Mandat Universal dan Prinsip Inti SDGs
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs/TPB), yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2015, mewakili program ambisius pasca-2015 yang bertujuan untuk “mempromosikan kemakmuran bersama dan kesejahteraan bagi semua” selama 15 tahun berikutnya. Kerangka ini, yang terdiri dari 17 Tujuan dan 169 target, dirancang untuk menjadi universal, integratif, dan inklusif, berbeda dengan pendahulunya (MDGs).
Prinsip panduan utama dari Agenda 2030 adalah komitmen untuk Leave No One Behind (LNOB), yang menuntut percepatan kemajuan bagi kelompok-kelompok yang paling tertinggal terlebih dahulu. Prinsip ini menjadikan LNOB standar etika dan operasional utama untuk mengukur keberhasilan pencapaian keadilan sosial global. Dalam konteks laporan ini, analisis difokuskan pada tiga pilar inti kesejahteraan sosial—SDG 1 (Tanpa Kemiskinan), SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan), dan SDG 5 (Kesetaraan Gender)—untuk menguji sejauh mana janji LNOB ini telah dipenuhi di tengah realitas ekonomi politik global saat ini.
Konteks Krisis Global dan Stagnasi Kemajuan
Meskipun visi SDGs bersifat transformatif, laporan global PBB pada tahun 2024 menunjukkan bahwa kemajuan global menuju target 2030 “sangat tidak memadai” (alarmingly insufficient). Dunia telah memasuki Decade of Action (2020–2030) dengan berbagai krisis yang secara signifikan menghambat kemajuan yang telah dicapai, bahkan mengancam pembalikan kemajuan (setbacks).
Faktor-faktor utama yang bertanggung jawab atas stagnasi ini mencakup dampak berkepanjangan dari pandemi COVID-19, meningkatnya konflik geopolitik, dan kegagalan mitigasi iklim. Krisis-krisis ini tidak hanya memperlambat intervensi, tetapi juga memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada dalam sistem kesehatan global dan kerentanan ekonomi.
Analisis terhadap dampak krisis ini memperlihatkan implikasi yang mendalam terhadap keadilan temporal. Kerapuhan sistem yang dibangun sejak 2015, yang mudah runtuh di bawah guncangan eksternal (seperti pandemi), mengindikasikan bahwa intervensi pembangunan yang diterapkan mungkin bersifat terlalu teknis dan manajerial, tetapi gagal membangun ketahanan struktural yang mendalam. Bukti ini secara eksplisit menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip LNOB, karena dampak krisis selalu ditanggung secara tidak proporsional oleh kelompok yang sudah paling rentan—seperti masyarakat berpenghasilan rendah dan perempuan—yang tidak memiliki sistem proteksi sosial atau sistem kesehatan publik yang memadai untuk menahan guncangan tersebut. Kegagalan membangun ketahanan yang kokoh menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan bersifat superfisial, bukan transformatif.
Evaluasi Empiris Keadilan Sosial: Disparitas yang Meluas dalam Pilar Sosial
SDG 1: Tanpa Kemiskinan (No Poverty)
SDG 1 menargetkan pengentasan kemiskinan dalam segala bentuk di seluruh dunia, dengan fokus utama pada pemberdayaan individu yang hidup dalam kondisi rentan. Target utamanya adalah memberantas kemiskinan ekstrem (yang saat ini diukur sebagai hidup dengan kurang dari $2.15 per hari) dan mengurangi setidaknya setengah proporsi orang yang hidup dalam kemiskinan dalam segala dimensinya sesuai dengan definisi nasional pada tahun 2030. Selain itu, Target 1.3 menuntut implementasi sistem proteksi sosial nasional yang tepat dan mencapai cakupan substansial bagi kaum miskin dan rentan.
Kemajuan yang Tidak Merata dan Akar Masalah Struktural
Meskipun terdapat upaya global yang didukung oleh kerja sama pembangunan , kemajuan dalam SDG 1 tetap menghadapi tantangan besar. Laporan menunjukkan bahwa kemajuan tidak berjalan sesuai jalur, dan kemiskinan ekstrem semakin terkonsentrasi secara geografis. Negara-negara, khususnya di Afrika Sub-Sahara, masih tertinggal jauh dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Kegagalan yang paling signifikan terlihat dalam konteks kemiskinan struktural. Kemiskinan yang dialami banyak keluarga bukan hanya masalah kekurangan materi sesaat, tetapi merupakan hasil dari kegagalan sistematis untuk menyediakan peluang yang setara. Misalnya, banyak keluarga miskin tidak mampu membiayai pendidikan anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak terpaksa berhenti sekolah dini untuk membantu orang tua bekerja (seperti bertani, memancing, atau bekerja serabutan), sehingga mereka kehilangan peluang belajar dan memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk masa depan yang lebih baik. Kondisi ini menciptakan siklus kemiskinan antargenerasi, di mana anak-anak dari keluarga miskin lebih rentan untuk tetap miskin saat dewasa, bukan karena kemalasan, tetapi karena sistem belum memberikan peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Tanpa perubahan struktur mendasar yang menjamin akses pendidikan dan perlindungan sosial (Target 1.3), kelompok-kelompok ini akan terus tertinggal.
Konflik Tujuan (Trade-off) yang Mendasari
Ketika menganalisis SDG 1 lebih dalam, muncul konflik mendasar dengan tujuan keberlanjutan lingkungan. Evaluasi interaksi tujuan menunjukkan adanya hubungan negatif antara Pengentasan Kemiskinan (SDG 1) dan target Perlindungan Laut (SDG 14.5).
Implikasi dari konflik ini sangat kritis: di banyak komunitas pesisir berpenghasilan rendah, mata pencaharian tradisional mereka sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya laut. Konservasi ketat (Target 14.5) yang diperlukan untuk keberlanjutan ekologis dapat secara langsung mengorbankan mata pencaharian jangka pendek mereka, yang merupakan bagian integral dari pengentasan kemiskinan (SDG 1). Konflik ini memaksa pembuat kebijakan untuk menghadapi pilihan yang sulit antara memenuhi kebutuhan keadilan sosial saat ini (mengakhiri kemiskinan) dan memastikan keberlanjutan ekologis masa depan. Jika program SDG 1 di daerah ini tidak disertai dengan strategi diversifikasi ekonomi yang berkelanjutan dan berbasis hak, konflik dengan SDG 14 akan tak terhindarkan, menandakan kegagalan kerangka SDGs untuk mengintegrasikan tujuan sosial dan lingkungan secara harmonis dan adil.
SDG 3: Kesehatan dan Kesejahteraan (Good Health and Well-being)
SDG 3 berupaya menjamin kehidupan sehat dan mempromosikan kesejahteraan bagi semua di segala usia. Salah satu target utama keadilan sosial adalah Target 3.8, yaitu mencapai Cakupan Kesehatan Universal (UHC). UHC didefinisikan sebagai situasi di mana semua orang menerima layanan kesehatan berkualitas yang mereka butuhkan, kapan pun dan di mana pun mereka membutuhkannya, tanpa menderita kesulitan finansial.
Ancaman Terhadap UHC dan Krisis Finansial
Kemajuan menuju UHC terhambat oleh pandemi dan krisis berkelanjutan lainnya, yang memperburuk ketidaksetaraan kesehatan yang sudah ada. Perlindungan dari kesulitan finansial adalah indikator keadilan sosial yang penting (SDG 3.8.2). Kegagalan mencapai UHC yang memadai seringkali menempatkan beban biaya kesehatan yang memberatkan pada rumah tangga. Hal ini merupakan masalah keadilan sosial inti, karena pengeluaran kesehatan yang katastrofik dapat mendorong keluarga kembali ke dalam kemiskinan, merusak kemajuan yang dicapai di SDG 1.
Disparitas Kematian dan Kegagalan Sistem
Disparitas dalam SDG 3 sangat mencolok, terutama di tingkat regional. Sebanyak 60 negara, hampir tiga perempatnya berada di Afrika Sub-Sahara, perlu mempercepat kemajuan secara drastis untuk mencapai target mortalitas balita (kematian di bawah usia 5 tahun) pada tahun 2030. Tren saat ini memproyeksikan 30 juta kematian balita yang dapat dicegah pada tahun 2030, di mana target SDG dapat mencegah 8 juta di antaranya.
Selain itu, pandemi menyebabkan kemunduran dalam program kesehatan dasar. Cakupan vaksinasi global (DTP-3) pada tahun 2022 hanya mencapai 84%, meningkat dari 81% pada tahun 2021, namun masih di bawah tingkat pra-pandemi 2019 sebesar 86%. Hal ini menunjukkan kerentanan sistem kesehatan, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang sebelumnya sudah kekurangan sumber daya.
Krisis Tenaga Kerja Kesehatan Global
Kesenjangan paling ekstrem dalam SDG 3 adalah masalah sumber daya manusia, yang merupakan Target 3.c (Pembiayaan Kesehatan dan Tenaga Kerja). Data menunjukkan adanya ketidaksetaraan yang luar biasa dalam kepadatan tenaga kesehatan: negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki rata-rata satu pekerja kesehatan untuk setiap 64 orang, sementara negara-negara berpenghasilan rendah hanya memiliki satu pekerja untuk setiap 621 orang.
Kesenjangan rasio tenaga kesehatan (1:64 versus 1:621) adalah cerminan kegagalan tata kelola dan pembiayaan global yang adil. Proyeksi menunjukkan kekurangan global sebesar 11.1 juta pekerja kesehatan pada tahun 2030, dengan lebih dari setengah kekurangan tersebut terkonsentrasi di Afrika Utara dan Sub-Sahara. Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa tanpa intervensi besar-besaran, sistematis, dan berjejaring dalam pembiayaan dan pendidikan tenaga kerja (Target 3.c), target UHC (Target 3.8) secara de facto mustahil tercapai di negara-negara miskin. Target 3.c berfungsi sebagai jembatan struktural; jika pembiayaan dan tenaga kerja tidak memadai, semua tujuan kesehatan lainnya (pengurangan mortalitas, pengendalian penyakit) akan runtuh, mengubah janji UHC menjadi janji kosong bagi miliaran penduduk dunia.
SDG 5: Kesetaraan Gender (Gender Equality)
SDG 5 bertujuan mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Kesetaraan gender adalah hak asasi manusia fundamental dan fondasi yang diperlukan untuk dunia yang damai dan berkelanjutan.
Stagnasi Struktural dan Laju Kemajuan yang Mengerikan
Terlepas dari komitmen global, dunia tidak berada pada jalur yang tepat untuk mencapai kesetaraan gender pada tahun 2030. Laju kemajuan saat ini sangat lambat, mengindikasikan bahwa hambatan yang dihadapi bersifat struktural dan sangat resisten. Proyeksi mencengangkan menunjukkan bahwa:
- Dibutuhkan sekitar 140 tahun bagi perempuan untuk terwakili secara setara dalam posisi kekuasaan dan kepemimpinan di tempat kerja. Secara global, perempuan hanya menempati 30% posisi manajerial.
- Dibutuhkan 286 tahun untuk menutup kesenjangan dalam perlindungan hukum dan menghapus undang-undang yang diskriminatif. Data dari 131 negara pada tahun 2024 menunjukkan tantangan hukum yang substansial, di mana tidak ada negara yang mencapai skor sempurna dalam kerangka hukum mengenai perkawinan, pekerjaan, dan kekerasan terhadap perempuan.
- Dibutuhkan 300 tahun untuk mengakhiri pernikahan anak.
Akar Masalah: Ekonomi Perawatan yang Tidak Dihargai
Salah satu hambatan struktural terbesar bagi SDG 5 adalah Target 5.4, yaitu mengenali dan menghargai pekerjaan perawatan dan domestik yang tidak berbayar. Perempuan secara global menghabiskan rata-rata 2.4 hingga 2.5 kali lebih banyak waktu daripada laki-laki untuk pekerjaan domestik dan perawatan yang tidak berbayar.
Kesenjangan dalam ekonomi perawatan tidak berbayar ini secara efektif membatasi partisipasi ekonomi dan politik perempuan (SDG 5.5 dan 5.b), dan menjadi akar masalah kemiskinan (SDG 1) serta pembangunan yang tidak inklusif. Laju yang sangat lambat ini membuktikan bahwa intervensi teknis atau manajerial (seperti kuota) tidak memadai. Untuk mencapai SDG 5, diperlukan perombakan struktur ekonomi yang berani melalui investasi publik dalam infrastruktur perawatan dan pengakuan ekonomi terhadap kerja perawatan, yang merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Berikut adalah ringkasan komparatif dari kegagalan keadilan sosial dalam tiga SDG kunci:
Tabel Komparatif Disparitas Keadilan Sosial Global (SDG 1, 3, 5)
| SDG Kunci | Indikator Keadilan Sosial (LNOB) | Data Global/Disparitas Kritis | Proyeksi Kecepatan | Keterkaitan Struktural |
| SDG 1 (Poverty) | Konsentrasi Kemiskinan Ekstrem | Kemajuan “Alarmingly Insufficient” ; Terkonsentrasi di Afrika Sub-Sahara. | Tidak pada jalur 2030 | Kemiskinan intergenerasional, diperkuat oleh trade-off dengan konservasi sumber daya. |
| SDG 3 (Health) | Kesenjangan Tenaga Kesehatan (3.c) | Rasio 1 per 64 (HIC) vs. 1 per 621 (LIC). | 60 negara (Sub-Sahara Afrika) perlu percepatan drastis untuk target mortalitas anak. | Kegagalan Pembiayaan Global: Secara efektif menolak UHC (Target 3.8) bagi miliaran orang di negara miskin. |
| SDG 5 (Gender) | Paritas Kepemimpinan dan Hukum | Perempuan 30% posisi manajerial. Beban kerja perawatan 2.5x lebih berat bagi wanita. | 140 tahun untuk paritas di tempat kerja; 286 tahun untuk reformasi hukum. | Resistensi Struktural yang Mendalam: Norma diskriminatif dan kegagalan redistribusi beban kerja tidak berbayar. |
Analisis Kritis Struktural: SDGs dan Akar Masalah Ekonomi Politik
Pertanyaan fundamental yang diajukan dalam evaluasi kritis ini adalah apakah kerangka SDGs, sebagai cetak biru pembangunan global, benar-benar mengatasi akar masalah struktural yang menyebabkan kemiskinan, ketidaksetaraan, dan degradasi lingkungan. Bukti yang disajikan di atas mengarah pada kesimpulan bahwa Agenda 2030, meskipun memiliki niat mulia, terperangkap dalam batas-batas paradigma ekonomi yang justru memperburuk ketidaksetaraan yang ingin diselesaikannya.
Kritik Paradigma Neoliberal dan Konsentrasi Kekuatan Ekonomi
Kritik akademis yang signifikan menuduh bahwa SDGs terikat pada paradigma neoliberal. Model ekonomi yang dominan ini telah menyebabkan konsentrasi kekayaan yang masif di tangan segelintir orang (1% terkaya) dan polarisasi sosial yang meluas.
Paradigma neoliberal secara inheren membatasi kemampuan SDGs untuk mencapai keadilan sosial sejati. Model ini mendorong pemotongan layanan publik, pemangkasan pajak bagi korporasi dan individu terkaya, dan persaingan global yang menurunkan upah. Kebijakan-kebijakan ini secara tidak proporsional merugikan kelompok-kelompok rentan, termasuk perempuan, yang seringkali menjadi tulang punggung layanan publik dan sistem perawatan. Pertanyaannya menjadi, bagaimana mungkin SDGs bertujuan mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan (SDG 1 & 10) ketika kerangka kerjanya didasarkan pada sistem ekonomi politik yang secara mendasar menghasilkan ketidaksetaraan?
Para kritikus juga berpendapat bahwa SDGs mengubah wacana pembangunan menjadi diskursus yang terlalu teknis, manajerial, dan depolitisasi. Dalam fokus yang berlebihan pada indikator dan implementasi teknis, kerangka ini cenderung mengabaikan akar penyebab ketidaksetaraan, seperti isu kekuasaan, keadilan iklim, dan struktur kolonialisme ekonomi yang berkelanjutan.
Ketergantungan pada model neoliberal ini tercermin dalam strategi pembiayaan SDGs. Meskipun Tujuan 17 (Kemitraan) mempromosikan kemitraan multi-pemangku kepentingan (MSPs) , penelitian menunjukkan bahwa MSPs seringkali memiliki efektivitas yang terbatas dan menghadapi defisit legitimasi. Hal ini menciptakan apa yang dapat disebut sebagai “Perangkap Pendanaan” (The Funding Trap). Intervensi sosial yang mendalam—seperti pendanaan penuh untuk perlindungan sosial universal (SDG 1.3) atau peningkatan masif tenaga kesehatan di negara miskin (SDG 3.c)—adalah intervensi yang vital bagi keadilan sosial tetapi tidak menguntungkan secara komersial. Jika pembiayaan sangat bergantung pada mekanisme pasar yang didorong oleh neoliberalisme, program-program yang paling krusial untuk LNOB justru akan terabaikan karena kurangnya daya tarik finansial, yang secara efektif menyabotase komitmen keadilan sosial dari Agenda 2030.
Inkoherensi Internal: Konflik Tujuan (Trade-offs) dan Pengukurannya
Kerangka SDGs secara eksplisit mempromosikan integrasi tujuan, namun pada kenyataannya, banyak tujuan yang saling bertentangan (trade-offs). Konflik-konflik ini, ketika tidak dikelola secara eksplisit, menyebabkan implementasi yang parsial dan tidak konsisten.
Konflik Pertumbuhan Ekonomi vs. Keberlanjutan
Salah satu konflik utama yang teridentifikasi adalah ketegangan antara pengejaran pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (SDG 8) dan keberlanjutan lingkungan (SDG 13-15). Pengejaran pertumbuhan ekonomi yang intensif sumber daya dan berbasis eksploitasi terbukti memperburuk degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Konsekuensi ini pada gilirannya memperkuat ketidaksetaraan sosial (SDG 1, 5, 10), karena masyarakat miskin dan rentan—yang paling tidak bertanggung jawab atas krisis lingkungan—menanggung beban kerusakan lingkungan terbesar.
Fenomena ini menunjukkan “Ilusi Prioritas” (The Prioritization Illusion) dalam kerangka SDGs. Meskipun kerangka ini menganjurkan integrasi, dalam situasi nyata, ketika terjadi konflik (misalnya antara perlindungan laut SDG 14.5 dan pengentasan kemiskinan SDG 1 ), atau antara pertumbuhan PDB (SDG 8) dan emisi karbon (SDG 13), diperlukan pengorbanan (sacrificing parts of one goal to benefit another). Analisis menunjukkan bahwa konflik ini hampir selalu diselesaikan dengan mengorbankan tujuan keadilan sosial atau ekologis jangka panjang demi kepentingan pertumbuhan ekonomi jangka pendek atau kepentingan nasional yang kuat. Kegagalan untuk secara eksplisit mengidentifikasi dan mengelola trade-offs ini adalah bukti bahwa kerangka tersebut belum mampu menembus logika sistemik ekonomi politik global yang ada.
Kelemahan Pengukuran Struktural
Masalah lain yang memperburuk kegagalan struktural adalah masalah pengukuran dan akuntabilitas. Banyak indikator yang ditetapkan untuk tujuan struktural dianggap tidak spesifik, atau un-SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound), dan tidak memiliki nilai target yang jelas. Sebagai contoh, target “mengurangi ketidaksetaraan internasional” (di bawah SDG 10) tidak memiliki tolok ukur yang jelas atau nilai target yang dapat dicapai.
Ketidakjelasan ini menghambat evaluasi yang efektif dan memfasilitasi depolitisasi. Jika indikator tidak dirancang untuk mengukur perubahan struktural, maka pemangku kepentingan hanya akan fokus pada perubahan manajerial atau teknis yang parsial, sehingga dampak sistemik dari SDGs menjadi lemah.
Nilai Residual SDGs: Advokasi dan Akuntabilitas
Meskipun kritik struktural terhadap paradigma neoliberal dan inkoherensi internal sangat kuat, kerangka SDGs memiliki nilai residual yang signifikan sebagai alat akuntabilitas dan advokasi.
SDGs menyediakan bahasa universal dan kerangka kerja yang dapat digunakan oleh masyarakat sipil, aktivis, dan Lembaga Audit Negara (SAI) untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah. SDG 16 (Institusi yang Efektif, Damai, dan Inklusif) sangat penting dalam hal ini, karena menyediakan “akses keadilan bagi semua” dan memungkinkan masyarakat sipil untuk mengadvokasi reformasi peradilan dan kebijakan yang secara langsung menguntungkan kaum miskin dan terpinggirkan.
Prinsip inklusif yang diemban SDGs juga mendorong pelibatan semua pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil) dalam perencanaan dan implementasi pembangunan. Mekanisme ini memastikan bahwa pembangunan tidak hanya menjadi tugas pemerintah tetapi juga tanggung jawab bersama.
Kesimpulan dan Rekomendasi Transformasi Sistemik
Sintesis Kegagalan Struktural dan Janji Keadilan Sosial
Evaluasi implementasi SDG 1 (Kemiskinan), SDG 3 (Kesehatan), dan SDG 5 (Gender) secara tegas menunjukkan bahwa komitmen utama Agenda 2030, yaitu Leave No One Behind, telah gagal dipenuhi di tingkat global. Meskipun ada kemajuan di beberapa sektor, kemajuan ini berjalan sangat lambat, dan disparitas yang meluas (misalnya, kesenjangan tenaga kesehatan 1:64 vs 1:621, proyeksi 140 tahun untuk paritas gender di tempat kerja) menunjukkan bahwa kelompok yang paling rentan menghadapi penolakan keadilan struktural.
Kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurangnya niat, melainkan oleh kelemahan struktural dalam kerangka SDGs:
- Keterikatan Paradigma:SDGs terikat pada model ekonomi neoliberal yang secara inheren menghasilkan ketidaksetaraan yang ingin mereka atasi.
- Trade-offs yang Tidak Terkelola:Inkoherensi internal antara tujuan, khususnya konflik antara pertumbuhan ekonomi jangka pendek (SDG 8) dan tujuan keadilan sosial/lingkungan (SDG 1, 3, 5, 14), yang cenderung diselesaikan dengan mengorbankan kepentingan kelompok rentan.
- Depolitisasi:Pengubahan pembangunan menjadi urusan manajerial teknis yang menghindari perombakan struktur kekuasaan dan pembiayaan global yang tidak adil.
Rekomendasi Kebijakan untuk Mencapai Keadilan Sosial Global yang Sejati
Untuk mencapai keadilan sosial global yang sejati pada tahun 2030, kerangka pembangunan harus bertransisi dari fokus teknis/manajerial menuju agenda yang lebih radikal dan transformatif secara struktural:
Revolusi Pembiayaan Pembangunan dan Perlindungan Sosial
Dunia harus beralih dari ketergantungan pada mekanisme Kemitraan Multi-pemangku Kepentingan (MSPs) yang terbukti tidak efektif dan memiliki defisit legitimasi. Diperlukan reformasi sistem pajak global yang agresif untuk menutup celah kekayaan dan memobilisasi sumber daya publik secara signifikan. Dana yang dialokasikan harus secara langsung diarahkan untuk memperkuat sistem proteksi sosial (SDG 1.3) dan mencapai Cakupan Kesehatan Universal (SDG 3.8) di negara-negara miskin. Ini memerlukan investasi lintas batas yang masif untuk menutup kekurangan tenaga kerja kesehatan (SDG 3.c) dan memastikan bahwa layanan sosial dasar tidak menjadi korban pemotongan anggaran yang didorong oleh kebijakan neoliberal.
Manajemen Konflik Tujuan yang Eksplisit
Kebijakan pembangunan harus mengakui secara eksplisit adanya trade-offs dan menerapkan mekanisme tata kelola yang terintegrasi untuk menyelesaikannya. Prioritas harus dialihkan dari Tujuan 8 (Pertumbuhan Ekonomi) ketika tujuan tersebut secara langsung bertentangan dengan target sosial (SDG 1, 5) dan lingkungan (SDG 13, 14). Dalam konflik antara ekonomi dan keberlanjutan atau keadilan, kepentingan kelompok yang paling tertinggal (Leave No One Behind) harus dijadikan prioritas utama yang tidak dapat dinegosiasikan.
Perombakan Struktur Kekuasaan Gender
Untuk mengatasi laju kemajuan SDG 5 yang sangat lambat (memakan waktu berabad-abad), reformasi harus difokuskan pada perombakan struktur ekonomi perawatan. Pemerintah harus mewajibkan investasi publik dalam infrastruktur perawatan (fasilitas penitipan anak, layanan lansia) untuk secara struktural mendistribusikan ulang beban kerja perawatan yang tidak berbayar (Target 5.4). Pada saat yang sama, reformasi hukum komprehensif harus diberlakukan secara agresif, tidak hanya untuk menghilangkan diskriminasi legal (Target 5.1) tetapi juga untuk memerangi kekerasan struktural, demi memastikan otonomi tubuh dan partisipasi penuh perempuan dalam kehidupan publik dan ekonomi.
Memperkuat Akuntabilitas Inklusif
Untuk memastikan bahwa kebijakan pembangunan benar-benar menjangkau mereka yang paling tertinggal, diperlukan peningkatan kualitas dan ketersediaan data yang tersegregasi berdasarkan faktor sosial-ekonomi, termasuk gender. Kerangka SDGs harus terus digunakan sebagai alat advokasi bagi masyarakat sipil dan Lembaga Audit untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah terhadap komitmen keadilan yang telah dibuat, memastikan bahwa pembiayaan pembangunan diarahkan ke program-program yang paling mengungkit tercapainya keadilan sosial.
