Krisis Keynesian dan Kebutuhan Akan Solusi Baru

Kebangkitan neoliberalisme sebagai ideologi ekonomi-politik yang paling berpengaruh dalam sejarah kontemporer tidak dapat dipisahkan dari keruntuhan sistem ekonomi yang mendominasi pasca-Perang Dunia II: model Keynesian. Setelah dua dekade kemakmuran relatif di negara-negara Barat, model berbasis intervensi negara, yang bertujuan mencapai lapangan kerja penuh dan stabilitas sosial, mulai goyah pada tahun 1970-an.

Krisis ekonomi pada dekade ini ditandai oleh fenomena unik yang disebut stagflation—kombinasi stagnasi ekonomi, tingkat inflasi yang tinggi, dan krisis minyak dunia. Kegagalan model Keynesian dalam menghadapi tantangan baru ini memberikan dorongan bagi perubahan kebijakan yang lebih berorientasi pasar. Neoliberalisme kemudian muncul sebagai solusi utama, menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, efisiensi yang lebih tinggi, dan kemakmuran yang lebih inklusif. Dalam konteks globalisasi yang semakin intensif, ideologi ini dipandang sebagai “jalan utama” menuju pembangunan.

Namun, penerapannya yang meluas di berbagai negara telah menuai kritik tajam karena dampak negatifnya terhadap ketimpangan sosial, keadilan ekonomi, stabilitas politik, dan keberlanjutan lingkungan. Laporan ini bertujuan untuk menelaah secara mendalam disparitas yang signifikan antara retorika utopian neoliberalisme dan realitas fakta yang berjalan, khususnya mengenai dampaknya terhadap kebijakan sosial global.

Definisi Neoliberalisme: Pilar Inti dan Perbedaan Esensial dari Liberalisme Klasik

Secara definitif, neoliberalisme merupakan sebuah proyek politik yang berupaya mengembalikan kondisi akumulasi modal dan kekuasaan kelas kapitalis melalui mekanisme pasar bebas. Ideologi ini menekankan peran pasar bebas sebagai pilar utama pembangunan ekonomi.

Tiga pilar utama kebijakan neoliberal dapat diringkas dalam trilogi fundamental: liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi. Kebijakan ini mencakup deregulasi sektor ekonomi, pengurangan peran negara dalam perekonomian, privatisasi aset-aset publik, dan liberalisasi perdagangan internasional. Tujuannya adalah untuk mengasumsikan bahwa pasar bebas memiliki kemampuan inheren untuk mengalokasikan sumber daya secara optimal.

Penting untuk membedakan neoliberalisme dari liberalisme klasik. Liberalisme klasik menganut prinsip laissez-nous faire (biarkan kami sendiri), di mana para pedagang hanya meminta negara untuk tidak campur tangan. Sebaliknya, neoliberalisme, yang ditandai oleh prefiks “neo,” mengakui bahwa negara harus berperan aktif, dan bahkan lebih dari sekadar minimal.

Modifikasi penting ini, yang membedakannya dari liberalisme klasik, adalah pengakuan bahwa negara harus secara proaktif memastikan pasar tetap bebas. Dalam pandangan para pemikir neoliberal, pasar yang kompetitif tidak hanya efisien tetapi juga esensial secara moral untuk mencapai “kebebasan ekonomi,” yang merupakan prasyarat bagi kebebasan politik. Jika demikian, negara neoliberal tidak mengecil, melainkan mengalami transformasi fungsi: dari negara yang fokus pada kesejahteraan dan regulasi (regulatory state) menjadi penjamin disiplin pasar dan pelindung akumulasi modal. Dengan kata lain, neoliberalisme bukan sekadar membela kebebasan pasar, tetapi juga menginstitusionalisasikannya sebagai doktrin kebijakan publik—sebuah bentuk “fundamentalisme pasar” di mana persaingan pasar dijadikan nilai tertinggi, sering kali mengorbankan keadilan sosial.

Akar Filosofis: Sekolah Chicago, Obyektivitas, dan Netralisasi Etika

Akar pemikiran neoliberalisme dapat ditelusuri kembali ke tradisi liberalisme klasik, namun pengembangan dan penginstitusiannya sebagai doktrin global sangat dipengaruhi oleh ekonom seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman. Hayek, seorang pendukung Mont Pelerin Society, membangun asumsi mendasar bahwa pasar menyediakan satu-satunya perlindungan yang diperlukan terhadap bahaya politik nyata: totalitarianisme. Untuk mencegah bahaya ini, negara hanya perlu menjaga pasar agar tetap bebas.

Lebih dari siapapun, Milton Friedman dari Universitas Chicago berperan dalam mengkonversi pemerintah dan politisi pada ide besar Hayek. Kontribusi Friedman sangat mendalam, terutama karena ia memisahkan ekonomi dari pertimbangan etika. Friedman mendeklarasikan bahwa ekonomi adalah ilmu yang “objektif,” yang pada prinsipnya independen dari posisi etika atau penilaian normatif. Dengan demikian, nilai-nilai etis lama dianggap cacat, menjadi perbedaan-perbedaan yang tidak dapat diselesaikan melalui analisis ilmiah.

Deklarasi ekonomi sebagai ilmu “objektif” ini memiliki konsekuensi mendalam terhadap kebijakan publik. Dengan mengklaim netralitas etis, paradigma neoliberal mampu mendominasi wacana kebijakan dan secara efektif mendelegitimasi kritik yang berlandaskan pada keadilan sosial atau dampak kemanusiaan. Kritik terhadap ketidaksetaraan pendapatan, misalnya, dapat diabaikan sebagai masalah “non-ekonomi,” memungkinkan para pembuat kebijakan untuk bersembunyi di balik efisiensi teknis pasar. Ini memfasilitasi pembangunan hegemoni intelektual di mana neoliberalisme dapat menuntut implementasi kebijakan tanpa terbebani oleh pertimbangan moral atau distributif.

Kebangkitan Hegemoni Pasar dan Konsensus Washington

Dominasi Ideologis Pasca-Perang Dingin

Kebangkitan neoliberalisme mencapai puncaknya pada akhir abad ke-20. Setelah kebijakan ini diimplementasikan secara radikal oleh tokoh politik seperti Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat , model tersebut kemudian menjadi blueprint global. Kejatuhan model ekonomi berbasis negara, terutama setelah runtuhnya Blok Timur dan berakhirnya Perang Dingin, memperkuat posisi neoliberalisme sebagai ideologi yang tak tertandingi. Model ini merembes ke seluruh dunia, tidak hanya menjadi kebijakan di negara maju tetapi juga dipaksakan kepada negara-negara berkembang melalui mekanisme globalisasi, tekanan politik, dan peran lembaga keuangan internasional.

Konsensus Washington (WC): Cetak Biru Neoliberal Institusional

Hegemoni neoliberalisme diinstitusionalisasikan secara global melalui apa yang dikenal sebagai Konsensus Washington (WC). WC adalah seperangkat rekomendasi kebijakan ekonomi yang menjadi populer selama tahun 1980-an, terutama ditujukan untuk negara-negara berkembang, khususnya di Amerika Latin, yang saat itu menghadapi krisis utang.

Istilah Konsensus Washington merujuk pada kesepakatan tingkat tinggi antara tiga institusi berpengaruh yang berbasis di Washington D.C.: Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (WB), dan Departemen Keuangan AS. Semua institusi ini berbagi pandangan yang secara umum dilabeli neoliberal: bahwa pengoperasian pasar bebas dan pengurangan keterlibatan negara sangat penting untuk pembangunan di Global Selatan.

Poin-poin inti Konsensus Washington, yang sering dikategorikan sebagai reformasi generasi pertama, mencakup langkah-langkah yang diarahkan pada minimalitas peran negara yang digantikan oleh pasar. Kebijakan ini meliputi:

  1. Deregulasi:Bertujuan memberi ruang yang lebih leluasa bagi kegiatan ekonomi dengan menghilangkan banyak peraturan yang dianggap menghambat investasi dan pertumbuhan.
  2. Liberalisasi:Baik di sektor keuangan maupun perdagangan, untuk merangsang pelaku ekonomi memacu aktivitasnya.
  3. Privatisasi:Penjualan aset-aset publik dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
  4. Stabilisasi Fiskal:Menciptakan stabilitas ekonomi dengan mengendalikan inflasi dan mengurangi defisit anggaran pemerintah.

Meskipun ekonom Inggris John Williamson pertama kali menggunakan istilah tersebut pada tahun 1989 untuk merujuk pada daftar reformasi yang ia yakini disepakati oleh para pemain kunci di Washington, istilah tersebut kemudian berkembang menjadi konotasi peyoratif. Ini terjadi karena WC merefleksikan sebuah keyakinan dogmatis bahwa negara-negara berkembang harus mengadopsi strategi pembangunan yang dipimpin pasar, dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan akan trickle down (menetes ke bawah) dan menguntungkan semua pihak. Transformasi dari konsensus teknis menjadi dogma ideologis ini membuat WC kaku dan sering mengabaikan konteks politik dan sosial domestik negara penerima.

Institusionalisasi melalui Lembaga Keuangan Internasional (LFI)

Kekuatan hegemonik neoliberalisme terwujud dalam kemampuan IMF dan Bank Dunia untuk mempromosikan pandangan ini ke seluruh negara berkembang. Lembaga-lembaga ini memainkan peran penting dalam manajemen utang global, dan yang paling krusial, mereka menempelkan kondisionalitas kebijakan pada pinjaman yang mereka berikan. Kondisionalitas ini dikenal sebagai Program Penyesuaian Struktural atau Structural Adjustment Programs (SAPs).

Mekanisme ini memastikan bahwa negara-negara yang mengalami kesulitan pembayaran eksternal dan memerlukan bantuan finansial harus berkomitmen pada kerangka kebijakan neoliberal, sehingga secara efektif menjamin penerapan Konsensus Washington secara global.

IMF, Bank Dunia, dan Mekanisme Pemaksaan Kebijakan (SAPs)

Anatomis Structural Adjustment Programs (SAPs)

Structural Adjustment Programs (SAPs) adalah paket pinjaman yang diberikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia kepada negara-negara yang menghadapi krisis ekonomi, dengan tujuan utama menyesuaikan struktur ekonomi negara, memulihkan neraca pembayaran, dan meningkatkan daya saing internasional. Pinjaman IMF secara khusus berfokus pada pembiayaan neraca pembayaran umum dan mendukung penyesuaian makroekonomi dan reformasi struktural.

SAPs didirikan di atas fondasi teori ekonomi neo-klasik. Teori ini berasumsi bahwa akar masalah ekonomi suatu negara terletak pada intervensi pemerintah yang berlebihan, salah urus, dan tidak efisien. Oleh karena itu, solusi yang dipaksakan adalah penerapan program pasar bebas untuk menyeimbangkan anggaran pemerintah, mengurangi inflasi, dan merangsang pertumbuhan ekonomi.

Komponen inti SAPs, yang diwajibkan sebagai klausul kondisionalitas untuk memperoleh pinjaman atau keringanan utang, mencakup:

  1. Liberalisasi Komprehensif:Termasuk liberalisasi perdagangan, pasar finansial, dan investasi asing.
  2. Privatisasi Sektor Publik:Penjualan aset-aset publik dan BUMN.
  3. Disiplin Fiskal Ketat:Pengurangan defisit pemerintah melalui pemotongan subsidi dan belanja publik (austerity measures).

Kritik Struktural: Pemaksaan (Blackmail) dan Krisis Kedaulatan

Implementasi SAPs menuai kritik yang signifikan karena dampaknya terhadap sektor sosial dan kedaulatan negara. Negara-negara yang berjuang menghadapi krisis harus menyetujui implementasi SAPs sebelum menerima keringanan utang, dan kepatuhan harus dipertahankan untuk menjamin pinjaman atau pendanaan masa depan dari negara lain.

Ancaman finansial yang dihadapi negara-negara miskin ini dianggap setara dengan pemerasan (blackmail), karena mereka merasa tidak punya pilihan selain mematuhi kebijakan yang diresepkan dari luar. Keterpaksaan menjalankan kebijakan yang didikte, seperti privatisasi BUMN dan pemotongan subsidi, berujung pada krisis kedaulatan. Dalam situasi ini, negara tidak lagi dapat menjalankan kedaulatan dan konstitusinya untuk menyejahterahkan rakyatnya sendiri, melainkan bertindak sebagai agen pelaksana disiplin pasar global.

Salah satu kritik struktural paling tajam terhadap model ini adalah keyakinan awal LFI bahwa perubahan-perubahan ekonomi dapat dijalankan tanpa memperhatikan domain politik (sterilisasi politik). Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa reformasi struktural—seperti deregulasi dan liberalisasi—selalu bersifat politis dan memengaruhi distribusi kekuasaan dan sumber daya.

Pengabaian terhadap aspek politik ini memiliki konsekuensi yang menghancurkan. Ketika reformasi ekonomi dijalankan tanpa dukungan politik atau tanpa mempertimbangkan resistensi sosial, hal itu justru menghasilkan ketidakstabilan. Sebagai contoh, di Indonesia, dapat disaksikan bagaimana arena politik dalam rentang waktu yang singkat mampu melantakkan bangunan ekonomi yang sudah dikerjakan selama bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dirancang secara generik di Washington sering kali mengabaikan kerumitan politik domestik, menjadikannya rentan terhadap kegagalan implementasi dan gejolak sosial.

Tabel 1 meringkas hubungan antara ideologi neoliberal dan implementasi SAPs, serta implikasinya terhadap kedaulatan kebijakan:

Table 1. Ideologi Neoliberal dan Implementasi Structural Adjustment Programs (SAPs)

Pilar Neoliberalisme Instrumen Kebijakan SAPs/WC Implikasi Kunci Wajib Referensi
Privatisasi Penjualan Aset Negara (BUMN) Pelepasan kepemilikan negara atas sektor strategis; Meningkatkan efisiensi (klaim)
Deregulasi Liberalisasi Perdagangan/Finansial Penghapusan batasan bagi investasi dan dorongan aktivitas ekonomi swasta
Stabilisasi Fiskal Pemotongan Subsidi Publik (Austerity) Mengontrol inflasi dan menyeimbangkan neraca pembayaran jangka pendek

Dampak Sosial dan Politik Neoliberalisasi: Realitas Ketimpangan

Pemotongan Layanan Publik dan Kehancuran Solidaritas Sosial

Konsekuensi paling nyata dari kondisionalitas SAPs adalah kebijakan penghematan fiskal yang ketat. Kebijakan ini, yang bertujuan mengurangi defisit anggaran, seringkali menargetkan pemotongan belanja langsung di sektor-sektor publik vital. Pemangkasan anggaran semacam ini berpotensi besar berdampak negatif pada pelayanan publik esensial, termasuk sektor kesehatan dan pendidikan, yang merupakan dasar pembangunan manusia.

Dampak ini diperparah oleh privatisasi aset-aset publik. Neoliberalisme, dengan kredo kebebasan pasar, ironisnya menyebabkan banyak destruksi terhadap solidaritas sosial. Ketika layanan publik yang penting diprivatisasi, hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan dasar berubah menjadi kemampuan konsumen untuk membeli layanan tersebut.

Sebuah laporan kritis menyoroti konsekuensi kemanusiaan dari marketisasi layanan publik. Laporan tersebut mengungkapkan kekhawatiran mendalam mengenai bagaimana Bank Dunia Group (WBG) mendanai model perawatan kesehatan swasta di Afrika. Model ini secara eksplisit memprioritaskan keuntungan di atas kehidupan manusia, mengeksploitasi pasien, dan menunjukkan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan mempromosikan marketisasi dan privatisasi layanan kesehatan melalui pendanaan publik, logika pasar telah menggantikan logika sosial, menciptakan eksklusi sistematis bagi masyarakat miskin yang tidak mampu membayar.

Ketidaksetaraan Pendapatan dan Pelebaran Kesenjangan Global

Salah satu janji utama neoliberalisme—pertumbuhan yang akan trickle down—terbukti gagal dalam praktik di banyak negara. Data empiris menunjukkan bahwa globalisasi, yang didorong oleh kebijakan neoliberal, tidak secara otomatis mengurangi angka kemiskinan; sebaliknya, di beberapa kawasan seperti Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan, kemiskinan malah bertambah.

Fenomena globalisasi yang didorong oleh Konsensus Washington menghasilkan proses yang tidak setara antara negara maju dan negara dunia ketiga. Negara-negara maju cenderung semakin kaya, sementara negara-negara Selatan mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan, kemiskinan, dan beban utang. Ketidaksetaraan global saat ini berada pada tingkat yang dianggap “di luar kendali,” dengan kekayaan miliarder tumbuh jauh lebih cepat daripada upaya pengentasan kemiskinan.

Para kritikus berpendapat bahwa realitas ketimpangan ini membuktikan tesis bahwa neoliberalisme bukanlah sekadar retorika utopian yang gagal, melainkan sebuah “topeng” yang secara efektif menutupi proyek restorasi kepentingan kelas kapitalis yang berkuasa. Kebijakan deregulasi dan liberalisasi, yang konon untuk efisiensi, justru berfungsi sebagai mesin angkut kapitalisme yang mempercepat akumulasi modal di puncak piramida sosial.

Konsekuensi Ekonomi Politik: Utang dan Kelemahan Struktural

Penerapan SAPs seringkali meninggalkan negara-negara berkembang dalam lingkaran setan utang dan ketergantungan. Krisis utang eksternal di Kawasan Selatan diperburuk oleh beberapa faktor yang diperburuk oleh kondisi global yang liberal, termasuk penurunan kegiatan ekspor-impor akibat resesi global dan pembengkakan pengeluaran anggaran negara untuk membiayai dana sosial atau talangan ekonomi. Hal ini secara langsung meningkatkan utang eksternal.

Dalam konteks ini, SAPs dan kondisionalitasnya memastikan bahwa negara yang dililit utang harus terus tunduk pada agenda LFI, yang mempertahankan dominasi ideologi pasar dan menjamin bahwa reformasi struktural, seperti privatisasi BUMN, terus berjalan, terlepas dari dampak sosialnya.

Table 2. Dampak Sosial Neoliberalisme dan Respon Institusional LFI

Area Dampak Kritis Manifestasi Empiris Respons Institusional (Pergeseran Retorika) Implikasi Kritis
Layanan Publik Marketisasi kesehatan, pemotongan subsidi dan anggaran sosial Pengenalan Poverty Reduction Strategy Papers (PRSPs) yang menekankan kebijakan sosial Mengubah hak dasar menjadi komoditas yang dapat dibeli, meningkatkan eksklusi
Ketimpangan Kesenjangan pendapatan melebar, kemiskinan kumulatif meningkat Mengaitkan kegagalan dengan flawed governance (tata kelola yang cacat) Mengalihkan tanggung jawab kegagalan model kebijakan kepada negara penerima; Menjamin kelangsungan restorasi kelas berkuasa
Kedaulatan Krisis kedaulatan negara, pemaksaan kebijakan melalui utang Mendorong “kepemilikan negara” (country-led) dalam penyusunan PRSPs Kondisionalitas inti tetap dipertahankan; Kepatuhan pada kerangka makroekonomi LFI tetap wajib

Pergeseran Retorika, Alternatif, dan Masa Depan Neoliberalisme

Respons Kritis Massa: Gerakan Anti-Globalisasi

Dampak sosial yang merusak dari neoliberalisme memicu munculnya gerakan-gerakan perlawanan massa di seluruh dunia. Titik balik penting dari perlawanan ini adalah protes anti-globalisasi di Seattle pada tahun 1999. Perlawanan ini didasarkan pada solidaritas lintas kelompok dan kesamaan kepentingan yang menolak globalisasi kapitalis.

Gerakan-gerakan ini menyuarakan tuntutan yang jelas: egalitarianisme politik, keadilan ekonomi, perdagangan yang adil, dan jaminan perlindungan ekonomi yang lebih besar. Protes ini menunjukkan frustrasi yang meluas tidak hanya terhadap korupsi tetapi juga terhadap keseluruhan struktur pemerintahan yang telah menginternalisasi doktrin fundamentalisme pasar.

Reformulasi Kebijakan: Dari SAPs ke Poverty Reduction Strategy Papers (PRSPs)

Menanggapi kritik yang meningkat mengenai dampak sosial yang lambat dan destruktif dari SAPs, terutama setelah krisis keuangan Asia, IMF dan Bank Dunia mengubah retorika kebijakan pembangunan mereka. Pada tahun 1999, mereka meluncurkan program baru: Poverty Reduction Strategy Papers (PRSPs).

PRSPs dirancang untuk menjadi dokumen yang disiapkan oleh negara anggota, bekerja sama dengan staf Bank Dunia dan IMF, serta masyarakat sipil. Dokumen-dokumen ini menjelaskan rencana kebijakan makroekonomi, struktural, dan sosial selama tiga tahun untuk mendorong pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan. Pergeseran ini, yang menempatkan pengurangan kemiskinan sebagai agenda utama, berfungsi sebagai dasar untuk pemberian utang konsesional dan keringanan utang di bawah inisiatif Heavily Indebted Poor Countries (HIPC).

Namun, kerangka PRSPs ini menghadapi kritik bahwa ia hanyalah SAPs versi baru yang dilapisi retorika anti-kemiskinan. Para kritikus berpendapat bahwa LFI menyimpulkan kegagalan SAPs bukan karena kebijakan neoliberalnya cacat (flawed policy), tetapi karena tata kelola negara penerima yang buruk (flawed governance).

Dengan mengidentifikasi tata kelola yang buruk sebagai faktor utama di balik kurangnya pembangunan, LFI secara efektif mengalihkan kesalahan dari model ekonomi yang dipaksakan kepada kelemahan politik internal negara penerima. Strategi ini memungkinkan LFI untuk memvalidasi kelanjutan kebijakan neoliberal yang mendasarinya (liberalisasi, deregulasi) sambil menambahkan prasyarat baru yang disebut Good Governance. Meskipun PRSPs melibatkan proses konsultasi, negara penerima tetap harus mematuhi kerangka kerja makroekonomi yang disetujui oleh para pemberi pinjaman, memastikan bahwa kondisionalitas inti neoliberal tetap dipertahankan.

Developmental State sebagai Model Kontras

Analisis kritis terhadap kegagalan SAPs sering kali menyoroti model-model pembangunan alternatif. Salah satunya adalah Developmental State (Negara Pembangun) atau State-led developmentalism, yang terkenal di Asia Timur pada akhir abad ke-20. Model ini, yang dikonseptualisasikan oleh Chalmers Johnson, dicirikan oleh intervensi negara yang kuat, regulasi ekstensif, dan perencanaan makroekonomi otonom yang fokus pada tujuan pembangunan tertentu.

Negara Pembangun secara esensial bertentangan dengan prinsip sentral penyesuaian struktural neoliberal, khususnya dengan melindungi sektor-sektor ekonomi tertentu dan mempertahankan peran aktif pemerintah dalam perencanaan. Negara-negara yang paling sukses secara ekonomi dalam beberapa dekade terakhir, seperti yang dicontohkan oleh Jepang di bawah MITI (Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri), menunjukkan bahwa intervensi visioner birokrat seringkali menjadi kunci industrialisasi.

Meskipun demikian, hegemoni neoliberal telah menciptakan situasi hibrida di negara-negara semi-periferal, yang disebut altered state developmentalism. Dalam model ini, negara tetap berupaya mengejar pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan, namun dilakukan dalam arah yang lebih berorientasi pasar, didorong oleh neoliberal leverage global. Ini menunjukkan bahwa meskipun model negara pembangun menawarkan alternatif ideologis yang berhasil, tekanan pasar global yang dilembagakan oleh LFI sangat sulit untuk ditolak sepenuhnya.

Kesimpulan

Neoliberalisme, yang muncul dari krisis Keynesian tahun 1970-an, telah berhasil membangun hegemoni pasar global setelah Perang Dingin. Ideologi ini diinstitusionalisasikan melalui Konsensus Washington dan dipaksakan secara global melalui Structural Adjustment Programs (SAPs) IMF dan Bank Dunia. Pilar utama privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi, didukung oleh klaim objektivitas ilmiah yang menetralkan pertimbangan etika, memungkinkan neoliberalisme untuk beroperasi sebagai proyek restorasi kepentingan kelas kapitalis.

Analisis terhadap dampak SAPs menunjukkan bahwa kondisionalitas pinjaman, yang seringkali setara dengan pemerasan keuangan, menghasilkan krisis kedaulatan di negara-negara berkembang dan kehancuran solidaritas sosial melalui pemotongan subsidi dan marketisasi layanan publik vital seperti kesehatan. Kegagalan trickle-down economics telah secara empiris memperlebar jurang ketimpangan global, meningkatkan kemiskinan dan utang eksternal di Kawasan Selatan.

Meskipun LFI telah mengganti retorika SAPs dengan Poverty Reduction Strategy Papers (PRSPs), pergeseran ini dikritik sebagai reformulasi yang secara ideologis mengalihkan kesalahan kegagalan kebijakan kepada masalah tata kelola yang buruk negara penerima, bukan karena cacat intrinsik model neoliberal itu sendiri.

Rekomendasi Kebijakan Kritis:

  1. Pengembalian Kedaulatan Kebijakan:Lembaga keuangan internasional harus menghentikan praktik kondisionalitas yang memaksa negara berkembang untuk mengadopsi model kebijakan generik. Keputusan mengenai privatisasi aset strategis dan pemotongan belanja sosial harus sepenuhnya berada di bawah kendali demokratis dan konstitusional negara berdaulat.
  2. Reformasi Institusional LFI:Perlu adanya reformasi mendalam di IMF dan Bank Dunia untuk menghilangkan dogma pasar bebas dan mengintegrasikan secara serius pertimbangan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan perlindungan lingkungan ke dalam kerangka makroekonomi mereka.
  3. Prioritas Perlindungan Sosial:Negara-negara berkembang harus didorong untuk mengadopsi model pembangunan yang memprioritaskan fungsi negara sebagai penyedia layanan publik esensial (kesehatan, pendidikan) dan sebagai pelindung ekonomi domestik (prinsip Developmental State), melampaui tuntutan fundamentalisme pasar.
  4. Akuntabilitas Global:Harus ada mekanisme yang kuat untuk meminta pertanggungjawaban LFI dan negara donor atas dampak buruk yang ditimbulkan oleh kebijakan struktural yang dipaksakan, terutama yang mengakibatkan eksklusi dan eksploitasi di sektor vital seperti kesehatan. Peningkatan tuntutan keadilan ekonomi dan perlindungan yang lebih besar, sebagaimana disuarakan oleh gerakan anti-globalisasi , harus menjadi panduan dalam perumusan kebijakan global di masa depan.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

88 − = 82
Powered by MathCaptcha