Kepercayaan sebagai Mata Uang Utama Tata Kelola Global

Lembaga-lembaga supranasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), didirikan berdasarkan janji kolektivitas, stabilitas, dan penyelesaian sengketa yang imparsial pasca Perang Dunia II. Kepercayaan publik dan negara anggota adalah prasyarat fungsionalitas utama mereka. Tanpa legitimasi yang diperoleh melalui kepercayaan, kemampuan lembaga-lembaga ini untuk menegakkan norma, memediasi konflik, dan mengkoordinasikan respons global akan terdegradasi secara signifikan.

Dalam dekade terakhir, tatanan ini menghadapi tantangan signifikan berupa defisit kepercayaan publik yang meluas. Penemuan dari Edelman Trust Barometer, yang melibatkan lebih dari 32.000 responden di 28 negara, mengonfirmasi adanya tren penurunan kepercayaan terhadap lembaga global secara umum. Menariknya, analisis menunjukkan adanya jurang pemisah antara tingkat kepercayaan pada otoritas domestik atau media lokal yang mungkin tinggi di beberapa wilayah (misalnya, Indonesia menunjukkan tingkat kepercayaan media yang mencapai 75% pada tahun 2025, tertinggi kedua di dunia, bahkan naik 5% dari tahun sebelumnya). Namun, tingginya kepercayaan lokal ini seringkali kontras dengan resistensi yang meningkat terhadap narasi lembaga supranasional, terutama ketika lembaga-lembaga ini dinilai bias atau tidak relevan dengan kebutuhan regional.

Krisis kepercayaan yang meluas ini bukan sekadar masalah sentimen publik, melainkan ancaman fundamental terhadap stabilitas. Ketika legitimasi lembaga publik terkikis, hal ini dapat memicu gejolak sosial yang berujung pada reformasi besar-besaran tata kelola. Lebih jauh lagi, krisis kepercayaan publik menjadi ancaman nyata bagi legitimasi pemerintah dan tata kelola global secara keseluruhan. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang berbahaya: kurangnya kepercayaan mengarah pada non-kepatuhan negara-negara terhadap perjanjian multilateral, yang pada gilirannya semakin melemahkan efektivitas lembaga dan memperburuk krisis kepercayaan yang sudah ada.

Tesis Kritis: Erosi Kepercayaan sebagai Self-Inflicted Wound (Bidikan di Kaki Sendiri)

Laporan ini berpendapat bahwa erosi kepercayaan yang dialami lembaga-lembaga global bersifat intrinsik—sebuah self-inflicted wound, atau “Bidikan di Kaki Sendiri.” Erosi ini bukanlah kecelakaan eksternal semata, tetapi merupakan akumulasi kegagalan yang berasal dari kelemahan desain struktural yang dipertahankan sendiri oleh lembaga-lembaga tersebut, serta ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan tatanan multipolar saat ini.

Lembaga global gagal dalam dua aspek utama: pertama, mereka gagal menghilangkan hegemoni tersembunyi yang memungkinkan negara-negara kuat mendikte agenda. Kedua, mereka gagal menunjukkan kompetensi yang diperlukan untuk merespons guncangan global utama (seperti pandemi dan konflik) secara independen, cepat, dan efektif. Kegagalan-kegagalan ini secara kolektif memvalidasi narasi publik bahwa lembaga global adalah struktur yang ketinggalan zaman, birokratis, dan didominasi oleh kepentingan sempit dari kekuatan tertentu, sehingga kehilangan otoritas moral dan fungsional mereka.

Dimensi Struktural Erosi Kepercayaan: Masalah Bias, Kepentingan, dan Hegemoni

Krisis kepercayaan terhadap institusi global berakar pada persepsi publik, terutama dari negara-negara Global South, bahwa lembaga-lembaga ini didominasi oleh kepentingan negara-negara Barat atau kekuatan ekonomi tertentu. Dominasi ini diwujudkan melalui mekanisme struktural yang mendefinisikan tatanan global pasca-1945.

Kritik Tata Kelola Politik: Kebuntuan Hak Veto di Dewan Keamanan PBB

Manifestasi paling nyata dari ketidaksetaraan struktural yang diwarisi dari Perang Dunia II adalah sistem Hak Veto di Dewan Keamanan PBB (DK PBB). Lima anggota tetap (P5)—Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris—memiliki kemampuan untuk memblokir resolusi substansial apa pun, terlepas dari dukungan mayoritas negara anggota.

Hak Veto secara sistematis melumpuhkan DK PBB, khususnya dalam menghadapi konflik geopolitik kontemporer seperti di Timur Tengah atau Eropa Timur. Ketika badan yang seharusnya menjadi penjamin keamanan global menjadi tidak efektif karena kepentingan salah satu P5 atau sekutunya, legitimasi PBB sebagai badan pengawas keamanan global yang netral dan efektif akan terkikis. Ketidakmampuan untuk mereformasi struktur DK PBB, meskipun mayoritas anggota PBB menginginkannya, menunjukkan hegemoni yang stagnan. Stagnasi ini secara eksplisit mendorong negara-negara berkembang untuk mencari platform diplomatik dan keamanan yang mengutamakan kesetaraan kedaulatan, yang pada akhirnya menjadi fondasi ideologis dan pragmatis bagi aliansi alternatif seperti BRICS.

Tata Kelola Kesehatan: Dilema Pendanaan dan Pengaruh Donor di WHO

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menghadapi kritik struktural, terutama terkait mekanisme pendanaan yang memengaruhi independensinya. WHO sangat bergantung pada kontribusi sukarela (Voluntary Contributions) dari negara-negara donor besar, seperti Amerika Serikat, dan entitas non-negara. Ketergantungan ini berpotensi memengaruhi penentuan agenda kebijakan (Agenda Setting) WHO.

Kasus keluarnya AS dari WHO (sebelum akhirnya dibatalkan) di bawah pemerintahan Presiden Trump pada tahun 2020 menunjukkan bagaimana kekuatan donor dapat menggunakan leverage keuangan untuk menekan kebijakan atau menuntut pertanggungjawaban politik dari WHO. Ketika negara-negara donor menahan iuran atau menarik diri, hal ini bukan hanya berdampak pada kapasitas operasional WHO, tetapi juga melahirkan persepsi yang merusak: bahwa WHO tidak beroperasi berdasarkan prinsip ilmiah yang murni, melainkan tunduk pada kepentingan geopolitik atau donasi terbesar. Persepsi ini secara langsung merusak kredibilitas otoritas kesehatan global, mempersulit upaya global dalam menghadapi ancaman kesehatan masyarakat, seperti yang terlihat selama pandemi.

Tata Kelola Ekonomi: Resistensi terhadap Kondisionalitas IMF/World Bank

Di sektor ekonomi, lembaga Bretton Woods, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), dikritik karena sistem kuota voting yang tidak seimbang yang memberikan suara yang tidak proporsional kepada negara-negara maju (G7). Praktik pemberian pinjaman seringkali disertai dengan kondisionalitas struktural yang dianggap memihak kepentingan ekonomi negara-negara maju dan tidak sensitif terhadap kebutuhan pembangunan negara penerima.

Kritik terhadap dominasi sistem ekonomi Barat ini menjadi mesin pendorong utama di balik upaya Global South untuk tidak hanya mereformasi organisasi yang ada seperti WTO, tetapi juga untuk membentuk infrastruktur keuangan alternatif. BRICS secara eksplisit mengadvokasi reformasi WTO dan lembaga keuangan internasional lainnya, menuntut representasi dan pengaruh yang lebih besar bagi negara-negara berkembang. Ketidakpuasan struktural inilah yang menciptakan peluang bagi model tata kelola yang dianggap lebih adil.

Audit Kinerja Krisis: Kegagalan Respons Lembaga Global terhadap Guncangan Besar

Selain bias struktural, krisis kepercayaan diperparah oleh penilaian publik yang kritis terhadap kinerja lembaga global dalam menghadapi guncangan besar yang membutuhkan koordinasi multilateral yang cepat dan koheren.

Analisis Kegagalan Respons Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19, yang dideklarasikan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020, menjadi ujian integritas dan kompetensi terberat bagi WHO dan sistem tata kelola global secara keseluruhan. Respons awal dinilai lamban dan kurang transparan, memicu keraguan yang signifikan di kalangan negara anggota dan masyarakat umum.

Kegagalan respons ini menciptakan lingkungan yang subur bagi berkembangnya narasi hoaks dan alternatif. Di Indonesia saja, Kementerian Kominfo (2022) telah mengidentifikasi dan memblokir lebih dari 2.000 hoaks terkait COVID-19. Dampaknya sudah terlanjur terjadi: disinformasi digital melemahkan otoritas lembaga publik, menyebabkan keengganan vaksinasi meningkat di banyak daerah, dan menurunkan kepercayaan terhadap lembaga kesehatan.

Krisis yang berkepanjangan ini menyebabkan fenomena kelelahan publik (pandemic fatigue) dan ketidakpercayaan yang meluas, baik terhadap respons global maupun kebijakan kesehatan domestik. Kegagalan lembaga global dalam merespons krisis dengan cepat dan efektif memvalidasi kekhawatiran publik mengenai kompetensi dan independensi mereka. Hal ini memperkuat argumen bahwa struktur ini terlalu birokratis dan lamban, yang pada akhirnya merusak kredibilitas ilmiah dan otoritatif mereka di mata masyarakat.

Impotensi dalam Konflik dan Konsensus Iklim

Di luar isu kesehatan, kebuntuan struktural di PBB berimbas pada ketidakmampuan lembaga politik global untuk menegakkan norma internasional dalam menghadapi invasi atau konflik besar. Kegagalan ini—yang didorong oleh kepentingan P5—secara nyata mengurangi otoritas normatif PBB di mata publik dan negara-negara non-sekutu.

Sementara itu, dalam isu perubahan iklim, meskipun sains global didukung oleh badan PBB, krisis kepercayaan muncul dari kurangnya mekanisme kepatuhan yang mengikat bagi negara-negara penghasil emisi utama dan janji pendanaan yang tidak terpenuhi oleh negara-negara maju (untuk mitigasi dan adaptasi di negara berkembang). Hal ini memperburuk ketidakpercayaan antara Utara dan Selatan, di mana negara berkembang melihat komitmen global sebagai retorika tanpa tindakan yang adil.

Media, Disinformasi, dan Perang Narasi: Menantang Otoritas Lembaga

Krisis kepercayaan terhadap lembaga global diperburuk dan dimediasi oleh ekosistem disinformasi digital yang agresif, yang secara efektif menantang dan menggantikan narasi otoritatif.

Anatomi Disinformasi Digital sebagai Senjata Demokrasi

Di era digital, disinformasi berfungsi sebagai senjata yang disebarkan melalui sistem elektronik untuk memengaruhi publik dan melemahkan otoritas lembaga. Jenis informasi palsu ini mencakup penghasutan, provokasi, atau penuduhan yang sengaja disebarkan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan Dampaknya nyata: survei menunjukkan bahwa masyarakat di beberapa konteks lebih percaya pada media sosial atau narasi alternatif dibandingkan situs pemerintah atau lembaga formal.

Meskipun Indonesia mencatatkan tingkat kepercayaan media yang tinggi secara umum (75%), hal ini seringkali terbatas pada media lokal yang kredibel. Kepercayaan terhadap media berita internasional—yang sering dituduh bias dalam pelaporan geopolitik (misalnya, meliput konflik atau isu hak asasi manusia dari sudut pandang Barat)—cenderung jauh lebih rendah, yang pada gilirannya mencemari persepsi terhadap lembaga supranasional yang bekerja sama dengan media-media tersebut.

Kegagalan Diplomasi Publik dan Grand Narrative yang Hilang

Lembaga global dan pemerintah seringkali tidak mampu menghadapi tantangan komunikasi yang kompleks ini. Banyak narasi global yang tidak sinkron antar kementerian atau antara pusat dan daerah. Seringkali, lembaga-lembaga ini kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur, dan sinergi untuk membangun narasi besar (grand narrative) yang koheren dalam komunikasi global.

Ketidakmampuan lembaga global untuk menceritakan kisah mereka secara jujur, cerdas, dan sinergis melalui storytelling diplomacy yang berbasis data dan pengalaman komunitas lokal  memungkinkan narasi tandingan yang lebih sederhana, emosional, dan seringkali berbasis propaganda untuk mengisi kekosongan tersebut. Propagandis berhasil memposisikan lembaga global, ilmuwan, atau pemerintah sebagai musuh, sehingga dengan mudah mengikis kepercayaan publik.

Ancaman Pelemahan Otoritas Normatif

Ketika publik mulai meragukan narasi lembaga global (misalnya, data WHO tentang suatu penyakit, atau proyeksi WTO tentang perdagangan), otoritas normatif mereka runtuh. Ini adalah konsekuensi paling berbahaya dari erosi kepercayaan. Jika otoritas normatif melemah, hal itu memungkinkan resistensi publik yang sah terhadap kebijakan yang seharusnya didasarkan pada konsensus ilmiah atau hukum internasional. Contoh utamanya adalah keengganan vaksinasi massal yang dipicu oleh hoaks COVID-19, yang memperlambat upaya penanganan pandemi secara global.

Arsitektur Alternatif: Kebangkitan Tatanan Global Selatan (BRICS+ dan SSC)

Kehilangan kepercayaan pada tatanan lama secara alami memicu pencarian dan pengembangan solusi alternatif, yang paling menonjol adalah kebangkitan aliansi regional atau bilateral baru yang dipimpin oleh negara-negara Global South.

BRICS+ sebagai Respons Institusional terhadap Ketidakpuasan

BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) telah berkembang menjadi kekuatan geopolitik dan ekonomi yang signifikan, yang secara eksplisit bertujuan menentang dominasi ekonomi negara-negara Barat. Motivasi utama aliansi ini adalah ketidakpuasan mendalam terhadap kurangnya representasi yang adil dan suara yang signifikan dalam lembaga-lembaga yang didominasi Barat.

BRICS mewakili kelompok global baru yang berpotensi besar dan kuat. Berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP), rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita negara BRICS adalah $17.990, yang hampir mendekati rata-rata PDB per kapita global (PPP) sebesar $18.721 pada tahun 2021. Kapasitas ekonomi yang besar ini menjadi landasan untuk membangun arsitektur tandingan yang bertujuan mengurangi dominasi sistem ekonomi Barat dan mewujudkan tatanan global yang lebih adil dan makmur.

New Development Bank (NDB) sebagai Pesaing Bretton Woods

Salah satu hasil konkret dari kerja sama BRICS adalah berdirinya New Development Bank (NDB), yang secara eksplisit diposisikan sebagai alternatif dari Bank Dunia dan IMF. NDB bertujuan untuk memajukan kerja sama Selatan-Selatan dan lebih memenuhi kebutuhan negara-negara miskin dengan fokus pada pendanaan infrastruktur dan pembangunan berkelanjutan.

NDB mengusung filosofi yang kontras dengan lembaga Bretton Woods. NDB menekankan prinsip kemitraan atas dasar kesetaraan, terlepas dari kekuatan ekonomi anggota BRICS, dan menonjolkan fleksibilitas, efisiensi, serta prinsip non-syarat. Dengan mengadopsi pendekatan non-syarat, NDB secara strategis menarik negara berkembang yang lelah dengan kondisionalitas struktural yang kaku dan seringkali dinilai invasif dari IMF. Oleh karena itu, NDB harus dilihat sebagai peningkatan dari institusi Bretton Woods yang ada saat ini, yang membuka jalan baru untuk kerja sama antara Selatan-Selatan dan menciptakan sistem keuangan internasional yang lebih adil.

Penguatan Kerja Sama Selatan-Selatan (SSC)

Kebangkitan BRICS merupakan bagian dari gerakan yang lebih luas yang dikenal sebagai Kerja Sama Selatan-Selatan (South-South Cooperation/SSC). SSC didasarkan pada prinsip-prinsip penghormatan terhadap kedaulatan nasional, kepemilikan nasional (ownership), dan kebebasan dari kondisionalitas.

SSC merupakan upaya kolektif negara-negara Selatan yang berakar dari pengalaman bersama, bertujuan untuk mengembangkan kapasitas nasional melalui pertukaran pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya. Inisiatif ini merupakan peluang untuk mencapai Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 dan memungkinkan suara dari Global South untuk mendorong inovasi dan pembangunan. Munculnya SSC, yang didorong oleh kekuatan ekonomi baru seperti BRICS, adalah refleksi langsung dari ketidakpuasan terhadap tatanan lama dan menjadi pilar diplomasi yang memungkinkan negara-negara Global South menuntut tatanan global yang lebih adil.

Dampak Jangka Panjang: Disintegrasi Tata Kelola Global dan Stabilitas Regional

Erosi kepercayaan yang terus berlanjut terhadap lembaga-lembaga global menimbulkan ancaman yang nyata dan struktural terhadap stabilitas global, mempercepat transisi dari tatanan multilateral yang koheren menuju sistem multi-polar yang terfragmentasi.

Fragmentasi Global: Ancaman terhadap Stabilitas

Penurunan kepercayaan terhadap lembaga lama, dipadukan dengan kemunculan blok paralel seperti BRICS yang menawarkan arsitektur keuangan dan politik yang berbeda, menciptakan fragmentasi yang signifikan. Tata kelola global beralih dari satu sistem multilateral yang kohesif menjadi sistem yang terbagi, kompetitif, dan seringkali bertentangan.

Fragmentasi ini memiliki risiko serius terhadap stabilitas. Isu-isu transnasional yang memerlukan koordinasi global yang efektif—seperti krisis kesehatan berikutnya, keamanan siber, atau mitigasi perubahan iklim—menjadi semakin sulit ditangani. Jika negara-negara tidak lagi memiliki platform yang dipercaya untuk dialog dan kerja sama, risiko eskalasi konflik dan ketidakpastian akan meningkat secara eksponensial.

Peningkatan Proteksionisme dan Nasionalisme

Ketika masyarakat dan pemerintah kehilangan keyakinan bahwa aturan perdagangan global (WTO) atau kerja sama politik (PBB) dapat menjamin kepentingan nasional mereka secara adil, tekanan domestik akan mendorong adopsi kebijakan yang lebih proteksionis dan nasionalistik.

Kebijakan-kebijakan ini, yang bertujuan melindungi kedaulatan ekonomi dan kepentingan domestik, pada akhirnya melemahkan prinsip-prinsip multilateralisme yang merupakan landasan bagi pertumbuhan ekonomi pasca-Perang Dunia. Dampak jangka panjangnya adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan peningkatan ketegangan perdagangan internasional, yang sulit untuk dimediasi dalam kerangka WTO yang kepercayaannya telah terkikis.

Krisis Legitimasi: Konsekuensi Akhir dari Self-Inflicted Wound

Krisis kepercayaan yang meluas dapat memicu reformasi besar-besaran tata kelola atau, dalam skenario terburuk, gejolak sosial dan disfungsi politik. Lembaga-lembaga global yang gagal membangun kembali kepercayaan berisiko kehilangan semua relevansi dan legitimasi yang tersisa. Dalam konteks tatanan multipolar, institusi yang dianggap tidak kompeten, bias, atau hanya melayani kepentingan hegemoni akan digantikan sepenuhnya oleh mekanisme alternatif yang menawarkan model tata kelola yang dianggap lebih setara dan responsif, seperti yang diadvokasi oleh NDB dan BRICS. Ini adalah konsekuensi akhir dari “Bidikan di Kaki Sendiri” yang gagal diperbaiki.

Rekomendasi Strategis dan Jalan Ke Depan

Untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan relevansi di era multipolar, lembaga-lembaga global harus mengambil langkah radikal untuk mengatasi bias struktural mereka dan meningkatkan kapasitas respons serta komunikasi.

Memperbaiki Struktur Tata Kelola (Mengatasi Bias)

Langkah paling krusial adalah menghilangkan kelemahan desain struktural yang menyebabkan bias.

  1. Reformasi Representasi PBB: Harus ada dorongan nyata untuk reformasi mekanisme veto di Dewan Keamanan PBB atau setidaknya memperluas keanggotaan tetap dan non-tetap untuk mencerminkan realitas geopolitik Global South saat ini Reformasi ini mengirimkan sinyal kuat tentang komitmen PBB terhadap kesetaraan kedaulatan.
  2. Pendanaan WHO yang Independen: WHO perlu secara signifikan meningkatkan proporsi pendanaan dari iuran wajib (Assessed Contributions) dibandingkan dengan kontribusi sukarela. Peningkatan ini akan mengurangi leverage politik dari negara-negara donor besar, sehingga memastikan independensi kebijakan yang diperlukan untuk membangun kembali kredibilitas ilmiah dan politiknya.

Peningkatan Kapasitas Respons Krisis dan Transparansi

Lembaga global harus menunjukkan kompetensi yang lebih besar dalam menghadapi krisis global yang mendesak.

  1. Mekanisme Respons Cepat: Perlu dikembangkan mekanisme respons cepat yang lebih agile dan independen secara politik untuk krisis kesehatan dan lingkungan, dengan mengambil pelajaran dari keterbatasan yang terlihat selama COVID-19.
  2. Transparansi Penuh: Memastikan bahwa komunikasi selama krisis bersifat cepat, transparan, dan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Transparansi adalah dasar untuk membangun kembali otoritas dalam menghadapi keraguan publik.

Strategi Komunikasi dan Literasi Digital (Membangun Kembali Trust)

Mengingat bahwa perang narasi adalah medan pertempuran utama untuk kepercayaan, strategi komunikasi harus diperkuat.

  1. Sinergi Narasi Koheren: Pemerintah dan lembaga global harus membangun unit khusus diplomasi publik dan menyinergikan narasi tunggal (grand narrative) yang koheren. Narasi ini harus berbasis empati, akurasi, dan kejujuran, menghubungkan agenda global (seperti SDGs) dengan pengalaman konkret komunitas lokal (storytelling diplomacy).
  2. Pendidikan Literasi Digital: Pendidikan literasi digital harus diperluas melalui kurikulum sekolah dan kampanye publik yang melibatkan tokoh lokal dan influencer kredibel Tujuannya adalah membekali publik dengan kemampuan kritis untuk mengenali dan melawan disinformasi yang secara eksplisit menargetkan otoritas ilmiah dan kelembagaan.
  3. Penegakan Hukum terhadap Disinformasi: Penguatan penegakan hukum terhadap penyebaran disinformasi, penghasutan, atau penuduhan yang mengancam stabilitas dan kepercayaan publik, sesuai dengan kerangka hukum yang relevan, penting untuk menjaga ruang informasi yang sehat.

Tabel berikut merangkum manifestasi utama dari krisis kepercayaan dan dampak institusionalnya:

Manifestasi dan Dampak Krisis Kepercayaan Global

Manifestasi Krisis Lembaga Kunci yang Terdampak Dampak Jangka Pendek Dampak Jangka Panjang (Ancaman Legitimasi)
Bias Struktural & Hak Veto PBB (DK) Impotensi dalam menangani konflik Peningkatan unilateralisme/aliansi ad-hoc
Ketergantungan Pendanaan Donor WHO Konflik kepentingan, kritik atas kecepatan respons awal (COVID-19) Resistensi publik terhadap kebijakan kesehatan global (vaksinasi)
Kegagalan Respons Ekonomi/Perdagangan WTO, IMF/WB Peningkatan proteksionisme, hambatan perdagangan Munculnya sistem keuangan paralel (NDB/BRICS)
Dominasi Narasi & Disinformasi Media Internasional, WHO, Pemerintah Keterbelakangan kebijakan oleh hoaks digital Pelemahan otoritas ilmiah dan politik

Perbandingan model tata kelola yang bersaing menggarisbawahi mengapa lembaga-lembaga global lama kehilangan daya tarik mereka di mata Global South:

Perbandingan Model Tata Kelola Global: Bretton Woods vs. BRICS/NDB

Indikator Kunci Model Bretton Woods (IMF/WB) Model BRICS/NDB
Prinsip Dasar Kondisionalitas, Konsensus dominasi G7/Barat Kesetaraan, Non-syarat, Kedaulatan Nasional
Representasi Suara Sistem Quota didominasi negara maju Pembagian suara yang lebih merata (Global South)
Tujuan Utama Stabilitas Moneter Global, Intervensi struktural Pembangunan Berkelanjutan, Infrastruktur, Kerja Sama Selatan-Selatan
Sifat Kelembagaan Sentralistik, Kaku dalam reformasi Fleksibel, Terbuka untuk Inovasi

Kesimpulan

Krisis kepercayaan terhadap lembaga global merupakan ancaman eksistensial bagi tata kelola global, yang secara tepat digambarkan sebagai “Bidikan di Kaki Sendiri.” Erosi ini dipercepat oleh dua faktor utama: bias struktural yang melekat (seperti hak veto PBB dan pendanaan WHO yang didominasi donor) dan kegagalan kinerja yang akut dalam merespons krisis besar seperti COVID-19. Kegagalan-kegagalan ini, ditambah dengan proliferasi disinformasi digital yang efektif, telah merusak otoritas normatif lembaga-lembaga ini, menyebabkan publik global meragukan independensi, keadilan, dan kompetensi mereka.

Akibat langsungnya adalah munculnya arsitektur alternatif, terutama BRICS dan New Development Bank (NDB), yang menawarkan model tata kelola yang didasarkan pada prinsip kesetaraan, non-syarat, dan kedaulatan nasional—filosofi yang sangat menarik bagi negara-negara Global South yang haus akan representasi yang adil. Jika lembaga-lembaga global yang lama gagal melakukan reformasi struktural yang mendalam untuk mengatasi bias mereka dan gagal membangun kembali legitimasi melalui respons krisis yang independen dan narasi yang koheren, mereka berisiko kehilangan semua relevansi, digantikan oleh tatanan multipolar yang terfragmentasi, yang pada akhirnya akan menghambat kerja sama dalam isu-isu transnasional yang penting bagi stabilitas global. Membangun kembali kepercayaan tidak dapat dilakukan dengan sekadar komunikasi, tetapi harus dimulai dari reformasi mendasar atas bagaimana kekuasaan dan pendanaan diorganisir dalam tata kelola global.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 66 = 75
Powered by MathCaptcha