Paradigma Kontrol Kekaisaran Melalui Diferensiasi

Prinsip strategis Divide et Impera (Latin: ‘pecah dan taklukkan’) merupakan instrumen tata kelola imperial yang bersifat fundamental dan memiliki sejarah yang kaya dalam politik kuno. Konsep ini melibatkan upaya memecah konsentrasi kekuasaan yang lebih besar menjadi unit-unit yang lebih kecil dan mudah dikelola untuk mempertahankan kontrol dan mencegah pemberontakan. Dalam bahasa Yunani Kuno, moto ini diyakini berasal dari Philip II dari Makedonia: diaírei kài basíleue, yang berarti “pecah dan berkuasa”. Strategi ini adalah kombinasi kompleks dari manuver politik, militer, dan ekonomi yang dirancang untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan mencegah kelompok-kelompok kecil bersatu menjadi kekuatan yang lebih kuat.

Kekaisaran Romawi, khususnya, secara rutin memanfaatkan Divide et Impera (D&C). Awalnya, taktik ini diaplikasikan dalam konteks militer untuk mengeksploitasi perpecahan yang sudah ada di antara pasukan musuh atau koalisi, sehingga memudahkan Romawi untuk mengalahkan mereka dalam pertempuran. Dengan menabur perpecahan dan menciptakan ketidakpercayaan di antara suku-suku saingan, para komandan Romawi dapat melemahkan pasukan musuh sebelum terlibat dalam pertempuran langsung, memastikan kemenangan bahkan melawan musuh yang secara numerik superior.

Fungsi Ganda D&C: Dari Taktik Militer ke Strategi Tata Kelola

Penggunaan Divide et Impera meluas jauh melampaui strategi medan perang ke dalam tata kelola provinsi yang ditaklukkan. Kekaisaran kuno dihadapkan pada tantangan yang sama: mengelola populasi mayoritas yang beragam dengan kontingen militer minoritas tanpa membebani kas kekaisaran. Untuk mencapai administrasi yang lebih lancar dan mengintegrasikan berbagai budaya sambil meminimalkan risiko pemberontakan, Romawi secara efektif mempertahankan kontrol atas populasi yang beragam dengan mendorong perpecahan di antara para pemimpin dan komunitas lokal.

Strategi Romawi dan Mongol, meskipun sama-sama menggunakan diferensiasi populasi, menunjukkan perbedaan filosofis yang mendasar. Perbedaan kunci ini terletak pada sifat kontrol yang ingin dicapai: apakah kekaisaran tersebut berinvestasi dalam loyalitas vertikal melalui asimilasi bertahap (Model Romawi) atau apakah mereka mengandalkan supremasi minoritas yang kaku melalui segregasi etnis permanen (Model Mongol). Keberhasilan jangka panjang strategi Divide et Impera sangat bergantung pada bagaimana insentif yang diberikan dapat menciptakan loyalitas yang terstruktur menuju kekaisaran, daripada sekadar menciptakan perpecahan horizontal yang rapuh di antara kelompok-kelompok yang ditaklukkan.

Thesis Utama

Laporan ini akan menganalisis secara komparatif dua model implementasi D&C kuno: strategi Romawi yang berbasis pada gradasi hukum dan kooptasi elit (ius Latii dan Foederati), yang berupaya mengintegrasikan populasi taklukan ke dalam hierarki kekaisaran, dan strategi Mongol pada masa Dinasti Yuan yang berbasis pada stratifikasi etnis kaku (Sistem Empat Kelas), yang secara eksplisit dirancang untuk menjamin supremasi minoritas melalui penindasan sistematis. Perbandingan ini akan mengungkap mengapa satu model menciptakan stabilitas yang bertahan lama, sementara model yang lain menanamkan bibit-bibit fragmentasi internal yang cepat.

Kekaisaran Romawi: Kooptasi Elit dan Gradasi Hak (Ius et Impera)

Filosofi Romawi: Integrasi Progresif dan Mobilitas Sosial yang Terstruktur

Filosofi di balik Divide et Impera Romawi bersifat pragmatis dan berorientasi pada stabilitas jangka panjang. Alih-alih mendirikan tembok etnis yang kaku, Roma menawarkan ‘jalan’ yang terstruktur dan legal menuju identitas Romawi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan ambisi elit lokal dari kepemimpinan etnis yang berpotensi memberontak menjadi karir birokrasi dan militer yang loyal kepada Roma. Pendekatan ini memastikan bahwa kekalahan militer dapat diubah menjadi kemenangan politik dan sosial. Hukum Romawi berfungsi sebagai alat diferensiasi yang unggul, memungkinkan Roma untuk mengelola perbedaan status antar penduduk provinsi (Peregrini) melalui hierarki hak dan kewajiban.

Mekanisme Pemberian Hak Istimewa (Kooptasi Melalui Ius)

Pemberian hak istimewa hukum adalah mekanisme D&C Romawi yang paling efektif. Salah satu insentif terpenting bagi elit provinsi adalah ius Latii atau Hak Latin. Awalnya diberikan kepada orang Latin dan koloni mereka, Hak Latin ini berfungsi sebagai langkah perantara yang kuat menuju kewarganegaraan Romawi penuh (Cives Romani).

Sistem ini menunjukkan gradasi insentif yang sangat halus, yang secara efektif memecah belah solidaritas elit provinsi:

  • Gradasi Ius Latii: Dikenal sebagai majus Latium atau minus Latium. Majus Latium adalah hak istimewa yang lebih besar, mengangkat pejabat (magistrat) itu sendiri, istri, dan anak-anaknya ke martabat warga negara Romawi. Sebaliknya, minus Latium hanya mengangkat magistrat itu sendiri.
  • Implikasi Kontrol: Melalui gradasi ini, Romawi tidak hanya mengkooptasi individu; mereka mengkooptasi keluarga. Ini adalah strategi investasi sosial yang mengubah kepentingan elit lokal: loyalitas kepada Kekaisaran dijamin dengan imbalan karir dan masa depan yang terjamin bagi keturunan mereka. Romawi secara efektif berhasil memindahkan beban kontrol internal dan administrasi kepada elit-elit yang baru diberi hak istimewa ini.

Institusi Foederati dan Kontrol Militer yang Berisiko

Di bidang militer, strategi D&C Romawi terwujud dalam institusi Foederati—sekutu yang mendapatkan otonomi dan bantuan finansial sebagai imbalan atas penyediaan pasukan bagi militer Romawi. Kebijakan ini merupakan D&C militer yang memecah aliansi suku-suku ‘Barbar’ yang lebih besar dengan memberikan status ‘sekutu’ yang diistimewakan kepada beberapa suku tertentu.

Meskipun efisien dalam jangka pendek dan membantu pertahanan perbatasan, kebijakan D&C ini mengandung risiko yang inheren: pengalihan monopoli kekerasan. Strategi ini secara bertahap memberikan kekuasaan militer yang besar kepada pemimpin sekutu. Pada akhir Kekaisaran Romawi Barat, hampir seluruh pasukan terdiri dari tentara bayaran foederati Jermanik. Para pemimpin mereka (seperti Arbogast, Stilicho, Alaric I, dan Ricimer) menjadi sangat berpengaruh dalam politik Romawi. Puncak kegagalan D&C militer ini terjadi pada tahun 476 M, ketika Odoacer, seorang pemimpin foederati, menggulingkan Kaisar Romulus Augustulus, yang secara tradisional menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi Barat. Peristiwa ini menunjukkan bahwa D&C yang terlalu agresif dalam memberikan kekuatan militer dapat menyebabkan keruntuhan dari dalam karena kegagalan untuk mempertahankan monopoli kekerasan.

Mekanisme Penindasan (Eksklusi Ideologis dan Politik)

Diferensiasi Romawi memerlukan mekanisme penindasan sebagai penyeimbang. Kelompok yang menolak integrasi atau mengancam loyalitas ideologis kekaisaran akan dikenakan tindakan keras. Contohnya adalah penindasan keagamaan yang ekstrem (Persecutio) terhadap umat Kristen, yang dimulai di bawah Kaisar Diokletianus pada tahun 303 M dengan perintah untuk menghancurkan gereja Kristen.7 Tindakan ini menegaskan bahwa kerja sama dan loyalitas ideologis adalah prasyarat untuk menerima hak istimewa.

Model Romawi ini dicirikan oleh stabilitas yang diperkuat melalui ambisi. Karena model ini bersifat fleksibel—seorang penduduk provinsi dapat secara bertahap naik pangkat—maka kebencian struktural yang diciptakan lebih sedikit dibandingkan dengan sistem kasta yang statis. Kesediaan Roma untuk berbagi identitas dan, secara terbatas, kekuasaan melalui hukum menciptakan loyalitas yang terdistribusi dan tahan lama, yang menjadi kunci bagi umur panjang kekaisaran.

Tabel 1 menyajikan matriks diferensiasi status hukum dan hak istimewa yang digunakan oleh Romawi:

Table 1: Matriks Diferensiasi Status Hukum dan Hak Istimewa Romawi

Kategori Status Basis Status/Hak Hak Istimewa Kunci Peran dalam Kontrol D&C
Warga Negara Romawi (Cives Romani) Kelahiran, Penganugerahan Penuh Hak suara, Hak properti, Perlindungan hukum penuh Pilar kekuasaan, sumber loyalitas utama
Ius Latii (Hak Latin) Perjanjian, Kedudukan Lokal Akses ke Kewarganegaraan (berdasarkan majus/minus Latium), Hak dagang Buffer status, Insentif asimilasi elit lokal
Foederati (Sekutu) Perjanjian Militer (Foedus) Otonomi lokal, Cuti pajak, Gaji/Bantuan Militer Pengendalian perbatasan, mencegah aliansi barbar
Peregrini (Orang Bebas Provinsi) Penduduk Non-Warga Perlindungan dasar oleh Gubernur Sumber pendapatan (Pajak Provinsi) dan Wajib Militer

Kekaisaran Mongol: Stratifikasi Etnis dan Penindasan Berbasis Penaklukan

Konteks Penguasaan Minoritas Nomaden Atas Mayoritas Menetap

Strategi Divide et Impera Kekaisaran Mongol, khususnya di Tiongkok di bawah Dinasti Yuan, muncul dari kebutuhan struktural yang sangat berbeda dari Romawi. Mongol adalah minoritas nomaden yang menaklukkan dan memerintah populasi Eurasia yang luas dan mayoritas penduduk menetap, terutama populasi Han Tiongkok yang jauh lebih besar. Ketidakseimbangan demografi ini memaksa Mongol untuk menerapkan D&C yang jauh lebih kaku, berbasis etnis, dan represif untuk mengamankan status penguasa mereka.

Jengis Khan telah menetapkan hukum tertulis yang dikenal sebagai Alyasak atau Alyasah. Kitab hukum ini berfungsi untuk menetapkan tatanan di dalam suku-suku Mongol dan melegitimasi dominasi mereka. Selain itu, bahasa Mongol dipergunakan sebagai bahasa administrasi di beberapa wilayah yang dikuasai Mongol, memungkinkan penyebaran istilah teknis dan administratif yang memperkuat kontrol terpusat.

Struktur D&C Utama: Sistem Empat Kelas (Dinasti Yuan)

Inti dari D&C Mongol adalah Sistem Empat Kelas, sebuah sistem kasta legal yang didirikan oleh Kublai Khan setelah pendirian Dinasti Yuan. Sistem ini bukan ditujukan untuk asimilasi, melainkan untuk supremasi etnis secara permanen.

Penentuan kelas didasarkan pada dua kriteria utama: etnisitas dan, yang paling unik, urutan kronologis penaklukan. Ide yang dianut penguasa Yuan adalah bahwa semakin awal suatu kelompok menyerah kepada Mongol, semakin tinggi status sosial yang mereka terima. Strategi ini merupakan upaya D&C yang eksplisit untuk memecah belah solidaritas etnis Tiongkok dengan memanfaatkan trauma historis penaklukan.

Kelas Istimewa: Pemandangan Supremasi (Mongol dan Semu Ren)

Dua kelas teratas menikmati hak istimewa politik dan sosial yang besar, yang merupakan hasil dari kebijakan kooptasi Mongol:

  • Mongol (Kelas 1): Menduduki puncak hierarki, mereka memegang kekuasaan nyata di sebagian besar posisi militer dan politik.
  • Semu Ren (Kelas 2): Secara harfiah berarti ‘orang bermata berwarna’, termasuk sekutu Mongol dan imigran dari Asia Tengah dan Asia Barat, seperti Uighur, Tibet, Persia, dan Turki. Kooptasi kelompok outsider ini sangat penting. Mereka diberikan akses ke birokrasi dan berfungsi sebagai kelas buffer yang setia kepada Mongol, karena mereka tidak memiliki loyalitas historis kepada populasi Tiongkok Han, sehingga mengisolasi Han dari kekuasaan.

Berbeda dengan model Romawi, D&C Mongol adalah strategi defisit loyalitas. Karena kekaisaran tidak dapat mengandalkan loyalitas populasi mayoritas, mereka harus menjamin kesetiaan melalui outsider yang secara permanen diuntungkan oleh struktur kasta.

Implementasi Penindasan Sistematis (Han Ren dan Nan Ren)

Kelas 3 (Han Ren, di Tiongkok Utara) dan Kelas 4 (Nan Ren, atau penduduk Tiongkok Selatan, yang ditaklukkan paling akhir) dikenakan penindasan politik dan hukum yang parah. Nan Ren, yang merupakan subjek dari bekas Dinasti Song Selatan, menerima perlakuan terburuk.

Penindasan ini bersifat berlapis dan sistematis:

  • Diferensiasi Hukum: Nan Ren secara khusus menerima perlakuan hukum yang tidak setara. Untuk melakukan kejahatan yang sama, hukuman yang diberikan bervariasi antara kelas-kelas, dengan hukuman paling berat ditimpakan pada Nan Ren. Hukum, dalam konteks Mongol, adalah alat segregasi, bukan alat integrasi.
  • Penindasan Politik dan Birokrasi: Meskipun ujian kekaisaran diizinkan, kelas 3 dan 4 harus berpartisipasi dalam lebih banyak mata ujian dan menghadapi pertanyaan yang lebih sulit dibandingkan dengan kelas 1 dan 2. Ini secara efektif membatasi mobilitas sosial dan mencegah mayoritas berpartisipasi dalam struktur kekuasaan.
  • Kontrol Fisik Maksimum: Indikasi paling jelas dari strategi D&C yang didorong oleh paranoia adalah kontrol fisik yang ketat. Han Ren dan Nan Ren dilarang keras memiliki senjata. Mereka juga dilarang memelihara anjing atau elang. Larangan ini melampaui kontrol militer; ini bertujuan untuk mensterilkan populasi mayoritas dari segala sarana yang mungkin digunakan untuk mobilisasi—baik alat militer, subsisten berburu, atau bahkan sarana komunikasi budaya.

Strategi Mongol adalah segregasi permanen. Sistem Empat Kelas tidak menawarkan jalur keluar etnis. Karena didasarkan pada trauma penaklukan dan etnisitas statis, D&C ini memperkuat antagonisme dan menciptakan dasar moral yang jelas bagi pemberontakan yang terpadu, yang sangat bertolak belakang dengan gradasi hukum Romawi yang menawarkan harapan.

Tabel 2 merinci Sistem Empat Kelas Mongol yang digunakan sebagai instrumen D&C:

Table 2: Rincian Sistem Empat Kelas Mongol (Dinasti Yuan)

Kelas Sosial Etnisitas & Asal Usul Fokus Kekuasaan Instrumen Penindasan Kunci
1. Mongol Ras Penakluk Militer & Jabatan Tertinggi Akses birokrasi mudah, kekebalan hukum de facto
2. Semu Ren Imigran Asia Tengah/Barat (Sekutu) Administrasi & Keuangan Status istimewa, dijadikan buffer elite terhadap Han
3. Han Ren Populasi Tiongkok Utara (Ditaklukkan Jin) Terkontrol Ketat Ujian Kekaisaran lebih sulit, Pembatasan Politik
4. Nan Ren Populasi Tiongkok Selatan (Ditaklukkan Song) Penindasan Terberat, Status Paling Rendah Dilarang memiliki senjata/anjing/elang, Hukuman hukum terburuk

Analisis Komparatif: Kontras Metodologis dan Konsekuensi Kontrol

Perbandingan Filosofi dan Orientasi Waktu

Perbedaan mendasar antara kedua kekaisaran terletak pada orientasi waktu dari strategi D&C mereka. Romawi, dengan modelnya yang berorientasi hukum, bertujuan untuk stabilitas jangka panjang melalui asimilasi progresif dan integrasi generasi. Kebijakan ini menunjukkan kesediaan untuk “mengencerkan” identitas Romawi demi mendapatkan loyalitas yang berkelanjutan dari populasi taklukan.

Sebaliknya, strategi Mongol diarahkan pada pengamanan supremasi minoritas dan eksploitasi sumber daya yang cepat, menjadikannya berorientasi jangka pendek. Keputusan Mongol untuk mempertahankan kasta etnis yang kaku mencerminkan ketidakmauan untuk melepaskan supremasi etnis mereka. Harga untuk mempertahankan kemurnian etnis dan supremasi ini adalah instabilitas internal yang parah, karena kekuasaan menjadi tidak sah di mata mayoritas.

Mekanisme D&C: Gradasi Hukum vs. Kasta Etnis

Model Romawi menggunakan gradasi hukum (ius Latii) sebagai penangkal perlawanan. Dengan menawarkan harapan mobilitas sosial dan jalur yang jelas menuju status kewarganegaraan, Romawi meredakan kebencian struktural. Bahkan jika mobilitas itu sulit, keberadaan jalurnya mengubah konflik menjadi persaingan birokrasi yang terkelola.

Sebaliknya, Mongol menggunakan kasta etnis yang statis, yang diperkuat oleh kronologi penaklukan. Stratifikasi ini menciptakan ketidakadilan yang dilegalkan yang tidak memberikan harapan bagi Han Ren atau Nan Ren. Kasta etnis permanen secara inheren memperkuat antagonisme dan memberikan mayoritas alasan moral dan politik yang bersatu untuk pemberontakan, berbeda dengan gradasi Romawi yang menghasilkan loyalitas vertikal yang lebih kabur.

Strategi Kooptasi Elit

Strategi kooptasi elit menunjukkan perbedaan metodologis yang signifikan. Romawi berfokus pada kooptasi elit lokal yang sudah mapan (misalnya, magistrat yang diberi ius Latii dan keluarganya). Dengan ini, Roma menciptakan kepentingan bersama dengan penguasa tradisional di provinsi.

Mongol, sebaliknya, sebagian besar mengandalkan kooptasi elit asing (Semu Ren). Strategi ini adalah solusi cepat yang mengandalkan kesetiaan outsider yang tidak memiliki loyalitas kepada Han Ren. Meskipun ini memperkuat kontrol pusat Mongol, hal itu membatasi legitimasi mereka di tingkat lokal, karena administrasi didominasi oleh orang asing.

Dampak Kontrol Militer (Integrasi vs. Pengekangan)

Efektivitas militer Mongol, yang terkenal dengan kavaleri pemanahnya, memungkinkan mereka menerapkan strategi D&C yang jauh lebih represif. Mereka mampu meniadakan kemampuan militer penduduk taklukan secara total (melalui larangan senjata, anjing, dan elang), karena kekuatan Mongol sendiri tak tertandingi di lapangan.

Sebaliknya, Romawi memilih untuk mengintegrasikan kekuatan militer Foederati ke dalam struktur pertahanan mereka. Meskipun hal ini menunjukkan fleksibilitas dalam menghadapi tekanan perbatasan, akhirnya mengarah pada pengalihan monopoli kekerasan, yang berkontribusi pada keruntuhan Romawi Barat. Dengan kata lain, Romawi mempertaruhkan kontrol atas kekuatan militer taklukan demi efisiensi pertahanan; Mongol memilih pengekangan total dengan mengandalkan kekuatan militer superior mereka sendiri.

Konsekuensi Jangka Panjang dan Fragmentasi Kekaisaran

Model D&C memiliki konsekuensi yang langsung terhadap umur panjang kekaisaran. Diferensiasi Romawi yang dapat dinegosiasikan berhasil mempertahankan integritas teritorial dan politik kekaisaran (setidaknya di Timur) selama berabad-abad karena menciptakan loyalitas yang terdistribusi dan mengubah energi pemberontakan menjadi ambisi birokrasi.

Sebaliknya, diferensiasi Mongol yang kaku mempercepat fragmentasi. Stratifikasi berbasis kasta dan etnis secara efektif memastikan bahwa setiap pemberontakan yang muncul akan didasarkan pada tujuan pembebasan yang bersatu, yaitu menggulingkan kelas penguasa asing. Ketidakpuasan masif ini menjadi katalis bagi pemberontakan Han yang mengarah pada runtuhnya Dinasti Yuan yang relatif cepat dan digantikan oleh Dinasti Ming. D&C berbasis kasta secara intrinsik tidak stabil karena menolak harapan dan mobilitas kepada mayoritas.

Perbandingan strategi diferensiasi imperial kedua kekaisaran dirangkum dalam Tabel 3.

Table 3: Perbandingan Strategi Diferensiasi Imperial

Kriteria Kekaisaran Romawi Kekaisaran Mongol (Yuan)
Sifat Diferensiasi Yuridis/Hukum Etnis/Kasta
Tujuan Akhir Administrasi Asimilasi dan Stabilitas Jangka Panjang Pengamanan Supremasi Minoritas Mongol
Target Kooptasi Elit Lokal (Melalui Ius Latii) Sekutu Asing (Semu Ren)
Potensi Mobilitas Status Tinggi, Terstruktur Rendah, Statis
Alat Penindasan Keras Persecutio/Hukuman Keras (Tidak sistematis berdasarkan ras) Ketidaksetaraan Hukum Sistematis & Pembatasan Fisik (Senjata, Anjing)
Dampak Stabilitas Longevity, Integrasi Teritorial Kuat Instabilitas Internal, Keruntuhan Dinasti yang Cepat

Kesimpulan

Analisis komparatif menunjukkan bahwa Divide et Impera adalah strategi manajemen risiko konflik yang esensial bagi kekaisaran kuno, dirancang untuk memastikan biaya militer untuk kontrol tetap efisien. Meskipun Romawi dan Mongol sama-sama menggunakannya sebagai inti dari tata kelola mereka, metodologi yang diterapkan sangat berbeda, yang pada akhirnya menentukan umur panjang dan integritas struktural masing-masing kekaisaran.

Kekaisaran Mongol menerapkan D&C yang bersifat eksklusif—bertujuan untuk membangun tembok pemisah yang permanen antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Metode ini menghasilkan kontrol yang cepat dan represif, tetapi menumpuk ketegangan yang hanya dapat diselesaikan melalui kekerasan berskala besar. Sebaliknya, Kekaisaran Romawi menerapkan D&C yang bersifat inklusif (meskipun bersyarat)—yang menawarkan jembatan menuju kekuasaan melalui hukum dan status. Strategi ini berhasil karena mengenali bahwa kesempatan mobilitas, meskipun sering kali sulit diperoleh, adalah penangkal paling efektif terhadap pemberontakan yang terpadu.

Hukum sebagai Alat Stabilitas Jangka Panjang

Model Romawi yang fokus pada hukum dan status yang dapat diperoleh terbukti jauh lebih stabil dalam jangka panjang. Dengan mengubah kepentingan elit lokal dari perjuangan kemerdekaan etnis menjadi perjuangan karir kekaisaran, Roma berhasil menginternalisasi beban kontrol. Strategi ini mengajarkan bahwa kekuasaan imperial dapat dipertahankan lebih lama ketika ambisi individu dialihkan dan diberi insentif daripada ditindas secara total. Mobilitas status, bahkan bagi kelompok yang ditaklukkan, adalah kunci untuk menciptakan loyalitas yang lebih tahan lama dibandingkan dengan penindasan statis.

Implikasi bagi Analisis Kekuasaan Kontemporer

Wawasan dari perbandingan Romawi dan Mongol memiliki relevansi yang luas dalam menganalisis manajemen konflik dan kekuasaan kontemporer. Model Mongol—D&C yang didasarkan pada penindasan statis, segregasi etnis yang kaku, dan penolakan harapan untuk mobilitas—secara historis tidak berkelanjutan. Sistem politik yang melanggengkan diskriminasi struktural berdasarkan garis etnis atau ras akan selalu menciptakan krisis legitimasi yang mendalam dan menyediakan dasar yang jelas untuk disintegrasi.

Sebaliknya, meskipun Romawi menerapkan diferensiasi yang jelas dan sering kali keras, kesediaan mereka untuk menyediakan saluran hukum yang dapat diakses, walaupun tidak setara, memungkinkan mereka mempertahankan kekuasaan untuk waktu yang sangat lama. Sebuah sistem yang mengelola untuk menyalurkan perbedaan pendapat dan ambisi melalui institusi yang terstruktur, dan menawarkan harapan untuk inklusi (Model Romawi), menunjukkan daya tahan yang jauh lebih besar dalam mengelola populasi yang beragam dibandingkan dengan model kasta yang tertutup.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 2 = 4
Powered by MathCaptcha