Arsitektur Ideologis Hubungan Internasional

Wacana mengenai interaksi dan tata kelola antarnegara dalam hubungan internasional kontemporer sering kali mengaburkan perbedaan mendasar antara dua kerangka pemikiran utama: Kosmopolitanisme dan Globalisme. Meskipun kedua istilah ini merujuk pada peningkatan interkonektivitas global, fokus epistemologis dan motivasi normatifnya sangat berbeda.

Kosmopolitanisme, yang berasal dari filosofi politik, adalah konsep preskriptif dan aspirasional, berfokus pada apa yang seharusnya diyakini dan dilakukan oleh manusia sebagai “warga dunia”. Intinya adalah komitmen etis universal. Sebaliknya, Globalisme cenderung deskriptif atau fungsional, merujuk pada integrasi sistem yang sedang terjadi, terutama dalam aspek ekonomi, pasar, dan teknologi.

Arus globalisasi yang intensif di abad ke-21 semakin memperjelas ketegangan antara kedua pola pikir ini. Di satu sisi, intensitas interaksi antar bangsa menantang doktrin lama moral favoritism—prioritas kepentingan warga negara sendiri—yang dianggap tidak relevan karena dapat menghalangi inklusivisme. Namun, di sisi lain, globalisasi juga menciptakan fenomena diskonektivitas dan ketidakpuasan di kalangan populasi yang merasa bahwa peningkatan koneksi ini bersifat searah, tidak adil, atau hanya menguntungkan segelintir elite.

Laporan ini berargumen bahwa perbedaan mendasar terletak pada motivasi: apakah pola pikir internasional harus didasarkan pada altruisme etis (Kosmopolitan) atau keuntungan strategis (Globalis). Pola Pikir Kosmopolitan menyediakan landasan etika dan keadilan yang diperlukan untuk mengoreksi Pola Pikir Globalis, yang cenderung instrumental dan didorong oleh kepentingan. Apabila proses global (Globalisme) mengabaikan tujuan etis (Kosmopolitanisme), hasilnya adalah ketidakstabilan sistem, kerentanan (seperti yang terlihat dalam krisis kesehatan transnasional), dan eksploitasi, khususnya dalam konteks Neoliberalisme pasca-Perang Dingin.

Definisi Dan Asal-Usul Epistemik

Kosmopolitanisme: Filosofi Warga Dunia dan Kewajiban Universal

Kosmopolitanisme adalah ide bahwa semua manusia adalah anggota dari satu komunitas tunggal. Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Yunani Kuno: kosmopolitês, yang berarti “warga dunia”.

Warisan Filosofis dan Tuntutan Etika

Akar filosofi Kosmopolitanisme dapat ditelusuri kembali ke pemikiran Stoikisme, khususnya dari filsuf seperti Seneca di Roma kuno. Seneca menekankan konsep dua persemakmuran: yang satu adalah komunitas yang luas dan benar-benar umum (cosmopolis) yang mencakup dewa dan manusia, dan yang lain adalah komunitas tempat seseorang dilahirkan. Seneca memberikan kedudukan moral yang lebih tinggi pada komunitas universal ini.

Dalam konteks modern, Kosmopolitanisme menuntut pengembangan platform untuk ekspresi budaya, toleransi, dan, yang paling penting, promosi standar moral universal. Filosofi ini berlandaskan kuat pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan kerangka aksi seperti Sustainable Development Goals (SDGs). Universalitas konsep ini terletak pada “perasaan dan etika kepedulian terhadap dunia dan satu sama lain”. Secara teoritis, etika Kosmopolitanisme membebankan tugas individu yang relatif menuntut, yang melampaui batas-batas negara, termasuk kewajiban moral untuk mentransfer sumber daya kepada yang membutuhkan secara global.

Kosmopolitanisme Melawan Realisme Institusional

Doktrin moral favoritism yang menyatakan bahwa pemerintah suatu negara harus memprioritaskan warganya sendiri daripada warga negara lain  merupakan inti dari pandangan Realisme dalam hubungan internasional. Kosmopolitanisme secara langsung menentang pandangan ini. Karena negara cenderung bertindak berdasarkan kepentingannya sendiri—yang merupakan kerangka Realis/Globalis—Kosmopolitanisme melihat pemberdayaan individu, yang bertindak melampaui sekat-sekat kedaulatan dan kepentingan nasional, sebagai satu-satunya jalan keluar moral untuk mewujudkan solidaritas global.

Globalisme: Integrasi Sistem dan Kekuatan Struktur

Globalisme, dalam analisis ini, adalah orientasi yang didorong oleh kekuatan fungsional dan struktural yang menghasilkan integrasi pasar, ekonomi, dan politik.

Fokus Neoliberal dan Instrumental

Globalisme, terutama setelah Perang Dingin, sangat terkait dengan Neoliberalisme. Orientasi ini berfokus pada pasar bebas, mendorong location economics di mana rangkaian produksi disebar secara global untuk menekan biaya produksi. Interkonektivitas ini dianggap sebagai sarana instrumental untuk mencapai efisiensi dan keuntungan ekonomi.

Berbeda dengan Kosmopolitanisme yang melihat kemanusiaan sebagai tujuan moral, Globalisme memandang keterlibatan internasional sebagai alat untuk mencapai tujuan strategis. Misalnya, bantuan asing dan perjanjian perdagangan, yang sering diklasifikasikan sebagai kebijakan ‘globalis’, berfungsi sebagai alat untuk memajukan tujuan kebijakan luar negeri suatu negara. Penelitian bahkan menunjukkan bahwa proposal kebijakan luar negeri yang mempromosikan globalisme (seperti bantuan luar negeri atau keterlibatan organisasi internasional) lebih mungkin lolos jika didukung oleh warga yang makmur dan kepentingan elite politik, terlepas dari dukungan kelas menengah. Ini menggarisbawahi sifat Globalisme yang melayani kepentingan kelas atas dan strategis.

Kebutuhan Etika dalam Globalisme

Meskipun Globalisme didorong oleh kepentingan, etika tetap memainkan peran dalam operasionalnya, tetapi dengan motivasi pragmatis. Perilaku etis dalam dunia bisnis global dianggap krusial untuk kelangsungan bisnis itu sendiri. Manajer harus menyeimbangkan tanggung jawab global dengan kondisi lokal. Selain itu, studi menunjukkan bahwa negara yang menekankan komunikasi etis cenderung memiliki hubungan diplomatik yang lebih stabil dan saling menguntungkan, karena transparansi memungkinkan prediksi perilaku dan pengelolaan konflik.

Klivaj Utama: Etika Dan Motivasi Tanggung Jawab Universal

Ketegangan utama antara Kosmopolitanisme dan Globalisme terletak pada dikotomi antara altruisme etis dan keuntungan strategis.

Dari Moral Favoritism ke Altruisme Etis

Kosmopolitanisme didirikan di atas prinsip kemanusiaan dan menjunjung tinggi semangat solidaritas. Pandangan ini menolak pandangan komunitarian (yang sering beroperasi di bawah payung moral favoritism oleh J.J. Rousseau) yang mengharuskan suatu negara memprioritaskan kepentingan warganya sendiri. Etika kosmopolitan melihat tindakan yang didasarkan pada moral favoritism tidak dapat dibenarkan karena memecah dunia menjadi kelompok ‘in-group’ dan ‘out-group’.

Prinsip ini diterjemahkan ke dalam tuntutan moral yang kuat yang melampaui batas negara. Ini bukan hanya tentang deklarasi normatif, tetapi juga mengenai kewajiban konkret. Kosmopolitanisme melihat adanya tuntutan individu untuk mentransfer sumber daya guna mengatasi masalah global. Namun, Kosmopolitanisme sendiri skeptis terhadap negara-bangsa sebagai agen moral yang efektif, mengingat negara selalu bertindak berdasarkan kepentingan sendiri. Oleh karena itu, Kosmopolitanisme mencari solusi melalui pemberdayaan individu yang terlepas dari sekat-sekat kedaulatan.

Dominasi Kepentingan Strategis: Kebijakan Luar Negeri dan Bantuan

Sebaliknya, Globalisme dalam konteks kebijakan luar negeri, sering kali menempatkan altruisme di belakang tujuan strategis. Bantuan luar negeri secara luas diterima sebagai alat untuk memajukan tujuan kebijakan luar negeri.

Kasus bantuan Tiongkok kepada Kamboja menjadi contoh nyata. Tiongkok telah menyalurkan bantuan dan investasi besar, terutama dalam pengembangan infrastruktur, seringkali melalui pinjaman non-konsesi dan kredit ekspor. Bentuk kerja sama ekonomi ini tidak sepenuhnya memenuhi definisi Overseas Development Assistance (ODA) berbasis altruisme Barat, tetapi konsisten dengan Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai Tiongkok, seperti non-interferensi. Sementara beberapa pengamat Barat melihat motivasi ini dengan kecurigaan, motivasi dasarnya dipahami sebagai strategis—yaitu, memfasilitasi kerja sama ekonomi dan mencapai tujuan kebijakan luar negeri—bukan sebagai tujuan moral universal. Ini menunjukkan bahwa praktik Globalis menggunakan interkonektivitas untuk mengamankan keuntungan geopolitik dan ekonomi.

Dilema Multilateralisme

Tata kelola global sering terjebak dalam dilema antara tuntutan etis Kosmopolitan dan realitas strategis Globalis. Secara normatif, dibutuhkan cosmopolitan multilateralism yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada keadilan. Pola pikir ini mengakui dunia sebagai ‘komunitas takdir yang saling tumpang tindih’ (overlapping communities of fate).

Namun, realitas Globalis-Strategis adalah sistem multilateralisme saat ini cenderung didorong oleh “klub” eksekutif (seperti G7 atau G20) yang bersifat rahasia dan eksklusif. Hal ini menyebabkan tata kelola global sering kali diserahkan kepada kepentingan geopolitik yang kuat (negara dominan) atau organisasi berbasis pasar.

Kosmopolitanisme menuntut reformasi tata kelola untuk memastikan bahwa keputusan transnasional dibuat dalam kerangka publik yang jelas, di mana mereka yang terkena dampak signifikan (kelompok transnasional) memiliki yurisdiksi yang sesuai, dan bukan hanya diserahkan kepada kekuatan strategis. Perjuangan untuk tata kelola global yang lebih adil dan akuntabel ini pada dasarnya merupakan perjuangan untuk menggeser multilateralisme dari fokus Globalis-Strategis yang eksklusif menuju kerangka kerja Kosmopolitan-Etis yang inklusif.

Table 1: Perbandingan Pola Pikir Kosmopolitan dan Globalis

Dimensi Kunci Pola Pikir Kosmopolitan Pola Pikir Globalis
Fokus Utama Etika Universal, Kewajiban Moral terhadap Kemanusiaan Integrasi Ekonomi, Pasar, dan Kepentingan Politik Nasional
Motivasi Utama Altruisme Etis, Solidaritas Global, Keadilan Keuntungan Strategis, Efisiensi Ekonomi, Kekuatan Geopolitik
Aktor Prioritas Individu, Lembaga Multilateral Berbasis Etika, Masyarakat Sipil Negara-Bangsa, Perusahaan Multinasional, Elite Politik & Ekonomi
Tujuan Tata Kelola Transparansi, Akuntabilitas, Reformulasi Etika Publik Internasional Sentralisasi Kekuasaan, Pemenuhan Agenda Pasar Bebas, Dominasi Geopolitik

Dilema Identitas: Menjembatani Lokal Dan Universal

Salah satu isu kunci dalam debat ini adalah bagaimana seseorang dapat menganut nilai-nilai universal yang dituntut oleh Kosmopolitanisme sambil mempertahankan akar budaya lokal.

Tantangan Partikularisme: Ketika Universalitas Menjadi Hegemoni

Globalisasi dan penyebaran budaya global yang didorong oleh sistem nilai tertentu (seringkali Anglo-Amerika) dikhawatirkan akan menumbangkan pertautan antara kebudayaan dan kerapatan lokasi (fixity of location), yang pada akhirnya mengancam kelangsungan akar warisan budaya lokal. Konflik antara prinsip universal liberal dan tradisi atau adat istiadat lokal adalah tantangan yang dihadapi oleh semua masyarakat.

Para kritikus juga memperingatkan bahwa Kosmopolitanisme yang tidak sensitif terhadap keragaman dapat berubah menjadi hegemoni. Sosiolog Ulrich Beck, misalnya, menekankan bahwa memaksakan satu tatanan dunia tunggal akan dianggap etnosentrisme atau hegemoni. Kegagalan dalam menerima dan memahami perspektif orang lain, dan kurangnya budaya toleransi, adalah akar dari banyak kekacauan dan masalah sosial kontemporer.

Kosmopolitanisme Berakar (Rooted Cosmopolitanism): Solusi Sintetik

Solusi filosofis yang diajukan untuk menjembatani ketegangan ini adalah Rooted Cosmopolitanism atau Kosmopolitanisme Berakar. Konsep ini menyediakan pandangan yang seimbang mengenai bagaimana prinsip-prinsip di tingkat nasional dan global dapat dihidupkan. Intinya adalah pengakuan bahwa individu adalah manusia dan warga negara dari suatu negara serta anggota suatu komunitas.

Pendekatan ini secara eksplisit menegaskan tanggung jawab etis global sambil secara bersamaan melestarikan identitas lokal. Beck berargumen bahwa “perkembangan terpisah bangsa-bangsa adalah syarat bagi perkembangan seluruh umat manusia,” menekankan bahwa keragaman budaya adalah prasyarat untuk kemajuan universal. Keanekaragaman tersebut dilihat sebagai sumber kekayaan, bukan sebagai hambatan.

Implementasi Keseimbangan Lokal-Universal

Kosmopolitanisme Berakar menuntut pluralisme universal, yaitu pengakuan terhadap otherness—perbedaan budaya, rasionalitas, alam, dan objek—sebagai elemen fundamental.

Dalam konteks praktis, untuk mempertahankan akar budaya lokal di tengah nilai universal yang didorong oleh globalisasi, diperlukan upaya sadar untuk:

  1. Menjadikan budaya Indonesia sebagai identitas yang kuat, sehingga individu memiliki rasa bangga dan tidak mudah tergerus oleh budaya asing.
  2. Memahami budaya sendiri, termasuk mempelajari dan mempraktikkan kebudayaan lokal di daerah masing-masing.

Sintesis ini memberdayakan komunitas lokal untuk melakukan perubahan, sambil memastikan pilihan mereka dihormati, sehingga dapat menyelesaikan konflik antara prinsip universal dan tradisi. Ini berarti bahwa dalam pendidikan karakter di era globalisasi, fokus harus diarahkan pada pemeliharaan dan penguatan warisan budaya lokal—yang menyediakan panduan moral dan etika yang berharga—sambil mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Kosmopolitanisme dengan demikian menjadi filosofi toleransi yang menolak asimilasi budaya di bawah standar global Barat.

Table 2: Kerangka Kosmopolitanisme Berakar

Prinsip Utama Filosofi Kunci Tujuan Strategis dalam IR
Afirmasi Lokalitas Pengakuan identitas dan warisan budaya, penolakan etnosentrisme Membangun legitimasi global dengan menghormati kedaulatan kultural
Etika Universal Tanggung Jawab Moral Global dan prinsip kemanusiaan Mendorong solidaritas dan kerja sama di luar kepentingan strategis
Menghargai Otherness Pluralisme Universal, diferensiasi sebagai kekayaan Memfasilitasi kolaborasi transnasional dan penyelesaian konflik yang adil

Kritik Dan Dekonstruksi: Elitisme Dan Reaksi Populis

Meskipun Kosmopolitanisme secara filosofis didasarkan pada cita-cita inklusif dan universal, dalam praktiknya, ia dan proses Globalis yang menyertainya menghadapi kritik keras, terutama dari gerakan populisme.

Kritik Elitisme: Akuntabilitas dan Jarak dari Realitas Domestik

Kosmopolitanisme sering dikritik sebagai pandangan yang elit, idealis, dan terputus dari realitas domestik yang dihadapi oleh warga biasa. Kritik ini diperkuat oleh fakta bahwa Globalisme yang didorong oleh elite seringkali mengabaikan distribusi yang adil.

Salah satu sumber utama ketidakpuasan adalah kurangnya akuntabilitas yang dirasakan dalam kerja sama internasional. Setiap sentralisasi kekuasaan, yang sering menyertai tata kelola global, meningkatkan jarak antara pengambil keputusan dan rakyat biasa, yang pada gilirannya memicu kritik. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam birokrasi, baik di tingkat gereja yang terlibat dalam program sosial (studi kasus di NTT) atau lembaga multilateral, dipersepsikan sebagai manifestasi elitisme yang tidak pro-rakyat miskin.

Kritik ini menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap outsourcing manajemen risiko dari institusi dasar modernitas ke individu, membuat individu harus menghadapi tantangan global (seperti perubahan iklim atau krisis ekonomi) sendirian, tanpa perlindungan sosial yang memadai.

Reaksi Balik Populisme (Populist Backlash)

Populisme muncul sebagai reaksi balik terhadap kegagalan Globalisme dan dugaan elitisme Kosmopolitanisme. Reaksi ini sering kali memiliki klivaj sosio-geografis yang jelas.

Di Eropa dan Amerika Serikat, penolakan terhadap imigrasi dan globalisasi paling kuat terjadi di wilayah yang homogen secara ras dan etnis, yang mengalami stagnasi demografi dan ekonomi. Masyarakat di wilayah pedesaan dan kota-kota kecil ini merasa takut terhadap kosmopolitanisme yang mereka lihat di kota metropolitan besar.

Narasi populisme secara eksplisit menargetkan political establishment atau ‘elite politik’ dan ‘kepentingan khusus global’ (global special interests) yang dituduh mempromosikan globalisasi, perjanjian dagang, dan imigrasi dengan mengorbankan kelas pekerja. Populisme berargumen bahwa globalisasi merampok kekayaan dan menyerahkannya ke tangan segelintir korporasi besar dan entitas politik.

Meskipun kelompok Nasionalis yang menyokong populisme sering menganut nilai-nilai neoliberalisme, Darwinisme sosial, dan individualisme, mereka berhasil menyalahkan ‘Globalis’ atas kegagalan neoliberalisme dan masalah imigrasi.

Kegagalan Globalisme dalam mengelola risiko dan memastikan distribusi yang adil memicu penolakan terhadap setiap bentuk keterlibatan internasional, termasuk cita-cita Kosmopolitan yang ideal. Agar Kosmopolitanisme dapat kembali relevan dan diterima, ia tidak boleh hanya menjadi etika jarak jauh tetapi harus menghasilkan tata kelola yang akuntabel dan pro-rakyat yang mampu berfungsi di tingkat lokal dan transnasional. Populisme, dalam analisis ini, dapat dilihat sebagai tuntutan mendesak untuk akuntabilitas lokal dan keadilan yang diabaikan oleh dorongan Globalis yang instrumental.

Implementasi Pola Pikir Dalam Tata Kelola Global Kontemporer

Perbedaan antara pola pikir Kosmopolitan dan Globalis memiliki implikasi nyata dalam cara komunitas internasional merespons tantangan transnasional yang paling mendesak.

Tata Kelola Krisis Transnasional: Pandemi dan Rekonstruksi Etika Global

Pandemi COVID-19 berfungsi sebagai uji stres yang jelas bagi kedua pola pikir. Selama pandemi, pola pikir Nasionalis mengadopsi kebijakan keamanan nasional ekstrem dengan semboyan “kepentingan negara di atas segalanya,” seringkali mengabaikan kerja sama global. Di sisi lain, kelompok yang lebih ‘Globalis’ (cendekiawan, praktisi medis, organisasi internasional) menganjurkan kebijakan moderat yang mematuhi rekomendasi ilmiah dan mendorong kerja sama internasional.

Pandemi ini mengekspos kelemahan struktural Globalisme Neoliberal, terutama yang berkaitan dengan location economics yang menciptakan ketergantungan dan ketidakstabilan pasokan peralatan medis. Hal ini mendorong refleksi kritis yang berupaya menghidupkan kembali gagasan Kosmopolitanisme yang lebih kontekstual.

Tuntutan untuk cosmopolitan multilateralism pasca-pandemi adalah reformulasi arsitektur tata kelola global. Ini memerlukan pemberian kewenangan lebih besar kepada lembaga multilateral untuk menegakkan keadilan internasional secara efektif. Yang paling penting, dibutuhkan reformulasi etika publik internasional yang tidak hanya berdasarkan deklarasi, tetapi juga didukung oleh instrumen hukum, mekanisme pembiayaan solidaritas, dan kewajiban moral yang konkret.

Pengambilan Keputusan dalam Regulasi Kecerdasan Buatan (AI)

Tata kelola Kecerdasan Buatan (AI) saat ini menjadi medan persaingan antara pendekatan Kosmopolitan yang berfokus pada etika universal dan pendekatan Globalis yang didorong oleh geopolitik dan kepentingan nasional.

Kosmopolitanisme Etis (UNESCO)

Pendekatan Kosmopolitan dicontohkan oleh upaya UNESCO, yang melalui Recommendation on the Ethics of Artificial Intelligence, mengadvokasi panduan global berdasarkan hukum internasional, martabat manusia, hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan keadilan sosial. Tujuannya adalah memastikan bahwa AI tidak menanamkan dan memperburuk bias, yang berpotensi menghasilkan diskriminasi dan kesenjangan digital. Negara-negara yang memprioritaskan etika AI dalam strategi nasional mereka (seperti Singapura dan Finlandia) berada di peringkat tinggi dalam kesiapan AI global. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan nilai-nilai etika inti (Kosmopolitan) mendahului integrasi teknologi (Globalis) untuk memastikan inovasi yang bertanggung jawab. Etika universal ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga keunggulan strategis.

Globalisme Geopolitik (AS vs. Tiongkok)

Dalam konteks Globalis, tata kelola AI menjadi arena persaingan geopolitik, bukan kerja sama etis.

  1. Tiongkok (Globalis Institusional): Tiongkok mendukung mekanisme PBB untuk membentuk norma dan standar, mengadvokasi pendekatan berbasis konsensus. Tiongkok menggunakan forum global ini untuk menumpulkan kepemimpinan AS dan membangun citra yang “inklusif dan adil” sebagai bagian dari strategi soft power mereka. Tiongkok mengkritik “unilateralisme dan proteksionisme” serta “pagar tinggi di sekitar halaman kecil” (merujuk pada kontrol ekspor AS), yang menunjukkan keinginan untuk membentuk sistem melalui institusi global.
  2. AS (Globalis Strategis/Domestik): AS cenderung skeptis terhadap multilateralisme yang dianggap mendilusi pengaruhnya. Washington memprioritaskan strategi industri domestik dan kemitraan bilateral, memilih untuk mencapai dominasi de facto melalui penyebaran teknologi daripada melalui pembentukan aturan global.

Debat Struktur: Kosmopolitanisme vs. Pemerintah Dunia

Seringkali disalahartikan bahwa Kosmopolitanisme harus mengarah pada Pemerintah Dunia (World Government). Namun, Kosmopolitanisme normatif dapat mempertahankan desentralisasi politik.

Ada argumen Kosmopolitan yang menentang Pemerintah Dunia karena risiko otoritarianisme yang fatal, serta masalah akuntabilitas. Dalam Pemerintah Dunia, individu akan kehilangan kemampuan untuk “memilih dengan kaki” (vote with their feet) dengan bermigrasi ke yurisdiksi lain yang lebih baik. Selain itu, Pemerintah Dunia akan memperburuk masalah ketidaktahuan pemilih yang sudah membebani demokrasi di tingkat negara-bangsa.

Oleh karena itu, cosmopolitan multilateralism menganjurkan multilateralisme terdesentralisasi. Prinsipnya adalah bahwa isu-isu yang secara inheren transnasional (lingkungan, kesehatan, regulasi ekonomi) memerlukan institusi yang lebih luas, tetapi isu-isu yang dapat dikelola secara lokal (perumahan, kepolisian) harus tetap berada di tingkat yang lebih rendah (kota, negara). Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa keputusan dibuat pada tingkat yurisdiksi yang paling tepat untuk menegakkan prinsip-prinsip Kosmopolitan.

Kesimpulan

Sintesis Akhir: Mengintegrasikan Etika dan Strategi

Laporan ini menggarisbawahi klivaj filosofis yang mendalam: Pola Pikir Kosmopolitan berakar pada altruisme etis dan kewajiban moral terhadap komunitas universal; sementara Pola Pikir Globalis berorientasi pada keuntungan strategis, integrasi fungsional, dan kepentingan nasional yang sempit, seringkali didorong oleh elite ekonomi.

Globalisme menyediakan kerangka kerja fungsional untuk interaksi transnasional di dunia modern yang saling terhubung. Namun, tanpa kerangka normatif yang disediakan oleh Kosmopolitanisme, Globalisme cenderung merosot menjadi eksploitasi neoliberal atau Realisme Geopolitik yang dingin, yang pada akhirnya memicu ketidakpuasan populer dan ketidakstabilan sistemik.

Oleh karena itu, tata kelola internasional yang berkelanjutan memerlukan integrasi yang cermat, di mana etika Kosmopolitan bertindak sebagai kompas moral untuk mengarahkan instrumen Globalis.

Berdasarkan analisis ini, beberapa rekomendasi kebijakan dapat disimpulkan untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan internasional bersifat etis, akuntabel, dan strategis:

  1. Mewujudkan Kosmopolitanisme Berakar dalam Pendidikan dan Kebijakan Publik: Pemerintah harus secara aktif mendukung pluralistic universalism dengan mendorong pengakuan otherness dan memelihara warisan budaya lokal sebagai sumber daya etika dan identitas. Implementasi nilai-nilai universal harus selaras dengan afirmasi identitas lokal agar tidak dianggap sebagai hegemoni budaya.
  2. Mendorong Reformasi Tata Kelola Global yang Akuntabel: Negara-negara yang berkomitmen pada etika universal harus memimpin upaya untuk membangun Cosmopolitan Multilateralism yang lebih transparan dan akuntabel. Ini berarti menuntut agar lembaga multilateral memiliki kewenangan yang memadai untuk menangani krisis transnasional secara adil, di luar kepentingan geopolitik negara-negara kuat.
  3. Mengatasi Kesenjangan Elitisme Globalis: Untuk meredam reaksi balik populisme, kebijakan domestik dan internasional harus lebih fokus pada distribusi manfaat yang adil. Hal ini menuntut jaminan akuntabilitas lokal dan reformasi yang memastikan bahwa globalisasi tidak hanya menguntungkan elite yang terhubung, tetapi juga memberdayakan kelas menengah dan pekerja.

Implikasi bagi Kepentingan Nasional

Bagi negara-negara seperti Indonesia, yang memegang peranan penting dalam diplomasi multilateral, penerapan etika Kosmopolitanisme telah menjadi sumber soft power diplomacy yang kuat, ditunjukkan dalam perjuangan konsisten untuk isu kemanusiaan global (misalnya, Palestina).

Namun, keberhasilan diplomatik yang didorong etika ini harus diseimbangkan dengan unsur realisme dan pragmatisme strategis. Selain berfokus pada diplomasi kemanusiaan, pemerintah perlu mengintegrasikan pola pikir Kosmopolitanisme etis dengan perbaikan internal. Hal ini mencakup reformasi kebijakan domestik yang mendukung inovasi, investasi dalam pendidikan, dan penyederhanaan birokrasi, agar Indonesia dapat menjadi negara maju tanpa kehilangan sumber daya manusia berbakat ke negara lain—sebuah tuntutan yang selaras dengan tujuan Kosmopolitanisme Berakar. Kegagalan internal dalam menciptakan lingkungan yang kondusif akan membuat cita-cita Kosmopolitanisme hanya menjadi retorika tanpa dampak nyata bagi warga negara.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

83 − = 80
Powered by MathCaptcha