Krisis Individualisme Liberal dan Urgensi Global

Globalisasi telah mengubah lanskap politik dan sosial dunia secara fundamental, menciptakan keterkaitan yang intensif dan tak terhindarkan antarnegara. Dalam “rumah bersama” global ini, keputusan yang diambil di satu wilayah dapat menimbulkan konsekuensi mendalam di wilayah lain, mulai dari perubahan iklim yang memengaruhi komunitas jauh hingga kebijakan ekonomi yang mengguncang pasar global.

Namun, tata kelola internasional tradisional sering kali didasarkan pada model kedaulatan Westphalian yang memprioritaskan otonomi negara dan kerangka filosofis individualisme liberal. Model ini menunjukkan kelemahan yang signifikan dalam menghadapi tantangan yang melekat pada sifat kolektif, seperti pandemi global, perubahan iklim, dan perlindungan warisan kolektif. Kegagalan ini memicu kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali fondasi etika dan politik global.

Komunitarisme Global (KG) muncul sebagai respons filosofis terhadap keterbatasan model liberal yang terlalu individualistik dalam menangani masalah kolektif. Ideologi ini menganjurkan pengakuan terhadap pentingnya komunitas, tanggung jawab bersama, dan etika kolektif yang harus melampaui batas-batas negara. KG menyediakan kerangka kerja di mana individu dan negara dipahami sebagai entitas yang dibentuk oleh ikatan relasional, dan kewajiban moral timbul dari keanggotaan dalam komunitas yang lebih besar—yaitu umat manusia. KG bukan sekadar deskripsi sosiologis, melainkan sebuah tuntutan normatif untuk bertindak berdasarkan apa yang seharusnya dilakukan demi kebaikan bersama global, bukan hanya apa yang secara transaksional bisa dilakukan.

Tujuan, Ruang Lingkup, dan Metodologi Kajian

Laporan pakar ini bertujuan untuk mengulas fondasi filosofis Komunitarisme Global, menganalisis pilar-pilar utamanya—yaitu komunitas, tanggung jawab bersama, dan etika kolektif—serta mendemonstrasikan manifestasi ideologi ini dalam praktik kebijakan internasional. Secara spesifik, laporan ini akan menyoroti relevansi Komunitarisme Global sebagai dasar bagi kerja sama dalam dua isu kontemporer yang kritis: penanggulangan pandemi global dan perlindungan warisan budaya dunia.

Metodologi yang digunakan adalah pendekatan analitis-normatif, yang menghubungkan teori politik (terutama kritik komunitaris terhadap individualisme liberal) dengan prinsip-prinsip hukum dan kebijakan internasional yang ada, seperti prinsip Common but Differentiated Responsibilities (CBDR) dan kerangka Global Ethics.

Fondasi Filosofis: Kritik Komunitaris terhadap Otonomi Global

Ontologi Komunitas: Diri yang Relasional Melawan Unencumbered Self

Komunitarisme modern mendapatkan momentum pada tahun 1980-an sebagai gerakan kritik akademis terhadap dua aliran filosofis utama: liberalisme kontemporer dan libertarianisme. Kritik ini diarahkan terutama pada teori keadilan John Rawls, yang memandang individu sebagai entitas rasional yang membuat pilihan tentang keadilan di balik “selubung ketidaktahuan,” terpisah dari konteks sosial.

Para kritikus komunitaris, termasuk tokoh seperti Michael Sandel dan Charles Taylor, berpendapat bahwa asumsi liberal tersebut secara fundamental salah memahami sifat manusia. Mereka menentang konsep unencumbered self (diri yang tidak terbebani atau otonom penuh) yang diusung oleh liberalisme. Sebaliknya, Komunitarisme berpendapat bahwa identitas dan kepribadian seseorang sebagian besar dibentuk oleh berbagai jenis komunitas konstitutif atau hubungan sosial. Sama seperti singa yang hidup dalam kelompok sosial, manusia menjalani sebagian besar hidup mereka dalam komunitas, dan komunitas inilah yang membentuk penilaian moral dan politik seseorang.

Karena identitas dibentuk oleh komunitas, Komunitarisme Global menuntut adanya pengakuan atas prioritas Kebaikan Bersama (Common Good) di atas hak-hak individu yang berdiri sendiri. Kewajiban untuk mendukung dan memelihara komunitas yang memberikan makna bagi kehidupan adalah kewajiban yang kuat. Konsekuensi dari ontologi relasional ini adalah pergeseran sumber kewajiban. Jika liberalisme mendasarkan kewajiban pada kontrak sosial rasional, Komunitarisme Global mendasarkannya pada loyalitas yang diperluas dan pengakuan bahwa komunitas adalah prasyarat bagi adanya hak.

Dalam skala global, pergeseran ini berarti bahwa kewajiban moral untuk merespons masalah global (seperti perang, kelaparan, atau represi politik) timbul bukan dari perjanjian hukum transaksional yang dingin, melainkan dari pengakuan yang lebih mendalam bahwa kita semua adalah anggota dari komunitas yang paling inklusif: umat manusia. Pengakuan interkoneksi ini adalah prasyarat yang diperlukan untuk menghasilkan transformasi moral dan meningkatkan kepekaan dalam merespons masalah global.

Ekstrapolasi Etika Bersama Global: Menjembatani Pluralitas

Komunitarisme Global membutuhkan kerangka Etika Global—prinsip moral yang dapat diterapkan secara universal di berbagai bangsa dan masyarakat, terlepas dari konteks budaya atau agama spesifik. Etika global menjadi semakin penting sejak tahun 1990-an karena peningkatan interaksi yang diakibatkan oleh globalisasi.

Dalam konteks ini, Komunitarisme Global yang sukses harus mengadopsi pendekatan Komunitarisme Responsif. Pendekatan ini berupaya menyeimbangkan tuntutan universalisme dengan pengakuan akan keragaman komunitas. Universalism menegaskan bahwa semua manusia berbagi hak dan nilai inheren, yang berfungsi sebagai tolok ukur moral yang harus diterapkan secara konsisten. Namun, kritik Komunitaris tradisional berargumen bahwa kerangka etika sangat berakar pada latar belakang budaya spesifik, membuat penerapan universal menjadi sulit.

Jika dibiarkan absolut, Universalism dapat berisiko memaksakan “satu kebenaran moral” dan menganggap segala sesuatu yang menolaknya sebagai sesuatu yang dapat diabaikan. Di sisi lain, Komunitarisme tradisional berisiko memaksakan “tradisi yang opresif”. Oleh karena itu, Komunitarisme Global harus mencari “aliansi yang gelisah” (uneasy allies) antara klaim universalitas dan tradisi. Misalnya, model capabilities yang diadvokasi oleh pemikir seperti Martha Nussbaum dan Amartya Sen mengidentifikasi kemampuan manusia esensial yang harus dilindungi secara universal. Kerangka universal ini harus dihormati untuk mencegah tradisi lokal menjadi tiran. Pada saat yang sama, tradisi lokal berfungsi untuk memberikan konteks yang berarti bagi penerapan nilai-nilai tersebut, memastikan bahwa keadilan substantif tercapai.

Tantangan utama yang dihadapi Komunitarisme Global adalah: bagaimana memperluas seperangkat nilai moral yang diinginkan ke skala global tanpa harus bergantung sepenuhnya pada, atau sebaliknya, menghancurkan, artefak institusional paling sukses dari abad-abad terakhir, yaitu negara-bangsa. Komunitarisme Global mengimplikasikan bahwa negara harus bertindak sebagai agen untuk mewujudkan kewajiban global yang lebih tinggi, bukan hanya sebagai penjaga otonomi individu.

Table 1. Perbandingan Filosofis: Komunitarisme Global vs. Liberalisme Klasik

Aspek Filosofis Liberalisme Klasik Komunitarisme Global
Konsep Diri Atomistik, Unencumbered Self Relasional, Dibentuk oleh Ikatan Sosial
Prioritas Moral Hak Individu, Otonomi Kebaikan Bersama (Common Good), Kewajiban Kolektif
Sumber Kewajiban Kontrak Rasional, Hak Alami Loyalitas, Tradisi, Interkoneksi Global (Kemanusiaan)
Kerangka Etika Universalism Abstrak Etika Global yang Kontekstual (Aliansi Universalism & Komunitarisme)

Pilar Institusional: Prinsip Tanggung Jawab Bersama yang Terdeferensiasi

Evolusi Tanggung Jawab Lintas Batas (Beyond Delictual Liability)

Dalam hukum internasional tradisional, pertanggungjawaban negara sering kali berfokus pada Delictual Liability—tanggung jawab terhadap perbuatan melawan hukum atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional dan menimbulkan kerugian bagi negara lain. Meskipun konsep ini penting, masalah global kontemporer (seperti kabut asap lintas batas atau emisi gas rumah kaca) menuntut kerangka tanggung jawab yang melampaui kerugian langsung dan terfokus pada kewajiban preventif kolektif.

Prinsip hukum internasional kini mengakui kewajiban semua negara sebagai subjek hukum internasional untuk menjaga dan memelihara kebaikan global, seperti mencegah pencemaran udara yang merugikan negara lain. Hal ini mencerminkan penerimaan terhadap etika kolektif di mana masalah dan tujuan adalah milik bersama. Karena polusi dan ancaman lingkungan melampaui batas-batas politik, perlindungan lingkungan hanya dapat dicapai melalui kerja sama yang terstruktur.

CBDR: Manifestasi Keadilan Komunitaris Global

Prinsip PBB mengenai Tanggung Jawab Bersama namun Berbeda (Common but Differentiated Responsibilities atau CBDR) adalah manifestasi institusional yang paling eksplisit dari etika kolektif dan keadilan komunitaris dalam kerja sama global. Prinsip ini diabadikan dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 1992.

  1. Aspek ‘Bersama’ (Common):Aspek “bersama” mencerminkan kewajiban kolektif yang universal. Prinsip CBDR menegaskan bahwa semua negara memiliki kewajiban bersama untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Pasal 3, paragraf 1 UNFCCC secara eksplisit menyatakan bahwa Para Pihak harus melindungi sistem iklim “untuk kepentingan generasi sekarang dan masa depan umat manusia”. Fokus pada generasi masa depan ini memperkuat gagasan Komunitarisme Global, yang memandang komunitas tidak hanya dalam konteks geografis atau kontemporer, tetapi juga dalam dimensi trans-generasional, yang memiliki kewajiban jangka panjang terhadap kebaikan global.
  2. Aspek ‘Berbeda’ (Differentiated):Aspek diferensiasi adalah inti dari keadilan komunitaris, karena prinsip ini menolak tanggung jawab yang setara di antara semua negara. Diferensiasi didasarkan pada dua jenis keadilan:
    • Keadilan Korektif (Berdasarkan Kontribusi Historis):CBDR didasarkan pada prinsip polluter-pays, yang menghubungkan industrialisasi dengan perubahan iklim. Negara-negara yang memiliki kontribusi historis lebih besar terhadap degradasi lingkungan diwajibkan untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mitigasi. Kewajiban ini muncul dari tindakan masa lalu yang menguntungkan mereka tetapi merugikan komunitas global.
    • Keadilan Distributif (Berdasarkan Kapasitas):Prinsip ini mengakui disparitas pembangunan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Oleh karena itu, kewajiban harus disesuaikan dengan kemampuan masing-masing negara. UNFCCC menuntut agar negara-negara maju memimpin dalam memerangi perubahan iklim dan efek buruknya.

CBDR secara eksplisit bertujuan untuk “membawa kesetaraan substantif dalam kerangka keadilan”. Ini merupakan penolakan terhadap kesetaraan formal (di mana setiap negara, kaya atau miskin, bertanggung jawab sama) demi kesetaraan material (di mana upaya disesuaikan dengan kemampuan dan kesalahan historis). Etika Komunitarisme Global menuntut implementasi CBDR yang diperkuat, sejalan dengan semangat Protokol Kyoto, yang menekankan bahwa negara-negara maju harus mengambil langkah-langkah signifikan untuk mengurangi emisi. Kegagalan dalam implementasi yang memadai dapat menyebabkan negara berkembang tetap menanggung beban kinerja, sementara negara maju hanya berfokus pada tugas bantuan, yang pada akhirnya akan menghambat tujuan kolektif.

Table 2. CBDR: Operasionalisasi Keadilan Komunitaris Global

Elemen Keadilan Komunitaris Manifestasi dalam CBDR (UNFCCC) Implikasi Moral/Kebijakan
Kewajiban Kolektif Dasar Kewajiban Bersama untuk melindungi kebaikan global (iklim, kesehatan) karena polusi melampaui batas. Mendorong kerja sama yang tidak opsional dan meluas.
Keadilan Korektif (Historis) Prinsip Polluter-Pays: Tanggung jawab didasarkan pada kontribusi historis terhadap degradasi. Mewajibkan negara-negara yang diuntungkan dari industrialisasi awal untuk memikul beban biaya mitigasi terbesar.
Keadilan Distributif (Kapasitas) Tanggung Jawab yang Berbeda berdasarkan kemampuan. Negara maju harus memimpin. Menjamin akses adil terhadap sumber daya dan manfaat, bertujuan mencapai kesetaraan substantif.

Studi Kasus I: Komunitarisme dalam Tata Kelola Kesehatan Global (Pandemi)

Krisis Kesehatan Global sebagai Aksi Kolektif yang Diperlukan

Pandemi global, seperti yang diuji oleh COVID-19, secara empiris membuktikan bahwa kesehatan adalah kebaikan global bersama yang tidak dapat diproteksi secara terpisah oleh satu negara. Ketika krisis melanda, respons yang terisolasi, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dikeluarkan pemerintah Indonesia pada awal pandemi, hanya dapat menjadi solusi jangka pendek yang mengandaikan perlunya jaminan logistik memadai bagi masyarakat. Namun, ketahanan terhadap pandemi dalam jangka panjang menuntut aksi kolektif transnasional.

Sejak tahun 2020, kerja sama kesehatan global telah menunjukkan pergeseran paradigma. Uni Eropa dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah bekerja sama dalam instrumen yang bertujuan untuk meningkatkan pencegahan dan kesiapan. Kerja sama ini secara eksplisit menghubungkan isu kesehatan global dengan isu-isu yang lebih luas seperti pembangunan, hak asasi manusia, perubahan iklim, dan manajemen krisis. Perluasan lingkup tanggung jawab ini sejalan dengan etos Komunitarisme Global yang mengakui bahwa kebaikan bersama tidak dapat dipisahkan menjadi domain-domain yang terpisah.

Pilar One Health dan Komunitarisme Ekologis

Perjanjian Pandemi WHO, yang diadopsi pada Mei 2025, menandai era baru kerja sama kesehatan global. Salah satu prinsip utama yang diabadikan dalam perjanjian tersebut adalah One Health. Prinsip One Health adalah ide mendesak yang mengakui bahwa kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan semuanya berkontribusi terhadap risiko pandemi. Hal ini didorong oleh kasus-kasus pandemi sebelumnya (SARS, H1N1, Ebola, COVID-19) yang muncul dari penularan zoonosis dari inang hewan.

One Health adalah manifestasi Komunitarisme Global yang paling luas, karena mendefinisikan komunitas global tidak hanya sebagai agregat negara atau manusia, tetapi sebagai sistem kehidupan ekologis yang saling bergantung. Perjanjian tersebut mewajibkan negara-negara pihak untuk berkomitmen pada strategi One Health yang komprehensif, termasuk mengatasi pendorong pandemi seperti deforestasi, penggunaan antibiotik berlebihan, dan praktik pasar hewan liar. Kewajiban baru ini menekankan bahwa kerentanan di satu area lingkungan menjadi kerentanan bagi seluruh Komunitas Global.

Jika Komunitarisme menuntut pemeliharaan komunitas yang memberikan makna dan kelangsungan hidup, dan kelangsungan hidup global bergantung pada keseimbangan ekologis yang diakui oleh One Health, maka Komunitarisme Global memberikan dasar moral yang kuat bagi regulasi praktik lingkungan domestik yang sebelumnya dilindungi oleh kedaulatan negara. Hal ini juga menuntut aliran informasi dan data ilmiah yang bebas antar negara sebagai kunci untuk deteksi dan respons yang tepat waktu.

Keadilan Akses: Sistem Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS)

Implementasi keadilan komunitaris dalam tata kelola kesehatan tercermin dalam Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS) System, yang dimaksudkan untuk memastikan akses yang setara terhadap materi dan manfaat terkait pandemi.

Keberhasilan sistem PABS secara kritis bergantung pada formalisasi prinsip Tanggung Jawab Bersama namun Berbeda (CBDR) ke dalam negosiasi. Pengalaman pandemi sebelumnya menunjukkan adanya penimbunan sumber daya, terutama vaksin, oleh negara-negara kaya. Dengan mengintegrasikan CBDR, sistem ini memastikan bahwa negara-negara dengan kemampuan penelitian dan pengembangan (R&D) yang lebih maju memiliki tanggung jawab yang berbeda untuk berbagi informasi dan manfaat secara setara. Hal ini merupakan aplikasi langsung dari prinsip keadilan distributif komunitaris, di mana kapasitas harus menentukan tingkat kewajiban untuk menjamin kebaikan bersama global.

Studi Kasus II: Perlindungan Warisan Budaya Dunia

Warisan Budaya sebagai Identitas Kolektif Kemanusiaan

Perlindungan warisan budaya global adalah domain di mana Komunitarisme Global menemukan justifikasi moral yang mendalam. Warisan budaya, baik fisik (seperti situs) maupun takbenda (seperti tradisi), berfungsi sebagai koneksi esensial yang mengikat umat manusia ke masa lalu bersama dan nilai-nilai umum. Secara filosofis, benda-benda budaya ini secara literal membentuk identitas kolektif.

Perdebatan dalam hukum warisan budaya sering kali menjadi arena ketegangan antara pandangan Liberal (yang dapat memprioritaskan hak individu, kepemilikan, atau pasar atas benda seni) dan pandangan Komunitaris (yang menekankan kepentingan kolektif masyarakat atau, dalam hal ini, umat manusia secara keseluruhan). Komunitarisme Global memberikan dasar bagi hukum untuk memprioritaskan kepentingan kolektif transnasional.

Menginstitusionalkan Kewajiban Kolektif: Kampanye UNESCO #SharingHumanity

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) telah secara eksplisit mengadopsi etos Komunitaris. Visi inti UNESCO, yang mendasari tindakannya mulai dari pelestarian landmark hingga advokasi pendidikan berkualitas, berpusat pada ‘Sharing Humanity’. Kampanye #SharingHumanity yang dilakukan oleh UNESCO secara tegas menyoroti nilai-nilai bersama, keindahan warisan budaya kolektif, dan upaya bersama untuk mengatasi tantangan global.

Kampanye ini memanifestasikan tanggung jawab kolektif dalam empat domain utama: melindungi lingkungan, mempromosikan budaya (melalui pelestarian warisan), menumbuhkan inklusi dan pemahaman bersama, serta memajukan sains dan teknologi terbuka untuk kemaslahatan umat manusia.

Kewajiban dalam pelestarian warisan budaya melampaui kepentingan kontemporer negara berdaulat. Ini adalah kewajiban trans-generasional—suatu keharusan untuk melanjutkan warisan (legacy) dan memainkan peran dalam ‘Sharing Humanity’ bagi generasi mendatang. Jika Komunitarisme menuntut individu untuk menghormati ikatan dan tradisi yang membentuk identitas mereka, maka di tingkat global, ini diterjemahkan menjadi kewajiban moral yang mengikat untuk melindungi warisan yang merupakan milik bersama umat manusia. Kegagalan melestarikan Situs Warisan Dunia oleh satu negara dianggap sebagai kegagalan moral terhadap komunitas global yang lebih luas, jauh melampaui kerugian material pada entitas tunggal.

Tantangan, Kritik, dan Prospek Ideologi Komunitarisme Global

Konflik dan Kritik terhadap Penerapan Komunitarisme Global

Meskipun Komunitarisme Global menawarkan kerangka etika yang kuat, implementasinya menghadapi kritik signifikan.

  1. Ancaman Relativisme Moral:Salah satu keberatan utama adalah bahwa penekanan komunitaris pada konteks dan nilai-nilai komunitas dapat menjerumuskan ke dalam relativisme moral. Hal ini dikhawatirkan dapat membenarkan nilai-nilai lokal yang opresif atau merestui status quo yang tidak adil dalam politik internasional. Perdebatan yang sedang berlangsung tentang hak asasi manusia universal vs. kekhasan budaya menjadi contoh nyata dari ketegangan ini. Komunitarisme Global harus secara eksplisit menolak relativisme ini dengan mengintegrasikan kerangka etika universal yang berfungsi sebagai penjaga terhadap tirani tradisi.
  2. Kooptasi Neoliberal:Kritik lain menunjukkan adanya hubungan erat antara Komunitarisme dan neoliberalisme. Ada kekhawatiran bahwa fokus Komunitarisme pada social capital dan tanggung jawab komunitas dapat disalahgunakan untuk membongkar institusi negara kesejahteraan. Dengan mengalihkan tanggung jawab sosial kepada “sektor ketiga” atau komunitas sukarela, negara dapat menghindari kewajiban penyediaan hak-hak positif (seperti jaminan kesehatan universal atau jaminan logistik ), padahal Komunitarisme Global yang sejati menuntut dukungan negara yang kuat untuk menopang kewajiban kolektif.
  3. Gesekan dengan Kedaulatan Negara:Upaya untuk memperluas nilai-nilai moral ke skala global dan menerapkan etika bersama selalu berbenturan dengan negara-bangsa, yang masih menjadi aktor politik paling sukses dalam beberapa abad terakhir. Tantangan institusional yang mendasar adalah bagaimana memperluas seperangkat nilai-nilai yang diinginkan ini tanpa melanggar kedaulatan atau membuat negara merasa terancam. Ini membutuhkan kerangka kerja, seperti CBDR, yang mengakui kedaulatan sekaligus mendiferensiasikan kewajiban.

Prospek: Kerangka Etika untuk Aksi Kolektif

Terlepas dari tantangan tersebut, Komunitarisme Global memberikan landasan etika yang diperlukan dan adaptif untuk mengatasi kompleksitas abad ke-21.

Komunitarisme Global sangat relevan dalam mendorong Pendidikan Kewarganegaraan Global (Global Citizenship), yang menjadi prioritas penting di seluruh dunia. Pendidikan ini mengalihkan fokus dari hak-hak individual semata ke pengembangan tanggung jawab personal, partisipasi, dan orientasi keadilan, yang merupakan inti dari visi warga negara global yang baik.

Tujuan akhir ideologi ini adalah menumbuhkan sensitivitas moral yang diperluas. Dengan menyadari pengaruh kepekaan moral ini, masyarakat dapat mulai memandang diri mereka sebagai anggota umat manusia, komunitas yang paling inklusif. Peningkatan pengakuan interkoneksi ini adalah komponen yang diperlukan untuk merespons masalah sosial global yang kompleks dan mendesak, seperti perang, kelaparan, dan krisis iklim.

Dengan mengalihkan fokus dari negosiasi transaksional berbasis kepentingan (khas pendekatan liberal) ke pengakuan kewajiban moral yang mengikat secara mendalam, Komunitarisme Global menuntut pemimpin global untuk bertindak berdasarkan apa yang seharusnya mereka lakukan untuk kebaikan bersama global, daripada hanya mempertimbangkan apa yang secara politik memungkinkan untuk dilakukan.

Kesimpulan

Komunitarisme Global adalah kerangka etika transnasional yang menawarkan korektif yang sangat dibutuhkan terhadap individualisme liberal yang dominan dalam tata kelola internasional. Ideologi ini didasarkan pada tiga pilar utama: ontologi diri yang relasional (komunitas), kewajiban moral yang mendalam terhadap kebaikan bersama, dan Etika Global yang menyeimbangkan universalitas dengan konteks.

Manifestasi paling kuat dari Komunitarisme Global dalam hukum internasional kontemporer adalah prinsip Common but Differentiated Responsibilities (CBDR), yang menginstitusionalisasikan keadilan korektif dan distributif berdasarkan sejarah kontribusi dan kapasitas. Kerangka ini telah terbukti fundamental dalam kerja sama global, baik dalam merespons ancaman fisik (pandemi global melalui prinsip One Health dan PABS) maupun dalam memelihara identitas kolektif kemanusiaan (melalui pelestarian warisan budaya UNESCO).

Untuk mewujudkan potensi penuh dari Komunitarisme Global dalam mengatasi tantangan abad ke-21, laporan ini merekomendasikan langkah-langkah kebijakan strategis berikut:

  1. Penguatan Implementasi CBDR Lintas Sektor:Negara-negara maju harus didesak untuk memformalistik dan mengimplementasikan prinsip CBDR secara penuh dan substansial. Ini tidak hanya mencakup lingkungan dan iklim, tetapi juga secara eksplisit diintegrasikan ke dalam semua perjanjian tata kelola global baru—terutama dalam mekanisme akses dan pembagian manfaat (PABS) WHO—untuk menjamin kesetaraan substantif dan distribusi beban kinerja yang adil.
  2. Integrasi Etika One Healthdalam Kebijakan Domestik: Kebijakan pembangunan, ekonomi, dan kesehatan domestik harus diintegrasikan sepenuhnya dengan kerangka One Health, mengakui interkoneksi ekologis. Pemerintah harus menganggap regulasi pendorong pandemi (seperti deforestasi dan pasar hewan liar) sebagai kewajiban kolektif terhadap komunitas global, bukan hanya pertimbangan kedaulatan lokal.
  3. Mendorong Investasi dalam Loyalitas Global:Sumber daya global harus dimobilisasi secara signifikan untuk program-program yang mempromosikan Sharing Humanity, seperti yang dipelopori oleh UNESCO. Investasi ini harus diperlakukan sebagai kewajiban moral untuk memelihara warisan trans-generasional dan sebagai penangkal fragmentasi identitas yang dapat melemahkan aksi kolektif global.
  4. Mewajibkan Etika Global dalam Pendidikan:Mendorong pendidikan kewarganegaraan yang berorientasi pada tanggung jawab global, menumbuhkan kepekaan moral individu untuk memandang diri mereka sebagai anggota komunitas umat manusia, prasyarat yang diperlukan untuk kerja sama yang efektif dalam menghadapi krisis.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 60 = 62
Powered by MathCaptcha