Paradigma Kritis Pembangunan Global

Teori Ketergantungan (Dependency Theory atau DT) muncul sebagai sebuah paradigma kritis yang fundamental dalam studi pembangunan global. Secara historis, DT berakar di Amerika Latin pada akhir 1960-an, didorong oleh fakta empiris mengenai lambatnya pembangunan dan ketergantungan yang dialami oleh negara-negara di Dunia Ketiga. Kemunculan DT merupakan kelanjutan dari perdebatan intelektual dan politik yang lebih luas mengenai Imperialisme dan Kolonialisme di era pasca-Perang Dunia II. Perspektif ini mempersoalkan akibat dari hubungan politik luar negeri—terutama hubungan industri negara maju terhadap negara pinggiran—dan secara spesifik mengaitkan perubahan internal negara-negara pinggiran dengan politik luar negeri negara-negara Inti.

Keterbelakangan yang persisten di Global South memaksa para akademisi untuk mencari akar masalah di luar batas-batas negara nasional. DT kemudian hadir sebagai kerangka yang menganalisis hubungan eksploitasi antara negara maju dengan negara berkembang dari perspektif Marxis. DT menyimpulkan bahwa ketidaksetaraan yang terus berlanjut di kancah global bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari hubungan struktural yang sengaja diciptakan.

Antitesis Modernisasi

DT muncul sebagai antitesis langsung terhadap Teori Modernisasi. Teori Modernisasi berlandaskan pada asumsi bahwa semua masyarakat pada dasarnya melalui tahapan perkembangan yang serupa. Menurut pandangan ini, negara-negara yang hari ini dianggap terbelakang berada pada situasi yang sebanding dengan negara maju di masa lampau. Oleh karena itu, tugas untuk mengangkat daerah terbelakang dari kemiskinan adalah dengan mempercepatnya di sepanjang jalur pembangunan umum ini melalui intervensi eksternal seperti investasi, transfer teknologi, dan integrasi yang lebih erat ke dalam pasar global.

DT menolak pandangan tersebut secara fundamental. DT berargumen bahwa negara-negara terbelakang tidak hanya sekadar versi primitif dari negara maju; sebaliknya, mereka memiliki fitur dan struktur unik mereka sendiri yang dibentuk oleh posisi subordinat mereka dalam sistem global. Mereka berada dalam posisi yang lebih lemah dalam ekonomi pasar dunia, dan integrasi mereka ke dalam sistem ini justru memperkaya yang kaya dan memiskinkan yang miskin.

Kegagalan resep integrasi yang dianjurkan oleh Teori Modernisasi untuk menghasilkan pembangunan yang meluas dan mandiri di Dunia Ketiga merupakan pemicu intelektual utama bagi DT. Kegagalan empiris ini memindahkan fokus analisis dari defisiensi internal (misalnya, nilai-nilai tradisional atau kurangnya modal) menuju kendala struktural yang bersifat eksternal dan sistemik. DT menyediakan kerangka baru untuk mendiagnosis patologi kapitalisme global dari sudut pandang negara-negara pinggiran, menyatakan bahwa proses integrasi itu sendiri dirancang untuk tujuan ekstraksi kekayaan.

Premis Sentral DT: Ketidaksetaraan Global sebagai Hasil Hubungan Struktural yang Disengaja

Inti dari DT adalah keyakinan bahwa negara-negara miskin di Pinggiran dieksploitasi dan negara-negara kaya di Inti diperkaya melalui cara negara miskin diintegrasikan ke dalam “sistem dunia”. Ketidaksetaraan ini bersifat struktural, bukan insidental.

Negara sentral di Barat secara sistematis berupaya menjaga aliran surplus ekonomi dari negara pinggiran ke negara sentral. Hal ini menghasilkan penindasan struktural terhadap Dunia Ketiga, di mana hubungan dominasi-subordinasi ini menghasilkan kerugian bagi Pinggiran. Bagi DT, pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir mustahil dalam situasi di mana surplus ekonomi terus-menerus dipindahkan ke negara maju. Ketergantungan yang tercipta ini dilihat sebagai hal yang mutlak bertolak belakang dengan pembangunan, karena tujuannya adalah untuk mengeksploitasi negara berkembang dan pada saat yang sama mencegah mereka mengembangkan kapasitas mandiri.

Tabel 1: Perbandingan Paradigma: Modernisasi vs. Ketergantungan

Dimensi Kritis Teori Modernisasi (Determinan Internal) Teori Ketergantungan (Determinan Struktural)
Penyebab Keterbelakangan Faktor internal (tradisi, kurang modal, institusi lemah) Faktor eksternal (Hubungan dominasi-subordinasi struktural yang sengaja diciptakan)
Solusi Pembangunan Integrasi penuh ke pasar global; Bantuan, investasi, dan transfer teknologi dari Utara Pemutusan hubungan (De-coupling/Delinking); Pembangunan otonom dan mandiri
Sifat Hubungan Global Saling ketergantungan dan menguntungkan (Win-Win) Transfer surplus dan eksploitasi (Zero-Sum)
Aktor Pembangunan Kunci Elite modernis, teknologi, modal asing Negara Pembangunan (Developmental State), gerakan rakyat

Fondasi dan Varian Teori Ketergantungan

Teori Ketergantungan terbagi menjadi beberapa mazhab utama, yang berbeda dalam tingkat radikalitas dan preskripsi kebijakan, namun bersatu dalam penolakan terhadap Modernisasi dan penekanan pada kendala eksternal.

Mazhab Strukturalis Amerika Latin (ECLA)

Pendekatan Strukturalis, dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Raul Prebisch, Celso Furtado, dan Aníbal Pinto , muncul dari Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin (ECLA), di mana Prebisch menjabat sebagai direktur. Mazhab ini berfokus pada dinamika ekonomi makro yang menguntungkan negara Inti.

Hipotesis Prebisch-Singer

Pilar utama DT Strukturalis adalah Hipotesis Prebisch-Singer. Hipotesis ini berpendapat bahwa secara jangka panjang, harga komoditas primer yang diekspor oleh negara-negara Pinggiran cenderung menurun relatif terhadap harga barang manufaktur yang diimpor dari negara-negara Inti. Fenomena ini menyebabkan terms of trade negara-negara yang berbasis produk primer memburuk secara sistematis.

Prebisch menjelaskan bahwa disparitas ini diperkuat oleh perbedaan perilaku upah. Di negara maju, upah cenderung kaku (tidak mudah turun) karena kekuatan serikat pekerja, sehingga ketika terjadi peningkatan produktivitas, manfaatnya dipertahankan dalam bentuk upah yang lebih tinggi. Sebaliknya, di negara Pinggiran, upah cenderung fleksibel dan ditekan karena kelebihan pasokan tenaga kerja, sehingga peningkatan produktivitas hanya diterjemahkan menjadi penurunan harga komoditas ekspor. Transfer nilai ini, yang didorong oleh perbedaan struktural perilaku pasar, menjadi fondasi utama Teori Ketergantungan.

Implikasi Kebijakan: Industrialisasi Substitusi Impor (ISI)

Sebagai respons yang dirancang untuk mengatasi memburuknya terms of trade, Strukturalis ECLA menganjurkan Import Substitution Industrialization (ISI). ISI adalah kebijakan perdagangan proteksionis yang mendorong produksi domestik untuk menggantikan impor manufaktur.

Namun, ISI terbukti insufisien. Pada pertengahan 1960-an, banyak ekonom yang awalnya mendukung ISI menjadi kecewa dengan hasilnya. ISI dinilai menciptakan inefisiensi dinamis (kurangnya insentif kompetitif) dan alokasi sumber daya yang buruk. Lebih kritis lagi, ISI menghadapi masalah neraca pembayaran yang akut dan gagal menghasilkan efek riak yang diharapkan di seluruh perekonomian. Realisasi bahwa ISI menciptakan bentuk ketergantungan baru, seperti kebutuhan input impor dan kontrol teknologi, mengubah banyak strukturalis ECLA menjadi teoritisi ketergantungan yang lebih radikal, karena hal itu mengonfirmasi bahwa penggantian impor hanya menggeser ketergantungan, bukan menghilangkannya.

Varian Neo-Marxis Klasik dan Konsep Eksploitasi Mutlak

Varian Neo-Marxis Teori Ketergantungan, yang terkait dengan pemikir seperti Paul Baran, Paul Sweezy, dan Andre Gunder Frank , menyajikan tafsir yang lebih deterministik dan pesimistis terhadap pembangunan di bawah kapitalisme.

Thesis Frank: Metropolis-Satelit

Andre Gunder Frank adalah tokoh sentral dari mazhab Neo-Marxis dengan karyanya Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Frank berpendapat bahwa pembangunan dalam sistem kapitalis global adalah ilusi. Hubungan antara negara metropolis (Inti) dan negara satelit (Pinggiran) selalu bersifat eksploitatif, ditandai dengan pemindahan surplus yang terus-menerus. Frank secara tegas menyatakan bahwa pembangunan yang otonom dan berkelanjutan hampir mustahil dalam sistem yang bertujuan untuk terus-menerus memindahkan surplus ekonomi ke negara maju.

Definisi Ketergantungan Dos Santos

Theotonio Dos Santos mendefinisikan ketergantungan sebagai keadaan di mana kehidupan ekonomi negara-negara Pinggiran dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi kehidupan ekonomi negara-negara Inti, di mana Pinggiran hanya berfungsi sebagai penerima akibat. Ketergantungan, bagi Neo-Marxis, adalah kondisi yang diperlukan untuk akumulasi kapital di Inti.

Struktur Inti, Semi-Pinggiran, dan Pinggiran (Teori Sistem Dunia)

Immanuel Wallerstein memperluas analisis DT menjadi Teori Sistem Dunia (World-Systems Theory), menjadikan sistem dunia sebagai unit analisis utama. Teori ini didasarkan pada ajaran Neo-Marxis dan memandang dunia didorong oleh satu sistem tunggal: sistem kapitalis.

Pembagian Hierarkis Global

Sistem dibagi menjadi tiga zona: Inti (maju dan dominan), Pinggiran (tergantung dan terbelakang), dan Semi-Pinggiran. Hubungan antara Inti dan Pinggiran berpola eksploitatif, di mana aliran surplus diarahkan ke negara-negara Inti.

Peran Semi-Pinggiran

Dominasi Inti diperkuat oleh pembagian kerja transnasional, di mana Inti memegang industri padat modal/keterampilan tinggi, sementara Pinggiran menyediakan bahan baku dan industri padat karya rendah. Adanya zona Semi-Pinggiran memperumit dikotomi sederhana. Wilayah Semi-Pinggiran, yang berada di antara Inti dan Pinggiran, seringkali berfungsi ganda: mereka dieksploitasi oleh Inti, tetapi pada saat yang sama, mereka sendiri bertindak sebagai pengekstrak sumber daya dari Pinggiran yang lebih lemah. Dinamika multi-tingkat ini, seperti yang dianalisis dalam konteks Pertukaran Tidak Setara Ekologis (EUE), menunjukkan bahwa negara Semi-Pinggiran memediasi transfer surplus, yang pada akhirnya berkontribusi pada stabilitas sistem kapitalis secara keseluruhan dengan menawarkan peluang mobilitas ke atas yang terbatas.

Analisis Neokolonialisme sebagai Mekanisme Ketergantungan Struktural

Neokolonialisme, dalam perspektif DT, adalah reproduksi hubungan dominasi kolonial melalui kontrol ekonomi, finansial, dan teknologi. Negara Inti secara aktif mempertahankan dominasinya untuk memastikan transfer surplus yang tidak terputus.

Eksploitasi Sumber Daya Alam, Tenaga Kerja, dan Teknologi

Transfer surplus terwujud melalui beberapa mekanisme kunci:

Pengerukan Sumber Daya dan Distorsi Ekonomi

Investasi asing yang masuk ke negara Pinggiran, menurut DT, cenderung menguras habis sumber daya alam vital, sehingga negara-negara pinggiran kehilangan sumber daya penting bagi pembangunan otonom. Produksi yang didorong oleh modal asing ini berorientasi ke luar negeri, di mana perusahaan multinasional mengubah struktur ekonomi negara pinggiran untuk melayani permintaan eksternal, bukan kebutuhan pasar domestik.

Struktur kapitalisme juga memicu pembentukan perkebunan besar (misalnya, di masa kolonial) yang tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan dan peningkatan keuntungan ekonomi negara pusat. Aktivitas ini menghasilkan eksploitasi lahan, sumber daya alam, dan tenaga kerja negara satelit. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari ekstraksi sumber daya seringkali tidak sejalan dengan pembangunan otonom, karena keuntungan diinvestasikan kembali atau direpatriasi ke Inti, sementara basis sumber daya domestik habis.

Ketergantungan Teknologi dan IPR

Di era modern, mekanisme Neokolonial yang paling kuat adalah melalui kontrol teknologi. Penguasaan dan penggunaan teknologi di negara satelit dibatasi secara ketat, seringkali melalui peraturan Hak Cipta (Intellectual Property Rights). Mekanisme ini memastikan bahwa kemajuan industri yang terjadi di Pinggiran masih tetap bergantung pada teknologi dan input yang dikendalikan oleh negara Pusat.

Keterbatasan teknologi ini berfungsi sebagai pengunci struktural (technological lock-in). Bahkan jika negara-negara seperti NICs mencapai kemajuan industri tertentu, mereka tetap harus beroperasi dalam kerangka yang “diinginkan” oleh negara Pusat, menjaga subordinasi struktural melalui ketergantungan pada inovasi dan aset tak berwujud Inti.

Peran Elite Komprador dan Subordinasi Politik

Neokolonialisme diperkuat oleh interaksi antara elite domestik dan elite global. Hubungan antara elite di negara Pusat dengan elite komprador di negara Pinggiran bertindak sebagai penghalang yang kuat terhadap pembangunan nasional yang independen.

Imperialisme menciptakan struktur ketergantungan bertingkat. Struktur ini ditandai oleh jalur yang kuat (CC-CP line) yang menghubungkan pusat di Inti dengan pusat (elite) di periferi. Hubungan ini memastikan bahwa kepentingan domestik para elite lokal selaras dengan kepentingan akumulasi kapital di Inti, sehingga mencegah mobilisasi sumber daya dan kebijakan yang diperlukan untuk otonomi pembangunan.

Pertukaran Tidak Setara (Unequal Exchange) dan Subordinasi Finansial

Analisis Neokolonialisme modern menunjukkan bahwa transfer nilai dilakukan melalui mekanisme ekonomi dan finansial yang hierarkis.

Pertukaran Tidak Setara dan Disparitas Upah

Transfer surplus nilai dari Pinggiran ke Inti secara terus-menerus terjadi melalui unequal exchanges dalam perdagangan internasional. Ketidaksetaraan ini secara langsung disebabkan oleh perbedaan upah dan harga sumber daya alam yang signifikan antara negara Inti dan Pinggiran. Disparitas harga ini memungkinkan Inti untuk membeli komoditas input dengan nilai tenaga kerja yang rendah dan menjual produk jadi dengan nilai yang tinggi, sehingga mempertahankan hubungan perdagangan hierarkis dan mendorong pembangunan yang tidak merata.

Pertukaran Tidak Setara Secara Ekologis (EUE)

Fenomena ini diperluas menjadi Pertukaran Tidak Setara Secara Ekologis (EUE), yang berpendapat bahwa perdagangan memfasilitasi aliran asimetris sumber daya biofisik (seperti air, lahan, dan energi yang terkandung) dari Global South ke Global North, yang diperlukan untuk akumulasi kapital di Inti. EUE menegaskan bahwa logika kapitalisme, yang mengejar keuntungan tanpa henti, menciptakan dinamika ekspansi yang menarik negara-negara pinggiran ke dalam hubungan pasar eksploitatif, didukung oleh ideologi ‘perdagangan bebas’ yang disajikan sebagai kebijakan win-win.

Mekanisme Subordinasi Finansial

Subordinasi finansial adalah mekanisme vital dalam Neokolonialisme modern. Krisis utang di Global South berakar pada ketidaksetaraan struktural yang tertanam dalam sistem finansial internasional.

Perangkap Utang dan Peran IFIs

Subordinasi finansial melibatkan hubungan utang-kredit yang menjebak negara-negara Pinggiran yang rentan secara struktural dalam perangkap utang abadi (perpetual debt traps). Ketergantungan ekonomi ini terjadi melalui perbedaan produk dan kebijakan utang yang menyebabkan eksploitasi finansial.

Yang memperburuk situasi adalah peran Institusi Finansial Internasional (IFIs). Respons terhadap krisis utang, seperti Program Penyesuaian Struktural (SAPs) dan pinjaman bersyarat, seringkali mengintensifkan kerentanan fiskal negara Pinggiran. Program-program ini mengikis kedaulatan kebijakan nasional dan secara eksplisit memprioritaskan kepentingan kreditor. Volatilitas aliran modal dan hierarki mata uang global semakin meningkatkan kerentanan dan peripheralisasi ekonomi berkembang. Dengan memfokuskan bantuan utang hanya pada solusi jangka pendek, IFIs memastikan bahwa negara Pinggiran tetap rentan secara sistemik, bertindak sebagai agen yang mempertahankan dan memperkuat ketidaksetaraan struktural.

Utang Iklim sebagai Manifestasi EUE

DT dan EUE memberikan dasar teoretis yang kuat untuk menuntut Utang Iklim. Ketidakmampuan Global South untuk mendanai transisi energi dan menghadapi dampak perubahan iklim adalah akibat langsung dari disparitas finansial dan ekonomi historis yang melekat dalam sistem global. Diperkirakan Global North berutang triliunan dolar kepada Global South atas kerusakan lingkungan dan kontribusi historis terhadap krisis iklim. Tuntutan ini menggarisbawahi bagaimana eksploitasi ekologis terintegrasi erat dengan subordinasi finansial.

Strategi Pemutusan Hubungan (Delinking) dari Kapitalisme Global

Karena DT berpendapat bahwa integrasi ke dalam sistem kapitalis global secara inheren menghasilkan eksploitasi, solusi radikal yang diusulkan adalah pemutusan hubungan atau delinking.

Konsep Delinking (Samir Amin)

Konsep delinking (pemutusan hubungan) diperkenalkan oleh Samir Amin sebagai strategi utama. Delinking bertujuan untuk menciptakan hukum nilai yang otonom, yang membebaskan negara dari hukum nilai kapitalis global. Tujuannya adalah untuk mendirikan strategi pembangunan yang sepenuhnya mandiri dan tidak tunduk pada imperatif akumulasi kapital di Inti.

Penting untuk dipahami bahwa delinking tidak identik dengan autarki (penolakan total). Amin menegaskan bahwa delinking bukanlah penolakan untuk berpartisipasi dalam arus ilmiah dan ideologis dunia. Sebaliknya, delinking adalah penolakan strategis terhadap pemaksaan hukum nilai dari kapitalisme maju. Delinking dipandang sebagai jalan keluar untuk secara efisien mengasosiasikan renovasi domestik dengan kesinambungan historis, karena pilihan pembangunan yang berorientasi ke luar (outward-looking choice) hanya akan memperkuat keterasingan dalam teknologi kapitalisme maju.

Kegagalan ISI dan Tantangan Neoliberal

ISI, sebagai upaya awal delinking parsial (hanya sebatas substitusi impor), terbukti tidak berkelanjutan karena menciptakan bentuk ketergantungan baru, terutama dalam aspek finansial dan teknologi.

Setelah kegagalan ISI, ekspansi ekonomi pasar global yang didorong oleh kebijakan neoliberal (Washington Consensus) pada tahun 1980-an dan 1990-an menghasilkan pelebaran kesenjangan antara kaya dan miskin di negara-negara terbelakang, dan laju pertumbuhan ekonomi melambat drastis. Liberalisasi ini secara efektif berfungsi sebagai mekanisme sentralisasi modal pada skala dunia, di mana modal metropilitan menguasai sumber daya Pinggiran.

Kegagalan kebijakan ISI dan sentralisasi modal akibat neoliberalisasi menuntut perubahan dalam sifat perlawanan politik. Ketika negara nasional semakin dipaksa untuk bertindak demi kepentingan modal metropilitan, perjuangan untuk delinking ekonomi secara fundamental bertransformasi menjadi perjuangan untuk kedaulatan politik ulang. Strategi ini harus diiringi dengan de-kolonisasi pengetahuan dan ‘pemikiran perbatasan’ (border thinking), karena solusi politik ekonomi yang berasal dari tradisi Barat dianggap telah habis.

Kritik terhadap Teori Ketergantungan dan Perkembangan Lanjutannya

Kelemahan dan Tantangan Empiris

Kritik utama terhadap DT awal, khususnya varian Neo-Marxis yang pesimistis, adalah fokusnya yang berlebihan pada penentu eksternal, dengan kurangnya perhatian pada faktor internal seperti kapasitas negara, institusi, dan dinamika domestik yang mempengaruhi pembangunan. Selain itu, ada kritik bahwa konsep “pergantungan” terlalu sempit dan mengabaikan kompleksitas internal.

Fenomena East Asian Tigers

Keberhasilan ekonomi yang pesat di Korea Selatan, Taiwan, dan negara-negara Asia Timur lainnya dianggap sebagai tantangan empiris signifikan terhadap tesis deterministik DT.

Tanggapan dari aliran DT bervariasi. Beberapa mengklaim bahwa kebangkitan Asian Tigers hanyalah fenomena sementara atau bahwa mereka hanya didorong ke tingkat Semi-Pinggiran. Namun, sebagian teoritisi mengakui bahwa perkembangan tersebut menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dalam pengentasan kemiskinan daripada yang diprediksi oleh Neo-Marxis garis keras.

Adaptasi Teoritis: Pembangunan Tergantung (Dependent Development)

Untuk mengatasi kritik tersebut dan menjelaskan variasi empiris, Fernando Henrique Cardoso dan Peter Evans mengembangkan varian Dependent Development.

Mereka berpendapat bahwa industrialisasi kapitalis dan pembangunan dapat dicapai di negara-negara Pinggiran, tetapi ia terjadi dalam kondisi ketergantungan struktural. Model ini meneliti bagaimana dinamika politik dan ekonomi internal negara-negara Selatan membentuk karakter ketergantungan dan respons yang mungkin.

Peran Negara Pembangunan (Developmental State)

Model Asia Timur menyoroti pentingnya peran Negara Pembangunan (Developmental State). Di bawah model ini, negara memiliki kekuatan politik yang lebih mandiri dan kontrol atas ekonomi. Negara tersebut fokus pada pembangunan ekonomi dan mengambil langkah kebijakan yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, seperti yang dicontohkan oleh peran Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI) di Jepang.

Keberhasilan negara-negara ini terletak pada kapasitas internal mereka untuk memediasi integrasi ke sistem global, mengarahkan modal asing sesuai kepentingan nasional, dan memajukan teknologi (orientasi pembangunan), bukan sekadar menolaknya. Adaptasi teoretis ini menunjukkan bahwa DT bergerak dari pandangan zero-sum yang deterministik menjadi pandangan yang lebih bernuansa, di mana sifat ketergantungan dibentuk oleh pilihan politik domestik, meskipun otonomi penuh tetap terkendala oleh kontrol Inti.

Relevansi Kontemporer: Neokolonialisme 2.0 (Ekonomi Global Baru)

Relevansi DT diperkuat oleh kemampuannya menganalisis struktur dominasi yang telah berevolusi ke dalam bentuk Neokolonialisme modern, yang beroperasi melalui Global Value Chains (GVCs) dan ekonomi digital.

Rantai Nilai Global (GVCs) dan Konsentrasi Kekuatan

Integrasi negara-negara Pinggiran ke dalam Rantai Nilai Global (GVCs) menegaskan kembali perspektif hierarkis DT dan World-Systems Theory. Analisis GVCs kontemporer menunjukkan bahwa distribusi nilai didikte oleh kekuasaan, khususnya kekuatan monopoli dan monopsoni yang dipegang oleh perusahaan utama Inti.

Perusahaan-perusahaan utama ini merebut bagian nilai tambah yang lebih besar melalui kontrol atas aset tak berwujud, seperti penelitian, pengembangan, dan hak kekayaan intelektual (IPR). Dengan menekan biaya unit dari pemasok di Pinggiran, mereka memastikan transfer nilai yang konstan dari wilayah produksi ke pusat komando di Inti.

Kolonialisme Data dan Ketergantungan Digital

Ekonomi digital menciptakan bentuk ketergantungan baru yang disebut Kolonialisme Data. Pola historis ketergantungan ini direplikasi di mana data—sumber daya paling berharga di abad ke-21—diekstraksi dari populasi di Global South, diproses oleh infrastruktur Utara, dan dimonetisasi di luar negeri.34

Meskipun digitalisasi menjanjikan inklusi, dinamika saat ini justru memperburuk ketidaksetaraan global, karena kekayaan dan kontrol atas ekosistem digital terpusat di negara-negara Utara. Hal ini menciptakan bentuk digital dependency baru yang mendesak Negara Selatan untuk mengejar Kedaulatan Digital untuk mencegah pengulangan pola ketergantungan historis. Analisis modern ini mengungkapkan sebuah lingkaran umpan balik sistemik: ekstraksi data memperkuat kekuatan monopoli perusahaan (GVCs), yang mendikte Pertukaran Tidak Setara (EUE), yang pada gilirannya memperkuat ketergantungan finansial (Utang Iklim).

Analisis Geopolitik Baru

DT tetap menjadi alat analisis yang relevan untuk mengevaluasi dinamika geopolitik yang bergeser. Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok adalah studi kasus penting. Meskipun BRI dipromosikan sebagai inisiatif pembangunan, analisis menunjukkan bahwa BRI berpotensi menciptakan hubungan Inti-Pinggiran baru yang menguntungkan Beijing, terutama melalui subordinasi utang.

Fakta bahwa aktor non-Barat (seperti Tiongkok) dapat merekayasa ketergantungan ekonomi yang serupa dengan pola Neokolonialisme Barat menunjukkan bahwa masalahnya terletak pada struktur kapitalis global yang hierarkis itu sendiri, yang cenderung mereplikasi pola ekstraksi dan subordinasi, terlepas dari identitas negara yang dominan.

Kesimpulan

Teori Ketergantungan memberikan perspektif kritis yang tak tergantikan bagi studi pembangunan, dengan tegas menyatakan bahwa ketidaksetaraan global adalah produk dari hubungan struktural yang disengaja. DT berhasil bertransisi dari kritik Modernisasi klasik menjadi alat analisis yang relevan untuk fenomena kontemporer seperti GVCs, EUE, dan Kolonialisme Data.

Kesimpulan utama dari analisis struktural ini adalah bahwa pembangunan otonom di Global South tidak akan tercapai tanpa pemutusan hubungan (delinking) yang strategis dari logika akumulasi kapitalis global. Pemutusan hubungan ini bukan berarti isolasi total, tetapi menuntut kedaulatan penuh atas kebijakan ekonomi internal dan pembentukan hukum nilai yang mengutamakan distribusi nilai dan kebutuhan domestik di atas imperatif pasar global.

Untuk mencapai otonomi ini, kebijakan harus bergerak melampaui proteksionisme perdagangan (ISI) dan memprioritaskan kedaulatan di tiga domain kritis Neokolonialisme 2.0:

  1. Kedaulatan Finansial: Menuntut reformasi arsitektur finansial global untuk melawan subordinasi utang yang dipaksakan oleh IFIs dan aliran modal yang volatil.
  2. Kedaulatan Teknologi: Mengembangkan kapasitas inovasi domestik dan melawan rezim IPR global yang menciptakan technological lock-in.
  3. Kedaulatan Digital dan Ekologis: Mengamankan data dan infrastruktur digital untuk melawan kolonialisme data, dan menuntut kompensasi atas Utang Iklim sebagai pengakuan atas Pertukaran Tidak Setara Ekologis.

Pada akhirnya, DT terus menawarkan landasan filosofis bagi gerakan politik dan akademik yang menuntut keadilan struktural, menunjukkan bahwa pembangunan yang bermakna mensyaratkan perubahan yang tidak hanya bersifat teknis atau kebijakan, tetapi harus bersifat revolusioner dan struktural dalam tata kelola ekonomi dunia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

36 − = 35
Powered by MathCaptcha