Latar Belakang dan Skala Bencana

Bencana hidrometeorologi masif berupa banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang tiga provinsi di Pulau Sumatera—Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar)—pada akhir November hingga awal Desember 2025 merupakan salah satu tragedi kemanusiaan dan ekologis paling parah yang tercatat dalam sejarah kebencanaan Indonesia. Peristiwa yang berlangsung serentak sejak sekitar tanggal 25 November 2025 ini  dengan cepat melumpuhkan wilayah yang terdampak, meninggalkan duka yang mendalam.

Skala bencana ditandai dengan tingginya korban jiwa yang menembus angka 900 orang dan kerugian ekonomi yang diproyeksikan mencapai puluhan triliun rupiah. Analisis ini menegaskan bahwa tragedi di Sumatera bukan semata-mata disebabkan oleh faktor alam, melainkan merupakan manifestasi nyata dari kausalitas ganda (dual causality): dipicu oleh hujan ekstrem dan fenomena iklim, namun diperparah secara masif oleh kerusakan ekologis jangka panjang, terutama akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Kegagalan struktural dalam tata kelola lingkungan dan lemahnya sistem mitigasi lokal memperkuat dampak bencana hingga mencapai tingkat yang tidak dapat diantisipasi oleh masyarakat.

Wawasan Kunci dan Imperatif Kebijakan

Bencana Sumatera 2025 berfungsi sebagai penanda krisis ekologis yang mendesak perubahan paradigma kebijakan. Temuan utama yang menjadi dasar imperatif kebijakan mencakup:

  1. Korban Jiwa dan Kerugian Ekonomi Signifikan: Data BNPB mencatat jumlah korban meninggal dunia mencapai 916–921 jiwa, dengan hampir satu juta jiwa mengungsi. Sementara Center of Economic and Law Studies (Celios) memproyeksikan kerugian ekonomi nasional mencapai Rp 68,67 triliun.
  2. Hubungan Kausal Deforestasi: Bukti fisik seperti gelondongan kayu besar yang terseret arus  dan temuan investigasi Kementerian Kehutanan terhadap 5 lokasi penebangan ilegal  mengaitkan secara langsung kerusakan ekosistem hulu dengan intensitas bencana di hilir.
  3. Kesenjangan Tata Kelola: Kerugian ekonomi yang teramat besar jauh melampaui kontribusi fiskal (PNBP) dari sektor ekstraktif di daerah terdampak. Hal ini memberikan dasar empiris bahwa keuntungan jangka pendek dari alih fungsi lahan tidak sebanding dengan biaya sosial dan pemulihan pascabencana.
  4. Reformasi Struktural Tata Ruang: Bencana ini mendorong Pemerintah untuk melakukan evaluasi total Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di ketiga provinsi, dengan fokus mengembalikan fungsi hutan di lahan yang telah dialihfungsikan sebagai strategi mitigasi jangka panjang.

Profil Bencana: Kronologi, Lokasi, dan Skala Kerusakan Awal

Kronologi Kejadian dan Status Tanggap Darurat

Momen kritis bencana dimulai ketika hujan ekstrem mengguyur wilayah Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat secara serentak pada periode 25-27 November 2025. Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, mencatat bahwa curah hujan pada tanggal 25 hingga 27 November sangat ekstrem, dengan deskripsi intensitas yang “sampai hitam warnanya”.

Hujan deras yang berlangsung terus-menerus selama beberapa hari ini menyebabkan sungai-sungai meluap dan lereng perbukitan runtuh, memicu banjir bandang dan tanah longsor yang masif. Ratusan desa terendam dan infrastruktur vital terputus. Merespons kehancuran luar biasa ini, Gubernur Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Gubernur Aceh serentak menetapkan status tanggap darurat bencana selama 14 hari sejak akhir November 2025.

Provinsi Terdampak Paling Parah dan Data Kemanusiaan

Tiga provinsi yang mengalami dampak terparah adalah Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).1 Skala bencana kemanusiaan tergolong sangat tinggi. Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Minggu (7/12/2025) menunjukkan bahwa jumlah korban meninggal dunia mencapai 916 hingga 921 orang. Selain itu, antara 274 hingga 392 orang masih dinyatakan hilang, dan lebih dari 975.079 jiwa terpaksa mengungsi dari lokasi asalnya. Sebanyak 4.200 orang juga tercatat mengalami luka-luka.

Secara regional, sebaran korban meninggal per 6 Desember 2025 menunjukkan bahwa Aceh menjadi provinsi dengan korban jiwa terbanyak, mencatat 359 orang meninggal dunia. Disusul Sumatera Utara dengan 329 jiwa, dan Sumatera Barat dengan 226 jiwa.

Skala dan kecepatan banjir bandang, yang melampaui genangan air biasa, diindikasikan oleh tingginya angka korban hilang dan meninggal dunia. Bencana ini bertransformasi menjadi aliran debris (debris flow), membawa gelombang air dan material padat, seperti lumpur, bongkahan batu besar, dan pohon berdiameter besar, yang meluncur cepat dari hulu. Kecepatan dan sifat mematikan dari aliran debris ini mengakibatkan masyarakat yang tinggal di daerah rawan tidak mampu mengantisipasinya, menjelaskan mengapa jumlah korban hilang dan meninggal sangat tinggi dibandingkan korban luka.

Analisis Kausalitas Ganda: Pemicu Meteorologi dan Determinasi Ekologis

Bencana Sumatera 2025 merupakan contoh sempurna dari interaksi fatal antara dinamika iklim global/regional dengan kerentanan bentang alam lokal yang terdegradasi.

Faktor Pemicu Iklim Ekstrem (The Trigger)

Curah hujan ekstrem yang memicu bencana ini disebabkan oleh beberapa fenomena meteorologi yang terjadi secara simultan, yang oleh pakar Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) disebut sebagai “the perfect disaster”.

  1. Siklon Tropis dan Bibit Siklon: Hujan ekstrem dipicu oleh adanya Siklon Tropis Senyar yang mengguyur Aceh, Sumut, hingga Sumbar. Selain itu, peningkatan intensitas hujan juga dipicu oleh identifikasi Bibit Siklon Tropis 91S di Samudera Hindia Barat Daya Lampung.
  2. Dinamika Atmosfer: Direktur Meteorologi Publik BMKG menjelaskan bahwa sistem siklonik meningkatkan intensitas hujan melalui pasokan uap air, penguatan angin, dan pembentukan awan konvektif. Kondisi ini didukung oleh aktifnya Gelombang Atmosfer dan Madden-Julian Oscillation (MJO) di sekitar pusat sirkulasi.
  3. Kondisi Oseanografi: Kombinasi ini diperburuk oleh kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) negatif yang diprediksi masih berlangsung hingga Desember 2025, serta suhu muka laut yang hangat (29–30°C). Kondisi ini secara signifikan menambah pasokan uap air di wilayah tropis seperti Indonesia, meningkatkan pembentukan awan hujan lebat.

Namun, pakar menegaskan bahwa siklon tropis dan curah hujan ekstrem bukanlah satu-satunya penyebab, melainkan hanya pemicu. Dampak kerusakan diperparah oleh kondisi hidrologi, geologi, dan tata kelola lingkungan yang sudah rapuh.

Kerentanan Ekologis Akibat Deforestasi (The Amplifier)

Deforestasi masif dan perubahan fungsi lahan menjadi faktor dominan yang mengubah hujan ekstrem menjadi bencana berskala besar.

  1. Kerusakan Hulu DAS: Deforestasi yang terjadi secara masif dalam beberapa dekade terakhir, baik akibat pembalakan liar maupun alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan permukiman, telah menyebabkan kerusakan parah pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di tingkat hulu.
  2. Hilangnya Fungsi Hidrologis: Hilangnya tutupan hutan di lereng dan hulu DAS menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan (infiltrasi). Akibatnya, air mengalir dari hulu dengan sangat cepat sebagai aliran permukaan (run-off) yang kuat, yang tidak hanya membawa material lumpur dan bongkahan batu, tetapi juga pohon-pohon berdiameter besar sisa-sisa penggundulan hutan. Hal ini mempercepat kenaikan debit sungai dalam waktu singkat.
  3. Bukti Hukum Aktivitas Ilegal: Dugaan pembalakan liar sebagai penyebab bencana diperkuat oleh temuan investigasi lapangan. Kementerian Kehutanan menemukan lima lokasi penebangan hutan yang tidak sesuai aturan dan mengidentifikasi 12 subjek hukum (korporasi maupun perorangan) yang diduga memiliki keterkaitan dengan gangguan tutupan hutan di wilayah hulu DAS Batang Toru dan Sibuluan. Kapolri juga mencatat adanya bekas gergaji pada kayu-kayu gelondongan yang terseret arus, yang semakin menguatkan dugaan aktivitas penebangan ilegal yang langsung meningkatkan potensi bencana di hilir.
  4. Kerentanan Geomorfologi: Pulau Sumatera, dengan struktur geomorfologi yang ditandai oleh lereng-lereng terjal dari Bukit Barisan, secara alami rentan terhadap luapan besar. Kerusakan ekosistem di daerah hulu mengakibatkan arus deras yang menerjang pemukiman membawa material terakumulasi dari lereng-lereng curam tersebut, mempercepat aliran dan membawa material dalam jumlah besar.

Analisis ini menyimpulkan bahwa bencana 2025 merupakan kegagalan tata kelola lahan. Degradasi kawasan hutan, yang diperburuk oleh lemahnya tata kelola dan ketiadaan kepastian hukum, menciptakan kondisi lingkungan yang “open access,” menyebabkan kawasan hulu tidak lagi mampu menahan air, sehingga bencana hidrometeorologi yang sangat besar terjadi.

Evaluasi Dampak Multidimensi (Kuantitatif)

Dampak bencana tidak hanya terbatas pada korban jiwa, tetapi juga meluas ke kerusakan infrastruktur kritis, kerugian ekonomi makro, dan ancaman kesehatan publik.

Kerusakan Fisik dan Infrastruktur Kritis

Bencana ini mengakibatkan kerusakan infrastruktur yang meluas di 1.666 titik di tiga provinsi. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mencatat kerusakan pada infrastruktur transportasinya, meliputi 2.058 kilometer jalan nasional dan 31 jembatan nasional. Sementara di tingkat daerah, 108 ruas jalan daerah dan 48 jembatan daerah juga mengalami kerusakan.

Kerusakan infrastruktur menunjukkan pola yang berbeda di setiap provinsi, mencerminkan kerentanan geomorfologis dan hidrologis spesifik:

  1. Sumatera Barat (914 titik kerusakan): Dominasi kerusakan terjadi akibat longsor (203 titik), banjir (119 titik), dan jembatan tergerus (56 titik). Tingginya persentase kerusakan longsor ini menunjukkan kerentanan lereng terjal di jalur Bukit Barisan.
  2. Aceh (477 titik kerusakan): Kerusakan didominasi oleh banjir tanggul kritis (143 titik) dan banjir tanggul jebol (36 titik). Hal ini menunjukkan kerentanan di daerah dataran rendah yang berhadapan dengan luapan sungai besar.
  3. Sumatera Utara (275 titik kerusakan): Kerusakan didominasi oleh longsor (113 titik) dan jalan putus (13 titik).

Data Kerusakan Infrastruktur KemenPU Berdasarkan Provinsi (Per 6 Des 2025)

Provinsi Terdampak Total Titik Kerusakan Kerusakan Dominan Rincian Kerusakan Utama
Sumatera Barat (Sumbar) 914 Longsor dan Banjir Longsor (203), Banjir (119), Jembatan Tergerus (56)
Aceh 477 Banjir Tanggul Kritis Banjir Tanggul Kritis (143), Longsor (46), Tanggul Jebol (36)
Sumatera Utara (Sumut) 275 Longsor Longsor (113), Jalan Tergenang (17), Jalan Putus (13)
Total 1.666 2.058 km Jalan Nasional Rusak, 31 Jembatan Nasional Rusak

Di luar infrastruktur jalan, BNPB mencatat 105.900 rumah mengalami kerusakan, serta 1.300 fasilitas umum, 697 fasilitas pendidikan, 199 fasilitas kesehatan, dan 420 rumah ibadah terdampak.

Dampak Ekonomi Makro dan Paradoks Fiskal

Center of Economic and Law Studies (Celios) memproyeksikan total kerugian ekonomi nasional akibat bencana ini mencapai Rp 68,67 Triliun, yang setara dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 0,29%. Sumatera Utara menjadi salah satu simpul industri nasional, sehingga lumpuhnya akses transportasi memukul pergerakan barang konsumsi dan pasokan industri, menyebabkan tekanan ekonomi menyebar ke banyak daerah.

Secara regional, Aceh diprediksi mengalami dampak terberat, dengan penyusutan ekonomi sekitar 0,88 persen, atau setara kerugian Rp 2,04 triliun. Kerugian juga terjadi pada sektor pangan, dengan estimasi kerugian lahan sawah mencapai Rp 6.500 per kilogram berdasarkan asumsi hasil 7 ton per hektare.

Analisis ini menemukan adanya ketidakseimbangan fiskal yang signifikan, yang menguatkan argumen bahwa kerugian jangka panjang akibat kegagalan ekologis jauh melampaui keuntungan jangka pendek dari sektor-sektor yang dituduh memperparah bencana (pertambangan dan sawit). Sebagai contoh di Aceh, total kerugian sebesar Rp 2,04 Triliun jauh lebih besar dibandingkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor tambang yang hanya Rp 929 Miliar hingga 31 Agustus 2025. Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan Sawit di Aceh bahkan hanya tercatat Rp 12 Miliar. Data ini menunjukkan bahwa biaya pemulihan infrastruktur, kerugian PDB, dan hilangnya nyawa yang ditanggung negara akibat degradasi lingkungan tidak dapat ditutup oleh kontribusi fiskal sektor ekstraktif, menjustifikasi intervensi kebijakan yang radikal terhadap tata ruang.

Risiko Kesehatan Publik Pasca-Bencana

Pasca-bencana, kondisi sanitasi yang buruk dan tempat pengungsian yang padat menimbulkan risiko kesehatan publik yang tinggi. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada periode 25 November hingga 1 Desember 2025 menunjukkan kluster penyakit yang muncul:

  • Sumatera Barat: Mencatat kasus demam tertinggi (376 kasus) di lima kabupaten, diikuti myalgia (201 kasus), dan gatal (120 kasus).
  • Sumatera Utara: Juga mencatat kasus demam tertinggi di Kabupaten Tapanuli Selatan (277 kasus), diikuti myalgia (151 kasus) dan gatal (150 kasus).
  • Aceh: Pola yang berbeda muncul, di mana keluhan tertinggi adalah luka-luka (35 kasus), disusul ISPA dan diare.

Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes menyebut tingginya kasus demam dan ISPA menandakan kondisi lingkungan dan tempat tinggal yang belum pulih, terutama terkait kepadatan pengungsian dan akses air bersih yang terbatas.

Kemenkes mewaspadai potensi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit berbasis vektor dan air, seperti Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Leptospirosis. Genangan air sisa banjir berpotensi menjadi tempat berkembang biak nyamuk penyebab DBD, sementara kontaminasi air dapat memicu kasus Leptospirosis. Menanggapi ini, Kemenkes telah menurunkan tim surveilans dan memastikan suplai logistik kesehatan, obat-obatan dasar, dan alat kesehatan tetap tersedia, dengan distribusi logistik dipusatkan melalui Medan untuk mempercepat penyaluran bantuan.

Evaluasi Respons dan Penegakan Hukum

Respons Tanggap Darurat Pemerintah Pusat

Pemerintah Pusat segera merespons bencana ini, mengerahkan sumber daya maksimal untuk membantu daerah meskipun status Bencana Nasional belum ditetapkan. Penanganan dipercepat melalui pengerahan armada darat, laut, dan udara oleh TNI dan Polri. Fokus utama adalah pemulihan cepat infrastruktur kritis, termasuk layanan listrik, telekomunikasi, dan logistic.

BNPB juga berupaya meningkatkan efektivitas penanganan logistik dan peralatan dengan mendorong integrasi data logistik dan pembentukan Klaster Logistik di tingkat daerah. Upaya ini merupakan komitmen untuk meningkatkan ketangguhan bencana melalui pengelolaan aset yang terkoordinasi.

Kritik Terhadap Sistem Mitigasi Dini dan Kapasitas Lokal

Banjir bandang yang cepat dan masif menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem mitigasi di tingkat operasional daerah. Meskipun peringatan BMKG mengenai potensi cuaca ekstrem tersedia, sistem peringatan dini gagal diimplementasikan menjadi aksi cepat.

Kelemahan ini terbagi menjadi dua aspek:

  1. Kegagalan Respons Operasional: Terdapat governance gap antara peringatan ilmiah dan tindakan lapangan. Respons operasional cepat—seperti pemeriksaan tanggul, pengerukan sungai, pembersihan drainase, dan kesiapan alat dasar—tidak optimal. Kegagalan mitigasi massal ini mengakibatkan tingginya korban jiwa.
  2. Ketidakpahaman Komunikasi Bencana: Komunikasi kebencanaan di tingkat masyarakat dinilai belum optimal. Istilah “siaga” yang digunakan dalam peringatan dini seringkali tidak dipahami secara mendalam oleh masyarakat, sehingga respons evakuasi tidak muncul pada waktu yang dibutuhkan.

Kesenjangan antara peringatan ilmiah dan aksi operasional di lapangan menunjukkan bahwa penguatan ketangguhan bencana tidak hanya memerlukan teknologi, tetapi juga kapasitas tata kelola risiko yang lebih baik di tingkat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan masyarakat.

Progres Investigasi Hukum dan Penindakan

Dugaan kuat keterlibatan aktivitas ilegal dalam memperparah bencana memicu investigasi hukum yang serius. Kementerian Kehutanan dan penegak hukum mulai mengusut isu deforestasi dan pembalakan liar.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan menemukan lima lokasi penebangan hutan yang tidak sesuai aturan, yang diduga menjadi pemicu banjir, termasuk dua titik pada area konsesi PT TPL. Selain itu, 12 subjek hukum, baik korporasi maupun perorangan, telah diidentifikasi terkait dengan gangguan tutupan hutan di wilayah hulu. Bukti fisik berupa bekas gergaji pada gelondongan kayu yang terbawa arus semakin memperkuat dugaan adanya aktivitas ilegal yang disengaja.

Investigasi ini sangat penting karena menetapkan bahwa bencana ini bukan semata-mata kecelakaan alam, melainkan ecological disaster akibat kerusakan yang disengaja. Penindakan hukum yang tegas terhadap subjek hukum ini, yang dipercepat setelah 4 Desember 2025 , harus menjadi bagian integral dari strategi mitigasi, bukan hanya respons pasca-bencana.

Rekomendasi dan Strategi Mitigasi Jangka Panjang (2026 dan Seterusnya)

Bencana 2025 telah membuka peluang politik (window of opportunity) untuk melakukan reformasi struktural di Sumatera, khususnya terkait tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam.

Mandat Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tiga provinsi (Aceh, Sumut, Sumbar) akan mengalami perubahan secara besar-besaran pasca-bencana.

Revisi RTRW ini memiliki dua tujuan utama:

  1. Mengedepankan Mitigasi: Memastikan pemanfaatan ruang selaras dengan karakter lingkungan dan meminimalkan risiko bencana di masa mendatang.
  2. Pengembalian Fungsi Ekologis: Langkah besar yang sedang dievaluasi adalah pengembalian fungsi hutan pada beberapa kebun yang dulunya merupakan hasil pelepasan kawasan hutan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan ruang serapan air alami yang hilang akibat alih fungsi lahan, demi menjaga kapasitas hidrologis pulau.

Evaluasi tata ruang ini harus dilakukan secara kolaboratif antara Kementerian ATR/BPN dan pemerintah daerah, agar penyesuaian yang dihasilkan benar-benar adaptif terhadap potensi bencana dan melindungi masyarakat.

Strategi Reforestasi dan Rehabilitasi DAS

Para pakar mendesak agar reforestasi dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan secara masif dan terpadu. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi disebabkan oleh akumulasi panjang degradasi lingkungan, strategi ini harus melampaui upaya penanaman kembali biasa.

Pengelolaan DAS harus ditingkatkan untuk mengatasi akar masalah degradasi, yang seringkali disebabkan oleh pembalakan liar, lemahnya tata kelola, dan ketiadaan kepastian hukum yang telah mengubah banyak daerah menjadi “open access”. Reforestasi harus diprioritaskan di lereng-lereng curam Bukit Barisan dan kawasan hulu yang teridentifikasi rusak parah.

Rencana Pembangunan Infrastruktur Pengendalian Daya Rusak Air (2026)

Kementerian Pekerjaan Umum (PU) telah menyusun rencana pembangunan infrastruktur Sumber Daya Air (SDA) untuk tahun 2026 sebagai komitmen dalam memperkuat ketahanan air dan mitigasi bencana.

Rencana ini mencakup:

  • Pembangunan pengendali banjir sepanjang 82 kilometer.
  • Pembangunan pengamanan pantai sejauh 8 kilometer.
  • Penguatan Operasi dan Pemeliharaan (O&P) infrastruktur SDA yang ada untuk memastikan aset berfungsi optimal sepanjang masa operasionalnya.

Selain itu, proyek-proyek pengendalian banjir skala besar yang sudah berjalan, seperti proyek Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera VII di Bengkulu  dan proyek pengendalian banjir di Kota Medan yang didukung dana Bank Dunia (Rp 1,5 Triliun), tetap dipastikan berlanjut. Balai Wilayah Sungai Sumatera I juga terus berupaya menangani penanggulangan banjir dan perbaikan jaringan irigasi, khususnya di Aceh Tenggara.

Pembangunan infrastruktur pengendali banjir di hilir (tanggul dan normalisasi sungai) hanya akan memberikan perlindungan jangka pendek jika kerusakan di hulu tidak diatasi. Oleh karena itu, keberhasilan rencana infrastruktur PU 2026 harus disinergikan dengan revisi RTRW dan upaya reforestasi untuk mengatasi aliran debris yang masif.

Kesimpulan

Bencana hidrometeorologi yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada November–Desember 2025 adalah sebuah tragedi ekologis yang diperparah oleh iklim. Skala korban jiwa (900+) dan kerugian ekonomi (Rp 68,67 Triliun) menegaskan bahwa kerentanan bentang alam Pulau Sumatera telah mencapai titik kritis akibat deforestasi masif dan tata kelola lingkungan yang lemah.

Tinjauan ini menekankan perlunya pergeseran fokus dari sekadar respons tanggap darurat pascabencana menuju mitigasi struktural dan penataan ulang ekologis.

Rekomendasi Utama Aksi Cepat dan Jangka Panjang:

  1. Implementasi Tegas Reformasi Tata Ruang: Segera finalisasi dan implementasikan revisi RTRW di ketiga provinsi yang berorientasi mitigasi. Keputusan strategis untuk mengembalikan fungsi hutan di kawasan hulu yang terdegradasi harus dilaksanakan tanpa kompromi untuk memulihkan fungsi penyerapan air.
  2. Penegakan Hukum Lingkungan yang Kuat: Memastikan proses hukum terhadap 12 subjek hukum dan korporasi yang terbukti terlibat dalam pembalakan liar dan alih fungsi lahan ilegal berjalan transparan dan menghasilkan efek jera, guna mencegah kerusakan hulu DAS di masa depan.
  3. Penguatan Kapasitas Mitigasi Operasional: Pemerintah daerah harus menjembatani kesenjangan antara peringatan dini ilmiah (BMKG) dengan aksi nyata di lapangan. Hal ini mencakup pelatihan masyarakat untuk memahami istilah siaga, serta peningkatan kesiapan teknis (pemeliharaan tanggul dan pengerukan sungai) untuk menghadapi limpasan air yang cepat dan membawa material padat.
  4. Investasi Seimbang Hulu-Hilir: Sinergi antara pembangunan infrastruktur pengendali banjir di hilir (rencana KemenPU 2026) harus diimbangi dengan investasi masif dalam reforestasi dan rehabilitasi DAS di hulu. Tanpa pemulihan ekosistem hulu, infrastruktur hilir akan terus rentan terhadap bencana aliran debris yang berulang.

Bencana Sumatera 2025 menjadi penanda historis bahwa biaya kegagalan ekologis jauh melampaui pendapatan fiskal dari eksploitasi sumber daya alam. Ketahanan bencana hidrometeorologi di masa depan sangat bergantung pada komitmen negara untuk memprioritaskan fungsi ekologis di atas kepentingan ekonomi jangka pendek.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

13 + = 17
Powered by MathCaptcha