Studi komparatif yurisprudensi kuno menawarkan jendela kritis untuk memahami fondasi tata kelola masyarakat kompleks. Dalam konteks ini, Kode Hammurabi, Manava-Dharmaśāstra (Hukum Manu), dan Reformasi Solon di Athena mewakili tiga pilar krusial yang menggambarkan model pengaturan sosial, legitimasi kekuasaan, dan evolusi konsep keadilan. Meskipun terpisah oleh geografi dan periode waktu—mulai dari Babilonia Kuno pada abad ke-18 SM, India Kuno/Klasik, hingga Athena pada abad ke-6 SM—ketiganya berjuang untuk menertibkan masyarakat yang menghadapi tantangan urbanisasi, ketidaksetaraan ekonomi, dan konflik antar-kelas.

Kode Hammurabi, sebagai teks hukum tertulis paling terorganisir dan terpelihara dari Timur Dekat kuno (c. 1755–1751 SM) , berfokus pada hukum negara, kontrak, dan properti. Kodifikasi ini lahir dari kebutuhan administratif kekaisaran yang luas dan bertujuan memberikan stabilitas melalui regulasi yang terpusat. Sebaliknya, Manava-Dharmaśāstra berfungsi sebagai teks teologis dan filosofis (Dharmaśāstra), mengkodifikasi tatanan kosmik dan sosial (Dharma). Tujuannya adalah mengabadikan hierarki yang dilegitimasi secara agama. Sementara itu, Reformasi Solon (c. 594 SM) merupakan respons langsung terhadap krisis sosial ekonomi di Athena, berfokus pada hukum sipil dan reformasi utang untuk mencegah disintegrasi polis.

Kodifikasi hukum kuno adalah respons terhadap kompleksitas sosial. Ketika masyarakat berpindah dari tatanan suku atau lisan yang sederhana ke negara-kota yang urban dan terstruktur, tradisi lisan tidak lagi memadai untuk menyelesaikan sengketa yang semakin rumit—terutama yang berkaitan dengan perdagangan, kepemilikan tanah, dan kontrak. Kebutuhan untuk menggantikan pembalasan pribadi yang destabilisasi dengan mekanisme retribusi yang terkelola dan terukur oleh otoritas sentral menjadi pendorong utama.

Fungsi politik dari kodifikasi ini sangat bervariasi di antara ketiganya. Kode Hammurabi dikodifikasi untuk menetapkan otoritas kerajaan dan memastikan stabilitas ekonomi melalui administrasi yang detail. Manava-Dharmaśāstra mengkodifikasi untuk mengabadikan tatanan teologis dan struktur kasta yang kaku. Sebaliknya, Solon menggunakan hukum untuk mengatasi krisis sosial dan menciptakan prasyarat bagi warga negara yang bebas melalui reformasi politik radikal. Dengan demikian, kodifikasi adalah alat multi-fungsi: di Babilonia, ia adalah alat administrasi; di India, alat dogma; dan di Athena, alat politik reformasi.

Definisi Konseptual: Lex Talionis dan Keadilan yang Terdiferensiasi

Analisis kode-kode ini memerlukan kerangka keadilan yang jelas. Prinsip sentral yang sering dikaitkan dengan hukum kuno adalah lex talionis (hukum pembalasan), yang secara harfiah berarti “mata ganti mata, gigi ganti gigi”.

Definisi Lex Talionis

Lex talionis adalah prinsip retribusi fisik yang setara, menuntut agar hukuman harus sesuai secara simetris dengan kerugian yang ditimbulkan. Meskipun sering disalahpahami sebagai kebrutalan primitif, dalam konteks historis, lex talionis merupakan kemajuan hukum karena membatasi pembalasan yang berlebihan atau tak terbatas, memaksa pembalasan agar proporsional dengan kejahatan yang dilakukan. Namun, seperti yang akan ditunjukkan oleh analisis komparatif, penerapan prinsip ini sangat tergantung pada stratifikasi sosial masyarakat.

Variasi Keadilan Kuno

Untuk membedah fungsi hukum dalam masyarakat kuno, laporan ini menggunakan tiga kategori keadilan:

  1. Keadilan Retributif (Pembalasan): Berfokus pada hukuman yang sepadan dengan kejahatan, termasuk lex talionis.
  2. Keadilan Kompensasi (Ganti Rugi Moneter): Berfokus pada pemulihan kerugian korban melalui denda atau penggantian materi, seringkali menggantikan retribusi fisik.
  3. Keadilan Distributif (Alokasi Hak dan Kekuasaan): Berfokus pada alokasi sumber daya, hak sipil, dan kewajiban politik di antara anggota masyarakat.

Kode Hammurabi (Babilonia): Stratifikasi, Kontrak, dan Retribusi yang Diatur

Konteks Sejarah dan Mandat Keadilan Casuistic

Kode Hammurabi disusun oleh Raja Hammurabi dari Babilonia antara 1755–1751 SM. Teks ini, yang diukir pada stela basalt setinggi 2.25 meter, merupakan dokumen hukum terpenting di Mesopotamia kuno. Struktur hukumnya bersifat kasuistik, dirumuskan dalam kalimat kondisional “jika… maka”. Dari 282 hukum yang terkandung, cakupannya sangat luas, meliputi hukum pidana, keluarga, properti, dan perdagangan. Diketahui bahwa hampir separuh dari kode ini mengatur kontrak, termasuk penetapan skala upah untuk berbagai profesi, mulai dari pengemudi lembu hingga pekerja dengan harga tinggi. Fokus yang intens pada kontrak menunjukkan bahwa hukum Babilonia Kuno sangat berorientasi pada regulasi ekonomi.

Legitimasi Kode Hammurabi bersumber langsung dari dewa. Pada bagian atas stela terdapat ukiran yang menggambarkan Hammurabi menerima kekuasaan dari Shamash, dewa matahari dan keadilan Babilonia. Dalam prolognya, Hammurabi secara eksplisit mengklaim bahwa kekuasaannya diberikan oleh dewa-dewa—Anu, Bel, dan Marduk—dengan tujuan suci: “untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah” dan “menjauhkan yang jahat dan penjahat”. Deklarasi ini meletakkan dasar yurisprudensi kerajaan: hukum adalah alat ilahi yang diamanatkan untuk menjaga ketertiban, meskipun pelaksanaannya, seperti yang akan dilihat, disaring melalui realitas hierarki sosial.

Struktur Kelas dan Penerapan Hukum yang Terdiferensiasi

Masyarakat Babilonia Kuno, sebagaimana tercermin dalam kode ini, dibagi dengan jelas menjadi tiga kelas sosial utama

  1. Awilum (atau Amelu): Kelas elit atau patrician, sering dianggap sebagai warga bebas atau bangsawan. Mereka mencakup wanita dan anak-anak bebas.
  2. Mushkenum: Kelas menengah yang statusnya kontroversial. Mereka dianggap sebagai warga bebas, tetapi mungkin tidak memiliki tanah (landless) , atau merupakan tanggungan istana (dependent of the palace). Definisi akademis bervariasi, termasuk “orang biasa” (common citizen) atau “setengah bebas” (half-free), menunjukkan kompleksitas dan ambiguitas posisi mereka dalam masyarakat Old Babylonian.
  3. Wardum (atau Ardu): Budak.

Tertib sosial dalam Kode Hammurabi dicapai melalui regulasi yang ketat dan spesifik untuk setiap kelas. Hukum berfungsi untuk menetapkan dan melindungi nilai properti dan status. Wanita, meskipun memiliki hak terbatas—terutama terkait kontrak pernikahan dan hak cerai—hak-hak mereka sangat terikat pada struktur kekeluargaan dan kontrak, yang mencerminkan sifat patriarki dan komersial masyarakat.

Analisis Mendalam Lex Talionis yang Stratified

Prinsip lex talionis merupakan dasar dari banyak hukum pidana Hammurabi, khususnya yang berkaitan dengan cedera fisik. Namun, analisis terhadap teks tersebut mengungkapkan bahwa retribusi fisik simetris hanya berlaku ketika pelaku dan korban memiliki status sosial yang setara.

Jika terjadi konflik antar kelas, hukuman berubah secara signifikan:

  1. Pelanggaran ke Kelas yang Lebih Rendah: Jika seseorang dari status Awilum melukai Mushkenum atau Wardum, hukuman fisik simetris hampir selalu digantikan oleh kompensasi moneter (denda perak). Misalnya, denda untuk menyebabkan keguguran pada putri orang biasa adalah 5 shekels perak, namun denda tersebut berlipat ganda menjadi 10 shekels jika korban adalah putri pria dengan status tinggi.
  2. Pelanggaran ke Kelas yang Lebih Tinggi: Jika seseorang dari status Mushkenum atau Wardum melukai Awilum, hukumannya jauh lebih keras, seringkali melibatkan retribusi fisik yang lebih parah atau hukuman mati.

Fenomena ini menunjukkan bahwa Kode Hammurabi menggunakan hukum sebagai alat untuk mengelola kekerasan dan konflik dengan membatasi pembalasan privat yang dapat memicu destabilisasi. Namun, tujuan ini dicapai dengan mengabadikan hierarki melalui sistem kompensasi berbasis nilai properti dan status. Prinsip yang idealnya “mencegah yang kuat menindas yang lemah”  direalisasikan sebagai mekanisme regulasi yang menuntut ganti rugi yang proporsional dengan nilai sosial korban, yang pada dasarnya mengukur nilai seseorang secara moneter dalam masyarakat Babilonia.

Pragmatisme ini—perdagangan lex talionis fisik untuk kompensasi moneter yang stabil ketika melibatkan status yang berbeda—menandakan langkah penting menuju keadilan publik, di mana retribusi diatur dan dikuantifikasi oleh negara, meskipun pada saat yang sama, ia secara institusional mengakui dan memperkuat ketidaksetaraan mendasar dalam masyarakat.

Hukum Manu (Manava-Dharmaśāstra): Hierarki Kosmis dan Disparitas Hukuman Absolut

Sifat dan Fungsi Teks: Dharmaśāstra

Manava-Dharmaśāstra atau Hukum Manu, adalah salah satu teks yurisprudensi agama terpenting dalam tradisi Hindu. Sebagai sebuah Dharmaśāstra, ia tidak hanya memberikan peraturan hukum (dalam pengertian sekuler modern) tetapi juga mengatur Dharma (tatanan moral, sosial, dan kosmik). Periodisasi akademis menempatkan inti komposisi teks ini sekitar tahun 200 SM hingga 300 M. Tujuannya adalah untuk menjaga rta (tatanan alam semesta yang diatur oleh Tuhan) melalui integrasi dharma agama dan dharma negara.

Fungsi utama Hukum Manu sebagai alat penertiban adalah untuk menciptakan struktur masyarakat yang stabil dan kekal berdasarkan prinsip kosmik. Berbeda dengan Kode Hammurabi yang berfungsi sebagai perangkat administrasi, Hukum Manu berfungsi sebagai perangkat dogma dan ideologi yang bertujuan untuk menciptakan tatanan yang disakralkan.

Pemeliharaan Sistem Varna sebagai Tertib Sosial

Inti dari Manava-Dharmaśāstra adalah penetapan dan pemeliharaan sistem varna atau kasta, yang diyakini berasal dari penciptaan teologis: Brahmana (dari mulut Brahma), Kshatriya (dari bahu), Vaishya (dari paha), dan Shudra (dari kaki). Sistem ini tidak hanya membagi masyarakat tetapi juga menggradasi mereka, memberikan hak istimewa kepada varna atas (swarnas) dan mengenakan sanksi berat pada Shudra.

Tugas Shudra ditetapkan secara mutlak: mereka harus melayani varna atas dengan setia, tanpa mengeluh. Pembatasan hukum yang dikenakan pada Shudra sangat ekstrem dan meresap ke dalam kehidupan sehari-hari:

  • Pendidikan: Seorang Shudra dianggap tidak layak menerima pendidikan, dan mereka yang mengajarkan Shudra didiskualifikasi dari upacara keagamaan tertentu.
  • Kekayaan dan Properti: Manu menyatakan bahwa Brahmana dapat menyita properti dari Shudra karena Shudra secara inheren tidak memiliki apa-apa. Selain itu, Shudra dilarang mengumpulkan kekayaan, karena kekayaan dapat memungkinkan mereka memperoleh kekuasaan yang tidak semestinya.
  • Status Sosial: Bahkan penamaan pun harus mencerminkan hierarki. Nama Shudra harus mengekspresikan pelayanan atau sesuatu yang menghina, sementara nama Brahmana harus menyiratkan keberuntungan dan kebahagiaan.

Status yang ditentukan oleh kelahiran ini dilegitimasi secara ilahi, memastikan bahwa hukum bukan hanya mengatur perilaku tetapi juga mendikte identitas sosial yang absolut.

Disparitas Hukuman dan Pembatalan Lex Talionis

Hukum Manu secara ekstrem melembagakan ketidaksetaraan hukum, yang secara efektif membatalkan konsep lex talionis simetris. Di sini, keadilan diubah menjadi keadilan terbalik: hukuman berkorelasi terbalik dengan varna. Semakin tinggi kasta pelaku, semakin ringan hukuman, bahkan untuk kejahatan serius. Sebaliknya, pelanggaran yang dilakukan oleh Shudra dikenakan hukuman yang paling berat, terutama jika korbannya adalah varna atas.

Sebagai contoh, Hukum Manu memberikan privilese mutlak kepada Brahmana. Seorang Kshatriya yang berusia seratus tahun harus memperlakukan anak Brahmana berusia sepuluh tahun sebagai ayahnya. Dalam kasus kriminal, seorang Brahmana yang melakukan kejahatan yang berat sering kali hanya dikenakan sanksi keagamaan atau denda, bukan retribusi fisik yang dikenakan pada kasta yang lebih rendah.

Hukum Manu menggunakan kodifikasi untuk menciptakan diskriminasi hukum yang dilegitimasi secara ilahi. Jika Kode Hammurabi menerapkan diskriminasi kuantitatif (berbasis moneter/status), Hukum Manu menerapkan diskriminasi kualitatif (berbasis kelahiran/kasta) yang jauh lebih meresap dan absolut. Di sini, hukum tidak bertujuan untuk keadilan universal, tetapi untuk konservasi absolut struktur sosiologis yang ditetapkan oleh teologi. Pelanggaran terhadap varna atas dianggap sebagai pelanggaran terhadap dharma yang sakral, membenarkan retribusi yang diideologikan dan sangat tidak setara.

Reformasi Solon (Athena, c. 594 SM): Keadilan Sipil dan Hak Warga Negara

Krisis Sosial dan Transformasi Polis

Pada awal abad ke-6 SM, Athena berada di ambang perang sipil. Ketidaksetaraan ekonomi yang parah telah menyebabkan krisis utang yang meluas, di mana banyak petani kecil (hektemoroi) menjadi budak atau terikat pada hutang. Krisis ini mengancam keutuhan polis Athena. Solon (sekitar 638 SM–558 SM) diangkat sebagai pembuat hukum dengan mandat untuk memulihkan ketertiban. Reformasinya bertujuan meletakkan dasar bagi kedaulatan warga negara, sebuah prasyarat bagi perkembangan demokrasi di kemudian hari.

Tujuan Solon adalah menggunakan hukum sebagai alat untuk reformasi sosial radikal, berlawanan dengan fungsi konservatif yang dilihat dalam Hukum Manu.

Tindakan Penertiban Ekonomi: Analisis Seisachtheia

Tindakan paling revolusioner Solon adalah Seisachtheia (Yunani: σεισάχθεια), yang secara harfiah berarti “pengurangan beban” atau “menggoyangkan beban”.

Reformasi Seisachtheia mencakup beberapa ketentuan mendasar :

  1. Pembatalan semua utang yang luar biasa (outstanding debts).
  2. Emansipasi semua warga Athena yang sebelumnya diperbudak karena utang.
  3. Pengembalian semua properti hektemoroi yang telah disita.
  4. Larangan penggunaan kebebasan pribadi (diri sendiri) sebagai jaminan utang di masa depan.

Ketentuan terakhir ini sangat penting. Dengan melarang perbudakan utang, Solon secara fundamental memisahkan status sipil (kebebasan) dari kekuatan ekonomi pasar. Hukum Solon menetapkan bahwa kebebasan seorang warga negara Athena adalah hak fundamental yang dilindungi oleh negara, bukan lagi komoditas yang dapat dijadikan jaminan atau diperdagangkan. Pergeseran paradigma ini adalah fondasi bagi kewarganegaraan Athena.

Stratifikasi Ekonomi dan Hak Politik

Meskipun Solon adalah seorang reformis yang radikal, ia tidak menciptakan kesetaraan ekonomi penuh. Ia mengganti oligarki kelahiran dengan sistem timokrasi (kekuasaan berbasis kekayaan/kehormatan) berdasarkan pendapatan pertanian tahunan, yang diukur dalam medimnoi (unit ukuran hasil panen).

Sistem kelas ini terdiri dari empat kelompok, yang menentukan hak politik mereka :

  1. Pentakosiomedimnoi (Pendapatan tertinggi).
  2. Hippeis.
  3. Zeugitai (Pendapatan antara 200 dan 300 medimnoi).
  4. Thetes (Kurang dari 200 medimnoi).

Kelas-kelas ini, yang namanya sudah ada sebelumnya, kini memperoleh konten ekonomi yang jelas setelah reformasi Solon. Meskipun hak politik masih didasarkan pada kekayaan, Solon memberikan peluang mobilitas sosial. Misalnya, para pengrajin kecil (demiourgoi) dan pedagang diizinkan masuk ke tiga kelas yang lebih tinggi tergantung pada nilai uang yang setara dengan pendapatan mereka, asalkan penghitungan pendapatan mereka disesuaikan. Struktur ini, meskipun masih hierarkis, bersifat cair dan inklusif dibandingkan dengan hierarki kelahiran absolut dalam Hukum Manu.

Transisi dari Retribusi Privat ke Hukum Publik

Salah satu kontribusi abadi Solon adalah langkah menjauh dari lex talionis privat menuju sistem hukum publik yang lebih terpusat. Sebelum Solon, penyelesaian sengketa, termasuk pembunuhan, sering melibatkan pembalasan privat yang destruktif.

Solon mengkodifikasi hukum pembunuhan dan cedera, menggeser wewenang sanksi dari keluarga korban ke polis. Ini adalah upaya untuk menertibkan masyarakat dengan memastikan bahwa hukuman dan ganti rugi diatur oleh negara.

Warisan Solon yang berkelanjutan dalam pemikiran hukum adalah prinsip bahwa hukum harus menjadi prinsip dasar tata kelola yang adil. Keadilan, dalam pandangan Solon, mulai dipahami sebagai keadilan distributif—distribusi hak dasar sipil dan politik—yang menjadi prasyarat bagi fungsi polis yang damai.  Reformasi ini menandai pergeseran keadilan dari masalah teologis atau monarkis menjadi masalah publik dan konstitusional, menjadikannya tokoh kunci dalam evolusi yurisprudensi menuju konsep Hak Asasi Warga Negara.

Sintesis Komparatif: Keadilan, Kelas, dan Kekuasaan

Perbandingan Mekanisme Tertib Sosial

Ketiga kode hukum ini mencapai tertib sosial melalui mekanisme yang berbeda, yang mencerminkan sumber otoritas yang mendasarinya:

  1. Tertib Monarkis (Hammurabi): Stabilitas dicapai melalui sistem hukum terpusat, kasuistik, dan detail yang mengatur kontrak dan properti. Raja adalah penjamin keteraturan hierarkis, didukung oleh mandat ilahi (Shamash). Hukum berfungsi sebagai alat administrasi untuk mengelola ekonomi dan membatasi kekerasan pribadi.
  2. Tertib Teologis (Manu): Stabilitas dicapai melalui pemeliharaan tatanan kosmik (Dharma), yang secara ketat termanifestasi dalam sistem varna. Hukum menolak mobilitas sosial dan hak hukum yang setara, mengandalkan legitimasi agama untuk membenarkan ketidaksetaraan absolut.
  3. Tertib Sipil (Solon): Stabilitas dicapai melalui reformasi struktural yang berfokus pada individu sebagai warga negara bebas. Tujuan utama adalah mencegah kelompok rentan (petani utang) keluar dari sistem sosial. Solon meningkatkan peran polis dalam pengaturan konflik dan penetapan hak-hak dasar.

Cara hukum menangani ketidaksetaraan adalah indeks paling jelas dari sumber otoritasnya. Otoritas Hammurabi adalah negara monarki yang berfokus pada properti; otoritas Manu adalah kosmik/agama yang berfokus pada tatanan kelahiran; otoritas Solon adalah polis yang berfokus pada hak sipil dan pembebasan.

Analisis Komparatif Stratifikasi dan Dampak Hukum

Perbedaan dalam penerapan keadilan dapat diringkas melalui struktur stratifikasi masing-masing masyarakat dan bagaimana hukum mereka mengabadikan atau memitigasi diskriminasi:

Table I: Perbandingan Stratifikasi Sosial dan Dampak Hukum

Kode Hukum Era (Approx.) Sistem Stratifikasi Basis Status Penentu Penerapan Keadilan/Hukuman Tingkat Diskriminasi Hukum
Hammurabi 1754 SM Tiga Kelas (Awilum, Mushkenum, Wardum) Status Sipil/Kekayaan/Keterikatan Istana Lex Talionis diterapkan secara non-egaliter; Hukuman fisik simetris hanya untuk status yang sama. Inter-kelas diubah menjadi denda moneter berbasis status. Tinggi (Berdasarkan kelas sosial dan ekonomi, diatur oleh lex talionis yang bertingkat).
Manu 200 SM–300 M Empat Varna (Brahmana, Kshatriya, Vaishya, Shudra) Kelahiran (Absolut/Teokratis) Keadilan sangat hierarkis; Hukuman berkorelasi terbalik dengan varna. Shudra dikenakan pembatasan hak dan hukuman terberat. Ekstrem (Mutlak pada kasta; bersifat agama, bukan sipil).
Solon 594 SM Empat Kelas Pendapatan (Pentakosiomedimnoi, Hippeis, Zeugitai, Thetes) Pendapatan Tahunan (Agro-ekonomi) Hak politik ditentukan oleh kekayaan; namun, Seisachtheia menetapkan perlindungan universal terhadap perbudakan utang, menstandarisasi kebebasan sipil mendasar. Menengah (Berbasis ekonomi, tetapi bergerak menuju hak publik dasar yang lebih merata).

Perbandingan ini menunjukkan bahwa jika Hammurabi menunjukkan batas-batas reformasi monarki (yang harus menyeimbangkan keadilan dan kepentingan properti), Manu menunjukkan batas-batas konservasi teokratis (yang harus menegakkan dogma kasta), sementara Solon menunjukkan potensi hukum sebagai agen perubahan sosial dan politik (menciptakan warga negara yang berdaulat).

Analisis Evolusi Retribusi: Dari Talion Fisik ke Keadilan Publik

Evolusi konsep retribusi, terutama lex talionis, dalam ketiga kode ini mencerminkan pergeseran mendasar dalam peran negara atau otoritas sentral terhadap kekerasan dan sanksi.

Fase I: Kontrol Retribusi (Hammurabi)

Di Babilonia, lex talionis adalah upaya untuk mengontrol pembalasan yang berlebihan yang dapat menghancurkan stabilitas sosial. Dengan memproklamasikan bahwa pembalasan harus dikenakan oleh negara, bukan oleh individu secara sembarangan, Hammurabi menciptakan sistem retribusi yang diatur.

Namun, keterbatasan pragmatis muncul: retribusi simetris fisik tidak mungkin diterapkan secara adil di seluruh kelas sosial tanpa memicu kekacauan atau merusak struktur hierarki. Oleh karena itu, sistem ini segera beralih ke kompensasi moneter yang distratifikasi ketika status pelaku dan korban berbeda. Lex talionis dalam Kode Hammurabi bukanlah prinsip kesetaraan universal, melainkan prinsip keteraturan sosial yang mengakui nilai moneter yang berbeda pada setiap kelas.

Fase II: Inversi Retribusi (Manu)

Hukum Manu bergerak melampaui retribusi simetris atau moneter, mengimplementasikan inversi retribusi. Prinsip retribusi fisik digantikan oleh prinsip teologis di mana nilai spiritual dan status kelahiran menentukan hukuman.

Hukuman yang lebih berat dikenakan pada individu berstatus rendah (terutama Shudra) yang melanggar hukum, bukan karena besarnya kerugian fisik yang ditimbulkan, tetapi karena besarnya pelanggaran terhadap dharma atau tatanan kasta yang sakral. Jika seorang Brahmana melakukan kejahatan, hukumannya cenderung diringankan karena statusnya yang tinggi. Ini menjadikan retribusi sebagai mekanisme penghakiman moral absolut yang bertujuan untuk memastikan kepatuhan vertikal dan memelihara varna melalui sanksi berat dan pembatasan hak yang dilembagakan.

Fase III: Penghapusan Retribusi Privat (Solon)

Reformasi Solon, khususnya melalui kodifikasi hukum pidana (walaupun detailnya tidak sejelas Hammurabi), menandai pergeseran paling substansial dari retribusi kuno. Solon berupaya mensekularisasi dan mempublikasikan sanksi. Dengan menjadikan kejahatan serius, seperti pembunuhan, sebagai urusan polis, negara mengambil alih monopoli kekerasan dan hak untuk memberikan sanksi.

Hukum pidana Athena di bawah Solon bergeser dari fokus pada pembalasan fisik pribadi ke ganti rugi yang diatur negara atau sanksi publik. Tujuan sanksi adalah untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan (polis), bukan hanya memuaskan pembalasan korban individu atau keluarga. Pergeseran ini merupakan langkah penting menuju sistem hukum modern di mana kejahatan dianggap sebagai pelanggaran terhadap negara (atau masyarakat), bukan hanya terhadap individu.

Tabel Komparatif Evolusi Retribusi

Tiga fase ini menunjukkan lintasan evolusi yurisprudensi mengenai pembalasan: dari regulasi yang diatur negara (Hammurabi) menuju ideologi hierarkis (Manu), dan akhirnya menuju publikasi dan generalisasi sanksi (Solon).

Table II: Evolusi Konsep Retribusi dan Ganti Rugi

Aspek Retribusi Kode Hammurabi (Retribusi yang Diatur) Hukum Manu (Retribusi yang Diideologikan) Reformasi Solon (Transisi ke Sanksi Publik)
Sifat Dasar Keadilan Keadilan Casuistic/Proporsional (berbasis status) Keadilan Hierarkis/Teologis (berbasis Dharma) Keadilan Sipil/Distributif (berbasis Hak Publik)
Penerapan Lex Talionis Simetris hanya antar status yang sama; beralih ke denda atau kompensasi jika status tidak setara. Ditiadakan/Dibalik; Hukuman terberat untuk kelas terendah, keringanan untuk kelas tertinggi. Ditinggalkan demi Hukum Publik; Fokus pada ganti rugi (kompensasi) atau hukuman negara untuk kejahatan, bukan pembalasan privat.
Faktor Penentu Hukuman Status Sosial (Kelas) dan Kerugian Moneter. Varna (Kasta) dan Pelanggaran terhadap Tatanan Kosmik/Dharma. Status Warga Negara dan Sifat Kejahatan (Privat vs. Publik).
Tujuan Akhir Retribusi Stabilitas sosial dan perlindungan properti/status melalui regulasi. Pemeliharaan absolut Varna dan tatanan agama melalui intimidasi. Perlindungan kebebasan warga negara dasar (Seisachtheia) dan pendirian Polis yang stabil.

Evolusi ini menunjukkan bahwa negara/otoritas sentral secara progresif mengklaim monopoli atas pembalasan dan penentuan sanksi. Pergeseran ini merupakan fondasi yang memungkinkan perkembangan sistem hukum yang lebih abstrak dan universal di masa depan, meskipun Solon baru mencapainya dalam konteks kewarganegaraan yang masih terbatas oleh kekayaan.

Warisan Filosofis dan Kontribusi Abadi

Ketiga kode ini, meskipun berbeda dalam filosofi dan fungsinya, meninggalkan warisan yang mendefinisikan batas-batas dan potensi hukum dalam mengatur kehidupan manusia.

Hammurabi: Tata Tertib Administrasi dan Yurisprudensi Casuistic

Kontribusi abadi Kode Hammurabi terletak pada detail luar biasa dari pengaturan administratifnya. Teks ini merupakan bukti kapasitas negara kuno untuk menciptakan sistem hukum yang komprehensif untuk mengelola masyarakat yang kompleks, terutama dalam hukum kontrak dan liabilitas. Dengan membagi hukum menjadi kasus-kasus spesifik (“jika… maka”), Hammurabi menetapkan preseden yurisprudensi casuistic yang sangat terperinci. Selain itu, pengakuan hukum terhadap stratifikasi masyarakat, dan bagaimana hukum harus mengatur transaksi dan konflik antar-kelas, menetapkan cara hukum dapat berfungsi sebagai cermin dan regulator realitas sosial dan ekonomi yang ada.

Manu: Kekuatan Hukum Ideologis

Hukum Manu menunjukkan kekuatan yang sangat besar dari hukum ideologis dan teologis. Melalui legitimasi yang bersumber dari kosmos, kode ini berhasil membentuk dan mempertahankan struktur sosial dan politik yang kaku (sistem varna) selama ribuan tahun. Warisan Manu adalah studi kasus tentang bagaimana kodifikasi dapat digunakan untuk membatasi kebebasan, menolak mobilitas, dan melembagakan diskriminasi absolut yang hampir mustahil untuk digoyahkan karena sifatnya yang sakral. Ini menyoroti dualisme hukum: sebagai konservator tatanan, bahkan jika tatanan tersebut didasarkan pada ketidakadilan struktural.

Solon: Konstitusionalisme dan Keadilan Distributif

Reformasi Solon secara filosofis paling signifikan dalam kaitannya dengan perkembangan hukum modern dan konsep keadilan sipil.

  1. Perlindungan Hak Dasar: Larangan perbudakan utang (Seisachtheia) adalah fondasi awal konstitusionalisme. Hal ini menetapkan bahwa individu bebas memiliki nilai yang tidak dapat dinilai secara moneter untuk tujuan utang. Ini adalah pengakuan awal bahwa ada hak-hak warga negara yang bersifat fundamental dan dilindungi oleh negara, sebuah ide yang bertentangan langsung dengan prinsip kepemilikan mutlak di Babilonia atau kelahiran teologis di India.
  2. Fondasi Keadilan Modern: Solon memajukan prinsip keadilan sebagai distribusi hak dan kewajiban sipil. Meskipun sistem timokrasi yang ia ciptakan masih bersifat elitis (berbasis pendapatan), ia membuka jalan bagi partisipasi politik yang lebih luas dan menciptakan kerangka kerja di mana hukum berfungsi sebagai alat emansipasi dan partisipasi politik. Hal ini sejalan dengan cita-cita suum cuique tribuere (berikan keadilan bagi semua orang yang berhak) , yang merupakan inti dari pemikiran keadilan politik Barat.

Perbedaan terkuat antara Solon dan dua lainnya adalah apakah hukum berfungsi untuk membebaskan atau menindas. Hammurabi menindas sebagian demi stabilitas monarki dan properti. Manu menindas secara absolut demi dharma dan kasta. Solon membebaskan warga negara dari utang yang mengancam kebebasan, menggunakan hukum sebagai alat untuk mencapai partisipasi politik.

Kesimpulan

Analisis komparatif Kode Hammurabi, Manava-Dharmaśāstra, dan Reformasi Solon mengungkap bahwa hukum kuno adalah perangkat yang kompleks untuk menertibkan masyarakat kompleks, tetapi dengan tujuan dan hasil filosofis yang berbeda. Tiga fungsi fundamental muncul: Hammurabi bertujuan untuk mengorganisir tatanan ekonomi monarkis; Manu bertujuan untuk mengkuduskan tatanan sosial teologis; dan Solon bertujuan untuk mereformasi tatanan sipil dan politik.

Evolusi lex talionis secara jelas mencerminkan peran negara yang berubah. Di Babilonia, lex talionis adalah alat retribusi pribadi yang diatur dan distratifikasi. Dalam Hukum Manu, ia diinversi dan menjadi sanksi yang sepenuhnya diideologikan untuk melindungi hierarki agama. Akhirnya, dalam Reformasi Solon, ia ditinggalkan demi sanksi publik yang bertujuan menjaga kebebasan warga negara dan kedaulatan polis.

Kode-kode ini tetap menjadi “Kode Hukum Abadi” karena mereka secara mendasar mendefinisikan tantangan abadi yurisprudensi: bagaimana menyeimbangkan tertib sosial, distribusi kekuasaan, dan keadilan dalam masyarakat yang secara inheren tidak setara. Solon, dengan upayanya untuk menetapkan kebebasan sebagai hak yang tidak dapat dicabut melalui Seisachtheia, memberikan kontribusi paling langsung dan transformatif terhadap konsep hukum sebagai agen emansipasi dan dasar konstitusional untuk masyarakat yang berkeadilan. Sementara itu, Hammurabi dan Manu menunjukkan potensi dan batas-batas hukum sebagai alat konservasi hierarki sosial.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 + 4 =
Powered by MathCaptcha