODA non-spesifik untuk meningkatkan HDI secara signifikan di negara berpendapatan menengah mungkin terkait dengan tata kelola yang kurang efisien, di mana bantuan asing berisiko menciptakan distorsi pasar atau menggantikan (crowd out) pengeluaran domestik yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan manusia. Sebaliknya, faktor-faktor seperti kontrol korupsi dan pengeluaran domestik untuk kesehatan/pendidikan terbukti berkorelasi positif dengan HDI.
Alternatif dan Fokus ODA Strategis
Bagi negara-negara seperti Indonesia, yang berada dalam kategori berpendapatan menengah, Foreign Direct Investment (FDI) seringkali memberikan dorongan yang lebih langsung terhadap kesejahteraan. Penelitian menunjukkan bahwa FDI berpengaruh positif signifikan terhadap HDI di negara-negara ASEAN, karena masuknya investasi langsung menciptakan perusahaan, menghasilkan permintaan tenaga kerja yang besar, dan secara langsung meningkatkan peluang kerja dan kesejahteraan.
Oleh karena itu, strategi bantuan internasional untuk negara-negara berpendapatan menengah harus bergeser dari pendanaan infrastruktur umum (kecuali jika dirancang untuk meningkatkan akses pendidikan atau kesehatan secara eksplisit) menuju fokus pada pembangunan kapasitas institusional, promosi inovasi teknologi hijau yang dapat mengurangi jejak lingkungan, dan secara kritis, pengalihan fokus pada ODA yang dapat secara langsung membantu menutup defisit struktural, seperti peningkatan kualitas pendidikan kejuruan dan program percepatan Rata-rata Lama Sekolah (MYS).
Kesimpulan
Pembangunan manusia di era modern, atau Antroposen, menuntut kerangka analisis yang lebih canggih daripada sekadar HDI standar. Laporan ini menyoroti bahwa kesejahteraan global dan nasional menghadapi dua imperatif kebijakan utama: mengatasi ketimpangan struktural internal dan memastikan bahwa semua kemajuan yang dicapai bersifat berkelanjutan secara ekologis.
Analisis HDI Indonesia menunjukkan bahwa meskipun terdapat peningkatan yang stabil, Indonesia tertahan di belakang negara tetangga di ASEAN, terutama karena defisit struktural jangka panjang dalam dimensi pendidikan (Rata-rata Lama Sekolah) dan tantangan dalam meningkatkan pendapatan per kapita (GNI PPP). Defisit MYS (5.0 tahun) merupakan hambatan signifikan yang membatasi produktivitas dan memerlukan intervensi kebijakan lintas generasi.
Secara global, pengenalan PHDI telah menyingkap keterbatasan model pembangunan negara-negara maju yang tinggi HDI. Negara-negara ini mencapai skor tinggi dengan mengorbankan keberlanjutan planet, yang ditunjukkan oleh penurunan peringkat PHDI yang tajam (misalnya, Singapura dan Malaysia). Di sisi lain, analisis SHDI menunjukkan bahwa HDI nasional yang tinggi di AS dan Inggris Raya menyembunyikan disparitas regional yang parah, yang mengancam kohesi sosial.
Rekomendasi Kebijakan Strategis Jangka Panjang untuk Indonesia
Berdasarkan dekomposisi metrik HDI dan metrik pelengkap, laporan ini menyarankan agenda kebijakan strategis:
- Akselerasi Modal Manusia (Menutup Kesenjangan MYS): Investasi besar-besaran harus dialokasikan untuk program pendidikan orang dewasa dan pelatihan kejuruan yang dirancang untuk angkatan kerja yang berusia di atas 25 tahun, serta peningkatan kualitas pendidikan formal. MYS yang rendah adalah defisit jangka panjang yang memerlukan solusi percepatan non-tradisional agar tenaga kerja saat ini dapat berkontribusi pada peningkatan GNI per kapita yang berkualitas.
- Mengamankan Keunggulan Keberlanjutan (Strategi PHDI): Menggunakan posisi PHDI Indonesia yang relatif kuat (naik 3 peringkat) sebagai landasan strategi pertumbuhan hijau. Kebijakan harus secara tegas memutus kaitan antara pertumbuhan GNI dan jejak ekologis, memastikan bahwa Indonesia dapat mencapai tingkat GNI per kapita yang lebih tinggi (seperti Thailand) melalui industrialisasi yang didukung oleh energi terbarukan dan praktik ekonomi sirkular, yang sejalan dengan konsep scalable development.
- Reformasi Efektivitas Modal Asing dan Distribusi Anggaran: Pengeluaran pemerintah daerah dan ODA harus diarahkan pada proyek yang terbukti secara empiris meningkatkan dimensi sosial HDI (kesehatan dan pendidikan), sesuai dengan temuan efektivitas ODA kesehatan. Selain itu, mekanisme alokasi anggaran daerah harus diperkuat untuk mengurangi heterogenitas pembangunan dan menargetkan wilayah tertinggal yang menahan skor HDI agregat.
HDI akan tetap menjadi metrik agregat yang relevan, tetapi para pembuat kebijakan dan analis harus secara rutin mengintegrasikan metrik pelengkap. Diskusi global harus bergeser dari sekadar mencapai skor HDI tinggi yang tidak berkelanjutan atau timpang, menuju pengembangan yang inklusif (diukur melalui IHDI), berkelanjutan (diukur melalui PHDI), dan dapat diskalakan secara global. Penerimaan metrik-metrik ini akan memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih adil dan perumusan kebijakan yang lebih bernuansa untuk menghadapi tantangan pembangunan manusia di abad ke-21.
