Dekonstruksi Tatanan Global Pasca-Neoliberal
Dalam dua dekade terakhir, tatanan ekonomi global yang didominasi oleh prinsip-prinsip liberalisme perdagangan dan keuangan—sering disebut Konsensus Washington—telah menghadapi tantangan ideologis yang signifikan. Globalisasi neoliberal, yang menjanjikan efisiensi maksimal melalui pasar terbuka, privatisasi, dan deregulasi, dinilai gagal dalam aspek distribusi kekayaan dan menciptakan kerentanan struktural yang masif, terutama terungkap selama krisis keuangan global tahun 2008 dan pandemi COVID-19. Kegagalan ini, ditambah dengan meningkatnya populisme politik di banyak negara, telah memicu ketidakpercayaan terhadap institusi multilateral dan mendorong munculnya ideologi yang mengutamakan kepentingan nasional di atas segalanya: Nasionalisme Ekonomi Baru (NEN).
Definisi dan Karakteristik Nasionalisme Ekonomi Baru (NEN)
Nasionalisme Ekonomi Baru bukanlah sekadar proteksionisme klasik, melainkan seperangkat kebijakan dan filosofi yang secara sadar menentang asumsi fundamental globalisasi neoliberal. Inti ideologis dari NEN adalah prioritas mutlak kepentingan nasional, termasuk ketahanan ekonomi (economic resilience) dan kedaulatan, yang secara tegas diletakkan di atas pertimbangan efisiensi global atau komitmen pasar bebas yang tidak mengikat.
NEN ditopang oleh tiga pilar kebijakan utama:
- Proteksionisme Selektif: Penggunaan instrumen seperti tarif, kuota, dan subsidi yang ditargetkan untuk melindungi industri domestik yang dianggap strategis dari persaingan internasional yang tidak adil atau dominasi asing.
- Kontrol Strategis atas Sumber Daya Alam (SDA): Pemanfaatan kedaulatan atas SDA untuk memaksakan transformasi ekonomi (seperti hilirisasi) guna meningkatkan nilai tambah yang tercipta di dalam negeri.
- Pembatasan Kepemilikan Modal Asing: Implementasi kebijakan yang membatasi dominasi kepemilikan asing di sektor-sektor vital, sering kali dengan tujuan memperkuat kendali nasional atas aset-aset strategis.
Tujuan dan Peta Jalan Analisis Laporan
Laporan analisis strategis ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif ideologi NEN, menganalisis instrumen kebijakannya, dan mengevaluasi dampak substansialnya terhadap dinamika perjanjian perdagangan internasional dan arus investasi asing langsung (FDI) global. Analisis ini akan bergerak dari pergeseran filosofis di pusat-pusat kekuatan ekonomi dunia hingga implikasi praktis bagi negara-negara berkembang.
Pondasi Ideologis Nasionalisme Ekonomi Baru: Transisi dari Pasar Bebas ke Kedaulatan Ekonomi
Pergeseran Paradigma: Dari Efisiensi Global ke Keamanan dan Kedaulatan
Karakteristik paling signifikan dari NEN adalah pergeseran fokus kebijakan ekonomi dari pencarian efisiensi global (biaya terendah) menjadi penekanan pada keamanan dan ketahanan (security and resilience). Dalam doktrin NEN, perdagangan bukan lagi sekadar kegiatan komersial yang dipisahkan dari geopolitik; perdagangan adalah perpanjangan dari kebijakan keamanan nasional.
Perubahan ini mendapatkan legitimasi ideologis yang kuat ketika negara-negara yang secara historis menjadi arsitek dan simbol liberalisme perdagangan—yaitu Amerika Serikat dan Uni Eropa—mulai secara agresif menegakkan pagar proteksi. Kedua kekuatan ini kini menerapkan tarif, kuota, dan subsidi industri, secara eksplisit atas nama kedaulatan ekonomi dan keamanan nasional.1 Misalnya, ketika Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyatakan bahwa “Keamanan ekonomi adalah fondasi baru dari kedaulatan kita” atau ketika AS menaikkan tarif bea masuk baja berdasarkan Section 232, klaim-klaim ini menandai transisi formal dari era pasar bebas menuju lingkungan managed trade atau perdagangan yang dikelola.
Tindakan proteksionis oleh negara-negara maju ini memberikan justifikasi kuat bagi negara berkembang. Jika pusat-pusat kekuatan dunia kini memprioritaskan security over efficiency, maka negara-negara berkembang memiliki landasan kebijakan yang kuat untuk mengadopsi langkah-langkah proteksionis serupa—seperti kebijakan hilirisasi—tanpa menghadapi tekanan ideologis global yang sama seperti di masa lalu. Pergeseran ini menunjukkan bahwa NEN telah bertransformasi dari sekadar oposisi menjadi konsensus kebijakan baru yang memandu tatanan perdagangan global.
NEN vs. Globalisasi Neoliberal: Kontras Filosofis dan Implikasi Kebijakan
Kontras filosofis antara NEN dan Globalisasi Neoliberal bersifat fundamental. Globalisasi Neoliberal melihat negara sebagai fasilitator pasar yang minim intervensi, sedangkan NEN menempatkan negara sebagai pemain utama yang aktif mengarahkan alokasi sumber daya dan investasi untuk mencapai tujuan strategis nasional.
Tujuan utama dari Globalisasi Neoliberal adalah optimalisasi efisiensi rantai pasok dan pertumbuhan PDB yang didorong oleh FDI tak bersyarat. Sebaliknya, tujuan NEN adalah kemandirian industri, penciptaan nilai tambah domestik, dan ketahanan terhadap guncangan eksternal. Perbedaan ini tercermin dalam instrumen kebijakan yang digunakan, seperti yang dirangkum dalam tabel perbandingan berikut:
Perbandingan Prinsip Globalisasi Neoliberal vs. Nasionalisme Ekonomi Baru
| Parameter Kunci | Globalisasi Neoliberal | Nasionalisme Ekonomi Baru (NEN) |
| Peran Negara | Minimalis (Fasilitator, regulator minimal) | Intervensionis (Pengarah, pengawas, investor strategis) |
| Tujuan Utama | Efisiensi, Liberalisasi, Pertumbuhan PDB Global | Kedaulatan Ekonomi, Ketahanan, Nilai Tambah Domestik |
| Pendekatan Perdagangan | Pasar Bebas, Penurunan Tarif (WTO) | Proteksionisme Selektif, Managed Trade, Resiprokalitas |
| Peran Modal Asing | Tidak Bersyarat (Unconditional FDI) | Bersyarat (Conditional FDI), Kontrol Strategis |
| Fokus Sumber Daya | Eksploitasi berbasis komparatif | Hilirisasi dan Transfer Teknologi |
Manifestasi NEN di Pusat Ekonomi Global
Manifestasi NEN di negara-negara maju memiliki konsekuensi langsung bagi ekonomi global dan negara berkembang. Ketika negara-negara seperti AS dan UE menerapkan kebijakan proteksionis untuk melindungi industri mereka, hal ini secara kolektif menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
Analisis menunjukkan bahwa gelombang proteksionisme dan konflik geopolitik, seperti perang dagang lanjutan antara negara-negara besar dan ketegangan di Timur Tengah, berkontribusi pada perlambatan ekonomi global. Perlambatan ini kemudian menghasilkan efek domino, menekan pendapatan negara, meningkatkan belanja yang tidak direncanakan, dan menaikkan cicilan utang nasional di negara berkembang karena depresiasi mata uang dan lonjakan suku bunga surat utang negara (SBN). Dengan demikian, meskipun NEN bertujuan untuk kemandirian, perlambatan yang disebabkannya di tingkat global justru meningkatkan kerentanan fiskal domestik.
Pilar Kebijakan NEN: Instrumen Proteksi Domestik dan Kontrol Sumber Daya
Strategi Proteksi Industri Domestik (Tarif, Kuota, Subsidi)
Strategi proteksi industri domestik dalam kerangka NEN memiliki tujuan ganda: melindungi pasar dalam negeri dan pada saat yang sama memperkuat daya saing industri agar mampu menghasilkan ekspor bernilai tambah. Instrumen yang digunakan dalam kebijakan proteksi ini mencakup penetapan tarif impor yang tinggi, pengenaan kuota impor untuk membatasi volume produk asing, serta pemberian subsidi atau insentif fiskal kepada industri lokal.
Namun, implementasi proteksionisme menghadapi dilema kritis. Meskipun kebijakan proteksi menawarkan kelebihan seperti kemandirian dan peluang pengembangan industri substitusi impor 7, terdapat risiko inefisiensi yang signifikan. Jika proteksi diterapkan tanpa batasan waktu atau tanpa disertai dengan tekanan yang cukup bagi industri untuk berinovasi dan meningkatkan efisiensi, industri domestik dapat menjadi “manja” dan kurang kompetitif. Industri yang tidak didorong untuk beroperasi pada standar efisiensi global akan membebankan biaya yang lebih tinggi kepada konsumen dan APBN melalui subsidi berkelanjutan. Oleh karena itu, kesuksesan NEN bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menjadikan proteksi sebagai fase transisi strategis, bukan sebagai tujuan akhir permanen, yang harus diikuti oleh reformasi struktural yang ketat.
Kontrol Sumber Daya Alam (SDA) melalui Kebijakan Hilirisasi
Kontrol atas SDA adalah inti dari NEN. Ideologinya memandang SDA bukan sebagai komoditas yang dijual mentah, melainkan sebagai fondasi untuk mewujudkan transformasi ekonomi nasional. Kebijakan hilirisasi adalah mekanisme utama NEN untuk mencapai tujuan ini.
Melalui hilirisasi, seperti yang diterapkan pada industri nikel, pemerintah secara efektif memaksa transfer nilai dari rantai pasok global kembali ke yurisdiksi domestik. Dengan melarang ekspor bahan mentah, negara menaikkan biaya produksi di luar negeri dan memaksa perusahaan global, yang ingin mengakses bahan baku tersebut, untuk berinvestasi dalam fasilitas pengolahan di dalam negeri. Langkah ini didorong untuk meningkatkan daya saing nasional dan menciptakan multiplier effect yang signifikan, seperti penciptaan lapangan kerja, transfer teknologi, dan pengembangan industri pendukung. Kebijakan ini adalah cara proaktif negara untuk mendikte syarat-syarat investasi dan memastikan bahwa keuntungan (profit) dialokasikan secara lokal.
Pengendalian Kepemilikan dan Modal Asing (Kepemilikan Strategis)
Nasionalisme Ekonomi berupaya mengendalikan dominasi kepemilikan asing, terutama di sektor-sektor yang dianggap strategis (telekomunikasi, keuangan, dan SDA). Strategi pengendalian dominasi asing ini mencakup berbagai instrumen, seperti penerapan pajak ekspor pada tambang mentah dan pembatasan izin impor, pembatasan kepemilikan asing dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan bahkan pembelian kembali saham yang dimiliki perusahaan asing di bidang operator telekomunikasi.
Di sisi lain, pengendalian kepemilikan asing juga terkait erat dengan integritas fiskal. Perusahaan multinasional memiliki peluang untuk memanipulasi harga transfer (transfer pricing) dalam transaksi pihak berelasi untuk memindahkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah, sehingga berdampak pada laba perusahaan. Namun, kebijakan NEN harus berhati-hati dalam pembatasan kepemilikan total. Beberapa temuan menunjukkan adanya kontradiksi menarik: kepemilikan asing yang lebih tinggi dapat berfungsi sebagai pengawas yang memperkuat tata kelola perusahaan, yang pada gilirannya dapat menurunkan praktik penghindaran pajak. Oleh karena itu, fokus kebijakan NEN seharusnya adalah membedakan antara ‘FDI eksploitatif’ (yang berorientasi pada penghindaran pajak) dan ‘FDI berkualitas tinggi’ (yang membawa tata kelola yang baik dan teknologi), serta memperketat pengawasan harga transfer, alih-alih memberlakukan pembatasan kepemilikan secara menyeluruh.
Dampak NEN terhadap Arus Perdagangan Internasional
Erosi Sistem Multilateral dan Fragmentasi Aturan Global
Gelombang NEN secara inheren menciptakan tekanan dan erosi terhadap sistem perdagangan multilateral yang diwakili oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Ketika negara-negara menerapkan larangan ekspor (hilirisasi) atau memberikan subsidi besar-besaran untuk industri domestik, hal ini sering kali bertentangan dengan komitmen WTO dan memicu sengketa dagang.
Meskipun demikian, WTO masih berfungsi penting dengan menyediakan platform untuk negosiasi, menetapkan aturan yang jelas dan konsisten, dan memfasilitasi penyelesaian perselisihan, yang memberikan prediktabilitas yang diperlukan untuk merencanakan kebijakan ekonomi jangka panjang. Namun, di tingkat regional, terdapat konflik antara komitmen perjanjian perdagangan bebas (FTA) seperti ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dan kebutuhan untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). UMKM, misalnya, sering kesulitan mendapatkan modal untuk bersaing, sehingga perlindungan hukum nasional yang memadai diperlukan untuk menjembatani perbedaan kepentingan ini. NEN menyoroti bahwa perlindungan harus dipertahankan meskipun terikat oleh perjanjian global.
Analisis Kasus: Perang Dagang AS-Tiongkok dan Dinamika Trade Diversion
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok adalah studi kasus utama dari manifestasi NEN di tingkat global. Konflik ini, yang melibatkan pengenaan tarif timbal balik, menghasilkan dinamika trade diversion yang menciptakan peluang sekaligus kerentanan bagi negara-negara ketiga.
Peluang Strategis: Konflik perdagangan menciptakan peluang bagi negara-negara seperti Indonesia untuk mengambil peran sebagai substitusi impor bagi Tiongkok di pasar AS, terutama di sektor elektronik dan otomotif. Nilai ekspor produk elektronik ke AS, misalnya, tercatat meningkat sebesar 23,5% pada tahun 2021. Indonesia juga didorong untuk membuka pasar non-tradisional yang lebih agresif, seperti pasar di Afrika dan Asia Selatan, sebagai respons terhadap penurunan permintaan dari Tiongkok.
Kerentanan Rantai Pasok dan Geopolitik: Peluang ini dibayangi oleh kerentanan struktural yang mendalam. Sektor manufaktur, khususnya elektronik, masih sangat bergantung pada impor bahan baku dari negara rival (sekitar 70% bahan baku industri elektronik Indonesia diimpor dari Tiongkok), membuat sektor ini rentan terhadap gangguan pasokan akibat ketegangan perdagangan global. Selain itu, NEN global menghilangkan dikotomi antara kebijakan ekonomi dan kebijakan keamanan. Ketegangan perdagangan yang berlatar belakang geopolitik di Laut China Selatan (LCS) meningkatkan aktivitas militer di perairan sekitar Natuna, yang secara langsung menuntut peningkatan kesiapsiagaan pertahanan maritim. Peningkatan anggaran penguatan pertahanan maritim hingga 21% pada tahun 2023 menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi dari trade diversion harus diukur terhadap biaya mitigasi risiko keamanan.
Risiko Dumping dan Perlambatan Ekspor Global
Globalisasi NEN, yang ditandai dengan proteksionisme yang meningkat, secara keseluruhan menyebabkan perlambatan permintaan dan pertumbuhan ekonomi global. Struktur ekspor yang masih bergantung pada bahan mentah atau produk yang kurang kompetitif menghadapi tekanan besar di tengah permintaan global yang lesu.
Selain itu, negara-negara yang berupaya memanfaatkan trade diversion juga menghadapi risiko tuduhan dumping. Ketika barang-barang dari Tiongkok dialihkan melalui negara ketiga (seperti Indonesia) untuk menghindari tarif AS, terdapat risiko bahwa barang-barang ini akan menghadapi tuduhan dumping atau sanksi lainnya, yang memperburuk ketidakpastian perdagangan.5
Dampak NEN terhadap Arus Investasi Asing Langsung (FDI)
A.Lingkungan Investasi Bersyarat (Conditional FDI)
Nasionalisme Ekonomi Baru secara fundamental mengubah sifat FDI. Di bawah neoliberalisme, FDI cenderung diterima secara tidak bersyarat asalkan memenuhi standar regulasi minimum. Dalam kerangka NEN, FDI diubah dari sekadar mencari akses pasar menjadi kewajiban lokalisasi (mandatory localization) dan transfer teknologi.
Fokus negara NEN beralih ke penarikan Resource-Seeking FDI (yang bersedia membangun fasilitas pemrosesan mineral di dalam negeri, misalnya melalui hilirisasi) dan Efficiency-Seeking FDI (yang membawa teknologi canggih dan meningkatkan daya saing). Syarat-syarat yang diberlakukan—misalnya, persyaratan kandungan lokal, kewajiban pemrosesan hilir, atau pembatasan repatriasi keuntungan—menciptakan lingkungan investasi bersyarat yang didesain untuk memaksimalkan manfaat bagi ekonomi domestik, bukan sekadar memfasilitasi aliran modal.
Pengelolaan Risiko Regulasi dan Kepastian Hukum
Strategi NEN, yang melibatkan intervensi aktif oleh negara, secara inheren meningkatkan risiko regulasi dan politik bagi investor asing. Kebijakan seperti pembatasan mendadak pada kepemilikan asing di sektor keuangan atau keputusan untuk menghentikan pinjaman luar negeri pemerintah dapat menyebabkan ketidakpastian hukum, yang berpotensi menghambat FDI berkualitas tinggi.
Pemerintah yang menerapkan NEN harus secara hati-hati menyeimbangkan antara kebutuhan kontrol strategis dan tuntutan kepastian hukum. Untuk menarik modal yang dibutuhkan dalam proyek hilirisasi dan infrastruktur, regulasi, meskipun intervensif, harus transparan, stabil, dan adil. Ketidakpastian dalam penerapan kebijakan pembatasan dapat membuat negara kalah bersaing dalam menarik investasi dibandingkan dengan negara ASEAN lain yang menawarkan kemudahan berbisnis dan infrastruktur yang lebih baik, seperti Vietnam.
Ringkasan Kebijakan dan Dampak Sektoral
Berikut adalah ringkasan dampak makro dari kebijakan NEN pada perdagangan dan investasi, yang menunjukkan bagaimana instrumen kebijakan secara langsung memengaruhi dinamika ekonomi eksternal.
Ringkasan Kebijakan Nasionalisme Ekonomi dan Dampaknya pada Perdagangan dan Investasi
| Pilar Kebijakan NEN | Instrumen Implementasi | Dampak pada Perdagangan Internasional | Dampak pada Arus FDI |
| Proteksi Domestik | Tarif, Kuota, Subsidi | Menghambat impor, memicu sengketa WTO, memitigasi risiko dumping | Menarik FDI berorientasi pasar domestik, meningkatkan political risk |
| Kontrol SDA | Larangan Ekspor Bahan Mentah (Hilirisasi) | Pembatasan ekspor komoditas, memaksa transfer value dari Rantai Pasok Global | Menarik Resource-Seeking FDI bersyarat, meningkatkan investasi di sektor pemrosesan |
| Kontrol Kepemilikan Asing | Pembatasan Persentase Saham, Pajak Ekspor | Memastikan manfaat fiskal, mengurangi manipulasi harga transfer | Berpotensi menghambat FDI berkualitas tinggi, meningkatkan tata kelola fiskal jika diimbangi pengawasan |
Evaluasi Kritis dan Tantangan Implementasi NEN: Dari Visi ke Realitas
Risiko Makroekonomi Sistemik NEN Global
Meskipun NEN bertujuan untuk penguatan domestik, konteks NEN global justru menimbulkan risiko makroekonomi yang signifikan. Perlambatan ekonomi global akibat perang dagang dan fragmentasi rantai pasok telah menekan pertumbuhan ekonomi domestik, yang diproyeksikan melambat (misalnya, menjadi 4,5% pada akhir 2025, lebih rendah dari target).
Perlambatan ini diperburuk oleh tekanan fiskal yang meningkat. Pendapatan negara melambat sementara belanja negara terus meningkat. Yang lebih kritis, depresiasi mata uang domestik dan lonjakan yield SBN secara langsung menaikkan biaya cicilan utang, memberikan tekanan serius pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan NEN harus disertai dengan kebijakan moneter dan fiskal yang adaptif untuk menjaga stabilitas APBN di tengah volatilitas global.
Kerentanan Struktural Domestik (The NEN Paradox)
Paradoks NEN adalah upaya mengejar kedaulatan industri melalui hilirisasi sementara negara masih sangat rentan terhadap guncangan eksternal di sektor-sektor vital.
- Ketergantungan Energi dan Pangan: Negara masih menghadapi risiko tinggi karena ketergantungan pada impor Bahan Bakar Minyak (BBM) dan komoditas pangan utama seperti gandum dan kedelai. Ketergantungan ini memperbesar risiko fluktuasi harga global, terutama di tengah krisis pupuk dan stagnasi subsektor tanaman pangan. Kedaulatan energi dan pangan harus menjadi prasyarat utama keberhasilan NEN, karena kerentanan di sektor-sektor ini akan melemahkan posisi negosiasi dan stabilitas domestik negara di panggung perdagangan internasional.
- Struktur Ekspor yang Lemah: Struktur ekspor domestik masih dinilai lemah karena ketergantungan pada bahan mentah dan produk yang kurang kompetitif secara global. Upaya hilirisasi akan terhambat jika industri bernilai tambah yang diciptakan tidak memiliki daya saing yang memadai di pasar internasional.
Tantangan Reformasi Struktural dan Kualitas Tenaga Kerja
Penerapan proteksi tanpa reformasi struktural yang menyertainya berisiko menciptakan inefisiensi jangka panjang. Diperlukan percepatan reformasi struktural, seperti peningkatan kemudahan berbisnis dan perbaikan infrastruktur, agar industri domestik mampu bersaing dengan pesaing regional yang lebih gesit.Tanpa reformasi ini, industri yang dilindungi akan gagal mencapai kemandirian yang dicita-citakan.
Di sektor ketenagakerjaan, meskipun angka pengangguran terbuka mungkin menurun, terdapat peningkatan angka pekerja informal dan pengangguran terselubung. Fakta ini menunjukkan kualitas lapangan kerja yang masih rendah dan risiko memburuknya kondisi sosial-ekonomi akibat pelemahan di sektor padat karya. NEN yang berhasil harus memastikan bahwa manfaat hilirisasi dan proteksi meresap hingga ke basis sosial melalui penciptaan pekerjaan yang berkualitas dan bernilai tambah.
Rekomendasi Strategis dan Kebijakan Adaptif
Strategi Diplomasi Ekonomi Proaktif
Menghadapi fragmentasi global, negara harus mengadopsi diplomasi ekonomi yang proaktif dan terintegrasi. Ini mencakup negosiasi bilateral yang bertujuan mendapatkan pengecualian tarif dari mitra dagang utama (seperti AS). Selain itu, penting untuk secara aktif memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara-negara mitra dan melakukan diversifikasi pasar secara masif ke area non-tradisional, seperti pasar di Afrika dan Asia Selatan, untuk mengurangi ketergantungan pada pusat-pusat kekuatan ekonomi yang kini cenderung protektif.
Penguatan Ketahanan Domestik (Dampak Krisis)
Kedaulatan ekonomi harus dimulai dari penguatan ketahanan domestik terhadap guncangan eksternal. Pemerintah harus memperkuat bauran kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif untuk menjaga stabilitas APBN, terutama dalam menghadapi peningkatan biaya utang. Lebih lanjut, harus ada investasi strategis untuk mengurangi ketergantungan impor di sektor energi dan pangan. Diversifikasi energi melalui elektrifikasi dan pengembangan energi terbarukan harus menjadi prioritas, begitu pula dengan peningkatan kemandirian pangan untuk memitigasi risiko inflasi global.
Optimalisasi Hilirisasi dan Pengelolaan FDI yang Selektif
Kebijakan hilirisasi harus dipertahankan, namun pengelolaannya harus diperketat untuk memastikan transfer teknologi dan kontribusi fiskal. Ini melibatkan penerapan aturan yang jauh lebih ketat terhadap praktik transfer pricing perusahaan multinasional, guna memastikan perusahaan asing memberikan kontribusi pembayaran pajak yang adil di yurisdiksi tempat nilai diciptakan. FDI harus dikelola secara selektif, mengutamakan investasi yang membawa teknologi canggih dan tata kelola yang baik, sambil membatasi modal asing yang hanya berorientasi pada eksploitasi dan penghindaran pajak.
Peningkatan Kapasitas Nasional
Untuk memanfaatkan momentum NEN, Indonesia harus memperkuat fondasi sumber daya manusianya. Reformasi struktural yang berfokus pada sektor ketenagakerjaan harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pekerjaan, mengurangi pekerja informal, dan mengatasi masalah pengangguran terselubung. Peningkatan kapasitas ini sangat penting untuk memastikan bahwa hasil dari kebijakan proteksi dan hilirisasi benar-benar menciptakan pertumbuhan ekonomi inklusif.
Penutup
Nasionalisme Ekonomi Baru telah menjadi norma yang tak terhindarkan dalam geopolitik global kontemporer, didorong oleh kebutuhan akan kedaulatan ekonomi dan legitimasi yang diberikan oleh pergeseran kebijakan proteksionis di negara-negara maju. Perubahan ideologis ini menuntut integrasi kebijakan ekonomi, perdagangan, investasi, dan keamanan menjadi satu strategi whole-of-government.
Keberhasilan NEN dalam jangka panjang tidak hanya diukur dari seberapa ketat negara dapat melindungi industrinya atau seberapa banyak SDA yang berhasil dihilalkan, tetapi juga dari kemampuannya untuk mengatasi kelemahan struktural domestik, terutama di sektor energi dan pangan. Proteksionisme hanya akan efektif jika menjadi pendorong sementara untuk reformasi struktural, bukan pelindung permanen inefisiensi. Dengan adaptasi strategis dan diplomasi yang proaktif, NEN dapat menjadi alat yang kuat untuk mewujudkan transformasi ekonomi nasional, mengubah kerentanan menjadi ketahanan strategis.
