Pergeseran Paradigma dalam Pengukuran Kemiskinan: Dari Moneter Menuju Multidimensi
Pengukuran kemiskinan tradisional yang semata-mata didasarkan pada aspek moneter, seperti pendapatan atau pengeluaran, terbukti memiliki keterbatasan konseptual dan empiris dalam menangkap realitas kerentanan hidup masyarakat. Pendekatan ini gagal mencerminkan secara komprehensif kegagalan kapabilitas dan deprivasi non-material yang dialami individu. Para ekonom pembangunan telah lama menyadari bahwa pendapatan yang rendah tidak selalu berkorelasi sempurna dengan kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar.
Banyak studi menunjukkan adanya ketidakselarasan (mismatched cases) antara status kemiskinan moneter dan deprivasi non-material. Sebagai contoh, temuan di Montevideo, Uruguay, menunjukkan bahwa 13% rumah tangga berada dalam kondisi pendapatan miskin, namun mereka mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Sebaliknya, 7,5% populasi berada dalam kondisi tidak miskin secara pendapatan, tetapi tidak mampu mengakses kebutuhan dasar yang memadai. Analisis data di Chili juga menyimpulkan bahwa pengukuran kemiskinan berbasis pendapatan saja tidak dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang kemiskinan. Konteks empiris ini menegaskan pentingnya pengukuran yang melampaui metrik ekonomi tunggal.
Kesenjangan antara pengukuran moneter dan deprivasi nyata ini menjadi justifikasi utama bagi perlunya kebijakan perlindungan sosial modern yang tidak hanya berfokus pada transfer pendapatan, tetapi secara eksplisit menargetkan penyediaan layanan dan kualitas hidup.
Definisi dan Konsep Inti Kemiskinan Multidimensi (KM)
Kemiskinan multidimensi (KM) muncul sebagai kerangka analitik yang lebih kaya, didasarkan pada capability approach, memandang kemiskinan sebagai kegagalan seseorang untuk mencapai fungsi dasar kehidupan, seperti kemampuan untuk hidup sehat, berpendidikan, dan memiliki standar hidup yang layak. Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM atau MPI, Multidimensional Poverty Index), yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI), melengkapi pengukuran kemiskinan moneter.
Tujuan IKM bukanlah untuk menghilangkan kemiskinan moneter dari diskursus, melainkan untuk memberikan pandangan yang lebih luas, terukur, dan terperinci dalam upaya mengurangi segala aspek kemiskinan. Pengukuran ini sangat relevan karena faktor non-moneter dapat berkontribusi signifikan dalam membuat seseorang berada dalam kondisi miskin, terlepas dari tingkat pendapatannya.
Kebutuhan Mengintegrasikan Akses Pendidikan, Kesehatan, dan Perlindungan Sosial
Konsep KM secara eksplisit mengintegrasikan akses ke dimensi non-ekonomi yang penting untuk pembangunan modal manusia, yaitu Pendidikan dan Kesehatan. Kemunculan KM sebagai metrik utama yang didukung oleh institusi global seperti UNDP/OPHI dan World Bank (melalui Multidimensional Poverty Measure atau MPM) merupakan pengakuan politik dan teknis bahwa pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) memerlukan akuntabilitas yang lebih tinggi terhadap kualitas layanan publik dan pemerataan akses, bukan hanya pertumbuhan ekonomi agregat.
World Bank’s MPM, misalnya, mengambil inspirasi dari MPI global tetapi memasukkan kemiskinan moneter di bawah garis kemiskinan internasional $3.00 PPP sebagai salah satu dimensinya, di samping akses ke pendidikan dan infrastruktur dasar. Ini mencerminkan upaya sistematis untuk menggabungkan dua pendekatan utama. Perlindungan sosial dalam konteks ini beralih fungsi dari sekadar jaring pengaman menjadi investasi strategis yang memfasilitasi akumulasi modal manusia, dengan Program Bantuan Tunai Bersyarat (CCT) menjadi mekanisme integratif utama untuk mengatasi deprivasi non-moneter ini.
Kerangka Metodologis Indeks Kemiskinan Multidimensi (MPI/IKM)
Prinsip Dasar Metodologi Alkire-Foster (AF)
Pengukuran kemiskinan multidimensi global sebagian besar didasarkan pada Metodologi Alkire-Foster (AF), suatu teknik yang memungkinkan identifikasi individu yang mengalami deprivasi secara simultan dan pengukuran intensitas kemiskinan mereka.
Metrik IKM, yang dinotasikan sebagai M0, merupakan produk dari dua komponen kunci :
- Insiden (H):Proporsi penduduk yang miskin multidimensi, dihitung dengan membagi jumlah penduduk miskin multidimensi dengan total populasi. Seseorang dianggap miskin multidimensi jika mengalami deprivasi dalam sepertiga atau lebih dari total indikator berbobot.
- Intensitas (A):Rata-rata persentase indikator berbobot yang dialami oleh kelompok miskin tersebut.
Nilai IKM (M0) yang dihasilkan dari perkalian H×A dikenal sebagai Tingkat Kemiskinan Multidimensi yang Disesuaikan (Adjusted Headcount Ratio). Metrik M0 ini diakui lebih informatif daripada H karena memberikan bobot pada kedalaman dan tingkat keparahan deprivasi. Ini memungkinkan perancang kebijakan untuk memonitor kemajuan secara lebih akurat, tidak hanya dalam mengurangi jumlah orang miskin, tetapi juga mengurangi jumlah deprivasi yang dialami oleh setiap individu miskin.
Dekonstruksi MPI Global (OPHI/UNDP)
MPI global menggunakan sepuluh indikator yang dikelompokkan ke dalam tiga dimensi utama: Kesehatan, Pendidikan, dan Standar Hidup. Pembobotan dalam IKM bersifat normatif, dengan prinsip bahwa ketiga dimensi harus memberikan kontribusi yang setara terhadap ukuran keseluruhan. Oleh karena itu, masing-masing dimensi memiliki bobot total 1/3.
Untuk mencapai kesetaraan bobot tersebut, dimensi Kesehatan dan Pendidikan, yang masing-masing terdiri dari dua indikator, diberikan bobot 1/6 per indikator. Sementara itu, dimensi Standar Hidup, yang terdiri dari enam indikator, diberikan bobot 1/18 per indikator.
Penyusunan pembobotan ini memiliki implikasi kebijakan yang mendalam. Pemberian bobot 1/6 untuk indikator Kesehatan (Gizi, Kematian Anak) dan Pendidikan (Tahun Sekolah, Kehadiran Sekolah) secara statistik berarti bahwa keberhasilan program yang mengurangi deprivasi pada dimensi modal manusia ini akan menghasilkan penurunan M0 yang lebih signifikan dibandingkan dengan pengurangan deprivasi pada satu indikator Standar Hidup (bobot 1/18). Hal ini memberikan dasar kuantitatif untuk memprioritaskan intervensi, seperti CCT, yang secara eksplisit menargetkan capaian di bidang Pendidikan dan Kesehatan.
Table 1: Dimensi dan Indikator Inti Indeks Kemiskinan Multidimensi Global (MPI/OPHI)
| Dimensi Kemiskinan | Indikator | Kriteria Deprivasi | Bobot Indikator |
| Kesehatan (1/3) | Gizi | Ada anggota rumah tangga di bawah 70 tahun yang kekurangan gizi. | 1/6 |
| Kesehatan (1/3) | Kematian Anak | Seorang anak di bawah 18 tahun meninggal dalam 5 tahun terakhir. | 1/6 |
| Pendidikan (1/3) | Tahun Sekolah | Tidak ada anggota rumah tangga yang memenuhi 6 tahun sekolah. | 1/6 |
| Pendidikan (1/3) | Kehadiran Sekolah | Ada anak usia sekolah yang tidak bersekolah hingga usia kelas 8. | 1/6 |
| Standar Hidup (1/3) | Bahan Bakar Memasak | Menggunakan bahan bakar padat (kayu, arang, batu bara, kotoran hewan). | 1/18 |
| Standar Hidup (1/3) | Sanitasi | Fasilitas sanitasi tidak layak atau layak namun digunakan bersama. | 1/18 |
| Standar Hidup (1/3) | Air Minum | Sumber air tidak aman atau membutuhkan perjalanan pulang-pergi ≥30 menit. | 1/18 |
| Standar Hidup (1/3) | Listrik | Tidak memiliki akses listrik. | 1/18 |
| Standar Hidup (1/3) | Perumahan | Bahan lantai, atap, atau dinding tidak memadai. | 1/18 |
| Standar Hidup (1/3) | Aset | Tidak memiliki lebih dari satu aset tertentu, dan tidak memiliki mobil/truk. | 1/18 |
Variasi Metodologis dan Adaptasi Lokal
Meskipun MPI global berfungsi sebagai rujukan internasional , adaptasi lokal seringkali diperlukan untuk mencerminkan konteks nasional. Misalnya, World Bank’s Multidimensional Poverty Measure (MPM) secara eksplisit memasukkan indikator kemiskinan moneter, yang membedakannya dari MPI OPHI/UNDP yang ketat non-moneter.
Di Indonesia, lembaga seperti The PRAKARSA telah melakukan penghitungan IKM menggunakan metode Alkire-Foster dan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), tetapi memodifikasi beberapa indikator untuk menyesuaikan dengan kondisi domestik. Adaptasi ini, yang mencakup dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup, memungkinkan pandangan yang lebih luas mengenai upaya pengentasan kemiskinan, namun tantangannya adalah perbandingan langsung dengan metrik global menjadi kurang dimungkinkan. IKM versi nasional ini telah diterapkan di tingkat sub-nasional, misalnya untuk analisis kemiskinan di Kalimantan Utara dan Yogyakarta , membuktikan relevansinya untuk perencanaan dan pemetaan kebutuhan utama rumah tangga miskin di tingkat daerah.
Diagnosis Kemiskinan Multidimensi: Peta Deprivasi dan Tantangan Struktural
Tren dan Profil Global
Data terbaru menunjukkan skala kemiskinan multidimensi yang akut dan meluas. Menurut MPI Global 2024, sekitar 1.1 miliar orang, atau 18.3% dari populasi global, diklasifikasikan sebagai miskin multidimensi. Angka ini, yang sedikit menurun dari 18% pada tahun 2023 , menggarisbawahi urgensi tindakan yang terkoordinasi secara global yang melampaui fokus sempit pada statistik pendapatan nasional.
Analisis Mendalam IKM di Konteks Nasional (Indonesia)
Dalam konteks Indonesia, IKM menawarkan wawasan kritis mengenai distribusi dan jenis deprivasi. Analisis IKM lokal seringkali mengungkapkan pola deprivasi yang didominasi oleh dimensi tertentu. Sebagai contoh, sebuah studi IKM menunjukkan bahwa dimensi Pendidikan dapat menjadi penyumbang persentase kemiskinan terbesar (57%), diikuti oleh dimensi Standar Hidup (31%), dan Kesehatan (12%). Dominasi dimensi Pendidikan ini mengisyaratkan bahwa upaya pengentasan harus memprioritaskan peningkatan kualitas dan akses berkelanjutan ke pendidikan untuk memutus siklus kemiskinan.
Faktor demografi juga memainkan peran signifikan. Variabel rasio ketergantungan (dependency ratio) rumah tangga, yang mencerminkan proporsi anggota nonproduktif (muda dan lansia), terbukti signifikan dalam semua kategori kemiskinan. Dalam perspektif multidimensi, peningkatan Anggota Rumah Tangga (ART) nonproduktif berkorelasi dengan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi dan kesehatan yang layak, termasuk pemenuhan protein dan kalori. Keluarga yang tidak siap secara ekonomi cenderung tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi yang layak jika memiliki banyak anggota usia nonproduktif.
Perbandingan antarwilayah juga penting. Studi IKM di Provinsi Riau periode 2014–2023 menunjukkan penurunan yang substansial dalam Kemiskinan Multidimensi. Persentase Penduduk Miskin Multidimensi (H) turun dari 33.74% pada 2014 menjadi 13.68% pada 2023, sementara Intensitas Kemiskinan Multidimensi (A) juga menunjukkan perbaikan, dari 50.33% menjadi 35.91%. Penurunan A yang signifikan menunjukkan bahwa program intervensi telah berhasil mengurangi tingkat keparahan deprivasi pada kelompok miskin. Namun, analisis menunjukkan bahwa stabilitas capaian pengurangan kemiskinan multidimensi tidak merata antarwilayah, menuntut pendekatan kebijakan yang lebih terfokus dan adaptif melalui pemetaan spasial.
Table 2: Komparasi Metrik Kemiskinan Multidimensi di Provinsi Riau, 2014–2023
| Indikator | 2014 | 2023 |
| Persentase Penduduk Miskin Multidimensi (H) | 33,74% | 13,68% |
| Intensitas Kemiskinan Multidimensi (A) | 50,33% | 35,91% |
| Tingkat Kemiskinan Multidimensi yang Disesuaikan (M0) | 16,98% | 4,91% |
| Sumber: Hasil olah Susenas 2014–2023 |
Kritik dan Keterbatasan MPI/IKM
Meskipun IKM menawarkan pengukuran yang jauh lebih unggul, metrik ini memiliki kritik dan keterbatasan tertentu. Salah satu tantangan utama adalah bahwa IKM global, dan banyak adaptasi nasional, mengukur akses atau keberadaan layanan (sebagai indikator deprivasi/tidak deprivasi), tetapi seringkali kurang berhasil mengukur kualitas layanan tersebut.
Selain itu, meskipun deprivasi tertentu menunjukkan perbaikan secara nasional, tantangan struktural yang persisten masih menjadi masalah. Sebagai contoh, rasio elektrifikasi rumah tangga di Indonesia telah mencapai 92.70% pada tahun 2022, menunjukkan bahwa deprivasi sumber penerangan bukan listrik (bobot 1/18) dialami oleh minoritas (4.88%). Namun, deprivasi di bidang akses air minum layak, sanitasi, dan kecukupan luas tempat tinggal masih dialami oleh hingga 20% populasi.
Persistensi masalah sanitasi dan air bersih ini, meskipun terjadi penurunan IKM secara umum, menggarisbawahi bahwa kemajuan pada indikator Standar Hidup seringkali memerlukan kolaborasi inter-sektoral yang melibatkan investasi modal besar di pihak pemerintah (intervensi supply-side). Intervensi CCT dapat meningkatkan kemampuan rumah tangga untuk membayar layanan (meningkatkan demand), tetapi jika infrastruktur dasar tidak tersedia (terjebak dalam supply bottleneck), deprivasi Standar Hidup yang berbobot lebih kecil (1/18) akan tetap menjadi penghambat permanen dalam pengentasan kemiskinan multidimensi.
Intervensi Perlindungan Sosial Berbasis Multidimensi: Analisis Program Bantuan Tunai Bersyarat (CCT)
CCT sebagai Respons Strategis terhadap Deprivasi
Program Bantuan Tunai Bersyarat (Conditional Cash Transfers/CCT) merupakan instrumen perlindungan sosial yang secara unik dirancang untuk mengatasi kemiskinan multidimensi. CCT menyediakan transfer tunai kepada keluarga miskin dengan syarat mereka harus memenuhi kewajiban tertentu, seperti memastikan anak-anak bersekolah dan melakukan kunjungan rutin ke layanan kesehatan. Desain ini secara eksplisit menargetkan indikator-indikator inti dalam dimensi Kesehatan dan Pendidikan (yang berbobot 1/6 dalam MPI), menjadikannya respons strategis terhadap temuan IKM.
Program CCT telah menyebar luas di seluruh dunia selama dua dekade terakhir. Keberhasilan program perintis di Amerika Latin telah mendorong terjadinya policy learning yang masif di berbagai negara, seringkali didiskusikan dalam konferensi internasional yang diselenggarakan oleh lembaga seperti World Bank.
Dampak CCT pada Dimensi Non-Moneter
Bukti empiris menunjukkan bahwa CCT memiliki dampak transformatif yang luas, tidak hanya pada kondisi material penerima tetapi juga pada dimensi non-moneter yang diukur oleh IKM.
- Kesehatan dan Nutrisi:CCT telah terbukti meningkatkan nutrisi, meningkatkan kehadiran di klinik kesehatan, dan mengurangi kemiskinan. Dampak ini sangat vital karena CCT secara langsung mengatasi deprivasi Gizi dan Kematian Anak (indikator MPI), terutama bagi rumah tangga dengan rasio ketergantungan tinggi yang rentan terhadap kerawanan nutrisi.
- Pendidikan:Di sisi pendidikan, CCT berhasil meningkatkan pendaftaran dan kehadiran sekolah, sehingga mengatasi deprivasi partisipasi sekolah.
- Kesejahteraan Non-Material dan Pemberdayaan:Penelitian yang lebih baru mendokumentasikan dampak positif CCT yang melampaui metrik langsung IKM, termasuk penurunan tekanan psikologis, pengurangan insiden kekerasan pasangan intim, dan peningkatan kebebasan memilih bagi perempuan muda. Bukti ini menunjukkan bahwa CCT berfungsi sebagai intervensi yang sensitif terhadap gender. Dengan memberikan kontrol atas transfer uang tunai kepada kepala rumah tangga perempuan, program ini dapat mengubah dinamika kekuasaan di dalam rumah tangga, meningkatkan independensi ekonomi mereka. Peningkatan otonomi ini kemudian meningkatkan kemampuan perempuan untuk mengonversi sumber daya menjadi kapabilitas (misalnya, memastikan anak-anak mendapatkan gizi yang memadai), yang pada akhirnya secara langsung mengurangi Intensitas Deprivasi (A) rumah tangga.
Tantangan Desain dan Risiko Spillovers
Meskipun manfaat CCT sangat jelas, perancang program perlu mengantisipasi potensi risiko dan dampak yang tidak disengaja (spillovers), khususnya pada non-beneficiaries di komunitas target.
Dampak tumpahan negatif dapat terjadi jika transfer tunai meningkatkan permintaan akan layanan publik (sekolah atau klinik) tanpa diikuti oleh peningkatan kapasitas layanan (supply-side). Hal ini dapat menyebabkan overcrowding atau penurunan kualitas layanan bagi semua penduduk, termasuk mereka yang bukan penerima CCT. Oleh karena itu, CCT harus diintegrasikan dengan investasi yang memastikan peningkatan kapasitas layanan publik di daerah sasaran. Mengantisipasi risiko spillovers negatif sejak tahap desain program menjadi krusial untuk memastikan bahwa CCT tidak hanya menguntungkan penerima tetapi juga mendukung pembangunan komunitas yang lebih luas.
Studi Kasus Komparatif Program Bantuan Tunai Bersyarat (CCT) Global dan Nasional
Program CCT telah diterapkan dalam berbagai format di seluruh dunia, dengan tiga contoh utama yang sering dijadikan rujukan dalam policy learning.
Model Pioneer: Brazil – Bolsa Familia (PBF)
Program Bolsa Familia (PBF) di Brazil secara luas dianggap sebagai salah satu kisah sukses besar dalam kebijakan perlindungan sosial. Keberhasilan ini didukung oleh komitmen politik tingkat tinggi dari kepresidenan, yang memastikan pendanaan yang memadai dalam jangka panjang. PBF juga menunjukkan ketepatan desain teknis. Meskipun secara politik sulit, keputusan untuk mengintegrasikan berbagai skema transfer tunai yang sudah ada menjadi satu program terpusat, secara teknis adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Model PBF ini telah menjadi cetak biru yang diadopsi di puluhan negara, mencerminkan reputasinya sebagai instrumen perlindungan sosial yang efektif.
Model Awal Evaluasi: Meksiko – Prospera (Progresa/Oportunidades)
Program Prospera (awalnya Progresa) di Meksiko dikenal sebagai program CCT perintis yang membangun basis bukti empiris yang kuat. Keunikan program ini adalah desain evaluasinya yang ketat, seringkali menggunakan Randomized Control Trial (RCT), yang memberikan data kausal yang tidak terbantahkan mengenai dampak CCT terhadap peningkatan modal manusia, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Program Prospera, bersama dengan Bolsa Familia, menjadi studi kasus utama dalam berbagai konferensi internasional, memfasilitasi policy learning yang mendorong adopsi CCT di berbagai negara.
Model Adaptasi Nasional: Indonesia – Program Keluarga Harapan (PKH)
Implementasi Program Keluarga Harapan (PKH) di Indonesia merupakan contoh proses transfer kebijakan yang difasilitasi oleh aktor-aktor lokal dan dinamika politik domestik yang menciptakan policy opportunity. Sebagai CCT nasional, PKH bertujuan meningkatkan kualitas modal manusia rumah tangga miskin.
Salah satu fitur kebijakan utama PKH adalah fokus pada strategi graduasi. PKH mewajibkan pendamping sosial untuk menggraduasikan sepuluh persen Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap tahunnya. Graduasi diprioritaskan bagi keluarga yang mencapai “kondisi sosial ekonomi yang lebih baik” atau yang secara sukarela meminta keluar (graduasi sejahtera mandiri). Studi terhadap rumah tangga yang berhasil mencapai graduasi sejahtera mandiri menunjukkan bukti bahwa kondisi sosial ekonomi mereka telah membaik.
Meskipun target graduasi wajib ini memacu efisiensi program, tantangan krusial adalah memastikan keberlanjutan graduasi sejahtera mandiri. Graduasi tidak seharusnya dinilai hanya berdasarkan sedikit lonjakan pendapatan moneter sesaat. Sebaliknya, evaluasi keberlanjutan harus diukur menggunakan indikator IKM (non-moneter) yang stabil, untuk memastikan bahwa keluarga yang keluar dari program telah mencapai tingkat kapabilitas minimum yang memadai. Tanpa pengawasan IKM pasca-graduasi, terdapat risiko tinggi keluarga rentan akan kembali mengalami deprivasi akut, yang mengarah pada siklus kemiskinan multidimensi yang berulang.
Menyelaraskan CCT dengan Peta Deprivasi IKM
Untuk mencapai efektivitas maksimal, kebijakan pengentasan kemiskinan, termasuk CCT, harus berbasis data IKM secara fundamental, bukan sekadar data moneter.
- Prioritas Berbasis Bobot:Karena analisis IKM seringkali menunjukkan bahwa dimensi Pendidikan (bobot 57% di beberapa studi lokal) dan Kesehatan menyumbang persentase deprivasi terbesar, conditionalities PKH harus lebih difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan dan retensi sekolah di tingkat yang lebih tinggi, yang secara langsung menargetkan indikator 1/6 IKM.
- Penargetan Gizi Struktural:Mengingat peran signifikan rasio ketergantungan pada risiko kerawanan nutrisi dan kesehatan , CCT harus memperkuat komponen gizi dan kesehatan, terutama pada kelompok usia yang rentan (ibu hamil, bayi, dan lansia). Penguatan ini dapat mencegah kegagalan pemenuhan protein dan kalori yang layak pada rumah tangga yang tidak siap secara ekonomi.
- Fokus Spasial:Penggunaan pemetaan spasial IKM sangat diperlukan untuk mengidentifikasi wilayah dengan deprivasi yang terfragmentasi. Data IKM dapat menunjukkan indikator deprivasi spesifik mana yang dominan di tingkat lokal. Ini memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien dan intervensi yang disesuaikan, seperti yang ditunjukkan oleh variasi kinerja pengurangan kemiskinan antar wilayah (misalnya di Riau).
Penguatan Sistem Tata Kelola dan Kualitas Layanan
Efektivitas CCT, yang merupakan intervensi sisi permintaan (demand-side), sangat bergantung pada ketersediaan dan kualitas layanan publik (supply-side).
- Sinergi Supply dan Demand:Investasi yang seimbang harus diarahkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas sekolah serta fasilitas kesehatan di daerah target CCT. Hal ini bertujuan untuk mencegah dampak tumpahan negatif, seperti overcrowding atau penurunan kualitas layanan bagi non-penerima.
- Interoperabilitas Data:Adalah imperatif untuk mendorong integrasi data IKM yang komprehensif (misalnya, hasil perhitungan The PRAKARSA yang menggunakan SUSENAS ) dengan basis data perlindungan sosial (DTKS). Interoperabilitas data ini akan memastikan akurasi penargetan dan memungkinkan pemantauan yang lebih baik terhadap pengurangan deprivasi yang sebenarnya, bukan hanya pengurangan jumlah KPM.
Untuk memastikan keberlanjutan hasil, program perlindungan sosial harus mentransformasi pendekatan mereka terhadap terminologi “graduasi”.
- Revisi Definisi Graduasi:Definisi operasional “graduasi sejahtera mandiri” harus direvisi dan diukur dengan ambang batas IKM yang ketat. Keluarga harus dianggap berhasil graduasi hanya jika mereka telah mencapai tingkat kapabilitas minimum yang stabil dalam dimensi Kesehatan, Pendidikan, dan Standar Hidup IKM. Hal ini mengatasi risiko tinggi keluarga kembali jatuh ke dalam kemiskinan akut setelah dukungan CCT dihentikan.
- Pemberdayaan Menyeluruh:Transisi keluar dari CCT harus melibatkan program pemberdayaan yang komprehensif, yang mencakup penguatan keberdayaan ekonomi dan kedaulatan politik masyarakat. Hanya melalui pemberdayaan menyeluruh, transfer uang tunai dapat berhasil dikonversi menjadi modal yang berkelanjutan, sehingga menjamin bahwa perbaikan dalam Indeks Kemiskinan Multidimensi bersifat permanen.
