Tulisan ini menyajikan analisis sosiologis mendalam mengenai pembentukan budaya hibrida di kota-kota kosmopolitan global, yang dipicu oleh arus migrasi internasional yang masif. Penemuan kunci menunjukkan bahwa kota-kota besar abad ke-21 telah melampaui paradigma integrasi konvensional seperti asimilasi, beralih menjadi “laboratorium budaya” di mana identitas dan praktik sosial terus dinegosiasikan. Fenomena ini menciptakan generasi baru yang disebut Third Culture Kids (TCK), individu yang memiliki keunggulan kognitif tetapi berjuang dengan “tunawisma budaya” (cultural homelessness) akibat loyalitas yang terfragmentasi. Secara linguistik, hibriditas termanifestasi sebagai code-switching dan code-mixing, yang berfungsi sebagai modal sosial dan penanda prestise di lingkungan urban multilingual. Secara sosial, ketegangan muncul dari perbedaan norma dan perjuangan migran di sektor ekonomi informal yang dipandang dengan stigma negatif. Analisis komparatif terhadap model tata kelola di Toronto (Pasca-Multikulturalisme), London (Pasca-Kolonial), dan Dubai (Toleransi berbasis Ekonomi) mengungkapkan bahwa keberhasilan negosiasi hibriditas sangat bergantung pada kerangka kebijakan. Toronto memimpin dengan pengakuan terhadap identitas ganda (multiversal inclusivity), sementara Dubai menciptakan “hibriditas transaksional” yang fungsional secara ekonomi tetapi mempertahankan segregasi struktural identitas. Untuk memastikan kohesi sosial yang berkelanjutan, kota-kota global harus mengadopsi kerangka kerja Transkulturalisme Kritis yang mengakui dinamika kekuasaan dalam percampuran budaya dan menerapkan kebijakan yang secara aktif mendukung inklusi identitas, ekonomi, dan psikososial bagi populasi hibrida.
Pendahuluan: Kota Kosmopolitan Dan Arus Migrasi Internasional
Konteks Globalisasi dan Migrasi Massif Abad ke-21
Abad ke-21 ditandai oleh pergeseran seismik dalam pola demografi global, di mana kota-kota besar telah menjadi titik temu utama dari arus migrasi internasional yang intensif. Globalisasi dan liberalisasi telah memicu peningkatan signifikan dalam mobilitas penduduk, mengubah dinamika interaksi sosial di seluruh dunia. Kota-kota bukan lagi hanya menampung migrasi internal (desa-kota), tetapi semakin didominasi oleh migrasi lintas batas yang kompleks, suatu fenomena yang menuntut fokus kebijakan yang lebih terpusat dan terkoordinasi.
Perubahan pola migrasi terkini menunjukkan bahwa pergerakan penduduk semakin beragam dari segi demografi gender. Studi di Indonesia, misalnya, mengindikasikan bahwa peluang bagi perempuan perdesaan untuk bermigrasi ke kota hampir setara dengan laki-laki. Di Tangerang, proporsi perempuan mencapai 48 persen, berbanding 52 persen untuk laki-laki, yang secara substansial menantang model migrasi yang secara historis didominasi oleh pekerja laki-laki. Selain itu, profil migran terbaru di semua kota cenderung berusia muda. Arus migrasi ini, yang didorong oleh motif ekonomi, pendidikan, atau stabilitas, menciptakan lingkungan urban yang dinamis dan sangat beragam, menjadi pendorong utama proliferasi budaya baru.
Mendefinisikan Hibriditas Budaya dalam Konteks Urban
Dalam lingkungan urban yang dipercepat oleh globalisasi, percampuran budaya (hibriditas) adalah keniscayaan sosiologis. Hibriditas tidak didefinisikan sebagai konsep kesatuan yang sederhana, melainkan sebagai gabungan ide, konsep, dan tema yang saling menguatkan, bahkan terkadang bertentangan. Konsep ini secara fundamental menentang pemikiran dualistik atau dikotomi budaya yang kaku, seperti budaya populer versus budaya massa, atau asing versus domestik.
Dalam konteks urban, hibriditas muncul dari interaksi sosial budaya. Mobilitas kultural yang berkepanjangan akibat masuknya berbagai pengaruh, seperti sejarah masuknya budaya agama (Hindu-Budha, Islam, Kristiani bangsa Eropa, Tionghoa) di Indonesia, menjadi warisan yang membentuk budaya hibrida. Hibriditas menjadi kondisi global, yang disebabkan oleh serangkaian faktor historis dan kontemporer, termasuk migrasi sukarela dan paksa, konflik, dan perkawinan campur. Fenomena ini telah meresap ke dalam segala aspek kehidupan, bahkan termanifestasi dalam media populer, seperti hibridisasi budaya yang terlihat dalam drama Korea yang mengadopsi struktur naratif Barat.
Thesis Sentral: Melampaui Paradigma Asimilasi
Tulisan ini berargumen bahwa kota-kota kosmopolitan modern tidak lagi berfungsi sebagai wadah peleburan (asimilasi), melainkan sebagai “laboratorium budaya” yang dinamis. Dalam laboratorium ini, identitas dan praktik sosial hibrida secara terus-menerus dinegosiasikan, menuntut model tata kelola yang jauh lebih canggih daripada multikulturalisme tradisional—yaitu model yang disebut Transkulturalisme Kritis atau Pasca-Multikulturalisme.
Signifikansi dari tesis ini terletak pada penolakannya terhadap asimilasi yang menyiratkan penyerapan total budaya minoritas ke dalam budaya dominan yang tunggal dan tidak berubah. Sebaliknya, pendekatan ini berfokus pada dinamika, kontradiksi, dan multiplisitas budaya yang hidup berdampingan. Oleh karena itu, analisis hibriditas tidak bisa hanya bersifat deskriptif. Analisis harus dioperasionalkan melalui studi kasus komparatif untuk mengintegrasikan dimensi historis, retoris, struktural, tekstual, dan empiris, memastikan pemahaman yang menyeluruh tentang mekanisme yang membentuk budaya baru ini.
Kerangka Teoritis: Dari Pluralisme Ke Transkulturalisme Kritis
Asimilasi versus Multikulturalisme: Batasan Model Konvensional
Paradigma Asimilasi menuntut penyerahan atau penyerapan identitas minoritas ke dalam budaya dominan. Model ini gagal mengakui multiplisitas dan dinamika yang dibawa oleh globalisasi, di mana identitas menjadi cair dan multi-dimensi.
Sebagai respons, model Multikulturalisme tradisional muncul, mengakui dan menilai pentingnya keberagaman sosial-budaya—baik dalam konteks lintas etnis, etnokultural, maupun etnoreligius. Model ini bertujuan untuk menekan konflik antaretnik dan meningkatkan persamaan (equality), sikap demokratis, dan toleransi. Dalam praktiknya, multikulturalisme efektif untuk mengimplementasikan pembelajaran yang menekankan aspek afektif dan psikomotorik untuk menekan prasangka dan diskriminasi. Namun, kritik utama terhadap model ini adalah kecenderungannya untuk mengkategorikan budaya ke dalam unit-unit “etnisitas” atau “kelompok” yang tetap, mengabaikan realitas percampuran dan fluiditas budaya yang semakin meningkat.
Konsep Hibriditas Budaya: Sintesis, Kontradiksi, dan Dinamika Kekuasaan
Hibriditas merupakan kondisi eksistensial dan global yang ditandai oleh percampuran. Konsep ini menantang logika linier dalam analisis budaya dan menyerukan ditinggalkannya identifikasi Manichaean yang terlalu disederhanakan. Hibriditas dibentuk oleh praktik komunikasi bervariasi—jurnalisme, produksi media, dan penerimaan media—yang menciptakan gagasan, ideologi, atau pengalaman eksistensial percampuran.
Namun, penting untuk memahami bahwa wacana percampuran budaya secara historis melayani ideologi integrasi dan kontrol, bukan selalu pluralisme dan pemberdayaan. Dalam konteks ini, analisis sosiologis harus bergerak menuju Transkulturalisme Kritis. Kerangka kerja ini penting karena menempatkan hibriditas dalam konteks hubungan kekuasaan (power) dan sejarah, secara eksplisit menentang visi pluralisme budaya yang mengabaikan dinamika kekuasaan.
Transkulturalisme Kritis menuntut pemahaman bahwa hibriditas sering disajikan dalam wacana publik sebagai pertukaran budaya yang egaliter dan positif. Pendekatan ini adalah retorika strategis yang membingkai percampuran sebagai hal yang alami, biasa, dan diinginkan, untuk menghindari perdebatan struktural. Sebuah analisis yang mendalam harus mempertanyakan: Budaya siapa yang menjadi basis dan budaya siapa yang menjadi tambahan? Misalnya, citra toleransi Dubai diproyeksikan untuk menarik investasi dan pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa bahkan koeksistensi budaya diatur oleh kepentingan politik dan utilitas ekonomi. Dengan demikian, Transkulturalisme Kritis menjadi alat untuk menganalisis percampuran budaya secara mendalam, menolak asimilasi pasif dan pluralisme yang naif terhadap kekuasaan.
Mendorong Tata Kelola Pasca-Multikulturalisme dan Inklusivitas Multiversal
Untuk mengatasi kompleksitas hibriditas dan dinamika kekuasaan yang muncul di kota-kota global, diperlukan model tata kelola baru. Model Pasca-Multikulturalisme, khususnya yang beroperasi di bawah prinsip ‘multiversal inclusivity’, muncul sebagai kerangka kerja yang melampaui multikulturalisme resmi tradisional.
Model ini dirancang untuk menyeimbangkan persatuan nasional dengan pengakuan terhadap ‘hyperdiversity’—keanekaragaman yang sangat kompleks dan kontradiktif. Tata kelola Pasca-Multikulturalisme mengakui realitas batasan kelompok yang bergeser, mengakomodasi hibrida dan kombinasi budaya baru, serta mendukung identitas ganda dan afiliasi hibrida yang bertentangan dengan politik identitas konvensional.
Model ini secara eksplisit menghormati hak migran untuk menyesuaikan pola kepemilikan dan identitas mereka—sesuatu yang penting di tengah latar belakang loyalitas yang terfragmentasi yang dibawa oleh dinamika transmigrasi dan transnasionalisme. Tujuannya adalah menciptakan kerangka kerja nasional yang inklusif di mana masyarakat dapat “hidup berbeda bersama-sama tanpa kerumitan menghalangi koeksistensi kooperatif.” Tata kelola ini berusaha menghubungkan dinamika hyperdiversity transmigran dengan nasionalisme terikat dan pemerintahan inklusif, memastikan bahwa pengakuan terhadap multidimensi kedatangan dan kepergian budaya melampaui batas-batas tetap dan lokasi permanen.
Identitas Generasi Global: Fenomena Third Culture Kids (Tck)
Definisi TCK dan Evolusi Konsep
Third Culture Kid (TCK), juga dikenal sebagai global nomad atau transcultural kid, adalah individu yang menghabiskan sebagian besar masa formatif atau perkembangannya di budaya yang berbeda dari budaya orang tua mereka atau negara kelahiran mereka. Meskipun istilah “kid” digunakan, konsep ini berlaku untuk anak-anak dan orang dewasa (kemudian disebut Adult Third Culture Kid atau ATCK).
Konsep ini dicetuskan oleh sosiolog Amerika Ruth Hill Useem pada tahun 1950-an untuk menggambarkan anak-anak yang, alih-alih berasimilasi dengan budaya kelahirannya, malah mengadopsi campuran budaya dari tempat mereka tinggal dan dibesarkan. Contoh TCK termasuk anak-anak dari orang tua yang bekerja secara internasional, misionaris agama, atau militer, serta anak-anak dari pernikahan transnasional. Presiden AS Barack Obama, lahir di Hawaii dari ayah Kenya dan ibu Amerika, kemudian dibesarkan di Jakarta, merupakan contoh TCK. Konsep ini telah diperluas mencakup Cross-Cultural Kids (CCK), termasuk imigran, anak adopsi internasional, atau anak dari orang tua birasial.
Keunikan TCK: Keunggulan Kognitif dan Interpersonal
TCK secara inheren terekspos pada volume dan varietas pengaruh budaya yang lebih besar daripada mereka yang tumbuh dalam satu lingkungan budaya tertentu. Keunikan ini menghasilkan sejumlah keunggulan kognitif dan interpersonal yang membuat TCK menjadi individu yang sangat berharga dalam konteks globalisasi.
Paparan lintas budaya yang bermakna memicu pengembangan ketahanan (resilience), empati yang tinggi, dan kemandirian. TCK sering kali berada di garis depan proliferasi budaya yang dibawa oleh kemajuan teknologi komunikasi dan globalisasi, menghasilkan sudut pandang yang lebih berorientasi global, berbeda dari mereka yang berasal dari budaya tradisional. Mereka mengembangkan kemampuan luar biasa untuk bernavigasi dan beradaptasi dengan cepat di berbagai situasi baru.
Tantangan Psikososial: ‘Cultural Homelessness’ dan Kehilangan Relasional
Meskipun TCK memiliki keunggulan, pengalaman pertumbuhan mereka di budaya yang berbeda-beda membawa tantangan psikososial yang signifikan. Tantangan utama adalah bahwa TCK membangun hubungan dengan semua budaya yang dialami, namun tidak memiliki kepemilikan penuh pada budaya mana pun. Kondisi ini dapat menyebabkan apa yang disebut “tunawisma budaya” (cultural homelessness), yaitu kondisi di mana individu gagal beradaptasi, mengembangkan identitas, dan merasa tidak memiliki. Tunawisma budaya dapat diasosiasikan dengan harga diri yang rendah dan persepsi kurangnya kontrol atas hidup mereka.
Tantangan psikologis lainnya adalah kehilangan relasional berulang (repeated relational loss and rebuilding). Karena perpindahan yang berulang selama masa kanak-kanak, TCK sering kali harus membangun dan kehilangan koneksi emosional berulang kali. Studi menunjukkan bahwa pengalaman ini dapat mengarah pada kesulitan dalam mencapai kedalaman emosional dan memelihara hubungan interpersonal jangka panjang di luar kelompok inti teman (sesama TCK). Dalam menghadapi kurangnya kontrol dan pilihan selama masa perkembangan, komunikasi dan dukungan emosional yang kuat dari orang tua ditemukan sangat penting dalam menentukan kesejahteraan psikologis TCK. Selain itu, TCK dapat menghadapi isu sistemik dan diskriminasi yang memengaruhi kesejahteraan psikologis mereka, meskipun mereka mungkin memiliki privilese interseksional.
Fenomena TCK adalah indikator keberhasilan integrasi kota yang paling volatil. Kegagalan kota untuk memberikan pengakuan identitas yang sah (baik secara legal maupun sosial) kepada TCK—yang mewakili percampuran budaya masa depan—menunjukkan kegagalan tata kelola dalam bergerak melampaui konsep kebangsaan tunggal. Kota yang berhasil diukur bukan hanya dari PDB atau infrastrukturnya, tetapi dari seberapa efektif ia dapat mengubah cultural homelessness yang dialami TCK menjadi rasa kepemilikan multiversal (multiversal belonging).
Profil berikut merangkum keunikan dan tantangan utama yang dihadapi oleh TCK:
Table 1: Profil Keunikan dan Tantangan Utama Identitas Third Culture Kid (TCK)
| Dimensi | Keunikan/Manfaat (Advantages) | Tantangan/Risiko (Challenges) |
| Kognitif & Sosial | Perspektif global, empati lintas budaya, kefasihan bahasa ganda/multipel, adaptabilitas tinggi, pengembangan resilience. | Kerentanan identitas, perasaan tidak memiliki penuh (cultural homelessness), persepsi kurangnya kontrol, kesulitan mencapai kedalaman emosional dalam hubungan non-inti. |
| Relasional | Jaringan pertemanan inti yang kuat (sesama TCK), kemampuan membentuk ikatan instan dengan orang asing. | Kehilangan relasional berulang (repeated relational loss), kesulitan mempertahankan koneksi, isolasi. |
| Perkembangan | Kemandirian, ketahanan, kemampuan bernavigasi situasi baru. | Kurangnya kontrol dan pilihan selama masa formatif, potensi masalah psikologis akibat diskriminasi interseksional. |
Manifestasi Hibrida: Evolusi Bahasa Dan Kuliner Urban
Evolusi Bahasa di Ruang Urban: Code-Switching dan Code-Mixing
Salah satu manifestasi budaya hibrida yang paling nyata di kota kosmopolitan adalah evolusi linguistik, khususnya fenomena code-switching (CS) dan code-mixing (CM). Penggunaan berbagai bahasa (bilingualism atau multilingualism) merupakan ciri khas kota-kota multikultural, dan CS serta CM adalah bagian dari proses perkembangan bahasa yang menarik untuk studi sosiolinguistik.
Code-Switching (CS) didefinisikan sebagai situasi di mana penutur secara sengaja mengubah kode bahasa yang digunakan ke kode lain. Perubahan ini dapat dipicu oleh beberapa pertimbangan, termasuk menyesuaikan diri dengan lawan bicara, pertimbangan diri sendiri, kehadiran pihak ketiga (misalnya, mengalihkan kode ke Bahasa Indonesia ketika ada pihak ketiga dari etnis yang berbeda), menciptakan rasa humor, atau meningkatkan prestise sosial. CS dapat terjadi secara eksternal (dengan bahasa asing) atau antar kalimat (inter-sentential switching).
Code-Mixing (CM) terjadi ketika penutur mencampurkan kata atau istilah asing/lain ke dalam bahasa dominan yang digunakan. Hal ini mencakup penggunaan istilah-istilah asing yang memiliki konotasi intelektual.12 Faktor-faktor yang memengaruhi CM sering kali berkaitan dengan pola kebiasaan, kenyamanan pembicara dalam berkomunikasi, atau ekspresi identitas kelompok.
Fenomena CS dan CM di kota kosmopolitan melampaui sekadar kebetulan linguistik; praktik ini berfungsi sebagai modal budaya dan sosial yang krusial. Kemampuan untuk melakukan CS atau CM, terutama dengan istilah asing yang tampak “intelektual”, dapat meningkatkan prestise sosial atau menjadi penanda identitas kelompok. Kemampuan ini memungkinkan migran dan TCK untuk menavigasi konteks sosial yang berbeda dengan lancar, dan merupakan bentuk adaptasi hibrida yang menolak pemurnian bahasa, menjadikan bahasa hibrida sebagai aset penting dalam lingkungan urban.
Table 2: Perbedaan Fenomena Code-Switching dan Code-Mixing dalam Konteks Urban Multilingual
| Karakteristik | Code-Switching (Alih Kode) | Code-Mixing (Campur Kode) |
| Definisi Dasar | Perubahan bahasa yang digunakan secara sadar dari satu bahasa/kode ke bahasa/kode lain secara keseluruhan di antara klausa atau kalimat. | Penggunaan kata, frasa, atau istilah asing/lain dalam kalimat yang didominasi oleh satu bahasa dasar. |
| Fungsi Utama | Penyesuaian terhadap lawan bicara (addressee specification), pengulangan untuk klarifikasi (reiteration), menciptakan humor, atau meningkatkan prestise. | Mencerminkan kebiasaan dan kenyamanan berbicara, ekspresi identitas kelompok, atau membahas topik tertentu. |
| Level Kemunculan | Inter-sentential (antar kalimat) atau Eksternal (dengan bahasa asing). | Intra-sentential (dalam kalimat) atau intra-lexical (campuran kata). |
Fusion Cuisine sebagai Semiotika Budaya Hibrida
Selain bahasa, kuliner merupakan arena utama di mana hibriditas budaya termanifestasi. Kota kosmopolitan berfungsi sebagai inkubator bagi fusion cuisine. Makanan, dalam analisis semiotika budaya, adalah tanda yang melampaui fungsi subsistensi, mewakili makna tertentu dalam lingkungan perkotaan.
Awalnya, masakan diaspora seringkali merupakan upaya migran untuk mempertahankan rasa dan identitas budaya asal mereka di tanah asing. Namun, di kota-kota global, proses ini bermetamorfosis menjadi produk hibrida yang dikomodifikasi. Fusion cuisine secara fisik dan eksplisit menunjukkan percampuran budaya—misalnya, hidangan Asia yang menggunakan teknik masakan Eropa, atau sebaliknya. Fenomena ini didorong oleh permintaan pasar global dan keragaman selera penduduk kota, menjadikannya penanda identitas urban yang trendi.
Implikasi budayanya sangat besar: Fusion cuisine mengakui bahwa batasan kuliner—dan secara implisit, batasan budaya—telah menjadi cair dan bergeser. Ini merupakan bentuk dialog budaya yang konstruktif dan menguntungkan secara ekonomi, yang pada akhirnya memperkuat narasi kota sebagai pusat inovasi dan toleransi, meskipun latar belakang hibridisasi ini seringkali kompleks dan berakar pada sejarah migrasi.
Dinamika Sosial Dan Negosiasi Ruang Publik
Ketegangan antara Norma Migran dan Penduduk Asli
Arus migrasi yang masif di kota-kota global tak terhindarkan menghasilkan ketegangan sosial yang timbul dari perbedaan norma sosial, budaya, dan hukum. Ketegangan ini dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari dan profesional migran.
Sebagai contoh, komunitas pekerja migran internasional di Hong Kong kerap menghadapi masalah seperti pemutusan kontrak kerja yang disebabkan oleh ketidaktahuan mereka terhadap budaya lokal, termasuk undang-undang pekerjaan, atau karena perbedaan ekspektasi antara majikan dan pekerja. Majikan mungkin mengharapkan pekerja migran sudah memiliki kemampuan bahasa yang memadai, padahal pekerja belum menguasainya. Ketidaktahuan akan budaya dan hukum ini dapat memicu konflik dan bahkan eksploitasi, menunjukkan bahwa integrasi memerlukan pemahaman proaktif terhadap norma-norma yang berlaku. Oleh karena itu, koeksistensi yang sukses membutuhkan edukasi dua arah, di mana migran memahami budaya tuan rumah, dan penduduk asli memahami tantangan adaptasi migran.
Konflik dan Koeksistensi Agama di Kota Global
Agama merupakan dimensi penting dari hibriditas budaya, seringkali menjadi sumber konflik tetapi juga landasan koeksistensi. Kerukunan beragama di kota kosmopolitan dapat dipahami sebagai koeksistensi ramah yang didasarkan pada empat pilar utama :
- Saling Menghormati: Agama yang berbeda perlu saling menghormati, karena ancaman terhadap kitab suci atau simbol agama lain dapat menyulut api kebencian dan konflik, menghambat dialog dan pertukaran.
- Tanggung Jawab Sosial Bersama: Dalam menghadapi masalah besar global (bencana alam, kelaparan, konflik), semua agama perlu bergabung tangan, memikul tanggung jawab sosial, dan berkontribusi pada perdamaian dunia dan kesejahteraan rakyat.
- Menentang Penggunaan Agama untuk Tujuan Tidak Baik: Agama tidak boleh digunakan untuk mencampuri urusan internal negara lain, menyabot persatuan nasional, atau merusak hak orang lain dan stabilitas sosial.
- Waspada terhadap Ekstremisme Agama: Semua agama harus menentang kekerasan, memperjuangkan cinta universal, dan melindungi kemurnian iman untuk menghilangkan ruang bagi perbuatan jahat.
Secara historis, hubungan antara komunitas agama, seperti Islam di Eropa, telah berlangsung selama lebih dari seribu tahun, dari kejayaan Andalusia hingga perluasan Kekaisaran Utsmaniyah di Balkan. Namun, di Eropa modern, hubungan ini terus menjadi subjek ketegangan dan tantangan integrasi. Tantangan penerapan hukum keluarga Islam di masyarakat Muslim Eropa, misalnya, menunjukkan konflik yang mendalam antara norma sosial migran dengan kerangka hukum negara tuan rumah.
Ketegangan di ruang publik perkotaan seringkali timbul ketika agama beralih dari ranah privat ke ranah publik dan politik. Kota-kota kosmopolitan harus secara aktif mengelola koeksistensi. Sebagai contoh, Dubai mempromosikan citra harmonis dan toleran. Namun, manajemen agama di sana dimotivasi oleh kepentingan ekonomi, seperti investasi dan pariwisata. Pemerintah mendirikan Kementerian Toleransi dan menerapkan kurikulum toleransi berbasis Islam sebagai upaya proaktif untuk memproyeksikan citra tertentu, menunjukkan bahwa koeksistensi, bahkan yang “ramah,” dapat menjadi alat kebijakan yang didorong oleh utilitas dan bukan hanya integrasi sosial.
Perebutan Ruang Ekonomi Urban: Perjuangan Migran di Sektor Informal
Migran sering kali mengisi celah dalam ekonomi urban melalui sektor informal. Namun, kelompok ini acapkali distigmakan secara negatif sebagai kaum pinggiran kota yang mengganggu modernisasi dan pertumbuhan pembangunan daerah, menjadikannya objek kekuasaan pemerintah daerah dan rentan terhadap represi.
Sektor informal ini merupakan bentuk hibriditas ekonomi—percampuran antara pranata ekonomi formal yang dominan dengan strategi subsistensi dan modalitas yang tidak diakui secara resmi. Untuk bertahan hidup dan mencapai eksistensi, migran di sektor informal “bertarung di arena ekonomi” dengan mereproduksi modal sosial dan modal budaya mereka. Modal sosial, seperti jaringan komunitas, dan modal budaya, seperti keterampilan dan pengetahuan lokal, dipertaruhkan sebagai basis ekonomi untuk merebut ruang-ruang ekonomi baik publik maupun privat.
Meskipun terdapat upaya pemberdayaan, seperti program untuk purna migran (KKBM dan Desmigratif) yang meningkatkan kapasitas dalam menghasilkan produk pangan lokal, banyak kendala struktural tetap ada. Kendala dalam pemasaran tidak mendapat respon yang memadai dari pemerintah, dan akses kredit perbankan sulit dijangkau, khususnya bagi purna migran perempuan yang sering terkendala agunan dan akses/kontrol terhadap aset rumah tangga. Perjuangan ini menunjukkan adanya resistensi aktif terhadap sistem yang memaksa asimilasi ekonomi (menjadi pekerja formal) dan bukannya mengakomodasi modalitas ekonomi hibrida.
Laboratorium Budaya Hibrida Global: Analisis Komparatif Kota Kosmopolitan
London, Toronto, dan Dubai mewakili spektrum model tata kelola migrasi yang berbeda, menawarkan perbandingan yang kaya mengenai bagaimana hibriditas budaya dinegosiasikan dan diinstitusionalisasikan.
Toronto (Kanada): Model Pasca-Multikulturalisme dan Pengakuan Afiliasi Hibrida
Toronto adalah kasus paling maju dalam hal tata kelola yang mengakui fluiditas identitas. Kota ini beroperasi dalam kerangka Pasca-Multikulturalisme yang didorong oleh prinsip ‘multiversal inclusivity’. Model ini dibangun untuk melampaui multikulturalisme resmi Kanada yang berfokus pada kelompok etnis yang tetap.
Toronto secara eksplisit dirancang untuk menghadapi ‘hyperdiversity’—keanekaragaman yang sangat kompleks dan multi-dimensi—dan mengakomodasi ‘diversities-within-diversities’. Tata kelola ini mengakui realitas batasan kelompok yang bergeser, mengakui hibrida budaya baru, dan mendukung identitas ganda dan afiliasi hibrida yang bertentangan dengan politik identitas konvensional. Ini adalah kerangka kerja yang menghormati hak migran untuk menyesuaikan pola kepemilikan dan identitas mereka di tengah latar belakang loyalitas yang terfragmentasi yang dibawa oleh transnasionalisme.
Meskipun Toronto memimpin dalam teori tata kelola, tantangan terbesarnya adalah mengimplementasikan pengakuan ini menjadi inklusivitas struktural. Mengakui “afiliasi hibrida” secara teoritis berbeda dengan mengatasi ketidaksetaraan struktural. Model ini harus memastikan bahwa pengakuan identitas tidak hanya bersifat retoris, tetapi juga menghasilkan kepemilikan sipil dan partisipasi yang bermakna, mengubah cultural homelessness menjadi multiversal belonging. TCK di Toronto, meskipun menghadapi tantangan psikososial, setidaknya beroperasi dalam kerangka yang mengakui hibriditas eksistensial mereka, di mana percampuran identitas diakui pada tingkat formal.
London (Inggris): Hibriditas di Pusat Global Pasca-Kolonial
London mewakili model Multikulturalisme tradisional yang sangat dipengaruhi oleh sejarah pasca-kolonial dan posisinya sebagai pusat global dan keuangan. Kebijakan di London bertujuan untuk menekan prasangka dan diskriminasi serta meningkatkan persamaan (equality) di tengah masyarakat majemuk, dengan semangat untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis multikulturalisme. London menjadi simbol koeksistensi etnokultural dan etnoreligius, dengan hibriditas yang sangat terlihat dalam bahasa (misalnya, cockney yang dipengaruhi bahasa diaspora) dan budaya populer (seni, musik, mode).
Hibriditas di London berbeda dengan Toronto karena akarnya yang dalam pada sejarah imperial. Dinamika kekuasaan (power dynamics), yang ditekankan oleh Transkulturalisme Kritis, sangat kental. Budaya hibrida yang muncul sering kali harus dinegosiasikan dengan narasi nasional Inggris yang dominan, menyebabkan ketegangan berkelanjutan. Meskipun London adalah kota yang sangat beragam, tantangan tetap terletak pada transisi dari pengakuan keberadaan budaya yang berbeda (pluralisme) ke pengakuan terhadap percampuran dan fluiditas budaya (hibriditas) tanpa mengabaikan warisan struktural ketidaksetaraan kolonial.
Dubai (Uni Emirat Arab): Model Ekonomi Migran Dominan dan Identitas yang Terjaga
Dubai/Uni Emirat Arab (UEA) menyajikan kasus ekstrem dalam studi hibriditas, di mana hampir 90% populasinya adalah ekspatriat/bukan warga negara. Demografi yang sangat tidak seimbang ini menciptakan kondisi hyperdiversity yang unik.
Model tata kelola Dubai dapat dikategorikan sebagai Toleransi/Inklusivitas berbasis Ekonomi (Utility-Based Tolerance). Semua kebijakan di UEA, yang mencitrakan negara yang aman, harmonis, dan penuh toleransi, didorong oleh motivasi ekonomi: investasi, pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan keamanan regional. Pemerintah berupaya memperkuat identitas Arab-Muslim pribumi sambil menuntut pendatang menghargai budaya dan identitas lokal melalui pesan kampanye yang gencar.
Model ini adalah model non-asimilasi dan non-integrasi struktural. UEA menerapkan kebijakan ‘Emiratisasi’ yang ketat dan sangat membatasi pemberian kewarganegaraan bagi pekerja asing. Tujuan tata kelola ini adalah untuk mengamankan identitas pribumi dan memastikan bahwa UEA “dimiliki” hanya oleh warganya, sementara orang asing didorong untuk menjadi akrab dengan budaya lokal.
Dubai menciptakan “hibriditas transaksional” di mana percampuran budaya terjadi di ruang publik dan ekonomi (misalnya, dalam layanan, kuliner, dan bahasa sehari-hari fungsional), tetapi identitas struktural (kewarganegaraan, hak politik, kepemilikan permanen) tetap tersegregasi. Implikasinya bagi TCK di Dubai sangat penting; mereka menghadapi realitas ‘temporer’ atau ‘non-imigran’ yang akut. Meskipun tumbuh dalam hyperdiversity, kurangnya jalur kewarganegaraan dapat memperkuat perasaan cultural homelessness yang lebih parah dibandingkan di Toronto atau London. Model Dubai membuktikan bahwa percampuran budaya yang masif dapat terjadi (hibriditas) tanpa harus disertai oleh inklusivitas politik.
Table 3: Model Tata Kelola Budaya Hibrida: Perbandingan London, Toronto, dan Dubai
| Kriteria | Toronto (Kanada) | London (Inggris) | Dubai (UEA) |
| Model Tata Kelola Dominan | Pasca-Multikulturalisme / Multiversal Inclusivity. | Multikulturalisme Tradisional (Warisan Kolonial dan Global). | Toleransi berbasis Ekonomi (Utility-Based Tolerance). |
| Status Migrasi | Imigrasi Permanen (Jalur Kewarganegaraan Terbuka). | Imigrasi Permanen dan Sirkuler (Jalur Kewarganegaraan Terbuka). | Ekspatriat Dominan (90% populasi), Migrasi Temporer (Kewarganegaraan Dibatasi Keras). |
| Tujuan Terhadap Identitas | Mengakui Afiliasi Hibrida dan Loyalitas Terfragmentasi; fokus pada kohesi sosial di tengah hyperdiversity. | Integrasi (Equality dan Toleransi) di tengah pluralisme etnoreligius. | Mengamankan identitas pribumi (Arab-Muslim); menggunakan toleransi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi. |
| Implikasi TCK | Hibriditas Eksistensial: Tantangan cultural homelessness di tengah pengakuan formal terhadap fluiditas identitas. | Integrasi Hibrida: TCK berperan besar dalam budaya populer; tantangan identitas terkait warisan kolonial dan kelas. | Hibriditas Transaksional: Rasa temporer yang akut; identitas TCK terpisah dari kepemilikan struktural/kewarganegaraan. |
Kesimpulan
Analisis mendalam ini menegaskan bahwa migrasi internasional yang masif telah mengubah kota-kota kosmopolitan menjadi entitas sosiologis yang sangat kompleks, melampaui kemampuan model asimilasi dan multikulturalisme tradisional untuk mengelolanya. Budaya hibrida adalah produk yang tak terhindarkan, yang termanifestasi dalam munculnya identitas generasi baru (TCK), kompetensi linguistik (CS/CM) yang berfungsi sebagai modal sosial, dan inovasi ekonomi-kuliner (fusion cuisine).
Temuan kunci menunjukkan bahwa pergerakan teoretis menuju Transkulturalisme Kritis sangat diperlukan, karena ia menuntut pengakuan terhadap dinamika kekuasaan dan konteks historis dalam percampuran budaya. Perbandingan model tata kelola di London, Toronto, dan Dubai membuktikan bahwa hibriditas bukan merupakan hasil akhir yang seragam. Sebaliknya, kualitas hibriditas (apakah itu eksistensial, seperti di Toronto, atau transaksional, seperti di Dubai) sangat bergantung pada kerangka kebijakan negara—khususnya pada sejauh mana negara bersedia mengintegrasikan fluiditas identitas ke dalam struktur kewarganegaraan dan kepemilikan permanen. Toronto, dengan pendekatan multiversal inclusivity-nya, adalah cetak biru untuk mengakui loyalitas terfragmentasi , sedangkan Dubai menunjukkan keterbatasan inklusivitas yang dimotivasi murni oleh utilitas ekonomi.
Rekomendasi Kebijakan untuk Tata Kelola Kota Hibrida
Berdasarkan analisis kerangka teoretis dan komparatif, tulisan ini mengajukan rekomendasi kebijakan untuk memastikan kota kosmopolitan dapat mengelola hibriditas secara adil dan berkelanjutan:
- Menginstitusionalisasi Tata Kelola Pasca-Multikulturalisme: Kota-kota harus mendorong kebijakan yang secara eksplisit mengakui dan mendukung “afiliasi hibrida dan identitas ganda” (seperti yang dilakukan Toronto), meniru kerangka multiversal inclusivity untuk menumbuhkan kepemilikan sipil yang bermakna di antara penduduk hibrida. Kebijakan ini harus fokus pada kohesi sosial di tengah hyperdiversity, bukan sekadar toleransi pasif.
- Mengembangkan Dukungan Psikososial untuk TCK: Mengingat tantangan psikososial yang dihadapi TCK, termasuk repeated relational loss dan potensi cultural homelessness, kota-kota harus berinvestasi dalam program dukungan psikologis dan pendidikan yang sensitif terhadap budaya (cross-cultural psychology) untuk TCK/ATCK. Program ini bertujuan untuk mengubah kerentanan identitas menjadi keunggulan adaptif global.
- Mendorong Inklusi Ekonomi Hibrida: Pemerintah daerah harus melegitimasi dan mendukung migran di sektor informal. Ini memerlukan peningkatan akses terhadap modal sosial/ekonomi dan informasi, serta perlindungan dari represi pemerintah. Pemerintah harus bertindak proaktif dengan merespon kendala struktural, seperti memfasilitasi akses kredit perbankan tanpa agunan yang ketat bagi purna migran, terutama perempuan migran.
- Literasi Lintas Budaya dan Hukum Wajib: Untuk menekan konflik dan kesalahpahaman yang berujung pada eksploitasi (seperti pemutusan kontrak kerja), perlu diterapkan program orientasi yang secara proaktif mengajarkan norma sosial, hukum pekerjaan, dan budaya tuan rumah kepada migran sebelum dan sesampainya mereka di kota. Ini adalah langkah preventif untuk mengatasi perbedaan ekspektasi antara migran dan penduduk asli.
- Memajukan Koeksistensi Agama Aktif: Kota-kota harus secara aktif mempromosikan dialog antaragama yang tidak hanya fokus pada toleransi tetapi juga pada “tanggung jawab sosial bersama.” Hal ini penting untuk memastikan bahwa agama dapat berkontribusi pada stabilitas sosial dan kesejahteraan, serta untuk membatasi penyalahgunaan agama untuk tujuan politik atau ekstremisme, sesuai dengan pilar koeksistensi ramah.
Dengan mengadopsi kerangka kerja yang melampaui asimilasi dan pluralisme pasif, kota-kota kosmopolitan dapat secara efektif mengelola dan memanfaatkan energi budaya hibrida untuk masa depan yang lebih inklusif dan dinamis.
