Mother Teresa dalam Konteks Historiografi Modern
Santa Teresa dari Kalkuta, yang dilahirkan sebagai Anjezë Gonxha Bojaxhiu pada 26 Agustus 1910 di Üsküp, Kekaisaran Ottoman (sekarang Skopje, Makedonia Utara), merupakan salah satu figur kemanusiaan dan religius yang paling dikenal pada abad ke-20. Sebagai biarawati Albania-India dan pendiri Missionaries of Charity (MC), ia menjelma menjadi simbol universal kasih tanpa pamrih dan pelayanan kepada kaum marjinal. Setelah wafat pada tahun 1997, warisannya diakui secara resmi oleh Gereja Katolik melalui proses beatifikasi dan kanonisasi oleh Paus Fransiskus pada 4 September 2016.
Meskipun citranya sering digambarkan secara hagiografis sebagai “Malaikat Kaum Papa,” analisis kritis terhadap profil Mother Teresa menunjukkan kompleksitas yang jauh lebih besar. Laporan ini bertujuan untuk memberikan ulasan yang mendalam dan analitis mengenai tiga pilar warisannya: riwayat hidup dan formasi vokasi (Hidup), ekspansi organisasi karitatifnya (Karya), serta pergulatan spiritual yang mendasari (Warisan Intelektual). Evaluasi ini mencakup penelusuran narasi pujian dan kritik sekuler, terutama terkait isu kualitas perawatan medis, transparansi keuangan, dan konflik epistemologis antara iman dan rasionalisme.
Pengantar Tema Sentral: Pelayanan Penuh Kasih di Tengah Malam Gelap
Tema sentral yang paling signifikan dalam memahami spiritualitas Mother Teresa adalah paradoks yang terungkap pasca-kematiannya. Di mata publik, ia memancarkan sukacita dan keyakinan yang teguh, didorong oleh cintanya kepada Yesus. Namun, surat-surat pribadinya yang dipublikasikan kemudian dalam Come Be My Light (2007) mengungkapkan realitas internal yang menyakitkan: ia mengalami “Malam Gelap Jiwa” (The Dark Night of the Soul)—pengalaman kekosongan spiritual dan keraguan iman yang mendalam—yang berlangsung selama hampir lima dekade. Kontradiksi antara kegelapan batin ini dan komitmennya yang tanpa henti terhadap pelayanan menunjukkan bahwa kekudusannya tidak dibangun di atas kepastian emosional atau spiritual, melainkan pada keteguhan kehendak dan ketaatan tindakan.
Masa Hidup dan Formasi Vokasi (Hidup)
Latar Belakang dan Pembentukan Awal
Agnes Gonxha Bojaxhiu dibesarkan dalam keluarga Katolik yang saleh di Skopje. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan Nikola dan Drana Bojaxhiu. Keluarga tersebut terpandang dan berkecukupan; ayahnya adalah seorang pedagang sukses. Kematian ayahnya pada tahun 1918, saat Agnes baru berusia delapan tahun, membentuk ibunya, Drana, menjadi figur sentral yang mengajarkan belas kasih praktis. Drana sering mengingatkan anak-anaknya bahwa “sebagian dari mereka adalah kerabat kita, tetapi semua dari mereka adalah rakyat kita” (all of them are our people), sebuah didikan yang menanamkan fondasi misi inklusif dalam diri Agnes.
Terpesona oleh cerita-cerita misionaris di Benggala, India, sejak usia muda, Agnes merasa yakin akan panggilan hidupnya pada usia 12 tahun. Pada usia 18 tahun, pada September 1928, ia meninggalkan rumah untuk bergabung dengan Sisters of Loreto di Irlandia, sebuah komunitas biarawati dengan misi di India. Ia tiba di Kalkuta pada 6 Januari 1929. Setelah novisiat di Darjeeling, ia mengucapkan Kaul Pertamanya pada Mei 1931, memilih nama Suster Maria Teresa. Pada Mei 1937, ia mengucapkan kaul kekalnya dan mulai dipanggil Bunda Teresa. Selama hampir dua puluh tahun, ia mengabdikan dirinya sebagai guru dan Kepala Sekolah di St. Mary’s Bengali Medium School untuk anak perempuan di Kalkuta.
“Panggilan dalam Panggilan” (The Call within a Call)
Titik balik krusial dalam kehidupannya terjadi pada 10 September 1946. Saat melakukan perjalanan kereta api dari Kalkuta ke Darjeeling untuk retret tahunan, Mother Teresa menerima apa yang ia sebut sebagai “panggilan dalam panggilan” (call within a call). Melalui locutions interior, Yesus memintanya untuk meninggalkan kenyamanan biara Loreto dan mendirikan komunitas religius baru yang secara khusus didedikasikan untuk melayani “yang termiskin dari yang miskin” di daerah kumuh kota.
Keputusan untuk meninggalkan biara yang mapan merupakan pergulatan yang mendasar, terutama mengingat ia telah mengucapkan kaul ketaatan kepada Ordo Loreto. Mengubah visi spiritual yang mendalam menjadi realitas duniawi memerlukan ketegasan luar biasa. Selama hampir satu setengah tahun, ia melobi otoritas Gereja lokal. Persetujuan dari Uskup Agung setempat akhirnya diterima pada Januari 1948.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa kesuksesan Mother Teresa tidak hanya berasal dari kesalehan, tetapi juga dari keterampilan organisasional yang pragmatis dan ketekunan yang luar biasa (capacity for hard work, a natural talent for organization). Untuk memanifestasikan inspirasi mistik menjadi sebuah kongregasi, ia harus berhasil menantang struktur ketaatan yang ada dan menavigasi birokrasi Gereja. Setelah mendapat restu, ia meninggalkan biara dan mengadopsi sari putih dengan garis biru, yang menjadi identitas visualnya, dan mulai bekerja di jalanan yang paling kumuh.
Missionaries of Charity (MC): Struktur, Misi, dan Ekspansi (Karya)
Pendirian dan Etos Organisasi
Missionaries of Charity (MC) didirikan secara resmi pada 7 Oktober 1950, sebagai institut religius terpusat dengan hak kepausan. Kongregasi ini didasarkan pada etos pelayanan radikal dan kemiskinan sukarela. Hingga tahun 2023, kongregasi ini memiliki 5.750 anggota biarawati.
Yang membedakan MC dari banyak ordo lain adalah Kaul Keempat yang unik: selain kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan, anggota MC berjanji untuk memberikan “pelayanan sukarela dengan sepenuh hati kepada yang termiskin dari yang miskin” (wholehearted free service to the poorest of the poor). Pilihan ini menegaskan dedikasi penuh kepada kaum yang paling terpinggirkan, terlepas dari agama atau status sosial mereka. Motto yang menjadi landasan misi mereka adalah: “Apa pun yang kamu lakukan untuk salah satu saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk-Ku” (Matius 25).
Cakupan Pelayanan dan Ekspansi Global
MC memulai misinya di Kalkuta dengan menyediakan pendidikan dan perawatan bagi orang-orang miskin, sakit, dan sekarat. Cakupan pelayanan mereka meluas dengan cepat, mencakup pengungsi, mantan pelacur, penderita penyakit mental, anak-anak telantar, penderita kusta (lepra), penderita AIDS, dan orang tua.
Beberapa fasilitas utama yang didirikan Mother Teresa termasuk:
- Nirmal Hriday (Home for the Dying, 1952): Didirikan untuk memberikan perawatan yang bermartabat dan kenyamanan spiritual bagi mereka yang sekarat di jalanan, memastikan mereka tidak meninggal sendirian.
- Shanti Nagar (City of Peace): Didirikan sebagai pemukiman untuk penderita kusta, mengatasi stigma sosial dan menyediakan perawatan medis.
- Panti Asuhan dan Sekolah: Menyediakan tempat tinggal, pendidikan, dan makanan bagi anak-anak terlantar dan jalanan.
Ekspansi MC menjadi fenomena global. Pada akhir hayat Mother Teresa, kongregasi tersebut telah menjalankan 610 misi di 123 negara. Warisan organisasinya terus berkembang, dengan ribuan biarawati yang beroperasi di lebih dari 700 konven di lebih dari 130 negara, menyediakan layanan kemanusiaan di seluruh dunia.
Pengakuan Internasional
Dedikasi Mother Teresa dan karyanya yang meluas menarik pengakuan internasional secara masif. Ia menerima Penghargaan Templeton pada tahun 1973 dan penghargaan tertinggi warga sipil India, Bharat Ratna, pada tahun 1980. Ia juga diberikan kewarganegaraan kehormatan Amerika Serikat pada tahun 1996.
Puncak pengakuan globalnya adalah Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1979. Komite Nobel menganugerahkannya atas “pekerjaannya membawa bantuan bagi kemanusiaan yang menderita”.
Dalam pidato penerimaannya di Oslo, Mother Teresa menekankan bahwa upaya perdamaian harus dimulai di rumah dan dalam hati. Ia juga menggunakan platform tersebut untuk secara tegas mengaitkan misi karitatifnya dengan doktrin moral Katolik, menyatakan bahwa “perusak perdamaian terbesar” di dunia saat ini adalah aborsi. Pemanfaatan momen pengakuan universal ini untuk memajukan agenda doktrinal Gereja, terutama isu pro-kehidupan, menunjukkan bahwa pelayanan MC dilihat sebagai perwujudan evangelisasi melalui aksi —sebuah upaya untuk mewartakan Kristus tidak hanya melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata yang terikat erat dengan nilai-nilai spiritual dan sosial yang diyakininya.
Tabel 1: Linimasa Kehidupan, Vokasi, dan Pengakuan Mother Teresa
| Tahun | Peristiwa Kunci | Konteks dan Signifikansi |
| 1910 | Lahir sebagai Agnes Gonxha Bojaxhiu di Skopje. | Latar belakang Albania-Katolik yang saleh. |
| 1928-1929 | Bergabung dengan Loreto; tiba di Kalkuta. | Awal kehidupan religius dan penugasan misi ke India. |
| 1937 | Kaul Kekal; menjadi Bunda Teresa (Mother Teresa). | Berfungsi sebagai guru dan kepala sekolah di St. Mary’s. |
| 1946 | “Panggilan dalam Panggilan” (10 September). | Inspirasi ilahi untuk melayani kaum papa di daerah kumuh Kalkuta. |
| 1950 | Pendirian Missinaries of Charity (MC). | Organisasi dengan Kaul Keempat: pelayanan penuh hati kepada kaum papa. |
| 1979 | Menerima Hadiah Nobel Perdamaian. | Pengakuan global atas karyanya bagi kemanusiaan yang menderita. |
| 1997 | Wafat di Kolkata (5 September). | Mengakhiri 47 tahun pelayanan dan hampir 50 tahun Malam Gelap Jiwa. |
| 2016 | Kanonisasi sebagai Santa Teresa dari Kalkuta. | Dinyatakan sebagai Santa oleh Paus Fransiskus. |
Warisan Teologis dan Paradoks Spiritual (Warisan Intelektual)
Teologi Aksi dan Pelayanan
Warisan intelektual Mother Teresa utamanya terletak pada teologi aksinya. Ia mewakili model kekudusan kontemporer yang berakar pada keterlibatan sosial langsung. Ia percaya bahwa Kristus diwujudkan dalam diri orang miskin dan cacat, sehingga pelayanan yang ia berikan adalah bentuk nyata penyembahan. Ia sering menegaskan bahwa dirinya hanyalah “manusia biasa yang dipakai oleh Tuhan”.
Filosofi pelayanannya sangat berfokus pada pemberian martabat. Di tempat-tempat seperti Nirmal Hriday, tujuannya adalah memastikan bahwa mereka yang sekarat, yang sering kali ditinggalkan dan mati sendirian di jalanan, menerima cinta dan kenyamanan spiritual di saat-saat terakhir mereka. Tindakan ini melampaui bantuan fisik semata; ini adalah penegasan kembali nilai manusia di mata Tuhan.
Pengungkapan “Malam Gelap Jiwa” (The Dark Night of the Soul)
Penemuan paling revolusioner mengenai kehidupan batin Mother Teresa datang setelah penerbitan surat-surat pribadinya. Dokumentasi ini mengungkapkan bahwa, di balik penampilan publiknya yang penuh sukacita, ia berjuang dengan kekosongan spiritual dan keraguan yang mendalam, suatu kondisi yang dikenal dalam tradisi mistik sebagai “Malam Gelap Jiwa”.
Pergulatan batin ini, yang menurut surat-suratnya berlangsung hampir lima puluh tahun—hampir sepanjang kariernya melayani kaum miskin—menghadirkan tantangan besar terhadap citra hagiografisnya. Meskipun ia terus bekerja dengan energi dan komitmen yang tak tergoyahkan, ia secara konsisten merasa tidak ada kehadiran, cinta, atau suara Kristus. Hal ini menempatkan Mother Teresa dalam jajaran para mistikus besar, seperti St. Yohanes Salib, yang juga mengalami periode kekosongan spiritual yang panjang.
Interpretasi Teologis Kekosongan
Pergulatan spiritual kronis ini, yang disebut Pastor Van Exem sebagai pembimbing rohaninya, merupakan bagian sentral dari jalan kekudusannya. Keraguan dan rasa ditinggalkan yang ia alami secara teologis ditafsirkan sebagai partisipasi dalam penderitaan Kristus di kayu salib, khususnya rasa ditinggalkan oleh Bapa-Nya.
Warisan spiritual yang ditawarkan oleh penemuan ini adalah sebuah model kekudusan fungsional. Dorongan Mother Teresa untuk melayani berasal dari komitmen kehendak, ketaatan pada kaul, dan dedikasi etis, dan bukan dari kenyamanan spiritual yang dialami. Pengalaman penderitaan batin ini secara paradoks menjadi sumber empati yang lebih dalam, yang memungkinkan dirinya untuk terhubung dan merasakan penderitaan dari orang-orang miskin yang ia layani, yang sering kali juga merasa ditinggalkan oleh masyarakat dan Tuhan. Oleh karena itu, warisan intelektualnya mengajarkan bahwa iman sejati bukanlah ketiadaan keraguan, melainkan kesetiaan radikal dalam tindakan melayani, bahkan ketika keheningan Tuhan terasa memekakkan.
Kanonisasi, Pengakuan, dan Analisis Kritis Kontroversi
Profil Mother Teresa tidak dapat dianalisis secara lengkap tanpa mempertimbangkan perdebatan sengit mengenai metode dan etika organisasinya. Analisis kritis ini diperlukan untuk mencapai pemahaman yang bernuansa tentang dampak globalnya.
Proses Menuju Kekudusan dan Kontroversi Mukjizat
Mother Teresa dibeatifikasi pada tahun 2003 dan dikanonisasi pada tahun 2016. Proses kanonisasi ini mensyaratkan pengakuan atas dua mukjizat. Mukjizat untuk beatifikasi, yakni kesembuhan Monica Besra, seorang wanita di India timur, dari tumor kista perut, segera memicu kontroversi.
Kelompok-kelompok rasionalis dan beberapa dokter membantah keras klaim mukjizat ini. Mereka berpendapat bahwa kesembuhan Monica Besra adalah hasil dari obat-obatan modern, bukan intervensi ilahi. Selain itu, terdapat argumen bahwa tumor tersebut mungkin disebabkan oleh tuberkulosis, bukan kanker, seperti yang diklaim dalam kisah mukjizat tersebut. Kritik tersebut diperkuat oleh pernyataan Prabir Ghosh, Sekretaris Jenderal Asosiasi Sains dan Rasionalis India, yang mengatakan bahwa suami Besra sendiri menantang klaim mukjizat, menyatakan istrinya disembuhkan oleh dokter.
Konflik ini menyoroti konflik epistemologis yang mendasar: benturan antara verifikasi iman (mukjizat) yang diperlukan untuk kanonisasi dan tuntutan rasionalis terhadap bukti medis yang empiris. Keputusan Gereja Katolik untuk melanjutkan kanonisasi meskipun ada bantahan medis yang signifikan menunjukkan prioritas kelembagaan dalam menetapkan ikon kekudusan modern yang kuat, menempatkan kebutuhan spiritual atas tuntutan faktual sekuler.
Kritik Medis dan Etika Perawatan (Kualitas vs. Filosofi Penderitaan)
Salah satu kritik paling tajam terhadap Mother Teresa dan MC datang dari penulis seperti Christopher Hitchens. Kritik ini tidak berfokus pada niat baik, melainkan pada kualitas praktis layanan yang diberikan. Rumah perawatan seperti Nirmal Hriday dituduh beroperasi di bawah standar klinis yang memadai, dengan kurangnya sterilisasi dan penggunaan pereda nyeri yang minimal.
Kritik ini berakar pada dugaan bahwa filosofi Mother Teresa terlalu memuliakan penderitaan. Alih-alih berusaha untuk menghilangkan rasa sakit secara maksimal (menggunakan standar paliatif modern), ia diduga melihat penderitaan sebagai sesuatu yang “suci” (holy), sebuah sarana untuk mendekatkan diri pada Kristus. Meskipun motivasinya adalah spiritual, implikasinya secara etis adalah bahwa pasien di tempat penampungannya mungkin mengalami penderitaan yang tidak perlu.
Hal ini memunculkan konflik etika sosial yang mendalam antara Model Filantropi Teologis (yang memprioritaskan kesaksian iman, kerendahan hati, dan nilai spiritual penderitaan, yang terefleksi dalam kaul kemiskinan dan penolakan terhadap infrastruktur canggih) dan Model Filantropi Sekuler (yang menuntut hasil terukur, efisiensi, dan optimalisasi perawatan medis modern).
Isu Keuangan dan Transparansi Organisasi
Mengingat reputasi global Mother Teresa, MC menerima aliran donasi besar-besaran dari seluruh dunia. Namun, kritik muncul mengenai transparansi dan akuntabilitas dana tersebut. Kritikus, seperti Walter Wuellenweber, mempertanyakan ke mana perginya “jutaan” donasi tersebut, mengingat fasilitas di Kalkuta yang tetap sederhana, mencerminkan model kemiskinan yang radikal. Warga miskin di daerah kumuh Kalkuta sendiri dilaporkan merasa bahwa mereka jarang menerima bantuan langsung dari MC.
Mother Teresa juga dikritik karena menerima sumbangan dari tokoh-tokoh yang terbukti korup, seperti Charles Keating dan Jean-Claude Duvalier, yang diduga berfungsi memberikan legitimasi moral kepada para pelanggar etika dan diktator. Pengambilan dana yang kontroversial ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas etika organisasi, yang tampaknya memprioritaskan sumber daya di atas integritas donor. Skandal yang lebih baru, seperti kasus penjualan bayi yang melibatkan anggota MC, semakin mempertanyakan sistem pengawasan dan etika operasional organisasi yang telah lama dipertanyakan karena kurangnya transparansi.
Tabel 2: Analisis Kritik Utama terhadap Mother Teresa dan Missionaries of Charity (MC)
| Area Kritik | Klaim Kritis (Sumber Kritik) | Dampak/Implikasi Utama |
| Kualitas Perawatan Medis | Fasilitas (Home for the Dying) dituduh kurang steril dan mengutamakan penderitaan daripada penghilangan rasa sakit (Analisis Christopher Hitchens) | Menyoroti konflik etis antara teologi penderitaan (memuliakan rasa sakit) dan standar paliatif modern yang bertujuan mengurangi penderitaan secara maksimal. |
| Transparansi Keuangan | Kurangnya akuntabilitas terhadap donasi global yang besar, dengan kondisi fasilitas yang tetap mendasar. Donasi diterima dari sumber yang korup. | Menimbulkan pertanyaan tentang prioritas organisasi: apakah dana digunakan untuk ekspansi misi atau untuk peningkatan infrastruktur klinis (Model kemiskinan vs. Model efisiensi). |
| Proses Kanonisasi (Mukjizat) | Kesembuhan Monica Besra (mukjizat beatifikasi) diduga akibat obat-obatan modern; dibantah oleh kelompok rasionalis dan suami Besra. | Menunjukkan konflik epistemologis antara verifikasi iman dan sains/kedokteran, menantang legitimasi kanonisasi di mata publik sekuler. |
Kesimpulan
Mother Teresa, atau Santa Teresa dari Kalkuta, adalah figur yang kompleks yang perjalanan hidupnya—dari seorang guru Loreto di India hingga pendiri kongregasi global—dicirikan oleh transformasi spiritual yang radikal. Panggilan 1946-nya mendorongnya untuk menciptakan Missionaries of Charity, sebuah institusi yang dengan cepat menjadi simbol pengabdian tak tertandingi kepada yang paling terpinggirkan di seluruh dunia.
Warisan ganda yang ia tinggalkan mencakup pencapaian organisasional yang masif dan sebuah model kekudusan yang radikal. Secara organisasional, ia menciptakan infrastruktur global yang bertujuan memberikan cinta dan martabat kepada yang sekarat. Secara spiritual, penemuan “Malam Gelap Jiwa” membingkai ulang pemahaman tentang iman yang teguh, menunjukkan bahwa ketaatan yang paling mulia dapat dipertahankan bukan karena kepastian mistik, melainkan karena kesetiaan abadi di tengah kekosongan.
Namun, warisannya tetap menjadi subjek analisis kritis yang intens di ranah etika sosial dan medis. Kritikus berpendapat bahwa model filantropi berbasis kemiskinan ekstremnya, yang mungkin memuliakan penderitaan, gagal memenuhi tuntutan akuntabilitas dan standar klinis modern. Kontroversi seputar keuangan, etika perawatan, dan proses kanonisasi, khususnya dalam kasus mukjizat Monica Besra, memastikan bahwa Mother Teresa akan terus berfungsi sebagai titik fokus perdebatan abadi mengenai peran uang, penderitaan, dan otoritas Gereja dalam upaya kemanusiaan global.
