Landasan Ideologi dan Konteks Historis: Respons terhadap Imperialisme dan Bipolaritas Perang Dingin
Lahirnya Pan-Afrikanisme dan Gerakan Non-Blok (GNB) merupakan fenomena geopolitik abad ke-20 yang mendefinisikan kembali hubungan internasional pasca-Perang Dunia II. Gerakan ini bukan sekadar manuver politik sementara dalam menghadapi Perang Dingin, melainkan sebuah respons ideologis yang mendalam dan terstruktur terhadap penindasan kolonial, perbudakan historis, dan upaya negara-negara Dunia Ketiga untuk membangun kembali kedaulatan dan otonomi mereka di panggung global.
Akar Historis Pan-Afrikanisme: Solidaritas Ras, Diaspora, dan Perlawanan Kolonialisme
Pan-Afrikanisme didefinisikan sebagai sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendorong dan memperkuat ikatan solidaritas antara semua masyarakat asli Afrika, bersama dengan semua orang keturunan Afrika (Diaspora). Ideologi ini berakar pada penderitaan kolektif dan perjuangan melawan perbudakan dan kolonisasi yang meluas di seluruh sub-Sahara Afrika.
Kajian Historis: Takdir Bersama yang Terkait Perbudakan dan Kolonisasi
Asal-usul Pan-Afrikanisme dapat ditelusuri kembali pada perjuangan melawan perbudakan trans-Atlantik, trans-Sahara, perbudakan Samudra Hindia, dan perbudakan di koloni, termasuk perlawanan yang terjadi di kapal budak, pemberontakan kolonial, hingga gerakan “Kembali ke Afrika” pada abad ke-19. Keyakinan ini melampaui benua itu sendiri, menemukan basis dukungan substansial di kalangan Diaspora Afrika di Amerika dan Eropa. Solidaritas ini muncul dari kesadaran akan nasib sejarah bersama yang berpusat pada perdagangan budak Atlantik, yang menempatkan orang Afrika, baik di benua maupun di luar benua, dalam satu takdir yang sama.
Transisi ke Gerakan Politik dan Institusionalisasi
Meskipun akarnya historis, Pan-Afrikanisme muncul sebagai gerakan politik yang berbeda pada abad ke-20. Menariknya, gerakan ini awalnya dibentuk dan dipimpin oleh orang-orang dari Diaspora. Pada tahun 1900, Henry Sylvester Williams, seorang pengacara dari Trinidad, menyerukan konferensi di Westminster Hall, London, untuk memprotes perampasan tanah di koloni, diskriminasi rasial, dan mengatasi isu-isu lain yang menjadi kepentingan orang kulit hitam.
Prinsip inti Pan-Afrikanisme berfokus pada keyakinan bahwa persatuan adalah hal yang vital bagi kemajuan ekonomi, sosial, dan politik. Persatuan ini diyakini sebagai prasyarat bagi kemerdekaan sejati.
Hubungan Kausal dengan Solidaritas Global Selatan
Pan-Afrikanisme menyediakan kerangka kerja ideologis yang krusial bagi GNB. Penderitaan kolektif (perbudakan dan kolonialisme) menciptakan obligasi moral dan politik yang mendalam di antara masyarakat yang tertindas. Gerakan ini berhasil menerjemahkan obligasi ini menjadi tuntutan politik untuk persatuan dan kemerdekaan. Dalam konteks yang lebih luas, ini menjadi preseden bagi solidaritas Global South. Negara-negara Afrika yang baru merdeka, didorong oleh ideologi Pan-Afrikanisme, membawa semangat persatuan ini ke panggung internasional. Kehadiran mereka di KAA dan GNB memperkuat posisi tawar kolektif Global South, menginstitusionalisasikan pemikiran bahwa identitas kolektif yang kuat, yang melampaui batas-batas negara-bangsa yang diwarisi kolonial, dapat menjadi fondasi kekuatan diplomatik.
Gerakan Non-Blok (GNB): KAA 1955 dan Doktrin Otonomi Strategis
Gerakan Non-Blok merupakan upaya negara-negara Dunia Ketiga untuk menjaga otonomi politik dan strategis mereka di tengah polarisasi geopolitik yang diciptakan oleh Perang Dingin.
Fondasi Historis di Konferensi Asia-Afrika (KAA)
Proses awal lahirnya GNB adalah melalui Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang diadakan di Bandung, Indonesia, pada tanggal 18-24 April 1955. KAA didorong oleh semangat anti-kolonialisme dan solidaritas Asia-Afrika yang kuat, yang lahir dari persamaan nasib sebagai bangsa yang pernah dijajah.
Konteks historis KAA sangat krusial: adanya persaingan bipolar Perang Dingin menciptakan urgensi bagi negara-negara yang baru merdeka untuk mencari jalan ketiga. Keinginan utama adalah untuk tidak terlibat dalam persaingan tersebut yang dikhawatirkan dapat mengikis kedaulatan nasional yang baru saja diraih. Selain itu, konflik regional seperti Perang Korea, krisis Indochina, dan konflik Arab-Israel semakin menambah urgensi untuk mencari solusi damai di luar kerangka Blok Barat dan Timur.
Prinsip Dasar: Dasasila Bandung dan Panchsheel
KAA menyepakati ‘Dasasila Bandung’, yang menjadi prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerja sama antar bangsa. Inti dari Dasasila ini, yang banyak dipengaruhi oleh Panchsheel (lima pilar) yang dijelaskan oleh Jawaharlal Nehru, meliputi: saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan, perjanjian non-agresi, tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, kesetaraan dan keuntungan bersama, serta menjaga perdamaian.
Setelah KAA, GNB terbentuk secara resmi melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia, pada 1-6 September 1961. GNB memberikan legitimasi dan dukungan moral serta politik bagi gerakan kemerdekaan yang masih berjuang, seperti di Aljazair, Tunisia, dan Vietnam.
Doktrin Kedaulatan Diperluas dan Otonomi Strategis
Penekanan GNB pada Dasasila Bandung melembagakan konsep kedaulatan yang diperluas. Bagi negara-negara pasca-kolonial, kedaulatan tidak hanya berarti kemerdekaan dari penjajah, tetapi juga hak yang tidak dapat diganggu gugat untuk menentukan kebijakan luar negeri sendiri tanpa tekanan dari negara besar. Prinsip non-intervensi dan non-agresi mencerminkan kekhawatiran terbesar negara-negara ini terhadap ancaman eksistensial terhadap kedaulatan mereka.
GNB berfungsi sebagai pakta pertahanan ideologis, menyatukan suara mereka dan memungkinkan suara negara-negara kecil dan menengah didengar dalam politik global. Dengan demikian, GNB adalah fondasi dari politik luar negeri Bebas Aktif, di mana otonomi strategis dipertahankan secara aktif, bukan melalui netralitas pasif, tetapi melalui keterlibatan yang didorong oleh kepentingan nasional dan global yang berkeadilan.
Evolusi Ideologi: Dari Kedaulatan Politik ke Keadilan Ekonomi Global
Setelah Perang Dingin berakhir, konteks geopolitik GNB berubah drastis. Perjuangan ideologis bergeser dari kedaulatan politik dan militer menjadi fokus pada reformasi ekonomi dan pembangunan. Pergeseran ini mencerminkan pemahaman bahwa kedaulatan yang sejati tidak dapat dicapai tanpa otonomi finansial dan ekonomi yang berkeadilan.
Institutionalisasi Solidaritas Ekonomi: Kelompok 77 (G77) di PBB
Kelompok 77 (G77) adalah manifestasi kelembagaan paling penting dari solidaritas Global South di bidang ekonomi, dan merupakan anak kandung dari semangat KAA dan GNB.
Pembentukan dan Tujuan Awal
G77 didirikan pada tahun 1964 melalui Deklarasi Bersama Tujuh Puluh Tujuh Negara pada Konferensi UNCTAD, empat tahun setelah pelembagaan GNB. Kelompok ini lahir sebagai perwujudan tuntutan GNB untuk reformasi tatanan ekonomi global. G77 kini menjadi organisasi terbesar negara-negara berkembang, yang beranggotakan 132 negara plus China.
Tujuan utamanya adalah memperkuat posisi kolektif negara-negara berkembang dalam sistem global yang didominasi oleh negara-negara maju (core) dan mempromosikan pembangunan ekonomi para anggotanya, menekankan pentingnya peran negara berkembang dalam PBB.
Pergeseran Agenda dan Kerja Sama Selatan-Selatan
Semangat Bandung tetap relevan hingga saat ini, tetapi isu yang diangkat telah bergeser. Jika pada tahun 1955 fokusnya adalah perjuangan penghapusan penjajahan, kini agenda utama adalah isu kemiskinan, ketidakadilan global, ketidaksetaraan, perubahan iklim, dan eksploitasi sumber daya. Negara-negara Asia dan Afrika sebagian besar menghadapi permasalahan yang hampir sama, seperti tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah, konflik, dan ketidaksetaraan global, yang menegaskan perlunya solidaritas baru.
Sebagai respons terhadap ketergantungan historis pada Utara, GNB secara aktif mendorong Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS). KSS dipromosikan sebagai alternatif kerja sama teknis dan ekonomi antar negara berkembang, bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara maju.
Menerjemahkan Kedaulatan Politik menjadi Kekuatan Tawar Kolektif
G77 merupakan upaya kolektif untuk menerjemahkan kemenangan kedaulatan politik yang diperoleh GNB menjadi kekuatan tawar kolektif guna mencapai New International Economic Order (NIEO), sebuah gagasan yang diperjuangkan G77 di PBB. Solidaritas ekonomi ini secara fundamental mengakui bahwa ketidakadilan ekonomi struktural merupakan bentuk baru dari neokolonialisme, sebuah analisis yang seringkali ditinjau melalui kerangka World Systems Theory.
Dengan memanfaatkan jumlah anggota yang sangat besar, G77 bertujuan menciptakan blok suara yang signifikan di PBB. Tujuan strategisnya adalah mendemokratisasi pengambilan keputusan global, sebuah tuntutan yang secara langsung menantang struktur ekonomi dan keuangan yang ada.
Pan-Afrikanisme Modern: Agenda 2063 dan Tuntutan Keadilan Iklim
Pan-Afrikanisme terus berevolusi. Dari gerakan pembebasan di abad ke-20, kini ia menjelma menjadi cetak biru pembangunan jangka panjang yang terintegrasi di benua Afrika, yang diwujudkan melalui Agenda 2063 Uni Afrika.
Visi dan Ambisi Pembangunan Terintegrasi
Agenda 2063 adalah peta jalan ambisius yang dibangun di sekitar tujuh aspirasi inti, mencerminkan ambisi kolektif Afrika untuk mencapai “Afrika yang Kita Inginkan”: terintegrasi, makmur, dan damai, digerakkan oleh warganya. Rencana implementasi kedua Agenda 2063, yang mencakup 2024 hingga 2033, bertujuan untuk mempercepat implementasi prioritas-prioritas kunci.
Proyek unggulan (flagship projects) dari Agenda 2063 merupakan inisiatif kunci untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Afrika, sekaligus mempromosikan identitas bersama. Ini mencakup proyek-proyek penting seperti Pan-African E-Network, yang dirancang untuk meningkatkan infrastruktur broadband terestrial intra-Afrika, layanan e-aplikasi transformatif, dan keamanan siber. Selain itu, terdapat fokus pada transformasi sumber energi dari tradisional ke modern untuk memastikan akses listrik bersih dan terjangkau bagi warga Afrika.
Integrasi Pembangunan dengan Keadilan Global
Pan-Afrikanisme kontemporer secara efektif menggabungkan pembangunan infrastruktur dan ekonomi (Agenda 2063) dengan tuntutan keadilan global, khususnya dalam isu perubahan iklim dan perdagangan. Dalam forum iklim global, Uni Afrika telah menetapkan posisi negosiasi yang bersatu, seperti yang diabadikan dalam Deklarasi Nairobi, yang akan menjadi landasan posisi mereka di KTT COP28.
Para pemimpin Afrika menegaskan bahwa keadilan iklim adalah dimensi baru dari ketidaksetaraan global. Meskipun Afrika adalah salah satu benua yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, benua ini hanya menerima sekitar 12 persen dari hampir $300 miliar pendanaan tahunan yang dibutuhkan untuk mengatasi dampaknya. Hal ini mendorong tuntutan untuk reformasi pendanaan global. Selain itu, mereka menuntut mekanisme perdagangan yang memungkinkan produk-produk dari benua Afrika bersaing secara adil dan setara di pasar global. Tuntutan ini menunjukkan kehati-hatian Afrika terhadap skema global yang dapat membatasi pertumbuhan ekonomi mereka atas nama mitigasi iklim, berisiko mengulangi asimetri perdagangan masa lalu. Jika kedaulatan ekonomi adalah tujuan G77, maka bagi Afrika, kedaulatan lingkungan dan pembangunan adalah bagian integral dari kedaulatan total.
Relevansi dan Pengaruh GNB/G77 di Forum Multilateral Kontemporer
Meskipun Perang Dingin telah berakhir dan lanskap geopolitik telah berubah menjadi multipolaritas, prinsip-prinsip kedaulatan, solidaritas, dan otonomi yang diusung oleh GNB dan Pan-Afrikanisme tetap relevan. Peran mereka saat ini terutama berpusat pada upaya untuk mendemokratisasi tata kelola global dan menantang sistem yang dianggap tidak adil, yang didominasi oleh negara-negara Global North.
Kekuatan Blok Suara di PBB dan Tuntutan Reformasi
Gerakan Non-Blok dan G77 memanfaatkan kekuatan numerik mereka di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memengaruhi agenda global.
Peran dalam Majelis Umum PBB
Dengan jumlah anggota yang besar, negara-negara Non-Blok menjadi blok voting yang signifikan di PBB, memengaruhi agenda dan resolusi-resolusi penting, terutama yang berkaitan dengan dekolonisasi, hak asasi manusia, dan pembangunan.
GNB terus mendorong penguatan perannya dalam perdamaian dan keamanan internasional, penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru, serta pencapaian Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Selain itu, GNB tetap memegang teguh komitmen historisnya dengan terus memberi perhatian pada isu Palestina dan mendorong kembali proses perdamaian; Indonesia adalah salah satu anggota Komite Palestina GNB.
Indonesia, sebagai aktor sentral dalam pembentukan GNB , terus membawa Spirit Bandung ke forum-forum kontemporer GNB, menekankan solidaritas dan semangat anti-kolonialisme sebagai dukungan nyata untuk perdamaian dunia dan pembangunan global yang berkeadilan.
Perjuangan Keadilan Ekonomi: Reformasi Arsitektur Keuangan Internasional (AFI)
Tuntutan reformasi Arsitektur Keuangan Internasional (AFI) merupakan titik sentral dari perjuangan G77 kontemporer, yang secara langsung menantang institusi yang didirikan pada era pasca-Perang Dunia II (Institusi Bretton Woods).
Kritik dan Seruan Reformasi IMF dan Bank Dunia
Indonesia, dalam pertemuan tingkat menteri G77 di sela Sidang Umum PBB, mengusulkan reformasi pada institusi keuangan internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Kritik utama adalah bahwa tujuan pembentukan institusi tersebut pada tahun 1945 sudah tidak lagi sama, dan bahwa pengambilan keputusan di Bank Dunia yang dilakukan melalui sistem voting berbasis saham (capital share) tidak mencerminkan fakta bahwa negara-negara yang dulunya berkembang atau miskin kini telah menjadi pemain utama dalam ekonomi global. Jika negara-negara maju dapat mengendalikan kebijakan moneter dan utang global melalui porsi modal suara, maka kedaulatan negara berkembang menjadi terbatas pada kebijakan domestik. Oleh karena itu, reformasi IFI adalah tuntutan untuk kedaulatan finansial, prasyarat penting bagi otonomi pasca-kolonial.
Advokasi Keadilan Utang dan Pajak Global
G77 secara aktif mendorong peran PBB untuk mengambil kembali perannya dalam pembentukan kebijakan AFI, sebagai respons terhadap meningkatnya kritik terhadap pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi Barat dan mengabaikan konteks lokal di Global South.
Tuntutan utama G77 meliputi advokasi untuk mekanisme global yang lebih adil dan transparan:
- Mendorong pembentukan Konvensi Kerangka PBB tentang Utang Negara(United Nations Framework Convention on Sovereign Debt) sebagai langkah nyata membangun mekanisme rekonstruksi utang negara yang adil dan transparan di bawah naungan PBB.
- Mengadvokasi Konvensi Pajak PBB(United Nations Tax Convention) untuk memperkuat posisi negara berkembang dan memberikan ruang setara dalam perumusan kebijakan perpajakan global, yang selama ini didominasi oleh forum eksklusif seperti OECD.
Perjuangan G77 untuk reformasi AFI merupakan upaya untuk mendemokratisasi kapitalisme global. Dengan menantang sistem voting berbasis modal di IFI dan menuntut forum pajak yang inklusif di PBB , G77 merevitalisasi semangat NIEO dengan menuntut kesetaraan struktural dalam sistem global. Isu utang, pajak, dan anggaran publik dipandang bukan hanya sebagai masalah angka, tetapi sebagai masalah kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan masa depan bumi.
G77 dan Keadilan Perdagangan di WTO
Dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), G77 dan China mendukung sistem perdagangan multilateral (MTS) yang berbasis aturan, tetapi menekankan perlunya reformasi untuk memastikan sistem tersebut responsif terhadap kepentingan pembangunan negara-negara berkembang.
G77 menyuarakan kekhawatiran besar bahwa manfaat MTS masih luput dari negara-negara berkembang, dan terdapat ketidakseimbangan signifikan antara hak dan kewajiban dalam perjanjian perdagangan multilateral. G77 mencatat bahwa kemajuan menuju liberalisasi penuh di sektor-sektor yang sangat diminati oleh negara-negara berkembang tertinggal, yang berkontribusi pada defisit pembangunan.
Oleh karena itu, G77 menuntut agar dimensi pembangunan harus sepenuhnya dimasukkan ke dalam MTS. Mengatasi asimetri dan defisit pembangunan harus menjadi prioritas utama dalam semua program kerja WTO di masa depan, karena kunci pertumbuhan ekonomi global yang berkelanjutan terletak pada pembukaan potensi pertumbuhan negara-negara berkembang.
Kritik dan Tantangan terhadap Otonomi Dunia Ketiga
Meskipun GNB dan G77 telah menunjukkan solidaritas ideologis dan kemampuan untuk memengaruhi tata kelola global, efektivitas dan kohesi mereka terus diuji oleh tantangan internal dan munculnya ancaman neokolonialisme baru.
Tantangan Internal: Fragmentasi dan Asimetri Kekuatan
Solidaritas Global South, yang menjadi inti dari GNB dan G77, seringkali terhambat oleh realitas politik kekuasaan dan heterogenitas kepentingan nasional di antara anggotanya.
Inkonsistensi Historis dan Sumber Daya
GNB secara historis sempat kehilangan kredibilitasnya pada akhir tahun 1960-an, dan sepenuhnya terpecah pada akhir tahun 1979 ketika terjadi invasi Soviet ke Afghanistan, karena beberapa negara anggota memutuskan untuk bergabung dengan blok lain.
Secara struktural, G77 juga menghadapi kelemahan dalam hal sumber daya keuangan dan teknis. Tidak seperti Uni Afrika atau ASEAN yang memiliki anggaran operasional tetap, G77 bergantung pada kontribusi sukarela yang tidak stabil dari negara-negara anggotanya. Keterbatasan dana ini menyulitkan G77 untuk membiayai kegiatan diplomatik dan pengelolaan administrasi, seringkali menyebabkan ketergantungan pada dukungan lembaga eksternal seperti UNCTAD dan PBB untuk menjalankan aktivitasnya. Ketergantungan ini membatasi otonomi G77 dalam menentukan agenda dan kebijakan yang independen.
Fenomena “Kepemimpinan Tersembunyi”
Keanggotaan G77 yang luas dan beragam—yang meliputi hampir semua kategori negara berkembang saat ini —menciptakan asimetri kekuasaan internal. Negara-negara yang lebih kuat secara ekonomi dan politik memiliki pengaruh lebih besar dalam menetapkan agenda kelompok. Hal ini menciptakan dinamika “kepemimpinan tersembunyi,” di mana keputusan G77 lebih mencerminkan kepentingan negara-negara besar tersebut, sementara kepentingan negara-negara kecil kurang diperhatikan.
Contohnya, dalam negosiasi perdagangan internasional, posisi yang diambil oleh negara-negara besar G77 seperti Brasil dan India sering kali lebih mencerminkan agenda nasional mereka sendiri daripada kepentingan kolektif negara-negara kecil di Afrika atau Pasifik. Analisis melalui World Systems Theory menunjukkan kontradiksi internal: G77, yang didirikan untuk melawan dominasi core (Utara), menghadapi dominasi internal dari negara-negara semi-periphery yang lebih kuat. Hal ini menegaskan bahwa perjuangan untuk kesetaraan tidak berhenti di batas geografis Utara-Selatan.
Ancaman Neokolonialisme Baru: Utang dan Ketergantungan Baru
Prinsip otonomi yang diperjuangkan oleh GNB kini menghadapi ancaman baru berupa ketergantungan ekonomi non-tradisional yang muncul dari Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS).
Kekhawatiran Debt-Trap Diplomacy
Istilah debt-trap diplomacy (diplomasi jebakan utang), yang pertama kali diciptakan pada tahun 2017, menggambarkan praktik di mana negara kreditur memberikan utang berlebihan dengan tujuan mendapatkan konsesi ekonomi atau politik ketika negara peminjam tidak mampu memenuhi kewajiban pembayaran. Walaupun keabsahan hipotesis ini diperdebatkan oleh akademisi (yang mencatat bank Tiongkok bersedia merestrukturisasi pinjaman dan belum pernah menyita aset suatu negara ), kekhawatiran mendasar tentang kedaulatan tetap relevan. Persyaratan pinjaman seringkali tidak dipublikasikan, dan uang yang dipinjam umumnya digunakan untuk membayar kontraktor dan material yang bersumber dari negara kreditur.
Ketergantungan Infrastruktur dan Digital Baru
Investasi besar dari kekuatan ekonomi Global South yang sedang naik daun, terutama Tiongkok melalui Belt and Road Initiative (BRI) dan Digital Silk Road (DSR), menimbulkan kekhawatiran tentang kedaulatan negara berkembang. Dalam perspektif neorealisme, kepentingan ekonomi Tiongkok dalam DSR dilihat sebagai bagian integral dari strategi kekuatan dan keamanan nasionalnya, menggunakan proyek ini sebagai alat untuk mengukuhkan posisinya dalam struktur kekuasaan global. DSR membangun jaringan infrastruktur digital yang China-centric secara global, yang dapat menimbulkan ketergantungan baru di negara-negara ASEAN dan sekitarnya.
Paradoks Kerja Sama Selatan-Selatan
KSS dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan pada Utara, tetapi berisiko menciptakan paradoks neokolonial di mana ketergantungan digantikan oleh kekuatan Selatan yang sedang naik daun. Meskipun Tiongkok secara diplomatik memegang teguh prinsip non-intervensi (selaras dengan GNB ), kekhawatiran di Afrika dan Asia adalah bahwa investasi ekonomi besar-besaran ini secara praktis menciptakan ketergantungan ekonomi yang dapat diterjemahkan menjadi pengaruh politik di masa depan, menguji otonomi yang diperjuangkan GNB.
Jika negara berkembang menerima pinjaman yang kurang transparan atau yang mensyaratkan penggunaan kontraktor dan material dari negara pemberi pinjaman , otonomi ekonomi dan kemampuan untuk memprioritaskan kepentingan rakyat terancam. Ini adalah bentuk baru dari kontrol ekonomi, menggarisbawahi bahwa perjuangan untuk otonomi (prinsip inti GNB ) adalah proses yang berkelanjutan dan harus dipertahankan terhadap semua bentuk dominasi, terlepas dari sumber geografisnya.
Kesimpulan dan Prospek Strategis
Pan-Afrikanisme dan Gerakan Non-Blok (GNB) telah bertransformasi dari mekanisme perlawanan kolonial dan penyeimbang Perang Dingin menjadi platform kritis untuk advokasi reformasi tata kelola global. Solidaritas dan otonomi negara-negara Dunia Ketiga tetap menjadi prinsip panduan, namun perjuangan telah bergeser ke ranah finansial, digital, dan lingkungan.
Ringkasan Kontribusi Abadi
GNB/G77 dan Pan-Afrikanisme telah memberikan kontribusi abadi pada sistem internasional melalui tiga mekanisme utama:
- Pengukuhan Kedaulatan Negara:Gerakan ini memberikan perisai ideologis kolektif yang mendefinisikan kedaulatan bukan sebagai netralitas pasif, tetapi sebagai otonomi strategis yang aktif (seperti politik luar negeri Bebas Aktif). Ini berhasil mendukung gerakan pembebasan dan mempercepat dekolonisasi.
- Mendemokratisasi Multilateralisme:Dengan membentuk blok voting terbesar di PBB (G77), gerakan ini memastikan bahwa suara negara berkembang didengar dan mampu memengaruhi agenda terkait pembangunan, hak asasi manusia, dan resolusi penting lainnya.
- Mengubah Agenda Ekonomi Global:G77 secara konsisten menuntut reformasi Arsitektur Keuangan Internasional (AFI), menantang hegemoni institusional Barat, dan memperjuangkan keadilan utang dan pajak global di PBB.
Rekomendasi Strategis untuk Memperkuat Otonomi Global Selatan
Untuk mengatasi tantangan internal (fragmentasi) dan eksternal (neokolonialisme baru) serta merevitalisasi semangat otonomi, langkah-langkah strategis berikut diperlukan:
- Mengkonsolidasikan Kohesi Institusional G77
Pelemahan G77 akibat sumber daya yang tidak stabil dan asimetri kekuasaan internal harus diatasi. Negara-negara anggota harus berkomitmen pada mekanisme pendanaan yang stabil dan berkelanjutan (mengurangi ketergantungan pada dukungan eksternal) untuk memungkinkan konsistensi agenda. Selain itu, G77 harus secara eksplisit membangun mekanisme konsultasi yang kuat untuk memitigasi asimetri kekuasaan, memastikan bahwa kepentingan negara-negara kecil Afrika dan Pasifik terwakili secara setara dengan kepentingan negara-negara besar yang sering mendominasi pengambilan keputusan.
Mendorong Kerja Sama Selatan-Selatan (KSS) yang Berbasis Prinsip Kedaulatan
KSS harus berfungsi sebagai model pembangunan yang berbeda secara fundamental dari hubungan Utara-Selatan yang didominasi oleh persyaratan politis dan ekonomi yang mengikat. Hal ini menuntut penekanan pada transparansi pinjaman dan praktik investasi yang ketat, serta penolakan terhadap persyaratan yang dapat mengarah pada eksploitasi atau debt-trap diplomacy. KSS harus difokuskan pada pembangunan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat dan otonomi ekonomi negara peminjam, bukan kepentingan geopolitik kreditur, untuk menghindari paradoks neokolonial.
Mempertahankan Tekanan Reformasi Tata Kelola Global
GNB/G77 harus terus mendorong momentum reformasi melalui PBB (Konvensi Utang Negara dan Konvensi Pajak PBB). Langkah ini merupakan kunci untuk mendemokratisasi pengambilan keputusan finansial dan pajak global. Selain itu, agenda ini harus diintegrasikan dengan tuntutan Keadilan Iklim, memastikan bahwa pendanaan iklim dan mekanisme perdagangan baru (seperti yang dituntut Pan-Afrikanisme ) bersifat adil dan tidak membatasi prospek pembangunan Global South.
Membangun Kedaulatan Digital Kolektif
Sejalan dengan prioritas Pan-Afrikanisme terhadap infrastruktur digital (Pan-African E-Network ), GNB/G77 harus mengembangkan kerangka kerja kolektif untuk kedaulatan digital dan keamanan siber. Langkah ini penting untuk menanggapi tantangan dan ancaman baru yang ditimbulkan oleh infrastruktur China-centric seperti Digital Silk Road, yang berpotensi menciptakan ketergantungan baru dalam bidang teknologi dan data. Kedaulatan di abad ke-21 menuntut otonomi atas infrastruktur digital dan kemampuan untuk mengendalikan aliran data lintas batas.
