Tulisan ini menyajikan evaluasi mendalam mengenai efektivitas respons bantuan kemanusiaan dalam menghadapi krisis besar, baik yang dipicu oleh bencana alam maupun konflik berkepanjangan. Fokus utama adalah menganalisis perbandingan mendasar antara model bantuan tanggap darurat jangka pendek (relief) dan model pembangunan berkelanjutan jangka panjang (development), serta tantangan struktural dalam mewujudkan transisi yang efektif. Analisis ini menggunakan kerangka kerja Triple Nexus (Humanitarian, Development, and Peace) sebagai lensa kritis dan didukung oleh studi kasus Gempa Bumi Haiti (2010) dan Krisis Pengungsi Suriah.
Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi hambatan utama yang membatasi dampak bantuan, memberikan panduan strategis bagi donor dan pembuat kebijakan, serta merumuskan agenda reformasi menuju sistem bantuan yang lebih tangguh, terintegrasi, dan dipimpin secara lokal.
Kerangka Konseptual: Mendefinisikan Efektivitas dan Evolusi Bantuan Kemanusiaan
Paradigma Efektivitas Bantuan Kemanusiaan Kontemporer
Efektivitas bantuan kemanusiaan, dalam konteks modern, telah melampaui metrik sederhana berupa kecepatan penyaluran logistik. Kini, efektivitas diukur berdasarkan keberlanjutan dampak yang ditimbulkan, seberapa jauh bantuan tersebut mengurangi kerentanan masa depan, dan sejauh mana ia berhasil memperkuat kapasitas kepemimpinan lokal.
Salah satu aktor kunci dalam koordinasi bantuan global adalah Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA). Peran UNOCHA sangat penting dalam mengelola alokasi bantuan dana kemanusiaan yang bervariasi, memastikan bahwa bantuan tersebut tepat tersampaikan ke populasi yang membutuhkan. Selain pengelolaan dana, UNOCHA berfungsi melalui cara-cara advokasi dan koordinasi untuk menghapuskan hambatan yang menghalangi akses pemberian bantuan. Dalam skenario konflik, hal ini mencakup upaya mencari celah jalur akses lain untuk menyuplai bantuan kemanusiaan kepada kelompok yang membutuhkan di lokasi-lokasi yang dikuasai pemberontak.
Penting untuk dipahami bahwa kemampuan UNOCHA untuk memastikan akses yang tidak terhalang ke populasi yang membutuhkan merupakan indikator efektivitas yang jauh lebih dalam daripada sekadar volume bantuan yang dikirim. Ketika bantuan gagal mencapai kelompok rentan—terutama karena hambatan kedaulatan, batasan politik, atau pertempuran di area oposisi—hal ini menunjukkan adanya kegagalan yang bukan hanya bersifat operasional, tetapi diplomatik dan politik. Dengan demikian, efektivitas koordinasi bantuan harus terintegrasi dengan strategi perdamaian yang lebih luas, sebuah prinsip sentral yang mendasari kerangka kerja Nexus.
Perbandingan Model Bantuan: Jangka Pendek vs. Jangka Panjang
Perbedaan mendasar antara model tanggap darurat (Relief) dan pembangunan berkelanjutan (Development) menentukan desain program, kerangka waktu, dan potensi risiko yang dihadapi oleh komunitas penerima manfaat.
Model Tanggap Darurat (Relief) berfokus secara eksklusif pada kelangsungan hidup. Ini adalah upaya reaktif dan cepat untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, yang mencakup sandang, pangan, tempat tinggal sementara, layanan kesehatan, sanitasi, dan air bersih. Tujuan operasionalnya adalah memaksimalkan keselamatan dan meminimalkan kerugian materiil, serta memastikan kelancaran operasional pasca-bencana dapat segera dilanjutkan. Metrik keberhasilan model ini adalah kecepatan distribusi dan jumlah nyawa yang terselamatkan. Namun, sifatnya yang cepat dan ephemeral membawa risiko utama berupa Sindrom Ketergantungan dan fragmentasi program.
Sebaliknya, Model Pembangunan Berkelanjutan (Development) bersifat proaktif dan bertahap, biasanya mencakup kerangka waktu multi-tahun. Model ini berfokus pada pengurangan kerentanan struktural, penguatan kapasitas kelembagaan, dan pemulihan, dengan target utama pencapaian Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 (SDGs). Metrik keberhasilannya mencakup ketahanan ekonomi, tingkat partisipasi tenaga kerja, dan kembalinya fungsi prasarana dan sarana lingkungan yang terkena bencana.
Table 1.1: Perbandingan Karakteristik Model Bantuan Kemanusiaan
| Dimensi Kritis | Model Tanggap Darurat (Relief) | Model Pembangunan Berkelanjutan (Development) |
| Fokus Utama | Kelangsungan Hidup, Pemenuhan Kebutuhan Dasar (Sandang, Pangan, Tempat Tinggal Sementara, Kesehatan) | Pengurangan Kerentanan, Peningkatan Kapasitas Kelembagaan, Pencapaian Agenda 2030 |
| Kerangka Waktu | Cepat, Reaktif, Jangka Pendek (Ephemeral) | Bertahap, Proaktif, Multi-Tahun (Perencanaan Bersama) |
| Metrik Keberhasilan | Kecepatan Distribusi, Jumlah Nyawa Terselamatkan | Ketahanan Ekonomi, Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja, Pemulihan Kelembagaan |
| Risiko Utama | Dependency Syndrome, Duplikasi Upaya, Short-termism | Kesulitan Integrasi Pendanaan, Konflik Mandat, Stagnasi Krisis |
Evolusi Konsep: Dari Kontinuum Linear ke Triple Nexus
Secara historis, komunitas bantuan mencoba menjembatani dua model ini melalui konsep Linking Relief, Rehabilitation, and Development (LRRD). Awalnya, LRRD dipahami sebagai jalur linier yang sekuensial: bantuan darurat dimobilisasi untuk menolong korban; diikuti oleh kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi; hingga akhirnya program pembangunan dapat dimulai kembali.
Namun, kompleksitas, durasi, dan sifat dinamis dari krisis modern, terutama krisis berkepanjangan yang disebabkan oleh konflik atau dampak krisis iklim, membuat pemahaman linear LRRD menjadi usang. Hal ini digantikan oleh pendekatan contiguum, di mana tindakan bantuan dan pembangunan harus diartikulasikan secara simultan di wilayah yang sama.
Pergeseran ini memuncak pada adopsi kerangka Triple Nexus, yang juga dikenal sebagai Humanitarian, Development, and Peace (HDP) Nexus. Pendekatan ini mewakili reformasi mendasar dalam sistem PBB, menyerukan agar aktor kemanusiaan, pembangunan, dan perdamaian bekerja secara kohesif menuju hasil kolektif multi-tahun. Tujuannya, sejalan dengan rekomendasi KTT Kemanusiaan Dunia (WHS) dan Agenda SDGs 2030, adalah untuk mengurangi kebutuhan, risiko, dan kerentanan.
Penambahan pilar Perdamaian (P) dianggap vital, terutama karena terjadinya peningkatan konflik kekerasan, yang mencapai tingkat tertinggi dalam 30 tahun terakhir di tahun 2016. Adopsi Nexus adalah pengakuan bahwa sistem yang ada, yang didukung oleh model ekonomi neoliberal dan pendekatan produksi linier (take, make, use, and dispose), tidak lagi relevan dalam mengatasi krisis iklim dan krisis kemanusiaan yang parah. Model pembangunan berkelanjutan menuntut agar Tim Negara PBB memperkuat kapasitas mereka untuk memastikan perencanaan bersama dan menarik sumber daya dari berbagai pilar untuk menggapai Agenda 2030, menggeser fokus dari reaktif menjadi proaktif.
Analisis Model Tanggap Darurat: Kecepatan, Efektivitas, dan Jebakan Jangka Pendek
Prioritas dan Risiko dalam Respons Cepat
Respons tanggap darurat memiliki prioritas tunggal yang tak terbantahkan: penyelamatan nyawa. Tujuan operasionalnya mencakup koordinasi yang baik untuk pencarian dan penyelamatan korban, serta memastikan bahwa prosedur evakuasi berjalan lancar dan efektif untuk memaksimalkan keselamatan penghuni dan meminimalkan kerugian materi.
Meskipun penting, sifat reaktif dari bantuan darurat menciptakan dilema pendanaan. Donor internasional cenderung memprioritaskan pendanaan untuk respons darurat yang fast-breaking, seringkali mengalihkan sumber daya dari program pembangunan berkelanjutan. Kesenjangan pendanaan global yang masif, seperti yang diuraikan lebih lanjut, memastikan bahwa program yang dapat membangun ketahanan dan mengurangi kerentanan jangka panjang terus-menerus kekurangan dana. Implikasi strategisnya adalah bahwa prioritas pendanaan yang berlebihan pada Relief (jangka pendek) secara efektif menghasilkan kegagalan dalam transisi ke Development, memaksa komunitas yang rentan kembali bergantung pada bantuan darurat ketika krisis berikutnya melanda.
Sindrom Ketergantungan (Dependency Syndrome)
Salah satu risiko terbesar dari bantuan darurat yang berkepanjangan atau dirancang secara buruk adalah penciptaan sindrom ketergantungan. Ketergantungan bantuan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi, salah satunya adalah Ketergantungan Perilaku (Behavioral Dependency), yang terkait erat dengan teori Moral Hazard.
Kritik terhadap program bantuan, terutama jika bersifat permanen, sering didasarkan pada kekhawatiran bahwa individu atau komunitas yang diberi jaminan bantuan akan mengubah perilaku mereka dan kehilangan kecenderungan untuk memperbaiki keadaan secara mandiri. Bukti lapangan menunjukkan bahwa dampak ketergantungan melampaui statistik ekonomi; hal ini menyentuh harga diri dan inisiatif penerima. Ketika individu tidak lagi merasa perlu atau mampu mengambil inisiatif mandiri, semangat kewirausahaan dan upaya perbaikan diri akan menurun.
Yang lebih fatal adalah terciptanya kerentanan ganda. Apabila suatu komunitas telah bergantung total pada bantuan eksternal untuk kebutuhan dasar mereka, kegagalan logistik atau penarikan mendadak dari pihak donor dapat berakibat fatal, karena komunitas tersebut telah kehilangan kapasitas untuk bertahan hidup secara mandiri. Oleh karena itu, untuk memerangi sindrom ketergantungan, bantuan darurat harus segera diintegrasikan dengan komponen pembangunan yang berorientasi pada pasar kerja dan peningkatan inisiatif lokal, alih-alih hanya mengandalkan distribusi barang (in-kind).
Inovasi: Cash Transfer Programming (CTP)
Dalam dekade terakhir, Cash Transfer Programming (CTP) atau Bantuan Tunai dan Voucher (CVA) telah menjadi modalitas yang berkembang pesat untuk memberikan bantuan kemanusiaan. CTP menawarkan fleksibilitas yang lebih besar, memungkinkan penerima manfaat untuk menentukan kebutuhan mereka sendiri berdasarkan konteks lokal, sekaligus menyuntikkan likuiditas ke pasar lokal.
Namun, tidak ada satu pun modalitas tunggal (baik tunai, barang, atau dukungan teknis) yang cukup untuk memenuhi tujuan kesehatan kemanusiaan atau mencapai hasil kesehatan publik yang berkelanjutan. Program CTP harus digunakan secara strategis dan dikombinasikan dengan dukungan layanan yang spesifik, seperti yang terlihat dalam studi kasus di Bangladesh (Voucher Kesehatan dan Nutrisi) atau di Yordania (Bantuan Tunai dan Voucher untuk Kesehatan).
Keberhasilan implementasi CTP sangat bergantung pada akurasi penargetan (targeting). Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa metode penargetan tertentu, seperti self-targeting (meminta rumah tangga mendaftar sendiri), dapat lebih efektif dalam mengidentifikasi kelompok penerima manfaat yang lebih miskin dibandingkan penyaringan otomatis. Ini terjadi karena permintaan pendaftaran dapat mencegah rumah tangga yang lebih mampu untuk mencari manfaat, sehingga memastikan bantuan diarahkan pada kelompok yang paling membutuhkan.
Analisis Model Pembangunan Berkelanjutan: Reformasi dan Strategi Ketahanan
Pilar Utama Nexus: Pembangunan dan Integrasi SDGs
Model pembangunan berkelanjutan dalam situasi krisis diarahkan oleh Kelompok Pembangunan Berkelanjutan PBB dan dipimpin oleh Koordinator Tetap PBB. Tim Negara PBB (UN Country Team) telah diperkuat untuk memastikan perencanaan bersama dan memobilisasi sumber daya dari berbagai pilar (kemanusiaan, pembangunan, perdamaian) untuk menggapai Agenda 2030.
Dalam hitungan bulan selama krisis, PBB telah meluncurkan rencana tanggapan sosial-ekonomi langsung dan berhasil memobilisasi miliaran dolar untuk dukungan efektif, berkoordinasi erat dengan pemerintah negara yang dilayani. Hal ini mencerminkan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan bahkan di tengah respons darurat.
Di tingkat konseptual, pembangunan berkelanjutan menuntut reformasi ekonomi yang mendalam. Sistem perekonomian yang menghasilkan kesenjangan dan krisis kemanusiaan perlu diatasi. Konsep-konsep ekonomi terbaru untuk pembangunan berkelanjutan, seperti New Economic for Sustainable Development, atau Global Green New Deal yang diluncurkan oleh UNEP sebagai respons terhadap krisis keuangan 2008, menjadi relevan untuk memerangi ketidaksetaraan dan krisis iklim yang terus memperburuk kerentanan di tingkat global.
Konsep Kunci: Localization (Lokalisasi Bantuan)
Lokalisasi bantuan adalah prasyarat utama untuk keberhasilan transisi pembangunan dan merupakan indikator kunci dari efektivitas sejati. Lokalisasi mengacu pada prinsip bahwa bantuan harus dipimpin dan berpusat pada masyarakat yang terkena dampak, serta disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks lokal.
Meskipun prinsip ini telah lama diakui, sektor kemanusiaan masih jauh tertinggal dalam mencapai tujuan lokalisasinya. Secara struktural, urgensi bencana yang mengancam jiwa dan akar kolonial prinsip-prinsip kemanusiaan telah memperkuat sektor yang lebih menghargai respons internasional daripada respons lokal. Hasilnya, organisasi lokal jarang didanai dan sering kali diposisikan sebagai pelaksana atau penerima manfaat, bukannya sebagai mitra sejati dalam pengambilan keputusan. Siklus pendanaan yang terfragmentasi dan berfokus pada proyek jangka pendek memperburuk masalah ini, gagal mengatasi faktor-faktor mendasar yang berkontribusi terhadap kerentanan.
Padahal, kapasitas lokal seringkali menjadi yang pertama dan paling tangguh dalam merespons krisis. Di Indonesia, misalnya, inovasi lokal dalam pengurangan risiko bencana telah muncul, seperti sistem irigasi kabut untuk petani dan mekanisme evakuasi mandiri berbasis komunitas (Sistem Pandu Evakuasi Mandiri). Inisiatif ini menunjukkan bahwa kapasitas sudah ada di tingkat komunitas dan yang dibutuhkan dari sistem bantuan internasional adalah dukungan finansial dan struktural yang memberdayakan, bukan mendominasi.
Tantangan Struktural: Kesenjangan Pendanaan Global
Kesenjangan pendanaan (funding gap) merupakan hambatan struktural terbesar yang secara efektif melumpuhkan upaya transisi dari bantuan darurat ke pembangunan berkelanjutan dan implementasi Nexus. Tanpa pendanaan yang memadai dan prediktif, mustahil bagi lembaga-lembaga kemanusiaan dan pembangunan untuk merencanakan hasil kolektif multi-tahun yang diamanatkan oleh Nexus.
Data dari Global Humanitarian Overview (GHO) 2024 menunjukkan tantangan yang mengkhawatirkan.
Table 3.1: Kesenjangan Pendanaan Kemanusiaan Global (GHO 2024 – Per Juli)
| Indikator Pendanaan Global | Jumlah/Persentase | Implikasi Kebijakan Kritis |
| Kebutuhan Finansial Total | $48.65 Miliar | Kebutuhan Masif dan Peningkatan Skala Krisis |
| Pendanaan yang Dilaporkan | $12.26 Miliar | Penurunan 11% dibandingkan tahun sebelumnya |
| Kesenjangan Pendanaan Absolut | > $36 Miliar | Ancaman Eksistensial bagi Program Pembangunan Multi-Tahun (Nexus) |
| Rata-rata Pendanaan Appeal | 25% | Memaksa Agensi Melakukan Triage dan Mengorbankan Program Jangka Panjang |
| Prioritas Pendanaan | Eskalasi Krisis Jangka Pendek | Mengabaikan Pembangunan Ketahanan dan Pencegahan |
Meskipun sistem bantuan berhasil mengurangi kesenjangan pendanaan absolut pada tahun 2024 dibandingkan 2023, kesenjangan yang mencapai lebih dari $36 miliar tetap menjadi yang tertinggi kedua dalam sejarah. Rata-rata banding didanai hanya pada tingkat 25%.
Kesenjangan kronis ini memiliki konsekuensi yang jelas: lembaga-lembaga terpaksa memprioritaskan tanggap darurat yang cepat, yang secara inheren mengabaikan upaya pembangunan dan pencegahan yang lebih lambat namun penting. Hal ini secara efektif melumpuhkan pilar Pembangunan dan Perdamaian dari Triple Nexus, memaksa seluruh sistem untuk kembali ke mode reaktif, yang pada akhirnya gagal mengatasi faktor-faktor mendasar yang berkontribusi terhadap kerentanan.
Studi Kasus I: Gempa Bumi Haiti (2010) – Kegagalan Tata Kelola dan Transisi
Gempa bumi berkekuatan M7.0 yang melanda Haiti pada 12 Januari 2010 merupakan ujian ekstrem bagi efektivitas bantuan darurat dan tantangan transisi.
Respons Awal dan Kritik Bantuan
Gempa Haiti mencatat sejarah sebagai penggalangan dana kemanusiaan tercepat, yang difasilitasi oleh media sosial dan internet. Mobilisasi dana yang cepat menunjukkan kemauan global untuk merespons krisis besar. Namun, perlu dicatat bahwa Haiti sebelum gempa sudah menjadi negara yang sangat miskin dan rentan. Kerusakan hampir sepertiga infrastruktur dan hilangnya lebih dari 250.000 jiwa semakin memiskinkan negara tersebut.
Meskipun volume pendanaan darurat sangat besar, kualitas dan penggunaan pendanaan menjadi masalah utama dalam pemulihan. Bantuan pasca-gempa Haiti secara luas dikritik sebagai “Disastrous Aid” dan “Dangerous Aid” karena kegagalan dalam transparansi, akuntabilitas, dan kurangnya penghormatan terhadap kedaulatan nasional.
Kritik utama adalah bahwa volume Relief yang tinggi menjadi kontraproduktif bagi Pembangunan karena menciptakan dominasi NGO asing yang kuat. Dominasi ini secara efektif meniadakan kepemimpinan nasional dan melemahkan upaya Pemerintah Haiti yang sudah rapuh untuk memimpin upaya rekonstruksi. Haiti menjadi kasus kontra-thesis: menunjukkan bahwa dana bantuan yang sangat besar tanpa tata kelola yang kuat dan kepemilikan lokal yang memadai akan gagal.
Tantangan Transisi ke Rekonstruksi Jangka Panjang
Transisi di Haiti terhambat oleh masalah tata kelola yang kompleks. Berbagai pertanyaan muncul mengenai bagaimana upaya bantuan multi-donor dimainkan, kualitas tata kelola yang muncul selama rekonstruksi, dan bagaimana desain perkotaan pasca-bencana dibentuk. Meskipun delegasi Haiti berupaya belajar dari model rekonstruksi yang sukses, seperti Indonesia pasca-Tsunami Aceh dan Gempa Yogyakarta , pelajaran tersebut sulit diterapkan.
Indonesia, sebagai contoh pembanding, berhasil merekonstruksi sebagian besar rumah yang hancur dalam waktu tiga tahun berkat koordinasi yang kuat antara pemerintah, lembaga donor, dan yang paling utama, semangat gotong royong warga yang sangat kuat. Haiti, sebaliknya, berjuang mengatasi fragmentasi dan kurangnya kepemimpinan yang terpusat.
World Bank Group, yang memiliki portofolio proyek senilai $1.27 miliar di Haiti , terus berupaya mengidentifikasi peluang untuk membangun fondasi bagi reformasi struktural dan transformasional di tengah krisis yang berkepanjangan. Namun, krisis ini telah berlarut-larut. Kegagalan transisi di Haiti dapat diartikan sebagai kegagalan kualitas tata kelola (Development gagal) daripada kegagalan kuantitas dana (Relief berhasil). Bantuan yang diberikan gagal mentransfer kendali rekonstruksi kepada pemerintah, menyebabkan pemulihan menjadi lambat, tidak merata, dan mengubah bencana alam menjadi krisis politik dan kemanusiaan yang berlarut-larut.
Selain itu, peran diaspora Haiti, khususnya di Amerika Serikat, menjadi sumber daya penting. Pemerintah Haiti meminta diaspora untuk bersatu dan membantu rekonstruksi negara asalnya melalui long distance nationalism dan digital diaspora. Ini menyoroti bahwa sumber daya pembangunan yang penting harus diakses di luar mekanisme bantuan tradisional.
Kasus II: Krisis Pengungsi Suriah – Adaptasi Terhadap Krisis yang Berkepanjangan
Krisis di Suriah, yang dimulai dari pergolakan Arab Spring dan berujung pada konflik vertikal, telah memunculkan skala krisis pengungsi global dan menguji sistem bantuan dalam menghadapi krisis yang tidak hanya besar, tetapi juga berkepanjangan dan sangat dipolitisasi.
Krisis Kemanusiaan dalam Lingkungan Konflik
Konflik Suriah ditandai oleh penghancuran kota-kota dalam skala luas dan pengungsian internal yang besar-besaran. Sekitar 13,4 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Dampaknya sangat brutal bagi warga sipil, di mana mayoritas pemuda melaporkan kehilangan pendidikan selama bertahun-tahun dan hampir setengahnya kehilangan penghasilan karena konflik.
Dalam konteks Suriah, aktor kemanusiaan menghadapi Humanitarian Aid Dilemma, di mana gerakan mereka dibatasi oleh kekhawatiran pemerintah Suriah terhadap kedaulatan dan keamanan negara. Hal ini secara serius menghalangi akses bantuan kepada Internally Displaced People (IDP), terutama mereka yang berada di daerah yang dikuasai oposisi. Situasi ini juga menimbulkan risiko signifikan bagi keselamatan para pekerja kemanusiaan di zona konflik.
Krisis Suriah membuktikan urgensi pilar Perdamaian (P) dalam kerangka Nexus. Tanpa resolusi konflik dan kerja sama politik yang memadai, intervensi kemanusiaan (H) dan pembangunan (D) akan terus terhambat oleh batasan akses. Efektivitas bantuan dalam konteks ini ditentukan oleh kemampuan menavigasi geopolitik dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan.
Tantangan Integrasi Ekonomi di Negara Tuan Rumah
Negara-negara tuan rumah, seperti Turki, menghadapi tekanan besar akibat arus pengungsi. Awalnya, kebijakan luar negeri Turki didorong oleh solidaritas kemanusiaan dan prinsip zero problems with neighbours. Namun, jumlah pengungsi yang meningkat pesat memunculkan tekanan besar terhadap kapasitas negara, terutama di sektor ekonomi dan keamanan.
Salah satu hambatan utama terhadap pembangunan berkelanjutan bagi pengungsi adalah kerangka hukum. Di Turki, pengungsi Suriah sering dianggap sebagai “tamu” yang tidak memiliki hak untuk bekerja secara legal, memaksa mereka bekerja secara ilegal, misalnya di sektor garmen. Kurangnya bantuan finansial dari negara tuan rumah, ditambah dengan masalah putus sekolah (665 ribu anak Suriah dilaporkan putus sekolah), mendorong pekerja anak untuk membantu perekonomian keluarga.
Perubahan kebijakan luar negeri Turki terhadap pengungsi yang cenderung lebih tegas, termasuk pembangunan tembok perbatasan dan upaya pemulangan sukarela, dipengaruhi oleh beban fiskal yang bertambah dan meningkatnya sentimen publik yang melihat pengungsi sebagai beban ekonomi, terutama menjelang pemilu.
Ketika negara tuan rumah membatasi akses pengungsi ke pasar tenaga kerja legal, hal itu secara efektif menyabotase tujuan pembangunan berkelanjutan yang berusaha mengurangi kerentanan. Hal ini menciptakan siklus ketergantungan bantuan yang tidak disengaja, karena pengungsi tidak dapat menjadi mandiri secara ekonomi meskipun mereka memiliki keterampilan.
Strategi Pembangunan dalam Krisis Berkepanjangan
Dalam krisis berkepanjangan seperti Suriah, strategi bantuan harus beradaptasi. Upaya pembangunan harus diperlakukan sebagai komponen darurat, bukan opsional, untuk mencegah kemerosotan sosial yang tak terpulihkan, seperti hilangnya pendidikan bagi generasi muda.
Strategi yang efektif melibatkan pelatihan kejuruan dan teknis (Technical and Vocational Education and Training – TVET) dan dukungan mata pencaharian (livelihoods). Organisasi Internasional seperti ILO (International Labour Organization) berperan sebagai arena dan aktor dalam mengatasi masalah pekerja anak pengungsi di Turki.
Selain itu, karena kuota resettlement ke negara ketiga sangat terbatas (kurang dari 1% total pengungsi global) , banyak pengungsi terpaksa menetap bertahun-tahun di negara transit. Bantuan dalam konteks ini harus mencakup dukungan holistik, terutama bagi remaja yang tumbuh dalam lingkungan baru. Fokus harus diberikan pada proses adaptasi, perkembangan identitas, dan dukungan sosial dari keluarga, teman, guru, dan organisasi untuk membantu pengungsi remaja menavigasi masa transisi yang tidak pasti.
Kesimpulan Strategis dan Agenda Reformasi
Evaluasi studi kasus Haiti dan Suriah mengungkapkan bahwa efektivitas bantuan ditentukan oleh keberhasilan transisi dari Relief ke Development, yang sangat dipengaruhi oleh faktor politik, tata
Kontras Kritis: Faktor Penentu Kegagalan Transisi
| Variabel Kunci | Studi Kasus: Gempa Bumi Haiti (2010) | Studi Kasus: Krisis Pengungsi Suriah (Protrakte) |
| Penyebab Kegagalan Transisi | Kegagalan Penguatan Kedaulatan Domestik (Donor Dominance) | Kebijakan Pembatasan Negara Tuan Rumah & Dilema Akses Konflik |
| Isu Utama Nexus | Governance dan Ownership Lokal (Localization) | Human Security dan Legalitas Ekonomi (Peace/Development) |
| Hasil Jangka Panjang | Krisis Politik dan Kemanusiaan Berlarut-larut | Risiko Generasi Hilang dan Eksploitasi Tenaga Kerja |
| Implikasi Kebijakan | Kebutuhan Localization dan Empowerment Pemerintah | Kebutuhan Burden Sharing Global yang Lebih Adil dan Diplomasi Akses |
Haiti mengajarkan bahwa mobilisasi dana kemanusiaan yang cepat, jika tidak disertai dengan tata kelola yang kuat dan penghargaan terhadap kedaulatan lokal, akan menghasilkan respons yang terfragmentasi dan lambat (seperti yang terlihat dalam kontras dengan Indonesia yang sukses). Kualitas bantuan, bukan hanya kuantitasnya, adalah kunci.
Suriah, sebagai kasus krisis berkepanjangan, menunjukkan bahwa tanpa resolusi konflik politik (Pilar Perdamaian), intervensi kemanusiaan dan pembangunan akan terus dibatasi oleh hambatan akses. Lebih jauh, kebijakan negara tuan rumah yang membatasi hak pengungsi untuk bekerja (masalah legalitas ekonomi) secara langsung menggagalkan tujuan pembangunan berkelanjutan, menciptakan siklus ketergantungan yang tidak terhindarkan.
Agenda Reformasi: Implementasi Nexus dan Localization
Untuk meningkatkan efektivitas bantuan, donor dan lembaga internasional harus segera mengadopsi langkah-langkah reformasi berikut:
Mewujudkan Triple Nexus dalam Pendanaan dan Operasi:
Sistem donor harus bergerak menjauhi pendanaan reaktif terhadap fast-breaking emergencies menuju pendanaan yang lebih prediktif, multi-year, dan un-earmarked untuk program-program yang secara eksplisit beroperasi di persimpangan bantuan, pembangunan, dan perdamaian. Hal ini memungkinkan badan-badan PBB (seperti UN Country Team) untuk memastikan perencanaan bersama dan menarik sumber daya dari berbagai pilar untuk mengatasi akar masalah kerentanan. Koordinasi di tingkat operasional harus mengatasi perbedaan mandat dan kerangka waktu antara operator kemanusiaan dan pembangunan, seperti yang dituntut oleh pendekatan contiguum.
Mendukung Localization Sejati dan Transfer Kepemilikan:
Localization bukan sekadar pemanfaatan aktor lokal sebagai pelaksana. Hal ini memerlukan pergeseran pendanaan struktural dari operasi yang berpusat pada Barat ke organisasi lokal, yang paling dekat dengan konteksnya. Aktor internasional harus berfokus pada transfer kapasitas dan dukungan tata kelola—seperti penyusunan rencana bisnis dan mekanisme petulisan yang inklusif —sehingga krisis selanjutnya dapat dipimpin oleh pemerintah dan komunitas yang terkena dampak, bukan didominasi oleh NGO asing. Haiti adalah pengingat bahwa dominasi donor meniadakan kedaulatan.
Mengintegrasikan Livelihoods sebagai Respons Darurat:
Dalam konteks krisis yang berkepanjangan (seperti Suriah), pendidikan dan livelihoods (TVET, mata pencaharian) 26 harus diperlakukan sebagai komponen darurat penting, bukan opsional. Kegagalan untuk memberikan peluang ekonomi dan pendidikan menyebabkan hilangnya potensi generasi dan meningkatkan risiko eksploitasi. Selain itu, komunitas internasional harus melakukan advokasi terhadap negara tuan rumah untuk melonggarkan kerangka hukum yang membatasi hak pengungsi untuk bekerja secara legal, karena hambatan legalitas meruntuhkan semua investasi pembangunan dalam pelatihan dan modal kerja.
Memanfaatkan Inovasi Bantuan untuk Pembangunan:
Penggunaan modalitas seperti CTP harus ditingkatkan karena fleksibilitasnya yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Program CTP harus dirancang untuk berkontribusi pada hasil pembangunan, misalnya melalui penargetan yang cerdas (seperti self-targeting untuk identifikasi termiskin) dan penggabungan dengan dukungan layanan kesehatan atau nutrisi spesifik.
Efektivitas bantuan kemanusiaan dalam situasi krisis hanya dapat dipertahankan ketika intervensi jangka pendek secara inheren berfungsi sebagai jembatan yang memberdayakan kepemimpinan lokal dan meningkatkan ketahanan struktural. Kegagalan sistemik saat ini—yang disoroti oleh kesenjangan pendanaan kronis yang melumpuhkan pilar pembangunan—harus segera diatasi jika komunitas global berharap untuk mencapai tujuan hasil kolektif Triple Nexus dan Agenda 2030.
