Hegemoni Ideologi Integrasi Global Pasca-Perang Dingin

Globalisasi, dalam pengertiannya yang paling dasar, adalah sebuah proses empiris yang ditandai oleh perluasan dan intensifikasi hubungan sosial dan ekonomi yang melampaui batas-batas negara. Proses ini bersifat multidimensi, mencakup spektrum luas mulai dari globalisasi di bidang komunikasi, IPTEK, transportasi, hingga ekonomi dan sosial budaya. Fenomena ini telah mengubah lanskap perdagangan internasional, memfasilitasi transaksi antarnegara, dan memungkinkan seseorang untuk mengakses barang dan jasa dari berbagai belahan dunia.

Namun, laju dan arah globalisasi tidak terjadi dalam kevakuman politik atau ideologis. Meskipun globalisasi sering disederhanakan sebagai hasil dari kemajuan teknologi yang tak terhindarkan, percepatan arus modal dan informasi yang dialami dunia saat ini secara fundamental didorong dan dilegitimasi oleh sebuah kerangka keyakinan normatif yang disebut Globalisme. Analisis yang komprehensif harus membedah kerangka ideologi ini, terutama dalam konteks konsekuensi struktural yang ditimbulkannya terhadap stabilitas sosial di negara-negara yang infrastruktur dan kelembagaannya belum sepenuhnya siap.

Definisi Kritis: Globalisasi (Proses Empiris) versus Globalisme (Ideologi Normatif)

Perbedaan mendasar antara globalisasi dan globalisme terletak pada tataran praksis—yakni, antara proses deskriptif dan ideologi preskriptif. Globalisasi bersifat deskriptif, menjelaskan apa yang sedang terjadi (perluasan interaksi lintas batas), sementara Globalisme bersifat normatif, memberikan preskripsi mengenai bagaimana proses integrasi global seharusnya diatur.

Globalisme adalah ideologi yang percaya pada integrasi dunia secara penuh, pasar terbuka tanpa batas, dan pengembangan masyarakat sipil transnasional sebagai tatanan tertinggi. Dalam konteks ekonomi, Globalisme telah melebur menjadi Market Globalism, yang secara intrinsik terikat erat dengan tatanan ekonomi neoliberal. Market Globalism menegaskan superioritas ekonomi dan politik negara-negara dunia ke dalam institusi-institusi global, yang berfungsi sebagai wadah untuk kebijakan ekonomi pasar bebas. Dalam pola pikir neoliberal, peraturan ekonomi harus menguasai sektor-sektor lain, dan segala sesuatu yang menghalangi perkembangan sektor ekonomi (termasuk peraturan dan undang-undang pemerintah) harus dihilangkan.

Ideologi ini menjanjikan manfaat universal seperti kemajuan teknologi dan komunikasi yang memudahkan kehidupan manusia, kemampuan memperoleh modal dan teknologi yang lebih baik, dan meluasnya pasar bagi produk domestik. Janji ini merupakan bagian dari fungsi legitimasi Globalisme.

Fungsi Ideologi Globalisme (Distorsi, Legitimasi, Integrasi)

Market Globalism memiliki tiga fungsi ideologis yang dikemukakan oleh para filsuf: legitimasi, integrasi, dan distorsi.

  1. Legitimasi:Globalisme berfungsi untuk mengabsahkan kerangka pemikiran dan tindakan yang mengarah pada pasar terbuka, menjanjikan kehidupan sosial ekonomi yang lebih produktif, efektif, dan efisien.
  2. Integrasi:Ideologi ini menyediakan serangkaian simbol, norma, dan citra yang menghimpun individu untuk membangun identitas kolektif ke dalam lingkungan global.
  3. Distorsi:Fungsi yang paling kritis adalah distorsi dan simplifikasi realitas. Globalisme mempromosikan gambaran realitas sosial yang telah mengalami konstruksi dan penyederhanaan, yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi bentuk kesadaran palsu.

Kontradiksi antara Narasi Ideologis dan Hasil Struktural Ideologi Globalisme.

Globalisme mempromosikan visi integrasi yang harmonis dan efisien melalui janji manfaat pasar bebas. Namun, kerangka neoliberal yang mendukung Globalisme sering kali diterapkan secara selektif. Ideologi neoliberal, dalam praktiknya, digambarkan tidak selalu sesuai dengan retorikanya; tujuannya seringkali adalah pengalihan manfaat ekonomi dan politik kepada elit yang berkuasa. Ketika ideologi ini mendominasi, ia melegitimasi konsolidasi kekayaan dan kekuasaan pada kelompok tertentu. Oleh karena itu, Market Globalism bukan sekadar peta menuju integrasi yang adil, tetapi dapat berfungsi sebagai perangkat hegemoni yang membenarkan konsolidasi kekayaan di tangan elit global, meskipun retorikanya berfokus pada efisiensi dan kesejahteraan universal.

Table 1: Perbedaan Konseptual: Globalisme vs. Globalisasi

Aspek Globalisasi (Proses Empiris) Globalisme (Ideologi Normatif)
Definisi Dasar Perluasan dan intensifikasi hubungan sosial dan ekonomi lintas batas. Kerangka nilai dan keyakinan yang memberikan preskripsi normatif terhadap proses integrasi dunia.
Sifat Deskriptif (apa yang terjadi). Normatif (apa yang seharusnya terjadi).
Fungsi Utama Memfasilitasi interaksi global (perdagangan, komunikasi, budaya). Memberikan legitimasi dan menyederhanakan realitas sosial untuk mempromosikan pasar terbuka.
Akar Filosofis Dorongan teknologi, pasar, dan interaksi sosial. Neoliberalisme, keyakinan pada dominasi logika ekonomi.

Pilar-Pilar Ideologi Pasar Terbuka dan Struktur Kekuasaan Transnasional

Doktrin Pasar Terbuka: Penggerak Utama Deregulasi

Pilar utama Globalisme adalah keyakinan mutlak pada pasar terbuka, yang diterjemahkan melalui serangkaian kebijakan deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi yang berakar pada teori Neoliberal. Doktrin ini menuntut bahwa peraturan ekonomi harus menguasai sektor-sektor yang lain, dan segala hambatan harus dihilangkan demi pertumbuhan ekonomi.

Konsekuensi langsung dari kepatuhan terhadap doktrin ini adalah pengecilan peran negara dalam fungsi kesejahteraan. Neoliberalisme menantang kemampuan negara untuk menjamin kesehatan rakyat, kesejahteraan sosial, atau pelestarian lingkungan jika kebijakan-kebijakan tersebut dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi. Keterbukaan ini didorong oleh visi The Borderless World , yang menciptakan konsep pasar global yang homogen dan terintegrasi, di mana barang, jasa, dan modal seharusnya bergerak bebas.

Integrasi Politik dan Sosial Global: Visi Dunia Tanpa Batas

Integrasi yang didorong oleh Globalisme meluas melampaui batas ekonomi. Kemajuan teknologi, khususnya internet, telah mengubah corak berpikir masyarakat dan penyelenggara negara. Individu yang tertarik secara sosial dan politik kini sering menggunakan internet untuk memfasilitasi dan meningkatkan partisipasi sipil mereka, memungkinkan kolaborasi jarak jauh dan akses cepat ke informasi.

Namun, era kecepatan arus informasi ini juga membawa kerentanan ideologis. Globalisasi membuat suatu negara rentan terhadap masuknya nilai-nilai, norma, dan bahkan ideologi baru. Masuknya berbagai budaya ini sangat dimungkinkan memengaruhi pola pikir, tingkah laku, dan sistem nilai masyarakat suatu negara.

Masyarakat Sipil Transnasional (TCS) dan Dualitas Perannya

Globalisme juga meyakini pentingnya Masyarakat Sipil Transnasional (TCS) sebagai aktor non-negara yang berperan dalam tatanan global. TCS, yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil (LSM/NGO), menjalankan peran yang kompleks:

  1. Peran Advokasi dan Fasilitasi:TCS berupaya memperjuangkan persamaan nasib melalui gerakan global. Mereka aktif dalam memfasilitasi pembukaan ruang dialog dengan para pengambil keputusan, melakukan analisis kebijakan, dan kegiatan advokasi terkait isu-isu penting seperti akses sumber daya atau penanggulangan kejahatan transnasional (transnational crime).
  2. Peran Pengawasan dan Pendidikan:Di tingkat domestik, organisasi masyarakat sipil berfungsi sebagai pengawas terhadap negara, mediator partisipasi, dan penyedia pendidikan kewarganegaraan (Civic Education). Peran pengawasan ini menjadi semakin krusial di tengah kebutuhan untuk mengantisipasi masuknya ideologi transnasional.

Logika Pasar Menggantikan Logika Politik.

Ideologi Globalisme, melalui manifestasi Neoliberalnya, berupaya membentuk governmentality di mana logika pasar secara progresif mendominasi keputusan politik dan sosial. Tuntutan untuk menghapus regulasi negara demi pertumbuhan  memiliki konsekuensi serius terhadap struktur politik. Analisis struktural menunjukkan bahwa agenda Neoliberal secara keseluruhan melibatkan erosi kebebasan sipil, penurunan partisipasi demokratis, dan konsolidasi kekayaan.

Meskipun teknologi memberikan alat baru bagi partisipasi sipil , kerangka hukum dan kelembagaan demokratis yang seharusnya melindungi masyarakat secara bertahap terkikis demi kepentingan elit. Dalam kondisi ini, peran TCS sebagai pengawas  menjadi medan pertempuran ideologis: mereka harus berjuang menegakkan keadilan sosial dan politik dalam suatu tatanan yang ideologisnya secara inheren cenderung membatasi ruang lingkup aksi sipil yang efektif.

Kecepatan Arus Modal: Sumber Instabilitas Makroekonomi

Liberalisasi Akun Modal: Asimetri Risiko dan Manfaat

Kecepatan arus modal yang didorong oleh Globalisme merupakan salah satu manifestasi paling berisiko dari ideologi pasar terbuka. Sejak pertengahan tahun 1980-an, globalisasi perekonomian telah meningkatkan transaksi pasar keuangan secara dramatis, ditandai dengan pergerakan modal yang semakin bebas.

Meskipun liberalisasi keuangan diyakini membawa manfaat universal, hasil penelitian empiris menunjukkan adanya asimetri yang tajam. Hasil studi di kawasan Asia-Pasifik membuktikan bahwa keuntungan liberalisasi keuangan—yang ditandai dengan rendahnya volatilitas pertumbuhan makroekonomi—hanya terjadi di kelompok negara maju (developed countries). Sebaliknya, di kelompok negara berkembang (developing countries), liberalisasi keuangan justru meningkatkan volatilitas pertumbuhan makroekonomi dan belum memberikan efek yang menguntungkan secara penuh. Ini menunjukkan bahwa kewajiban untuk membuka akun modal secara prematur mengekspos negara berkembang pada risiko struktural yang tidak proporsional.

Anatomi Arus Modal Cepat (Hot Money) dan Volatilitas Pasar

Analisis mengenai arus modal harus membedakan kualitas modal. Terdapat dua jenis arus modal internasional utama yang memengaruhi stabilitas ekonomi:

  1. Investasi Asing Langsung (FDI):Bersifat jangka panjang, mendorong produktivitas, dan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
  2. Investasi Portofolio Asing (FPI):Sering disebut hot money atau dana asing jangka pendek , jenis modal ini rentan terhadap volatilitas pasar dan arus keluar modal, sehingga memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap stabilitas ekonomi.

Perusahaan multinasional (MNC) berperan sebagai aktor utama dalam dinamika ekonomi global, secara efisien menggerakkan modal, teknologi, dan sumber daya manusia melintasi batas negara untuk mencari peluang investasi yang paling menguntungkan. Namun, ketika modal spekulatif (FPI) mengalir deras tanpa dukungan fundamental dan tata kelola yang kokoh, hal itu dapat menciptakan gelembung besar di pasar finansial yang kontraproduktif terhadap investasi riil dan stabilitas.

Studi Kasus Krisis Finansial Asia 1997: Biaya Ketidaksiapan Kelembagaan

Krisis Finansial Asia pada tahun 1997 merupakan studi kasus klasik mengenai biaya struktural dari liberalisasi modal yang didorong oleh Globalisme. Krisis di Thailand, yang kemudian menyebar ke seluruh kawasan, dipicu oleh spekulasi besar-besaran terhadap mata uang Baht oleh berbagai investor global, termasuk bank investasi, manajer portofolio, dan hedge funds.

Pemerintah Thailand mencoba membatasi spekulasi ini dengan menerapkan kontrol modal pada Mei 1997, yang bertujuan untuk memisahkan pasar valuta asing onshore dan offshore. Namun, upaya ini gagal menghentikan gelombang spekulasi dan arus modal keluar. Sebaliknya, studi kasus Malaysia menunjukkan bahwa kontrol modal dapat berhasil jika diterapkan pada waktu yang tepat dan didukung oleh kelembagaan yang kuat, terutama bank sentral yang kompeten, serta tersedianya devisa yang cukup untuk perdagangan dan kegiatan terkait FDI.

Kegagalan ini menunjukkan bahwa kerentanan terhadap krisis finansial tidak hanya disebabkan oleh kegagalan pasar, tetapi merupakan hasil struktural dari tuntutan Globalisme untuk keterbukaan penuh tanpa prasyarat kelembagaan yang matang. Dampak dari volatilitas moneter ini sangat terasa di sektor riil dan sosial: di Indonesia, krisis moneter 1997 menyebabkan peningkatan drastis dalam angka kemiskinan dan pengangguran. Hal ini membuktikan bahwa Globalisme, dengan mentransfer risiko finansial ke pemerintah dan masyarakat negara berkembang, secara fundamental meningkatkan kerentanan sosial.

Table 2: Pengaruh Jenis Arus Modal Terhadap Stabilitas Ekonomi Negara Berkembang

Jenis Arus Modal Karakteristik Pengaruh terhadap Stabilitas/Pertumbuhan Kerentanan (Risiko)
Investasi Asing Langsung (FDI) Jangka Panjang, Penanaman modal riil. Positif dan signifikan; Mendorong produktivitas jangka panjang. Rendah; relatif stabil.
Investasi Portofolio Asing (FPI) Jangka Pendek, Spekulatif (Hot Money). Negatif dan signifikan; Rentan terhadap volatilitas pasar dan arus keluar. Tinggi; menyebabkan krisis finansial dan sosial.

Konsekuensi Sosial Ideologi Kecepatan dan Ketidaksetaraan

Ideologi Globalisme yang mengutamakan kecepatan arus modal dan informasi, serta pasar terbuka yang deregulasi, telah menghasilkan konsekuensi sosial yang mendalam, terutama peningkatan ketidaksetaraan dan kerentanan pada kelompok yang paling tidak siap.

Kesenjangan Ekonomi yang Melebar: Global dan Domestik

Salah satu kritik paling fundamental terhadap Market Globalism adalah kegagalannya dalam menjamin kesejahteraan yang berimbang. Globalisasi, terutama dalam manifestasi kapitalisme global dan pasar bebasnya , belum serta-merta mengurangi angka kemiskinan. Sebaliknya, proses ini seringkali menciptakan ketimpangan ekonomi antara negara maju dan negara dunia ketiga. Data menunjukkan bahwa globalisasi telah memperparah ketimpangan, di mana negara maju semakin kaya, sementara kawasan Selatan terjerat utang yang meningkat dan kemiskinan. Contohnya, krisis utang negara berkembang dipicu oleh berbagai hal, termasuk menurunya ekspor komoditas, membengkaknya pengeluaran anggaran untuk dana sosial, dan tingginya tingkat pengangguran.

Secara domestik, penerapan kebijakan neoliberal yang didorong oleh Globalisme telah menyebabkan kesenjangan sosial semakin besar di hampir semua negara yang menerapkannya selama dua dekade terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang stabil dan inklusif adalah prasyarat untuk mengurangi kemiskinan , namun logika pasar bebas Globalisme justru cenderung memprioritaskan pertumbuhan non-inklusif yang mengkonsolidasikan kekayaan.

Kerentanan Tenaga Kerja di Era Ekonomi Digital (Gig Economy)

Kecepatan arus informasi yang difasilitasi oleh Globalisme memungkinkan kolaborasi jarak jauh dan pengembangan model ketenagakerjaan baru seperti gig economy. Pekerjaan berbasis gig menjanjikan kemandirian dan fleksibilitas.

Namun, analisis kritis terhadap sektor ini mengungkapkan adanya fenomena prekariat atau pekerja rentan. Meskipun pengemudi ojek online, misalnya, berstatus “mitra,” mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan ruang untuk menyampaikan aspirasi. Peraturan terkait sanksi dan pemutusan kemitraan menjadi keputusan mutlak oleh platform transnasional. Pilihan untuk mengambil waktu libur pun terbatas, di mana istirahat lebih dari dua hari dapat menyebabkan akun menerima sanksi oleh sistem algoritma, yang berakibat pada sepinya pesanan. Hal ini menciptakan ketidakstabilan dan kurangnya jaminan pekerjaan, menunjukkan erosi perlindungan sosial dan daya tawar pekerja, yang dipercepat oleh fleksibilitas yang diagungkan ideologi pasar.

Dampak Kecepatan Informasi dan Digital Divide (Kesenjangan Digital)

Kecepatan arus informasi tidak selalu diterjemahkan menjadi kesetaraan kesempatan. Ketimpangan digital (digital divide) adalah tantangan sosial signifikan yang diperburuk oleh Globalisme. Kesenjangan ini melampaui masalah akses internet semata; ia mencakup perbedaan dalam kualitas pemanfaatan teknologi. Sebagian masyarakat mungkin hanya menggunakan internet untuk kebutuhan dasar seperti media sosial, sementara yang lain mampu memanfaatkan teknologi untuk pendidikan, pekerjaan, atau mengakses informasi penting yang memperluas peluang.

Akselerasi teknologi mutakhir, seperti Artificial Intelligence (AI), dalam era Globalisme memerlukan infrastruktur digital yang memadai, seperti internet berkecepatan tinggi, perangkat keras canggih, serta sumber daya manusia yang terampil. Negara-negara yang tidak memiliki infrastruktur digital dan literasi yang memadai akan menghadapi kesenjangan dalam kesempatan. Akses informasi yang terbatas ini mempengaruhi kualitas hidup, mulai dari layanan kesehatan hingga peluang di pasar kerja. Oleh karena itu, jika tidak diatasi, Globalisme melalui teknologi canggih akan menjadi pemisah antara yang mampu dan tidak mampu, alih-alih menjadi alat pemberdayaan.

Globalisme Mendorong Subjektivitas Neoliberal.

Ideologi Globalisme tidak hanya mengubah struktur ekonomi, tetapi juga berusaha membentuk identitas dan perilaku individu—sebuah proses yang disebut subjectification. Dalam masyarakat konsumen yang diciptakan oleh kapitalisme global, individu didorong untuk kehilangan kekritisannya dalam menghadapi ciptaannya sendiri, yaitu teknologi yang semakin canggih. Dalam konteks ketenagakerjaan, pekerja diideologikan sebagai “mandiri” dan “mitra” melalui retorika fleksibilitas, padahal secara praktis mereka dikontrol oleh algoritma tanpa memiliki stabilitas kerja yang memadai. Hal ini adalah manifestasi bagaimana ideologi kecepatan dan efisiensi mentransfer risiko dan kontrol dari entitas global (platform, pasar modal) ke individu, yang semakin rentan dan terfragmentasi.

Mitigasi Risiko dan Peningkatan Resiliensi Kelembagaan

Untuk menghadapi kerentanan struktural yang diakibatkan oleh Globalisme, negara berkembang harus mengadopsi pendekatan pragmatis yang selektif dan berorientasi pada penguatan kelembagaan domestik. Resiliensi dicapai melalui penerapan kebijakan yang terkadang bersifat kontra-ideologis terhadap doktrin pasar bebas total.

Kebutuhan Intervensi Negara yang Cerdas (Smart State)

Negara memiliki peran penting dalam memelihara nilai-nilai kebersamaan (ideologi negara) di tengah gempuran nilai dan ideologi asing. Peran ini harus diperluas ke manajemen ekonomi.

  1. Penguatan Regulasi Modal (CFM):Pengalaman Krisis Asia 1997 menunjukkan perlunya Capital Flow Management yang cerdas. Kontrol modal selektif dan temporal dapat berhasil jika dilaksanakan oleh otoritas moneter yang kompeten. Kebijakan ini harus didukung oleh koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang lebih baik untuk beradaptasi terhadap dinamika ekonomi global.
  2. Peningkatan Tata Kelola Perusahaan (GCG):Di era globalisasi, standar internasional GCG sangat penting untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan perusahaan. Lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan OECD telah mengembangkan pedoman GCG yang perlu diprioritaskan untuk mencapai kinerja, nilai, dan akuntabilitas yang baik. Tata kelola yang buruk dalam struktur kepemilikan domestik, seperti konglomerat dan BUMN, juga harus direformasi untuk mencegah risiko sistemik.

Penguatan Kerangka Hukum dan Birokrasi

Kepastian hukum dan efisiensi kelembagaan adalah prasyarat fundamental agar negara dapat memanfaatkan arus modal Globalisme, khususnya FDI.

Ketidakpastian hukum dan birokrasi yang tidak efisien menurunkan daya saing suatu negara di mata investor global. Untuk memperkuat efektivitas hukum penanaman modal asing, diperlukan harmonisasi peraturan, reformasi birokrasi, dan konsistensi kebijakan. Selain reformasi substansi dan kelembagaan perbankan dan investasi, inisiatif untuk meningkatkan budaya hukum dan memastikan pengelolaan entitas bisnis besar yang transparan sangat diperlukan.

Kebijakan Makroekonomi Adaptif dan Koordinasi Regional

Stabilitas ekonomi memerlukan faktor-faktor eksternal dan internal yang kokoh. Stabilisasi harga (inflasi dan nilai tukar) yang dipengaruhi oleh volatilitas tinggi dapat mengurangi kepercayaan investor. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang lebih baik antara kebijakan moneter dan fiskal, serta strategi yang adaptif terhadap dinamika ekonomi global dan domestik.

Lebih lanjut, peningkatan koordinasi di tingkat kawasan (regional) menjadi hal yang mendesak. Koordinasi ini diperlukan untuk mengidentifikasi potensi isu-isu regional, menyusun langkah bersama dalam menghadapi gejolak modal, dan isu-isu koordinasi kebijakan fiskal, moneter, maupun struktural untuk menciptakan resiliensi kolektif terhadap guncangan sistemik global.

Strategi Inklusivitas Digital sebagai Keadilan Sosial

Untuk memastikan bahwa kecepatan arus informasi Globalisme tidak memperburuk ketimpangan, negara harus memandang akses teknologi sebagai isu keadilan sosial.

Pembangunan kebijakan harus mendukung akses teknologi yang merata. Untuk mengatasi digital divide, diperlukan kolaborasi erat antara pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor swasta. Pemerintah harus mendorong investasi dalam infrastruktur digital dan memperluas jangkauan layanan internet. Sektor swasta dapat memberikan pelatihan dan dukungan teknologi melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Hal ini juga mencakup urgensi program literasi digital yang inklusif dan pelatihan ulang (reskilling) bagi berbagai lapisan masyarakat, terutama untuk menghadapi tantangan teknologi baru seperti AI.

Resiliensi Dicapai Melalui Pragmatisme Kontra-Ideologis.

Resiliensi negara berkembang tidak dapat dicapai hanya dengan mengikuti doktrin Globalisme tentang liberalisasi total. Sebaliknya, hal itu bergantung pada kapasitas negara untuk menerapkan kebijakan yang selektif dan pragmatis. Ini termasuk kemampuan untuk membatasi atau mengendalikan modal yang volatil (seperti FPI) demi stabilitas makroekonomi , dan secara masif menginvestasikan sumber daya publik untuk mengatasi ketimpangan digital dan sosial. Negara yang sukses adalah negara yang mampu memanfaatkan manfaat integrasi global (FDI, pertukaran pengetahuan) sambil secara aktif melindungi kelembagaan dan masyarakatnya dari risiko yang ditransfer oleh arus cepat yang didorong oleh ideologi pasar.

Kesimpulan

Market Globalism, sebagai ideologi penghubung yang percaya pada integrasi dunia dan pasar terbuka, secara struktural menciptakan asimetri risiko. Meskipun globalisasi sebagai proses menawarkan efisiensi dan akses teknologi, ideologi Neoliberal yang mendasarinya secara efektif mentransfer kerentanan dari pasar global ke negara-negara berkembang. Kerentanan ini dimanifestasikan melalui tiga mekanisme utama:

  1. Instabilitas Finansial:Liberalisasi akun modal prematur tidak memberikan efek menguntungkan penuh di negara berkembang, melainkan meningkatkan volatilitas makroekonomi, terutama melalui arus masuk modal jangka pendek (hot money), yang terbukti signifikan dan merusak, seperti yang terjadi dalam Krisis Asia 1997.
  2. Kesenjangan Sosial:Ideologi pasar terbuka secara konsisten memperlebar ketidaksetaraan pendapatan domestik dan global, sementara model ketenagakerjaan baru (seperti gig economy) yang didorong oleh teknologi transnasional menciptakan kelompok pekerja prekariat yang rentan tanpa jaminan sosial dan daya tawar efektif.
  3. Ketimpangan Digital:Kecepatan arus informasi, tanpa adanya investasi kelembagaan yang memadai pada infrastruktur dan literasi digital, memperburuk ketidakadilan sosial, mengubah teknologi canggih menjadi alat pemisah daripada alat pemberdayaan.

Berdasarkan analisis ini, negara berkembang harus mengadopsi strategi resiliensi yang pragmatis dan memperkuat kelembagaan domestik:

  1. Penguatan Smart Regulationdan Capital Flow Management (CFM): Negara harus meninggalkan kepatuhan ideologis terhadap liberalisasi modal total. Diperlukan kerangka kerja regulasi yang cerdas dan selektif untuk memprioritaskan FDI dan secara aktif memitigasi FPI spekulatif. Kebijakan ini harus didukung oleh koordinasi fiskal dan moneter yang terintegrasi.
  2. Reformasi Kelembagaan sebagai Prasyarat Liberalisasi:Liberalisasi keuangan dan ekonomi harus dikondisikan pada pencapaian tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance) dan kepastian hukum domestik yang kokoh. Harmonisasi peraturan dan reformasi birokrasi wajib dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan akuntabilitas di mata investor, serta mengurangi praktik buruk yang memperparah krisis.
  3. Investasi Keadilan Digital dan Literasi Inklusif:Negara harus memimpin pembangunan infrastruktur digital dan literasi sebagai kebijakan keadilan sosial. Kerja sama publik-swasta (termasuk CSR) harus difokuskan pada perluasan jangkauan internet dan program reskilling untuk memastikan bahwa teknologi menjadi alat pemberdayaan yang merata, bukan pemicu ketimpangan baru.
  4. Resiliensi Kolektif Melalui Koordinasi Regional:Mengingat risiko sistemik dari volatilitas modal dan komoditas, negara-negara kawasan harus meningkatkan mekanisme koordinasi kebijakan di tingkat regional. Hal ini berfungsi sebagai jaring pengaman kolektif dan respons terkoordinasi terhadap guncangan eksternal yang didorong oleh kecepatan pasar global.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 + 1 =
Powered by MathCaptcha