Hukuman mati, atau pidana mati, merupakan sanksi hukum tertua dan paling kontroversial dalam sejarah peradaban manusia. Asal muasalnya tidak hanya terletak pada kebutuhan negara untuk menindak kejahatan paling serius, tetapi juga berakar dalam fondasi teologis, filosofis, dan struktur kontrol sosial. Analisis historis menunjukkan bahwa tujuan hukuman mati telah bergeser secara signifikan—dari instrumen pembalasan (retribusi) dan penegasan kekuasaan absolut pada zaman kuno, menjadi subjek perdebatan sengit mengenai hak asasi manusia dan efektivitas pencegahan pada era modern.
Fondasi Kuno Dan Konsep Kontrol Sosial (Abad ke-18 SM – Abad ke-5 M)
Asal muasal pidana mati sebagai sanksi yang dilembagakan oleh negara dapat ditelusuri kembali pada upaya peradaban awal untuk menggantikan pembalasan pribadi (vendetta) atau kesukuan dengan tatanan hukum terpusat. Pidana mati pertama kali diinstitusionalkan sebagai alat sentralisasi kekuasaan dan stabilitas sosial.
Konsepsi Primitif: Pembalasan dan Transisi Kodifikasi
Sebelum adanya sistem hukum yang mapan, pembalasan atas kejahatan berat sering kali berbentuk pembalasan dendam pribadi, yang mengancam stabilitas komunitas. Dengan munculnya negara-kota dan kodifikasi hukum tertulis, sanksi mati diangkat dari domain pribadi ke domain publik, dikelola oleh otoritas. Pidana mati ini telah menjadi bagian integral dari Kitab Undang-undang Het pada abad ke-14 sebelum masehi dan juga merupakan bagian dari Kitab Undang-undang Athena Draconian pada abad ke-7 sebelum masehi. Kehadiran sanksi ini dalam kodifikasi kuno menunjukkan bahwa hukuman mati merupakan respons universal terhadap tantangan tatanan sosial yang dihadapi oleh peradaban awal.
Kode Hammurabi: Retribusi dan Perlindungan Properti
Salah satu teks hukum tertulis paling signifikan, Kode Hammurabi (Abad ke-18 SM), menetapkan sanksi mati untuk serangkaian kejahatan yang luas, sering kali di luar pembunuhan. Kode ini menerapkan hukuman mati bagi mereka yang menuduh pembunuhan tanpa bukti (untuk melindungi integritas proses hukum), bagi penipu yang menyebabkan budak ditandai, dan secara mencolok, bagi pembangun yang menyebabkan kematian pemilik rumah akibat konstruksi yang buruk (Pasal 229).
Penerapan hukuman mati dalam konteks Kode Hammurabi menunjukkan fungsi hukuman mati yang jauh lebih luas daripada sekadar pembalasan moral atas hilangnya nyawa. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pembangun yang ceroboh, dan bahkan pada kasus yang lebih ekstrem, mengeksekusi anak pembangun jika anak pemilik rumah meninggal (Pasal 230), menggambarkan konsep pertanggungjawaban wakil (vicarious liability) yang sangat keras. Hal ini menyoroti bahwa tujuan utama pidana mati dalam masyarakat Mesopotamia kuno adalah menjaga integritas struktural negara dan menegakkan kepercayaan publik terhadap perdagangan dan keadilan. Hukuman mati berfungsi sebagai instrumen vital untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dan kontrol sosial di mana ancaman terhadap properti dan aktivitas ekonomi disamakan dengan kejahatan kapitol.
Kekejaman Mutlak di Dunia Klasik: Hukum Romawi
Peradaban Romawi juga mengandalkan pidana mati untuk menjaga tatanan. Dua Belas Tabel Romawi (Abad ke-5 SM) mencantumkan sanksi yang keras, termasuk denda, cambuk, pengasingan, dan retribusi setimpal (talio), dengan hukuman mati sebagai sanksi terberat.
Namun, praktik Romawi kuno menyoroti kebrutalan dan pragmatisme kontrol populasi. Tabel IV secara eksplisit mengizinkan pembunuhan cepat terhadap anak yang cacat mengerikan (A dreadfully deformed child shall be quickly killed). Praktik ini menggarisbawahi bahwa di peradaban kuno, hak hidup tidak dianggap mutlak, melainkan bergantung pada nilai sosial dan fisik individu. Kekejaman dalam sanksi ini menunjukkan bahwa kontrol populasi dan kepatuhan sosial melalui teror adalah aspek intrinsik dari hukum pidana kuno.
Legitimasi Teologis Dan Simbolisme Kekuasaan
Seiring perkembangan masyarakat, legitimasi pidana mati diperkuat oleh justifikasi teologis. Hukum berbasis agama memberikan otoritas transendental yang membenarkan kekuasaan negara untuk melaksanakan sanksi yang tidak dapat ditarik kembali.
Otoritas Ilahi dalam Hukum Taurat dan Yudaisme-Kristen
Teks-teks keagamaan memberikan dasar bagi otoritas pemerintah untuk menjalankan hukuman mati. Perspektif Alkitab mengakui bahwa Allah telah memberikan otoritas kepada pemerintah untuk menentukan kapan hukuman mati pantas dijatuhkan, sebagaimana ditunjukkan dalam Kejadian 9:6 dan Roma 13:1-7. Dengan demikian, mengklaim bahwa Allah menentang hukuman mati dalam segala hal dianggap sebagai posisi yang tidak Alkitabiah.
Namun, pandangan ini memunculkan nuansa etika yang kompleks. Terdapat perdebatan internal mengenai kesetaraan wewenang. Para penegak hukum—polisi, jaksa, dan hakim—adalah manusia biasa yang menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang negara, tetapi mereka bertanggung jawab memberi vonis mati. Pertanyaan etisnya adalah apakah kedudukan dan wewenang para penegak hukum ini sama persis dengan hak, wewenang, dan kuasa Sang Pencipta, Hakim Maha Agung. Ini menunjukkan bahwa meskipun otoritas untuk menghukum mati diakui secara teologis, pelaksanaan oleh manusia selalu diselimuti oleh keraguan moral tentang potensi kesalahan dan kekuasaan absolut.
Sistem Keadilan Islam: Qisas dan Mekanisme Mitigasi
Dalam syariat Islam, kerangka retributif yang formal diwujudkan melalui konsep Qisas (retribusi setimpal) dan Diyat (kompensasi). Qisas berarti pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya; jika membunuh, dibalas dengan dibunuh. Penerapan hukum pidana ini terikat pada Maqashid Syari’ah (tujuan syariat), yang menempatkan hukuman sebagai alat untuk melindungi nilai-nilai esensial masyarakat, dan dilihat sebagai manifestasi aspek pembalasan (retribution) dan penakutan (deterrence).
Namun, sistem ini memiliki lapisan kompleksitas. Sementara Qisas adalah doktrin retributif klasik, keberadaan Diyat memungkinkan keluarga korban untuk mengkomutasi hukuman mati menjadi kompensasi finansial. Mekanisme ini, yang terintegrasi dalam sistem yang kelihatannya sangat retributif, menyediakan bukti historis rekonsiliasi dan keadilan yang berpusat pada korban. Integrasi antara retribusi mutlak (Qisas) dan mitigasi restoratif (Diyat) dalam hukum Islam menantang kecenderungan keilmuan modern untuk secara kaku memisahkan keadilan retributif dan restoratif, menunjukkan bahwa secara historis, keduanya dapat hidup berdampingan di bawah hukum ilahi, mencegah pembalasan mutlak negara.
Eksekusi Publik dan Teater Kekejaman Abad Pertengahan
Selama Abad Pertengahan di Eropa, hukuman mati tidak hanya berfungsi sebagai sanksi, tetapi sebagai teater kekuasaan yang kejam. Eksekusi sering dilakukan di depan umum dengan metode yang dirancang untuk menimbulkan rasa sakit dan kengerian maksimal, seperti yang dicatat dalam sejarah Inggris Abad Pertengahan , atau penggunaan alat-alat mengerikan seperti Banteng Penghukum.
Kekejaman dalam eksekusi publik berfungsi ganda: sebagai deterensi maksimal dan sebagai penegasan kekuasaan absolut raja atau gereja. Kekejaman yang dipertontonkan itu bukanlah sekadar efek samping; itu adalah tujuan untuk mengintimidasi massa dan menegaskan hierarki sosial dan politik. Sistem ini memastikan bahwa kedaulatan negara dipandang sebagai otoritas yang tak tertandingi dalam menentukan nasib individu.
Perang Filosofis Klasik: Retribusi Mutlak Vs. Pencegahan Utilitarian
Abad Pencerahan (abad ke-18) melahirkan perdebatan filosofis yang mengubah cara pandang hukuman mati secara fundamental, mengalihkan fokus dari pembalasan moral ke konsekuensi sosial dan kegunaan (utilitas).
Retribusi Mutlak: Immanuel Kant
Filosof Jerman Immanuel Kant merupakan penganut utama teori retributif mutlak. Bagi Kant, hukuman mati bukanlah tentang kegunaan atau pencegahan, tetapi tentang keharusan moral. Kant mendukung pidana mati melalui keadilan retributif, menekankan bahwa keadilan adalah kewajiban moral yang mutlak. Ia memandang hukuman—termasuk hukuman mati—sebagai penghormatan terhadap martabat individu karena pelaku kejahatan dipandang sebagai agen rasional yang bertanggung jawab penuh atas pilihan moralnya.
Dalam pandangan Kant, kegagalan menghukum mati seorang pembunuh adalah perlakuan tidak hormat terhadap hukum dan terhadap martabat pelaku itu sendiri, karena ia tidak menerima konsekuensi moral yang pantas dari tindakannya yang rasional. Analisis ini mengungkapkan kontradiksi tematik mendasar: Kant mendasarkan argumennya untuk eksekusi pada martabat pelaku, sementara argumen hak asasi manusia kontemporer menggunakan martabat sebagai alasan fundamental untuk menghapus hukuman mati. Pergeseran ini menunjukkan evolusi konsep martabat, dari alasan untuk akuntabilitas absolut menjadi perisai melawan kekuasaan negara.
Pencerahan dan Utilitarianisme: Cesare Beccaria
Gerakan abolisionis modern berutang banyak pada pemikiran Cesare Beccaria. Melalui bukunya Dei delitti e delle pene (1764), Beccaria secara tegas menolak hukuman yang kejam dan berpendapat bahwa tujuan hukuman seharusnya bukan pembalasan, tetapi pencegahan kejahatan dan perlindungan masyarakat Beccaria secara efektif menggeser fokus wacana hukum pidana dari kesalahan moral masa lalu ke konsekuensi sosial di masa depan.
Jeremy Bentham kemudian memperkuat gagasan ini dengan teori utilitarianisme, yang menyatakan bahwa sistem pemidanaan yang ideal adalah yang memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat, salah satunya melalui rehabilitasi pelaku agar kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif. Ide-ide ini menjadi cikal bakal lahirnya correctional system dan konsep rehabilitative justice.
Penyertaan argumen utilitarian dalam perdebatan ini memberikan logika kuat melawan spektakel kekejaman yang lazim di Abad Pertengahan. Eksekusi publik yang kejam dipandang tidak efektif sebagai pencegah dan bahkan dapat bersifat kontraproduktif, memicu kekejaman publik atau simpati yang tidak diinginkan terhadap terpidana. Pergeseran ke pencegahan ini menghasilkan tuntutan untuk pelaksanaan hukuman mati yang tidak bersifat publik, sebagai konsekuensi institusional langsung dari logika anti-spektakel utilitarian.
Tabel Komparatif: Argumen Filosofis Utama Mengenai Hukuman Mati
| Dimensi | Teori Retributif Mutlak (Kant) | Teori Utilitarian/Pencegahan (Beccaria/Bentham) |
| Tujuan Utama | Membalas kejahatan setimpal; Keadilan sebagai kewajiban moral | Mencegah kejahatan di masa depan; Kemanfaatan sosial terbesar |
| Fokus | Kesalahan moral masa lalu | Konsekuensi dan reformasi masa depan |
| Pandangan Pelaku | Agen rasional yang harus menerima akibat moral | Subjek yang dapat diperbaiki (rehabilitasi) atau digunakan sebagai alat pencegahan (deterrence) |
| Relevansi Kontemporer | Justifikasi utama bagi negara retensionis (pembalasan) | Dasar bagi Rehabilitative Justice dan gerakan abolisionis |
Kritik Modern Dan Yurisprudensi Ham
Pada abad ke-20 dan ke-21, perdebatan hukuman mati bergeser dari tujuan pemidanaan filosofis (retribusi vs. pencegahan) ke isu-isu prosedural dan hak asasi manusia (HAM).
Konflik dengan Hak Asasi Manusia dan Teori Restoratif
Meskipun hukuman mati dipertahankan oleh negara-negara retensionis sebagai bentuk utama rasionalisasi hukum (pembalasan) dan untuk efek jera bagi kejahatan paling serius, penerapannya menimbulkan masalah signifikan dari sudut pandang hukum, moral, dan sosial. Secara kriminologis, hukuman mati dianggap tidak sesuai dengan teori keadilan restoratif, yang menekankan rehabilitasi dan rekonsiliasi antara pelaku dan korban.
Dalam konteks domestik, seperti di Indonesia, mayoritas kasus hukuman mati berkaitan dengan tindak pidana narkotika (mencapai 82% dari kasus yang ditemukan). Hal ini menunjukkan pergeseran dari sanksi yang utamanya ditujukan untuk pembunuhan menjadi alat untuk memerangi ancaman yang dianggap mengganggu keamanan nasional atau kesehatan publik.
Isu Keadilan Prosedural dan Risiko Kesalahan Fatal
Inti dari kritik HAM kontemporer terhadap hukuman mati adalah sifat sanksi yang ireversibel (tidak dapat diubah) dan risiko kesalahan yustisial. Risiko terjadinya Human Error harus dihindari melalui kebijakan yang menjamin mekanisme upaya hukum yang memadai. Mekanisme ini harus memberikan jangka waktu tertentu bagi terpidana untuk mencari alat bukti baru demi membuktikan ketidakbersalahannya.
Lebih lanjut, studi menunjukkan adanya diskriminasi dalam keputusan pengadilan. Warga negara dengan hubungan politik atau ekonomi yang kuat cenderung kurang rentan terhadap hukuman mati dibandingkan dengan warga negara dari kelompok miskin, minoritas, atau warga negara asing Kondisi ini menyiratkan bahwa hukuman mati dalam sistem modern dapat berfungsi untuk menegakkan stratifikasi sosial, sangat mirip dengan fungsinya di zaman kuno, di mana keadilan substantif bagi terdakwa dapat diabaikan saat membuat keputusan yang didasarkan pada pertimbangan politik. Kontroversi hukuman mati kontemporer, oleh karena itu, tidak hanya mengenai hidup atau mati, tetapi juga tentang kesetaraan di hadapan hukum dan kegagalan sistem mengatasi bias sistemik.
Klasifikasi Global dan Perdebatan Retensi
Secara global, negara-negara dibagi menjadi kelompok abolisionis (yang telah menghapus hukuman mati, baik de jure melalui konstitusi/undang-undang atau de facto melalui praktik) dan retensionis (yang mempertahankannya). Indonesia termasuk salah satu negara yang bersifat retensionis, yang mempertahankan pidana mati baik secara de jure maupun de fakto.
Kelompok retensionis seringkali memandang hukuman mati sebagai satu-satunya hukuman yang tepat dan adil bagi kejahatan-kejahatan paling kejam dan sebagai bentuk utama rasionalisasi hukum (pembalasan). Di sisi lain, negara-negara abolisionis umumnya menghapuskan sanksi ini karena adanya tuntutan masyarakat umum atau dukungan dari kaum elit, serta berdasarkan instrumen hak asasi manusia internasional.
Kuhp Baru Indonesia: Merekonsiliasi Retensi Dan Ham
Reformasi hukum pidana Indonesia yang diwujudkan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menawarkan studi kasus unik mengenai bagaimana negara retensionis berupaya mengintegrasikan prinsip HAM dan keadilan prosedural tanpa menghapuskan sanksi mati secara eksplisit.
Pidana Mati Bersyarat: Kompromi Politik dan Etika
KUHP Baru memperkenalkan mekanisme “pidana mati bersyarat” (conditional death penalty). Ketentuan ini memungkinkan hukuman mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup jika terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji selama masa percobaan 10 tahun. Kebijakan ini merupakan jalan tengah strategis antara kontroversi abolisionis dan retensionis.
Periode percobaan 10 tahun memberikan waktu yang signifikan bagi negara untuk menguji kemungkinan rehabilitasi dan memastikan bahwa proses hukum telah memenuhi standar keadilan yang tinggi, sehingga secara efektif mengatasi masalah irreversibility dan risiko human error. Dengan menghubungkan komutasi langsung dengan perilaku terpidana, negara secara implisit mengakui kemungkinan adanya perubahan (prinsip yang selaras dengan rehabilitatif-utilitarianisme) dan tidak tunduk pada pandangan Kantian murni bahwa perbuatan saja sudah cukup untuk mengharuskan kematian. Pidana mati bersyarat ini berfungsi sebagai moratorium yang dilegalkan dan berjangka panjang, mengubah pidana mati dari sanksi retributif absolut menjadi sanksi yang berpotensi transformatif.
Dimensi Kemanusiaan dalam Prosedur Eksekusi
Meskipun sanksi mati dipertahankan, KUHP Baru secara signifikan memperkuat dimensi kemanusiaan dalam prosedur pelaksanaannya, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip due process of law.
Ketentuan-ketentuan ini mencakup larangan pelaksanaan pidana mati di depan umum, yang secara resmi mengakhiri tradisi spektakel publik Abad Pertengahan. Selain itu, eksekusi wajib ditunda bagi perempuan hamil, ibu menyusui, atau orang dengan gangguan jiwa. Negara juga menegaskan jaminan hak untuk berkomunikasi dengan keluarga dan penasihat hukum, serta menyediakan pendampingan psikolog dan rohaniawan menjelang eksekusi.
Inklusi ketentuan kemanusiaan yang rinci ini adalah krusial. Jika tujuan eksekusi adalah semata-mata deterensi melalui teror (seperti yang dipertahankan dalam sejarah kuno), maka ketentuan-ketentuan ini akan bersifat kontradiktif. Kehadirannya menyiratkan pengakuan terhadap martabat hakiki orang yang dieksekusi, bahkan jika hak untuk hidupnya dicabut. Ini menunjukkan pergeseran: negara berusaha melegitimasi eksekusi dengan meminimalkan kekejaman (sejalan dengan prinsip Pencerahan) sambil tetap mempertahankan hukuman itu sendiri. Reformasi prosedural ini merupakan upaya untuk memenuhi tuntutan HAM kontemporer tanpa mengubah substansi hukum pidana.
Sintesis Sejarah Dan Implikasi Jurisprudensi Kontemporer
Dialektika Sejarah dan Kontinuitas Fungsi
Sejarah pidana mati adalah narasi dialektis mengenai kekuasaan dan moralitas. Evolusi sanksi ini menunjukkan bahwa pidana mati secara konsisten melayani tiga fungsi utama, meskipun justifikasinya berubah sepanjang zaman:
- Kontrol Sosial dan Ekonomi (Kuno): Diabadikan dalam Kode Hammurabi sebagai alat untuk melindungi tatanan, properti, dan stabilitas negara.
- Keseimbangan Moral/Kosmik (Teologis dan Kantian): Dibenarkan oleh otoritas ilahi atau kewajiban retribusi mutlak (Kant) , yang menuntut pembalasan setimpal.
- Manfaat Sosial (Utilitarian/Modern): Dipertahankan untuk mencegah kejahatan di masa depan (deterensi), meskipun efektivitasnya dalam peran ini terus dipertanyakan oleh kriminologi modern.
Kesimpulan Jurisprudensi dan Prospek Masa Depan
Hukuman mati selalu berada di titik temu antara tuntutan kekuasaan negara dan etika individu. Jurisprudensi kontemporer, terutama di negara-negara retensionis seperti Indonesia, menunjukkan perjuangan untuk merekonsiliasi warisan retributif kuno dengan prinsip hak asasi manusia modern.
Pengenalan pidana mati bersyarat dalam KUHP Baru adalah langkah penting yang mengubah dinamika hukuman mati dari sanksi absolut menjadi sanksi yang berpotensi dapat diubah, sebuah model yang dapat diadopsi oleh negara-negara retensionis lainnya. Model ini secara cerdas menggunakan prinsip rehabilitasi (yang disokong oleh Pencerahan) untuk mengurangi risiko ketidakadilan prosedural tanpa harus menjadi abolisionis secara eksplisit.
Dapat disimpulkan bahwa selama negara-negara mempertahankan hukuman mati, tekanan internasional dan etis akan terus memaksa perubahan prosedural ke arah humanisasi. Hal ini akan menjadikan proses eksekusi semakin privat dan bersyarat, sebagai upaya untuk merekonsiliasi tindakan ireversibel negara dengan tuntutan martabat manusia yang tidak dapat dinegosiasikan. Tinjauan sejarah pidana mati menunjukkan bahwa setiap reformasi hukum pidana selalu berupaya mencapai keseimbangan yang rapuh antara keadilan yang dituntut oleh masa lalu dan harapan kemanusiaan di masa depan.
