Krisis Iklim sebagai Kondisi Darurat dan Isu Keadilan Sosial
Krisis iklim bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan kondisi darurat sistemik yang berdampak langsung pada fondasi kesejahteraan sosial masyarakat global. Kondisi darurat ini dipicu oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan suhu ekstrem, kenaikan permukaan laut, kekeringan, hingga kelangkaan pangan. Analisis data menunjukkan peningkatan suhu yang mengkhawatirkan. Menurut catatan iklim dan kualitas udara BMKG, anomali suhu udara rata-rata di Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar +0.8∘C dibandingkan kondisi normal, dengan suhu rata-rata nasional mencapai 27.52∘C. Tren pemanasan ini mengindikasikan adanya eskalasi dampak yang menuntut respons yang cepat dan terstruktur.
Respons terhadap krisis iklim harus melampaui mitigasi (mengurangi penyebab) dan adaptasi (menyesuaikan diri). Pendekatan yang paling krusial adalah implementasi Keadilan Iklim. Keadilan Iklim mengakui bahwa meskipun semua orang terpengaruh, krisis ini menimbulkan ancaman yang lebih signifikan terhadap populasi yang terpinggirkan dan rentan. Prinsip Keadilan Iklim menuntut agar respons iklim menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia, menjamin kesetaraan gender dan ekuitas, serta memastikan bahwa manfaat dan beban respons iklim dibagi secara adil dan merata. Selain itu, pengambilan keputusan harus partisipatif, transparan, dan akuntabel, memastikan komunitas yang paling terdampak memiliki suara dalam solusi. Pekerja sosial memiliki tanggung jawab etis untuk menjunjung prinsip-prinsip ini dengan mengadvokasi kebijakan dan praktik yang menciptakan komunitas berkelanjutan dan membantu masyarakat beradaptasi.
Analisis Konseptual: Kapasitas Adaptif dan Kerentanan
Inti dari ketahanan sosial terhadap krisis iklim adalah konsep Kapasitas Adaptif. Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem—baik individu, rumah tangga, maupun komunitas—untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan cuaca ekstrem, mengambil manfaat dari peluang yang mungkin timbul, atau mengatasi konsekuensi negatifnya. Kapasitas ini sangat bergantung pada akses dan kendali individu atas lima jenis sumber daya utama: sumber daya alam, manusia, sosial, fisik, dan keuangan.
Jika sistem kesejahteraan sosial gagal melindungi sumber daya penting ini, terutama modal finansial dan sosial, kapasitas adaptif masyarakat akan terhambat secara otomatis. Hal ini menegaskan bahwa intervensi kesejahteraan sosial, seperti penyediaan jaring pengaman sosial, merupakan prasyarat fundamental, bukan sekadar respons sekunder, dalam agenda adaptasi iklim.
Untuk mencapai penghidupan yang tahan iklim, diperlukan sebuah kerangka kerja resiliensi holistik. Kerangka kerja ini mensyaratkan pendekatan yang terintegrasi, meliputi Pengurangan Risiko Bencana (DRR), Pembangunan Kapasitas, dan yang terpenting, penanganan Akar Penyebab Kerentanan (Underlying Causes of Vulnerability). Ketika pemerintah memantau, menganalisis, dan menyebarkan informasi iklim yang relevan untuk mata pencaharian, dan ketika perubahan iklim diintegrasikan ke dalam kebijakan lintas sektor di tingkat nasional , hal ini menunjukkan implementasi praktis dari Keadilan Iklim. Integrasi ini memastikan bahwa sumber daya dan perencanaan yang dikendalikan oleh sektor-sektor non-lingkungan (misalnya, infrastruktur, ekonomi) diarahkan untuk secara efektif mengurangi kerentanan masyarakat marjinal , sejalan dengan prinsip pembagian beban dan manfaat secara adil.
Dampak Multidimensi Krisis Iklim terhadap Kesejahteraan Sosial
Krisis iklim bermanifestasi dalam tiga dimensi sosial utama: perpindahan massal, destabilisasi mata pencaharian, dan eskalasi konflik sumber daya.
Perpindahan Populasi (Climate Displacement) dan Beban Kemanusiaan
Perpindahan internal akibat bencana dan perubahan iklim telah mencapai skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan Global Report on Internal Displacement 2025 (GRID) dari Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC), tercatat rekor 83.4 juta orang hidup dalam perpindahan internal (IDP) di seluruh dunia pada akhir tahun 2024.
Peningkatan angka ini didorong kuat oleh bencana terkait cuaca. Tahun 2024 mencatat rekor 45.8 juta peristiwa perpindahan baru yang disebabkan oleh bencana, jumlah ini hampir dua kali lipat rata-rata tahunan dekade terakhir. Angka yang mengejutkan ini menggarisbawahi eskalasi frekuensi, durasi, dan intensitas peristiwa cuaca ekstrem. Pola ancaman juga spesifik: siklon menyumbang 54% dari seluruh perpindahan akibat bencana pada tahun 2024 , menyoroti kerentanan spesifik wilayah pesisir dan kepulauan.
Meskipun sebagian besar orang yang mengungsi akibat bencana dapat kembali ke rumah selama tahun tersebut, faktanya 9.8 juta orang tetap mengungsi akibat bencana pada akhir tahun 2024. Angka residual yang tinggi ini menunjukkan transisi dari “pengungsi bencana” sementara menjadi populasi IDP kronis atau permanen. Situasi ini mengubah kebutuhan intervensi dari sekadar bantuan darurat menjadi kebutuhan rehabilitasi sosial, penyediaan mata pencaharian yang berkelanjutan, dan Dukungan Kesehatan Mental dan Psikososial (MHPSS) jangka panjang. Kegagalan menyediakan solusi permanen (durable solutions) ini menunjukkan urgensi bagi sektor kemanusiaan dan pembangunan untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mengembangkan solusi jangka panjang untuk mencegah dan menyelesaikan perpindahan.
Tabel 1: Data Kunci Perpindahan Internal Global Akibat Bencana (Akhir 2024)
| Indikator Kesejahteraan Sosial | Angka Statistik (2024) | Sumber Data | Implikasi Kesejahteraan Sosial |
| Total Populasi Terdampak Perpindahan Internal (akumulatif) | 83.4 Juta orang | Skala krisis yang membutuhkan solusi jangka panjang dan dukungan reintegrasi sosial. | |
| Perpindahan Internal Baru Akibat Bencana | 45.8 Juta peristiwa baru | Menunjukkan eskalasi frekuensi dan intensitas peristiwa iklim, menuntut kesiapsiagaan pra-bencana yang masif. | |
| Populasi Terdampak Bencana yang Belum Kembali (residual) | 9.8 Juta orang | Kebutuhan mendesak untuk program pemukiman kembali (resettlement), perlindungan sosial berkelanjutan, dan MHPSS. | |
| Pemicu Bencana Dominan | 54% disebabkan oleh Topan/Siklon | Memungkinkan penargetan geografis dan spesifik program mitigasi dan adaptasi (misalnya, perlindungan pesisir). |
Ancaman Terhadap Mata Pencaharian dan Ketahanan Pangan
Risiko perubahan iklim dan bencana merupakan ancaman serius terhadap pembangunan sosial ekonomi dan berpotensi mengganggu perolehan pendapatan negara. Dampak ini secara khusus meningkatkan kemiskinan dan ketidaksetaraan, terutama jika tidak ada kebijakan ketahanan iklim yang berpihak pada masyarakat miskin.
Sektor pertanian sangat rentan. Kejadian kekeringan, yang dicirikan oleh intensitas, durasi, dan tingkat keparahan, memerlukan pemantauan multi-disiplin dan sistem deteksi dini yang canggih. Meskipun lembaga seperti BMKG menyediakan informasi kekeringan meteorologis, dan LAPAN memantau kekeringan pertanian , tantangan terbesar berada pada tingkat adopsi teknologi. Balitbangtan telah merilis varietas unggul tahan iklim, seperti Inpari 42 Agritan, yang dirancang untuk menghadapi kekeringan dan genangan. Namun, tingkat adopsinya di kalangan petani masih rendah karena keterbatasan dalam diseminasi teknologi dan lemahnya sistem penyuluhan pertanian. Hal ini menciptakan kesenjangan antara inovasi dan kemampuan petani untuk mengakses serta menerapkannya di lapangan.
Kerentanan ini diperparah oleh tekanan eksternal global. Ketergantungan Indonesia pada impor bahan pangan dan input produksi, seperti gandum, kedelai, dan pupuk (urea, KCl, DAP), membuat stabilitas ekonomi petani rentan terhadap disrupsi rantai pasok yang disebabkan oleh konflik geopolitik. Untuk mengatasi kerentanan ganda ini, diperlukan strategi Perlindungan Sosial Adaptif yang tidak hanya mentransfer uang, tetapi juga mengurangi risiko ekonomi petani, misalnya dengan memberikan insentif terhadap produksi pupuk organik dan hayati berbasis lokal, sehingga mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang mahal.
Perubahan Iklim dan Multiplikasi Risiko Konflik
Hubungan antara perubahan iklim dan konflik tidak bersifat linier atau korelatif langsung. Sebaliknya, perubahan iklim bertindak sebagai pengali ancaman (threat multiplier), yang memperparah kondisi kerentanan yang sudah ada. Negara-negara yang sudah mengalami konflik berkepanjangan memiliki kapasitas adaptasi yang lebih lemah karena infrastruktur sosial dan kelembagaan mereka telah rusak akibat konflik. Akibatnya, masyarakat yang tinggal di zona konflik menjadi yang paling rentan terhadap krisis iklim dan cenderung terabaikan dalam pendanaan aksi iklim.
Dalam lensa ekologi politik, ketimpangan ekologis yang dipicu oleh perubahan iklim dan model pembangunan ekstraktif memperkuat tekanan terhadap sumber daya alam, memicu ketegangan sosial. Globalisasi dan tekanan pasar internasional memperburuk masalah ini, membuat tekanan terhadap sumber daya tidak hanya bersifat lokal. Contoh historis di wilayah seperti Sahel menunjukkan bagaimana tekanan iklim (seperti migrasi terus-menerus dan penggembalaan berlebihan) berinteraksi dengan pertumbuhan penduduk dan ekspansi daerah pertanian permanen. Interaksi ini menyebabkan pemusatan para pengembala pada lahan yang lebih sempit, sebuah contoh dari marginalisasi ekologis, di mana hak-hak atas kekayaan kaum pengembala dilemahkan oleh pembangunan negara modern.
Konflik berkepanjangan merusak modal sosial dan infrastruktur, menurunkan kapasitas adaptif secara keseluruhan. Penurunan kapasitas adaptif ini kemudian membuat masyarakat lebih rentan terhadap guncangan iklim (seperti kekeringan), yang pada akhirnya memicu kompetisi sumber daya dan menciptakan ketidakstabilan baru, termasuk perpindahan populasi. Oleh karena itu, intervensi kesejahteraan sosial harus dirancang secara strategis untuk memutus siklus umpan balik negatif ini, khususnya melalui restorasi modal sosial dan pembangunan infrastruktur adaptif di zona pasca-konflik, bukan hanya sekadar merespons kerugian yang terjadi.
Perlindungan Sosial Adaptif (PSA) sebagai Pilar Utama Resiliensi
Konsep dan Integrasi Kebijakan PSA
Mengingat kompleksitas bencana dan semakin tingginya frekuensi kejadiannya, persiapan sedini mungkin terhadap ketidakpastian bencana di masa depan sangat diperlukan. Indonesia telah secara formal mengakui ancaman risiko sistematis ini dan berkomitmen pada penguatan resiliensi melalui inisiatif nasional dan global, seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, yang mengamanatkan perlindungan bagi kelompok rentan.
Perlindungan Sosial Adaptif (PSA) muncul sebagai pendekatan kunci. PSA adalah sistem Perlindungan Sosial Inklusif yang Tangguh terhadap Perubahan Iklim (Climate-Resilient Inclusive Social Protection/CRISP), dirancang untuk memperkuat jaring pengaman sosial (Social Safety Net/SSN) agar sensitif dan responsif terhadap risiko iklim dan bencana. PSA menjamin inklusi sosial dalam ketahanan, memastikan bahwa tidak ada kelompok yang tertinggal dalam menghadapi guncangan iklim.
Implementasi PSA di Indonesia didorong melalui integrasi ke dalam rencana pembangunan jangka menengah dan panjang, dengan empat pilar utama sebagai landasan :
- Tata Kelola Kelembagaan dan Kemitraan:Membangun struktur yang memungkinkan koordinasi antar sektor.
- Desain dan Mekanisme Penyaluran Program:Memastikan bantuan dapat disalurkan secara adaptif dan cepat.
- Sistem Informasi:Integrasi data risiko iklim ke dalam sistem informasi jaring pengaman sosial.
- Pembiayaan:Mengamankan sumber daya finansial yang fleksibel dan responsif terhadap bencana.
Tujuan utama dari Jaring Pengaman Sosial (SSN) yang adaptif adalah memberikan pemahaman dan kesiapan dalam mitigasi dampak sosial dan ekonomi dari perubahan iklim dan krisis pangan.
Desain Program Adaptif dan Intervensi Mata Pencaharian
Aksi ketahanan iklim yang efektif harus ditargetkan secara spesifik untuk kelompok berisiko tinggi, terutama masyarakat miskin perkotaan dan petani. Laporan kebijakan pembangunan berketahanan iklim mengidentifikasi perlunya investasi yang mengintegrasikan pekerjaan, kesehatan, dan infrastruktur.
Untuk masyarakat miskin, intervensi mata pencaharian harus mencakup:
- Program Pekerjaan Umum Adaptif:Mempekerjakan pekerja informal perkotaan dan migran (yang sering kehilangan mata pencaharian selama masa paceklik atau bencana iklim) dalam program pekerjaan umum yang secara fisik memperkuat ketahanan komunitas. Contohnya termasuk pembangunan drainase yang tangguh, serta infrastruktur hijau seperti perlindungan mangrove dan pertanian perkotaan.
- Dukungan Kesehatan Adaptif:Melaksanakan program terintegrasi yang fokus pada kesehatan, mata pencaharian, dan infrastruktur, memberikan dukungan khusus untuk pekerja luar ruangan (misalnya, informasi risiko panas, cara hidup terhidrasi) dan menyediakan infrastruktur yang adaptif terhadap tekanan panas.
- Dukungan Usaha Kecil dan Menengah (UKM):Meningkatkan ketahanan UKM melalui penyediaan informasi risiko, rencana usaha berkelanjutan, dan mekanisme insentif.
Keberhasilan PSA tidak hanya diukur dari transfer finansial, tetapi dari bagaimana program tersebut memperkuat modal sosial dan kohesi komunitas. Program pekerjaan umum adaptif yang melibatkan pekerja informal dalam pembangunan infrastruktur hijau tidak hanya memberikan dukungan finansial saat paceklik, tetapi juga membangun aset fisik komunitas dan secara bersamaan memperkuat ikatan sosial antar pekerja. Peningkatan modal sosial ini pada gilirannya meningkatkan kapasitas adaptif keseluruhan komunitas.
Di sektor pertanian, transformasi dari pertanian kimia menuju resiliensi lokal sangat penting. Keterbatasan adopsi varietas tahan iklim dan kerentanan terhadap harga pupuk global akibat konflik geopolitik menuntut strategi alternatif. Oleh karena itu, insentif terhadap produksi pupuk organik dan hayati berbasis lokal direkomendasikan. Strategi PSA ganda ini berfungsi untuk mengurangi risiko ekonomi petani (mengurangi biaya input) dan sekaligus membangun keberlanjutan sistem pertanian.
Pembangunan Ketahanan Berbasis Komunitas: Program Kampung Iklim (ProKlim)
Di tingkat komunitas, model seperti Program Kampung Iklim (ProKlim) telah terbukti efektif sebagai upaya bottom-up untuk meningkatkan adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim. Tujuan utama ProKlim meliputi: meningkatkan pemahaman dan kapasitas masyarakat, mendorong inisiatif lokal dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, dan membangun ketahanan iklim di wilayah rentan.
Sasaran ProKlim adalah komunitas masyarakat yang aktif dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi, serta desa atau kelurahan yang memiliki potensi dan kemauan untuk bertransformasi menjadi wilayah tangguh. Manfaat partisipasi mencakup peningkatan kualitas lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas, dan penguatan kelembagaan lokal.
Mekanisme pelaksanaan ProKlim memerlukan penguatan kapasitas pemerintah daerah dan kemitraan strategis dengan kementerian terkait, dunia usaha, dan lembaga non-pemerintah. Kemitraan multi-sektor ini penting untuk memastikan dukungan kebijakan yang komprehensif.
Peran Profesional Pekerja Sosial dalam Kesiapsiagaan dan Respons Bencana Iklim Global
Krisis iklim menuntut evolusi profesional di bidang kesejahteraan sosial. Pekerja sosial harus mengadopsi pendekatan holistik yang dikenal sebagai Green Social Work (GSW), yang menginternalisasi prinsip, nilai, dan kepedulian terhadap degradasi lingkungan dan bencana terkait di dalam praktik profesional.
Model Pekerjaan Sosial Lingkungan (Green Social Work/GSW)
Pendekatan GSW sangat penting untuk mengisi kesenjangan pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan kasus dampak lingkungan. Pekerja sosial berperan sentral dalam mengatasi masalah lingkungan seperti perubahan iklim, bertindak sebagai peneliti, pendidik, klinisi, dan anggota masyarakat.
Keunikan GSW terletak pada internalisasi prinsip ekologis dalam praktik sehari-hari, didorong oleh perkembangan profesi dan berlakunya Undang-Undang Pekerja Sosial di Indonesia. Keberadaan pekerja sosial yang menerapkan GSW sangat penting untuk meningkatkan ketahanan masyarakat melalui upaya adaptasi dan mitigasi, sebagaimana ditunjukkan dalam studi kasus implementasi ProKlim di wilayah pesisir.
Fungsi Kunci GSW dalam Adaptasi Komunitas
Pekerja sosial yang mengadopsi GSW memiliki peran multidimensi yang krusial dalam membangun resiliensi iklim:
- Peningkat Kesadaran (Consciousness-raisers):Pekerja sosial memimpin upaya dalam menggerakkan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap lingkungan dan risiko iklim. Peningkatan kesadaran ini merupakan komponen esensial dalam mencapai tujuan ProKlim.
- Penerjemah Budaya (Cultural Translator):Pekerja sosial bertindak sebagai penerjemah informasi teknis (misalnya, data iklim, teknologi agroekologi) dari berbagai disiplin ilmu ke dalam konteks budaya lokal yang dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat. Peran ini sangat krusial untuk mengatasi hambatan adopsi teknologi adaptasi di tingkat petani yang disebabkan oleh lemahnya diseminasi.
- Pelindung dan Advokat (Protector):Pekerja sosial berperan melindungi dan memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan tidak merugikan masyarakat, flora, fauna, dan lingkungan. Mereka memenuhi tanggung jawab etis profesi dengan mengadvokasi kebijakan dan praktik yang membatasi kerusakan lingkungan dan mendukung adaptasi manusia.
Pekerjaan Sosial dalam Manajemen Bencana Tiga Fase
Keterlibatan Pekerja Sosial dalam penanggulangan bencana harus dilakukan secara komprehensif melalui tiga fase manajemen bencana:
Pra-Bencana (Kesiapsiagaan dan Mitigasi)
Fase ini berfokus pada pembangunan kemampuan KSB (Kelompok Siaga Bencana) melalui pelatihan yang berisikan materi dan praktik kesiapsiagaan. Pekerja sosial berperan dalam:
- Asesmen Risiko:Melakukan Penilaian Bahaya, Kerentanan, dan Kapasitas (Hazard, Vulnerability, and Capacity Assessment/HVCA) atau PRA untuk mengidentifikasi ancaman bencana, tingkat kerentanan yang tinggi, dan kapasitas yang masih rendah di komunitas.
- Membangun Kohesi Sosial:Kesiapsiagaan yang efektif menuntut advokasi dan promosi perilaku sadar bencana, yang harus diawali dengan upaya untuk mempererat hubungan sosial. Jika dilaksanakan dengan benar, program berbasis komunitas akan berdampak pada menurunnya risiko ketegangan sosial di masa krisis.
Tanggap Darurat (Saat Bencana Terjadi)
Dalam fase ini, fokus utama adalah pada respons cepat. Pekerja sosial memastikan kemampuan pengelolaan logistik (bufferstock) untuk kelompok siaga bencana. Mereka juga harus memastikan pemberian perlindungan kepada kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil/menyusui, penyandang disabilitas, dan orang lanjut usia, sesuai dengan amanat undang-undang.
Pasca-Bencana (Pemulihan dan Rehabilitasi)
Fase ini adalah yang paling kritis untuk pemulihan kesejahteraan sosial jangka panjang. Pemerintah berkewajiban memberikan bimbingan fisik, mental, spiritual, dan sosial bagi kelompok rentan yang terlantar. Pekerja sosial mendukung komunitas untuk pulih dan melakukan ‘Build Back Better’, yaitu upaya memastikan bantuan kemanusiaan membantu komunitas menjadi lebih tangguh terhadap guncangan di masa depan.
Penanganan Dampak Psikososial dan Trauma (MHPSS)
Krisis iklim memberikan dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental dan psikososial. Intensitas cuaca ekstrem menyebabkan kehancuran, kehilangan, dan pengungsian, yang dapat memicu trauma, Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD), kecemasan, dan depresi. Selain itu, paparan terhadap panas dan polusi yang berkepanjangan dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan mental, termasuk peningkatan kasus bunuh diri dan keadaan darurat psikiatri.
Muncul pula fenomena Eco-Anxiety (kecemasan ekologis) dan Eco-Grief. Kecemasan ini dirasakan bahkan oleh mereka yang belum pernah mengalami dampak bencana secara langsung, termasuk aktivis dan ilmuwan iklim yang rentan terhadap kelelahan dan keputusasaan akibat sulitnya mencapai kemajuan keberlanjutan. Anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap stres pasca-trauma akibat cuaca ekstrem, dengan peningkatan kerentanan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa.
Pekerja sosial memiliki peran klinisi yang mendesak dalam penanggulangan kondisi psikososial korban. Bencana alam sangat memengaruhi kondisi mental penduduk terdampak, membuat penyintas rentan mengalami gangguan stres. Pekerja sosial bertindak sebagai konselor dan advokat untuk membantu korban pulih dari peristiwa traumatis.
Intervensi MHPSS yang efektif meliputi:
- Pendekatan Kognitif:Menggunakan pendekatan kognitif, seperti Cognitive Behavioral Modification (CBM), untuk mengubah perilaku dan cara pandang negatif terhadap peristiwa traumatis yang dialami, khususnya pada anak.
- Dukungan Jangka Panjang:IFRC menekankan bahwa pemulihan harus mencakup dukungan psikososial jangka panjang, perbaikan kohesi sosial, dan pencegahan trauma berulang. Contoh praktik meliputi pendirian ruang ramah anak (child friendly spaces) untuk memulihkan mental melalui permainan aman, dan program komunitas untuk mengatasi stigma terkait kondisi mental.
Kerusakan psikologis (PTSD, trauma) yang diakibatkan oleh bencana melumpuhkan kemampuan kognitif dan sosial individu. Hal ini secara langsung mengurangi Modal Manusia yang esensial, yang dibutuhkan untuk adaptasi dan partisipasi dalam program resiliensi. Oleh karena itu, intervensi MHPSS merupakan investasi fundamental untuk memulihkan kemampuan individu agar dapat merencanakan, berinovasi, dan membangun kembali, sehingga memungkinkan partisipasi penuh dalam agenda Build Back Better.
Selain itu, kompetensi GSW berperan melengkapi Sistem Peringatan Dini (EWS). Lembaga-lembaga menyediakan informasi peringatan dini kekeringan , tetapi informasi teknis seringkali gagal diterjemahkan menjadi tindakan yang tepat di tingkat komunitas. Kompetensi GSW sebagai Penerjemah Budaya memastikan bahwa informasi risiko diubah menjadi tindakan yang relevan secara budaya, efektif mengisi kesenjangan antara prediksi ilmiah dan respons perilaku masyarakat.
Tabel 2: Peran Kunci Green Social Worker dalam Siklus Manajemen Krisis Iklim
| Siklus Manajemen Bencana | Fokus Utama Kesejahteraan Sosial | Peran Profesional GSW dan Aksi Spesifik | Dasar Teoretis/Konseptual |
| Pra-Bencana (Kesiapsiagaan, Mitigasi) | Pengurangan Kerentanan Akar, Pembangunan Kapasitas | Peningkat Kesadaran, Peneliti, Pendidik: Memimpin HVCA/PRA, Fasilitasi ProKlim, Advokasi kebijakan DRR dan Inklusi Sosial | Kapasitas Adaptif; Keadilan Iklim |
| Tanggap Darurat (Respons) | Mempertahankan Kebutuhan Dasar dan Kemanusiaan | Manajer Kasus, Koordinator Logistik: Mengorganisir bantuan darurat dan logistik, Identifikasi dan penjangkauan kelompok sangat rentan | Tanggap Darurat; Perlindungan Kelompok Rentan |
| Pasca-Bencana (Pemulihan, Rehabilitasi) | Pemulihan Psikososial, Restorasi Livelihood, Kohesi Sosial | Klinisi/Konselor, Advokat, Penerjemah Budaya: Menyediakan MHPSS (termasuk eco-anxiety); Memfasilitasi pembangunan kembali mata pencaharian adaptif; Mendukung Build Back Better | Dukungan Psikososial (MHPSS); Pendekatan Kognitif ; Pembangunan Ketahanan Jangka Panjang |
Kesimpulan
Analisis mendalam ini menegaskan bahwa perubahan iklim telah mentransformasi isu kesejahteraan sosial menjadi krisis dinamis yang ditandai oleh perpindahan populasi massal , konflik sumber daya yang diperparah oleh kegagalan adaptasi , dan ancaman serius terhadap modal manusia dan finansial masyarakat rentan. Respons yang efektif harus bersifat sistemik dan proaktif, berlandaskan pada prinsip Keadilan Iklim.
Perlindungan Sosial Adaptif (PSA) merupakan instrumen kebijakan vital untuk menjembatani manajemen risiko bencana dan jaring pengaman sosial, memastikan bahwa sistem dukungan dapat ditingkatkan dan disesuaikan dengan cepat berdasarkan ancaman iklim. Sentralitas profesi Pekerjaan Sosial, melalui lensa Green Social Work (GSW), menjadi semakin krusial. GSW adalah pemain kunci dalam memobilisasi modal sosial, menterjemahkan sains menjadi tindakan adaptif, dan memulihkan modal manusia melalui dukungan psikososial pasca-bencana.
Berdasarkan temuan-temuan ini, diajukan empat rekomendasi kebijakan untuk memperkuat ketahanan sosial-ekonomi terhadap krisis iklim:
Penguatan Tata Kelola PSA Berbasis Data dan Inklusi
Sistem Perlindungan Sosial harus diintegrasikan dengan data risiko iklim. Disarankan untuk mewajibkan penggunaan informasi iklim dan prediksi cuaca dari lembaga meteorologi (BMKG) dan pemantauan pertanian (LAPAN) ke dalam mekanisme pemicu bantuan sosial (SSN). Integrasi ini memungkinkan implementasi forecast-based financing yang adaptif, memungkinkan penyaluran bantuan kepada 9.8 juta populasi yang rentan sebelum bencana terjadi, dan mengurangi dampak kerugian ekonomi. Selain itu, memastikan inklusi sosial menjadi kunci dalam kebijakan ketahanan iklim.
Standardisasi dan Institusionalisasi Kompetensi Green Social Work (GSW)
Dalam rangka memanfaatkan potensi Pekerja Sosial sesuai Undang-Undang, perlu dikembangkan standar kompetensi dan kurikulum nasional bagi Pekerja Sosial yang secara eksplisit membahas Environmental Social Work, Keadilan Iklim, dan Dukungan Psikososial (MHPSS) dalam konteks bencana. Institusionalisasi GSW akan menghasilkan Green Social Worker yang memiliki kemampuan ganda sebagai klinisi, advokat, dan penerjemah budaya , memastikan adaptasi berbasis komunitas seperti ProKlim dapat berjalan berkelanjutan dan efektif.
Prioritas Pendanaan Iklim untuk Resiliensi Sosial dan Livelihood
Pendanaan isu iklim harus dialokasikan secara proporsional lebih besar ke wilayah yang rentan, termasuk wilayah yang terdampak konflik dan wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi. Pendanaan ini harus ditargetkan pada program yang mengintegrasikan pembangunan mata pencaharian dan infrastruktur hijau. Secara spesifik, kebijakan insentif harus diterapkan untuk mendukung produksi pupuk organik lokal, yang tidak hanya meningkatkan keberlanjutan pertanian tetapi juga melindungi petani dari volatilitas rantai pasok global. Program pekerjaan umum yang adaptif untuk pekerja informal juga harus diperluas untuk memperkuat aset komunitas.
Integrasi MHPSS sebagai Komponen Pemulihan Inti
Dukungan Psikososial dan Kesehatan Mental (MHPSS) harus diposisikan sebagai investasi inti dalam pemulihan, bukan sebagai program tambahan pasca-bencana. Ini diperlukan untuk memulihkan modal manusia dan kemampuan adaptif individu. Setiap respons pemulihan bencana harus mewajibkan penyediaan layanan psikososial jangka panjang yang sensitif terhadap trauma, dengan fokus pada kelompok rentan seperti anak-anak dan remaja , dan menggunakan pendekatan klinis yang terbukti seperti CBM.
