Model bantuan kemanusiaan global saat ini berada pada titik kritis, menghadapi tuntutan untuk transisi struktural dari praktik donor-dictated development dan intervensi “Penyelamatan Jarak Jauh” menuju sebuah arsitektur yang didominasi oleh Agenda Lokalisasi. Model bantuan tradisional, yang sering mengandalkan pengiriman barang in-kind secara berlebihan, telah terbukti tidak hanya tidak efisien secara logistik tetapi juga merusak secara ekonomi. Praktik ini secara kausal merusak pasar lokal, menekan harga, dan menghambat inisiatif pemulihan mandiri di komunitas terdampak.

Tesis Sentral laporan ini adalah bahwa Agenda Lokalisasi merupakan koreksi sistemik yang esensial terhadap kegagalan struktural model bantuan yang didominasi pihak luar. Lokalisasi bukan sekadar mekanisme transfer dana, melainkan sebuah transformasi kekuasaan struktural yang bertujuan mengembalikan agencies (kemampuan bertindak dan menentukan prioritas) dan kepemilikan kepada aktor di tingkat sub-nasional dan akar rumput. Melalui pemberdayaan ini, aksi kemanusiaan dapat mencapai peningkatan jangkauan, efektivitas, akuntabilitas, dan terutama, keberlanjutan jangka panjang.

Rekomendasi Kebijakan Utama yang mendesak adalah: 1) Secara radikal mengalihkan otoritas pengambilan keputusan dan pendanaan kepada organisasi lokal, sejalan dengan komitmen seperti Grand Bargain 2.0; 2) Mengadopsi Bantuan Tunai dan Voucher (CVA) sebagai mekanisme respons utama untuk mendukung integritas pasar lokal ; dan 3) Mengubah budaya donor dengan mengalibrasi ulang definisi risiko, bergeser dari mitigasi risiko finansial birokratis menjadi mitigasi risiko kegagalan program yang tidak relevan secara kontekstual.

Pengantar: Mendefinisikan Paradigma dan Dinamika Kekuasaan

Kontekstualisasi Sejarah Bantuan Global dan Model Top-Down

Arsitektur bantuan kemanusiaan dan pembangunan global telah lama dicirikan oleh struktur pengambilan keputusan top-down. Konteks historis pasca-Perang Dingin mendorong model intervensi di mana negara dan lembaga donor asing mendefinisikan solusi, teknologi, dan agenda yang harus diikuti oleh negara penerima. Struktur yang didikte oleh donor ini (donor-dictated development) menciptakan ketergantungan struktural, yang secara inheren membatasi kemampuan komunitas lokal untuk memimpin pemulihan mereka sendiri.

Secara filosofis, model tradisional ini seringkali berakar pada citra ‘penyelamat’ eksternal—atau yang biasa disebut globe-trotting foreigner—yang terbang ke wilayah krisis untuk “menyelamatkan hari”. Citra ini secara efektif mengaburkan fakta bahwa sebagian besar bantuan kemanusiaan di lapangan, seringkali secara tak terlihat, sudah disampaikan oleh para kemanusiaan lokal, seperti sukarelawan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.

Definisi Konseptual: “Penyelamatan Jarak Jauh” vs. Lokalisasi

Perdebatan ini dapat dikelompokkan menjadi dua model yang bersaing:

  1. Model “Penyelamatan Jarak Jauh” (Remote Rescue): Paradigma ini berfokus pada intervensi fisik dan logistik bantuan in-kind (barang) yang dikelola dan dirancang dari pusat-pusat donor yang jauh. Prioritasnya adalah kecepatan dan visibilitas pengiriman, seringkali mengorbankan relevansi kontekstual dan dampak jangka panjang.
  2. Agenda Lokalisasi: Berbeda dengan model tradisional, Lokalisasi adalah konsep transformasional. Ini didefinisikan sebagai proses pengalihan kepemilikan, kekuatan pengambilan keputusan, dan tugas pelayanan kepada populasi lokal. Lokalisasi bertujuan untuk meningkatkan investasi internasional dan menghormati peran aktor lokal. Dalam istilah yang paling sederhana, Lokalisasi berarti memberdayakan populasi lokal—para responden, peserta program, dan komunitas terdampak—untuk memimpin dan menyampaikan bantuan kemanusiaan.

Kritik terhadap Aliran Investasi dan Otoritas: Paradoks Pendanaan

Meskipun retorika kebijakan telah mengarah pada Lokalisasi sejak Grand Bargain 2016 (diperkuat oleh Grand Bargain 2.0 pada 2021) , aliran sumber daya global menunjukkan paradoks yang mendalam. Aktor kemanusiaan lokal adalah pihak pertama yang merespons bencana dan seringkali memiliki akses ke area yang tidak dapat dijangkau oleh aktor internasional. Mereka juga yang umumnya paling siap untuk menghubungkan upaya respons segera dengan pembangunan ketahanan, kesiapsiagaan, dan pemulihan jangka panjang.

Namun, bertentangan dengan realitas operasional ini, sebagian besar investasi, perhatian, dan otoritas internasional masih mengalir ke organisasi internasional. Jika aktor lokal adalah first responders yang secara intrinsik lebih efektif karena kedekatan dan pengetahuan kontekstual mereka, dominasi pendanaan oleh aktor internasional menunjukkan bahwa sistem tersebut, secara default, dirancang untuk mempertahankan kontrol birokrasi, mengutamakan visibilitas politik donor, dan hierarki pengetahuan, alih-alih memaksimalkan efektivitas operasional di lapangan. Dengan demikian, Lokalisasi menuntut arsitektur pendanaan yang benar-benar sesuai dengan realitas penyampaian bantuan di lapangan.

Kritik Terhadap Model “Penyelamatan Jarak Jauh”: Kerusakan Ekonomi dan Etika

Model intervensi yang didominasi pihak luar, terutama ketika berfokus pada pengiriman bantuan in-kind secara besar-besaran, menghadapi kritik keras. Kerusakan yang ditimbulkan oleh praktik ini bersifat ganda: ekonomi dan etika.

Analisis Distorsi Pasar Akibat Bantuan In-Kind Berlebihan

Kritik paling tajam terhadap model “Penyelamatan Jarak Jauh” terletak pada dampak ekonomi negatifnya. Ketika pengiriman bantuan fisik (seperti pakaian bekas, atau makanan yang tidak dibeli secara lokal dan sudah tersedia di pasar) dilakukan dalam volume besar dan tidak dikoordinasikan dengan hati-hati, praktik ini secara efektif bertindak sebagai dumping ekonomi di wilayah terdampak.

Dampak kausalnya sangat merusak: Kelebihan pasokan barang gratis atau sangat murah menekan harga jual barang lokal, termasuk hasil pertanian, produk kebutuhan sehari-hari, atau pakaian yang diproduksi oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal. Harga jual ini dapat jatuh di bawah biaya produksi, yang mengakibatkan kehancuran mata pencaharian dan inisiatif ekonomi lokal. Tujuan utama bantuan kemanusiaan adalah membangun ketahanan (resilience) dan memungkinkan pemulihan jangka panjang. Ketika pasar lokal dirusak oleh barang gratis dari luar, basis ekonomi vital yang diperlukan untuk pemulihan jangka panjang—yaitu, kemampuan masyarakat untuk berdagang dan menghasilkan pendapatan—dihancurkan. Bantuan in-kind yang tidak terkendali, oleh karena itu, secara tidak sengaja dapat mengubah krisis jangka pendek menjadi ketergantungan struktural jangka panjang.

Isu Ketergantungan Struktural dan Penghapusan Agency

Model top-down dan donor-dictated juga memiliki konsekuensi etika dan sosiologis yang serius. Dengan memaksakan solusi, teknologi, dan jenis bantuan yang didefinisikan secara eksternal , model ini menghasilkan ketergantungan struktural. Penerima bantuan dianggap sebagai objek pasif yang membutuhkan intervensi, bukan sebagai agen aktif dalam pemulihan mereka sendiri.

Praktik ini menghilangkan agencies (kemampuan bertindak dan menentukan prioritas) komunitas. Ketika komunitas lokal tidak dapat menentukan apa yang mereka butuhkan atau bagaimana bantuan harus didistribusikan, hal itu mengabaikan martabat penerima dan merampas kepemilikan mereka atas proses pemulihan.

Ketidakefisienan Fungsional Bantuan Fisik

Selain distorsi pasar, bantuan fisik juga menderita ketidakefisienan fungsional yang tinggi. Pengiriman barang jarak jauh melibatkan biaya logistik yang tidak proporsional (transportasi, penyimpanan, keamanan, dan distribusi kompleks) dibandingkan dengan mekanisme transfer uang tunai. Selain itu, ada risiko tinggi pengiriman barang yang tidak sesuai secara budaya atau tidak relevan secara kontekstual (misalnya, pakaian musim dingin di daerah tropis), yang selanjutnya mengurangi efektivitas bantuan di lapangan.

Agenda Lokalisasi: Fondasi Transformasi dan Efektivitas

Agenda Lokalisasi hadir sebagai respons kritis dan solutif terhadap kelemahan model “Penyelamatan Jarak Jauh.” Agenda ini menuntut reformasi mendasar, yang berfokus pada pengalihan kekuasaan dan sumber daya.

Lokalisasi sebagai Transfer Kekuasaan Struktural

Lokalisasi adalah proses transformasional yang terbuka (open-ended) yang menghasilkan pergeseran fundamental dalam pengambilan keputusan menuju komunitas individu. Ini melampaui sekadar peningkatan efisiensi operasional; ini adalah transformasi kekuasaan struktural. Tujuannya adalah memastikan bahwa aksi kemanusiaan mencapai peningkatan jangkauan, efektivitas, dan akuntabilitas.

Implementasi Lokalisasi yang benar membutuhkan direct engagement, respect, dan deference terhadap aktor dan pemangku kepentingan lokal dalam mendefinisikan, mendesain, dan menyampaikan aksi kemanusiaan, yang mencakup potensi pengalihan semua peran pemrograman kepada aktor lokal.

Keunggulan Fungsional Aktor Lokal

Aktor kemanusiaan lokal memiliki keunggulan fungsional yang tidak dapat ditandingi oleh organisasi internasional.

  1. Relevansi Kontekstual: Aktor lokal paling mengerti kebutuhan, prioritas, dan dinamika sosial yang relevan secara kontekstual di wilayah mereka. Hal ini memungkinkan respons yang menghasilkan dampak yang lebih relevan dan lebih efisien secara strategis dibandingkan dengan intervensi yang dirancang secara eksternal.
  2. Ketahanan Jangka Panjang: Kehadiran aktor lokal dalam komunitas berlangsung sebelum, selama, dan sesudah krisis. Kedudukan unik ini menjadikan mereka yang paling tepat untuk menghubungkan upaya respons segera dengan upaya pembangunan ketahanan, kesiapsiagaan, dan pemulihan jangka panjang yang berkelanjutan.

Komitmen Kebijakan Global dan Realitas Implementasi

Pengakuan formal terhadap pentingnya Lokalisasi telah dikristalisasi dalam kebijakan global, khususnya melalui Grand Bargain. Sejumlah donor besar dan organisasi kemanusiaan membuat komitmen penting tentang Lokalisasi pada tahun 2016, dan komitmen ini diperbarui melalui Grand Bargain 2.0 yang diluncurkan pada tahun 2021. Bahkan, model kerja IFRC (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) telah memprioritaskan jaringan organisasi lokal sejak didirikan pada tahun 1919.

Namun, meskipun komitmen kebijakan formal ini (retorika) berfungsi sebagai legitimasi moral, terdapat jarak signifikan antara retorika dan realitas pendanaan. Target pendanaan langsung sebesar 25% kepada aktor lokal yang ditetapkan dalam Grand Bargain masih belum tercapai secara luas. Ini menunjukkan bahwa tanpa perubahan mandat pendanaan yang mengikat dan dekonstruksi keengganan risiko di kalangan donor, reformasi kekuasaan struktural akan tetap lambat. Arsitektur bantuan saat ini masih berjuang untuk mengubah investasi aktual yang sejalan dengan realitas operasional bahwa aktor lokal adalah penyampai bantuan mayoritas.

Table 1: Perbandingan Model Bantuan Kemanusiaan: Fokus pada Dimensi Ekonomi dan Kekuasaan

Dimensi Kritis Model “Penyelamatan Jarak Jauh” (Bantuan In-Kind Tradisional) Model Bantuan Lokal (Agenda Lokalisasi)
Mekanisme Pengambilan Keputusan Top-Down, Didikte oleh Donor (Donor-dictated development) Transformasi Kekuasaan, Transfer Otoritas ke Komunitas
Dampak terhadap Pasar Lokal Risiko Distorsi Pasar Tinggi (Dumping); Merusak harga dan mata pencaharian lokal Mendukung integritas pasar, mengalirkan uang kembali ke pedagang lokal
Fokus Waktu Respons cepat, intervensi jangka pendek Pembangunan Ketahanan Jangka Panjang dan Pemulihan Sistemik
Aliran Pendanaan Investasi besar ke organisasi internasional; Aktor lokal bekerja ‘secara tak terlihat’ Peningkatan investasi langsung dan rasa hormat terhadap peran aktor lokal

Instrumen Kunci Transformasi: Bantuan Tunai (CVA) sebagai Katalis Lokalisasi

Untuk mewujudkan janji Agenda Lokalisasi sambil memitigasi risiko distorsi pasar yang terkait dengan bantuan in-kind, diperlukan instrumen operasional yang transformatif. Bantuan Tunai dan Voucher (Cash and Voucher Assistance atau CVA) adalah mekanisme utama yang memenuhi peran ini.

CVA: Mekanisme Operasional untuk Pemberdayaan

CVA, yang didefinisikan sebagai ‘penyediaan transfer tunai dan/atau voucher untuk barang atau jasa’ kepada populasi terdampak , telah menjadi fundamental dalam respons bencana dan kemanusiaan di seluruh dunia. CVA adalah alat yang secara inheren memfasilitasi Agenda Lokalisasi karena secara otomatis mentransfer kekuatan pengambilan keputusan ekonomi ke tingkat individu dan komunitas.

Keunggulan CVA dalam Mendukung Pasar Lokal

Keunggulan utama CVA dibandingkan bantuan in-kind adalah kemampuannya untuk mendukung dan merevitalisasi pasar lokal alih-alih merusaknya. Ketika bantuan tunai diberikan, dana tersebut diterjemahkan menjadi daya beli yang memungkinkan penerima untuk membeli barang yang mereka butuhkan dari pedagang lokal. Hal ini tidak hanya memastikan relevansi bantuan (karena penerima memilih barang yang paling sesuai dengan kebutuhan kontekstual mereka), tetapi juga menyuntikkan likuiditas dan dukungan langsung ke rantai pasokan dan produsen lokal. CVA dengan demikian mengembalikan peran pasar sebagai mekanisme pemulihan yang vital, daripada menganggap pasar sebagai penghalang yang harus dihindari oleh barang bantuan eksternal.

CVA dan Isu Kepercayaan Donor

Adopsi CVA secara luas berfungsi sebagai barometer kepercayaan dalam sistem bantuan. Memberikan uang tunai langsung kepada penerima membutuhkan kepercayaan yang mendalam pada agency individu untuk membuat keputusan terbaik mengenai kebutuhan mereka. Keengganan historis donor terhadap CVA, seringkali diwujudkan dalam preferensi untuk pengiriman barang yang terlihat dan mudah dilacak, merupakan refleksi dari kurangnya kepercayaan ini. Ironisnya, kurangnya kepercayaan pada kemampuan pengambilan keputusan individu penerima ini juga merupakan akar masalah yang sama yang menghambat Agenda Lokalisasi yang lebih luas.

Oleh karena itu, peningkatan adopsi CVA yang sukses bukan hanya masalah efisiensi; ini adalah indikator nyata bahwa sektor kemanusiaan mulai menghargai otonomi penerima dan mengurangi keengganan risiko yang tidak rasional yang selama ini mendominasi pengambilan keputusan pendanaan. Peningkatan CVA menunjukkan pergeseran dari akuntabilitas logistik menjadi akuntabilitas berbasis hasil dan martabat.

Mengatasi Hambatan Struktural dan Mengelola Risiko Donor (The Localization Paradox)

Meskipun Lokalisasi diakui secara luas sebagai pendekatan yang paling efektif dan etis, implementasinya terus diperlambat oleh hambatan struktural yang berakar pada dinamika kekuasaan dan praktik birokrasi yang sudah mengakar.

Dinamika Kekuasaan dan Kontrol

Hambatan utama terhadap Lokalisasi yang sejati adalah dinamika kekuasaan yang ada dalam arsitektur bantuan global. Organisasi internasional dan donor cenderung mempertahankan dominasi sumber daya dan otoritas, melihat aktor lokal seringkali lebih sebagai sub-kontraktor yang dapat dieksploitasi daripada mitra sejajar.

Alih-alih mentransfer kekuasaan, banyak praktik Lokalisasi yang terdistorsi menjadi ‘devolusi tanggung jawab’ tanpa devolusi sumber daya atau otoritas. Meskipun organisasi lokal memberikan sebagian besar bantuan, mereka tetap berada di anak tangga terendah dari rantai pendanaan, yang memperkuat hierarki yang menghambat kepemilikan dan agencies sejati.

Budaya Keengganan Risiko Donor (Donor Risk Aversion)

Hambatan yang paling kuat adalah budaya keengganan risiko di kalangan donor. Donor mendefinisikan risiko secara sempit, dengan fokus utama pada risiko kepatuhan finansial (kekhawatiran penyalahgunaan dana) dan memaksakan standar pelaporan dan audit yang sering kali tidak proporsional dan tidak realistis bagi organisasi lokal yang sumber dayanya terbatas.

Kekhawatiran yang berlebihan ini menyebabkan donor menghindari pendanaan langsung, memilih saluran yang ‘aman’ melalui Organisasi Non-Pemerintah Internasional (INGO) yang sudah mapan. Namun, keengganan risiko finansial yang kecil ini menciptakan risiko kegagalan dampak yang jauh lebih besar. Dengan menghindari pendanaan langsung, donor secara tidak sengaja mendukung program yang tidak relevan secara kontekstual, memelihara inefisiensi, dan mempertahankan praktik seperti bantuan in-kind yang merusak pasar. Kalibrasi ulang risiko diperlukan: fokus harus bergeser dari mitigasi risiko finansial birokratis menjadi mitigasi risiko kegagalan program yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk bertindak secara kontekstual dan cepat.

Hierarki Pengetahuan

Arsitektur bantuan global juga didominasi oleh hierarki pengetahuan, di mana ‘keahlian’ teknis yang diperoleh secara eksternal seringkali lebih dihargai daripada pengetahuan kontekstual yang dimiliki oleh aktor lokal. Kecenderungan untuk mendikte solusi generik dari luar, dengan mengesampingkan kearifan lokal, mencegah pengembalian agencies dan kepemilikan kepada komunitas.

Tanpa pengakuan formal dan pendanaan untuk memperkuat sistem pengetahuan lokal, organisasi-organisasi di tingkat akar rumput akan terus dianggap hanya sebagai pelaksana pasif, bukan sebagai pakar krisis yang sebenarnya—padahal mereka adalah yang pertama dan paling sering merespons di lapangan.

Table 2: Analisis Hambatan Struktural dan Rekomendasi Kebijakan (Peta Jalan Reformasi)

Jenis Hambatan Struktural Manifestasi Kritis (The Localization Paradox) Rekomendasi Kebijakan Kritis
Dinamika Kekuasaan Global 1 Dominasi otoritas; Sumber daya mengalir ke INGO meski aktor lokal yang memberikan bantuan mayoritas.2 Mandat eksplisit untuk devolusi (pengalihan) kekuasaan pengambilan keputusan proyek kepada kepemimpinan lokal.
Budaya Keengganan Risiko Donor 1 Standar akuntabilitas yang tidak realistis bagi organisasi lokal; Pendanaan hanya melalui saluran ‘aman’ (INGO). Mengembangkan kerangka akuntabilitas yang proporsional, berbasis kinerja (dampak), dan berbasis kepercayaan.
Hierarki Pengetahuan 1 Pengetahuan lokal diabaikan, program didesain berdasarkan solusi generik eksternal. Investasi jangka panjang pada sistem pengetahuan lokal; Pengakuan formal terhadap aktor lokal sebagai pakar krisis.
Penggunaan Bantuan In-Kind Distorsi pasar lokal, menghambat pemulihan ekonomi (Kritik utama pengguna). Mengadopsi Bantuan Tunai (CVA) sebagai default respons, kecuali ada bukti jelas ketidakmampuan pasar.

Peta Jalan Kebijakan dan Rekomendasi untuk Pendanaan yang Dipimpin Lokal

Untuk mengatasi hambatan struktural ini dan memastikan Lokalisasi bertransisi dari buzzword menjadi kenyataan operasional , diperlukan reformasi kebijakan yang berani dan terstruktur.

Reformasi Pendanaan: Melampaui Target 25%

Sektor global harus bergerak melampaui sekadar memenuhi target pendanaan 25% Grand Bargain kepada aktor lokal. Masalahnya bukan hanya jumlah, tetapi kualitas pendanaan. Donor harus dilarang menggunakan metode pass-through yang hanya menyamarkan INGO sebagai perantara, di mana risiko ditanggung lokal tetapi keputusan dan sebagian besar biaya administrasi tetap berada di tangan internasional.

Diperlukan mekanisme pendanaan yang dikelola secara kolektif oleh jaringan lokal (misalnya, dana yang dikelola nasional atau pooled funds) yang memberikan pendanaan yang tidak terikat dan fleksibel. Pendanaan ini harus memungkinkan organisasi lokal untuk berinvestasi dalam kesiapsiagaan dan kapasitas inti mereka, bukan hanya proyek jangka pendek yang ditentukan oleh donor.

Investasi dalam Sistem, Bukan Hanya Pelatihan

Strategi pembangunan kapasitas seringkali terbatas pada pelatihan teknis singkat, yang berfungsi lebih sebagai tick-box exercise bagi donor daripada perubahan struktural yang mendalam. Lokalisasi memerlukan investasi struktural yang mendalam.

Fokus harus bergeser ke pembangunan sistem tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas keuangan lokal yang kokoh. Dengan membangun sistem ini, organisasi lokal dapat secara mandiri mengelola dana dalam jumlah besar sesuai dengan standar internasional, yang pada akhirnya akan menghilangkan alasan birokrasi utama donor untuk menghindari pendanaan langsung. Investasi ini harus bersifat jangka panjang dan fleksibel.

Advokasi Kebijakan untuk Mengubah Budaya Donor

Donor harus didorong, dan pada akhirnya diwajibkan, untuk mendanai kemitraan jangka panjang dan fleksibel yang mengakui peran aktor lokal dalam menghubungkan respons segera dengan pemulihan jangka panjang.

Selain itu, metrik keberhasilan harus direvisi. Donor harus didorong untuk memasukkan metrik yang mengukur pembangunan ketahanan lokal, seperti pemulihan fungsi pasar (menggunakan CVA) dan peningkatan agencies komunitas, daripada hanya berfokus pada metrik output logistik (seperti jumlah barang in-kind yang dikirim) yang mendukung model “Penyelamatan Jarak Jauh.” Mengukur dampak ekonomi negatif dari bantuan in-kind harus menjadi bagian standar dari evaluasi donor.

Kesimpulan

Perdebatan antara “Penyelamatan Jarak Jauh” dan Bantuan Lokal adalah perdebatan tentang masa depan arsitektur bantuan kemanusiaan. Kritik terhadap praktik pengiriman bantuan in-kind yang berlebihan, yang terbukti merusak pasar lokal dan mata pencaharian, menyoroti kegagalan ekonomi dan etika dari model top-down yang ada.

Agenda Lokalisasi bukanlah tren sementara; ini adalah perubahan paradigma yang mendefinisikan ulang bantuan kemanusiaan sebagai proses transfer power, respect, and investment. Lokalisasi menjanjikan dampak yang lebih relevan secara kontekstual, berkelanjutan secara sistemik, dan lebih efisien secara strategis. Penggunaan Bantuan Tunai (CVA) merupakan katalis kunci yang mempromosikan martabat, mendukung pasar lokal, dan memfasilitasi Agenda Lokalisasi.

Kegagalan untuk mengadopsi Lokalisasi secara penuh, terutama dalam menghadapi keengganan risiko donor dan dinamika kekuasaan yang kaku, berarti sektor kemanusiaan global akan terus mempertahankan ketergantungan struktural dan memperburuk krisis melalui distorsi pasar yang tidak perlu. Investasi yang sungguh-sungguh pada kemanusiaan lokal adalah investasi paling efektif dan etis untuk membangun ketahanan global yang lebih aman dan mandiri.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

57 − 50 =
Powered by MathCaptcha