Transformasi digital yang terjadi secara akseleratif dalam dua dekade terakhir telah mengubah tatanan komunikasi interpersonal dari model pertukaran informasi sederhana menjadi sebuah ekosistem mediatisasi yang kompleks. Di pusat transformasi ini terdapat fenomena yang dikenal sebagai budaya “curating life”—sebuah praktik sistematis di mana individu secara selektif memilih, menyunting, dan hanya menampilkan momen-momen terbaik, paling estetis, atau paling sukses dari kehidupan mereka di platform media sosial. Praktik ini, meskipun sering dianggap sebagai bentuk ekspresi diri yang tidak bersalah, telah memicu krisis autentisitas global yang mendalam. Krisis ini ditandai oleh pergeseran ontologis di mana representasi digital dari kehidupan mulai dianggap lebih nyata dan lebih berharga daripada pengalaman hidup yang sesungguhnya, menciptakan beban psikologis yang masif bagi masyarakat dunia.
Landasan Sosiologis: Dramaturgi Digital dan Manajemen Kesan di Panggung Virtual
Memahami krisis autentisitas memerlukan penelusuran kembali ke teori dramaturgi Erving Goffman, yang memandang kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan teater. Dalam karyanya yang fundamental, Goffman menjelaskan bahwa individu terlibat dalam “impression management” atau manajemen kesan untuk mengontrol bagaimana orang lain memandang mereka. Dalam konteks interaksi fisik tradisional, individu memiliki “panggung depan” (front stage) tempat mereka menampilkan peran sosial, dan “panggung belakang” (backstage) tempat mereka dapat menjadi diri mereka sendiri tanpa pengawasan audiens.
Era media sosial telah mengeksaserbasi dinamika ini dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Profil digital kini berfungsi sebagai panggung depan yang permanen dan global. Perbedaan krusial antara interaksi fisik dan digital terletak pada tingkat kontrol yang dimiliki individu atas panggung depan mereka. Di dunia digital, “kurasi” memungkinkan individu untuk menghilangkan semua ketidaksempurnaan, keraguan, dan kegagalan yang secara alami ada di panggung belakang, sehingga menciptakan citra diri yang sepenuhnya ideal dan tidak realistis.
Ekspresi Diri Versus Performa Citra
Meskipun media sosial menawarkan alat untuk ekspresi diri, terdapat ketegangan yang meningkat antara keinginan untuk menjadi autentik dengan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma performatif platform. Teori presentasi diri menunjukkan bahwa individu ingin terlihat kredibel dan autentik, namun mereka juga sadar bahwa audiens digital memberikan penghargaan lebih tinggi pada konten yang dipoles dan aspirasional. Hal ini menciptakan kondisi di mana individu merasa terpaksa untuk mengelola “facework” mereka secara obsesif untuk menghindari rasa malu atau kehilangan status sosial digital (losing face).
Penelitian menunjukkan bahwa pengguna seringkali terjebak dalam siklus “penyembunyian dan penemuan kembali” (concealment and discovery), di mana mereka secara strategis menyembunyikan aspek kehidupan yang dianggap “cheugy” atau tidak menarik, dan hanya menonjolkan apa yang dianggap keren oleh audiens mereka. Akibatnya, identitas online bukan lagi refleksi dari diri yang utuh, melainkan sebuah komoditas yang dikonstruksi untuk mendapatkan mata uang sosial berupa suka (likes) dan komentar.
| Komponen Dramaturgi | Konteks Tradisional (Goffman) | Konteks Media Sosial (Era Digital) |
| Panggung Depan | Interaksi tatap muka sementara. | Profil digital permanen dan global. |
| Panggung Belakang | Ruang privat untuk relaksasi. | Sering terinvasi oleh tekanan konten. |
| Alat Peraga (Props) | Pakaian, gaya bicara fisik. | Filter, sudut kamera, caption terkurasi. |
| Audiens | Orang-orang yang hadir secara fisik. | Jaringan anonim dan pengikut global. |
| Risiko Kegagalan | Rasa malu sesaat. | “Cancel culture” atau isolasi digital. |
Hiperrealitas dan Krisis Ontologis: Perspektif Baudrillardian
Dampak yang lebih luas dari budaya kurasi dapat dianalisis melalui lensa teori hiperrealitas Jean Baudrillard. Baudrillard berpendapat bahwa masyarakat kontemporer telah bergerak melampaui realitas menuju tahap simulasi, di mana tanda-tanda dan simbol dari realitas menjadi lebih nyata daripada realitas itu sendiri—sebuah kondisi yang ia sebut sebagai hiperrealitas. Krisis autentisitas terjadi ketika individu tidak lagi dapat membedakan antara kehidupan yang mereka jalani dengan kehidupan yang mereka simulasikan di layar.
Simulacra dan Hilangnya Referensi Asli
Dalam ekosistem media sosial, “unggahan” seringkali mendahului pengalaman. Fenomena “living for the story” atau hidup demi konten menunjukkan bahwa individu seringkali melakukan aktivitas tertentu bukan karena nilai intrinsik dari aktivitas tersebut, melainkan karena potensi estetikanya untuk dibagikan secara online. Baudrillard menyebut ini sebagai “simulacrum”—sebuah salinan tanpa aslinya. Misalnya, momen makan malam yang mewah bukan lagi tentang rasa makanan atau percakapan, melainkan tentang foto makanan tersebut yang dikurasi secara sempurna. Dalam hal ini, foto tersebut bukan lagi merepresentasikan makan malam; foto tersebut menjadi makan malam itu sendiri dalam persepsi publik digital.
Krisis ini menciptakan jarak emosional antara individu dengan pengalaman hidup mereka sendiri. Ketika setiap pencapaian atau ritual kehidupan harus disiarkan, makna dari momen tersebut seringkali menguap karena fokus individu terpecah antara “merasakan” momen tersebut dengan “mengemasnya” untuk audiens. Hiperrealitas menawarkan perlindungan yang terkurasi, di mana segala sesuatu terlihat lebih cerah dan lebih sederhana daripada dunia nyata yang penuh dengan kekacauan dan ketidaksempurnaan, namun perlindungan ini bersifat semu dan menyebabkan keterasingan psikologis.
Paradoks Autentisitas Online dan Perangkap Keikhlasan Digital
Upaya untuk melawan hiperrealitas seringkali memicu “Paradoks Autentisitas Online.” Penelitian menunjukkan bahwa meskipun banyak pengguna media sosial mengklaim ingin menjadi autentik, mereka mendefinisikan autentisitas sebagai presentasi diri yang konsisten, positif, dan “benar”. Namun, karena kehidupan nyata melibatkan kegagalan dan emosi negatif, upaya untuk tetap terlihat “positif” di media sosial justru menghalangi autentisitas yang sebenarnya.
Munculnya tren “digital sincerity,” seperti penggunaan foto yang tidak diedit atau caption yang menceritakan kesulitan hidup, seringkali justru berubah menjadi bentuk performa baru. Bahkan konten yang terlihat “berantakan” atau “raw” seringkali dipentaskan (staged) untuk memberikan kesan kejujuran yang strategis agar mendapatkan kepercayaan audiens. Hal ini menunjukkan bahwa dalam ruang digital, autentisitas telah dikomodifikasi menjadi alat branding, sehingga sulit bagi individu untuk benar-benar melepaskan diri dari jeratan simulasi.
Mekanisme Psikologis: Komparasi Sosial dan Dampaknya pada Kesehatan Mental
Secara psikologis, budaya kurasi kehidupan bekerja melalui mekanisme komparasi sosial ke atas (upward social comparison/USC). Teori komparasi sosial menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengevaluasi diri mereka dengan membandingkan diri dengan orang lain. Di media sosial, di mana hampir setiap pengguna menyajikan versi hidup mereka yang paling ideal, individu secara konstan terpapar pada standar hidup yang tidak mungkin dicapai.
Arsitektur Envy dan Penurunan Harga Diri Global
Paparan terhadap USC di platform seperti Instagram dan TikTok telah terbukti secara konsisten menurunkan harga diri (self-esteem) dan kepuasan hidup pengguna. Individu yang sering melakukan komparasi ke atas cenderung merasa inferior, tidak adekuat, dan mengalami perasaan iri hati (envy) yang mendalam. Sekitar 40% orang dewasa mengakui bahwa media sosial membuat mereka merasa kesepian atau terisolasi karena mereka merasa hidup mereka tidak sebanding dengan kesuksesan yang ditampilkan orang lain.
Penelitian menunjukkan bahwa USC merupakan mediator kuat antara penggunaan media sosial dan gejala depresi. Semakin ekstrem perbedaan yang dipersepsikan antara diri sendiri dengan target komparasi yang terkurasi, semakin besar dampak negatifnya terhadap kesehatan mental. Dampak ini sangat terasa di kalangan remaja dan wanita muda, yang berada dalam tahap perkembangan identitas yang kritis dan sangat rentan terhadap standar eksternal.
Objektifikasi Diri dan Distorsi Citra Tubuh
Salah satu dampak paling merusak dari budaya kurasi adalah objektifikasi diri, terutama terkait dengan penampilan fisik. Penggunaan filter dan aplikasi pengeditan yang mengubah fitur wajah dan tubuh menciptakan standar kecantikan yang terdistorsi. Individu mulai memandang diri mereka sendiri sebagai objek yang harus selalu diperiksa dan disesuaikan agar sesuai dengan standar digital.
Penelitian menemukan bahwa objektifikasi diri menyumbang 39% dari total efek stres psikologis yang dipicu oleh komparasi sosial di media sosial. Proses ini menguras sumber daya kognitif dan meningkatkan emosi sadar-diri seperti rasa malu dan kecemasan penampilan. Hal ini menjelaskan mengapa paparan terhadap gambar-gambar ideal di media sosial berkaitan erat dengan peningkatan gejala body dysmorphic disorder dan permintaan untuk prosedur kosmetik agar menyerupai foto yang telah difilter.
| Indikator Kesehatan Mental | Temuan Penelitian/Statistik (2024-2025) | Dampak Kolektif |
| Prevalensi Depresi | Peningkatan 66% pada remaja pengguna berat media sosial. | Krisis kesehatan mental pada Generasi Z. |
| Kecemasan Penampilan | Dimediasi 39% oleh self-objectification akibat USC. | Ketidakpuasan tubuh massal; peningkatan bedah kosmetik. |
| Rasa Kesepian | 40% orang dewasa merasa terisolasi meskipun aktif secara digital. | Paradoks konektivitas: lebih terhubung tapi lebih sendirian. |
| Gangguan Tidur | 78% pengguna menggunakan media sosial sebelum tidur; menurunkan melatonin 55%. | Penurunan produktivitas dan fungsi kognitif masyarakat. |
| Kecanduan Perilaku | 1 dari 4 orang merasa kecanduan media sosial. | Hilangnya kontrol impuls dan ketergantungan pada validasi eksternal. |
Arsitektur Algoritma: Penguatan Budaya Kurasi Melalui Ekonomi Perhatian
Krisis autentisitas bukan hanya masalah psikologi individu, melainkan hasil dari arsitektur algoritma yang sengaja dirancang untuk mengeksploitasi kerentanan manusia demi keuntungan komersial. Platform media sosial beroperasi dalam “ekonomi perhatian,” di mana setiap detik waktu pengguna adalah komoditas yang dijual kepada pengiklan.
Sistem Penghargaan Dopamin dan Konten Homogen
Algoritma, seperti yang ada pada TikTok dan Instagram, memberikan penghargaan (reward) pada konten yang memicu keterlibatan tinggi melalui sistem umpan balik dopamin. Konten yang secara visual menarik, estetis, atau aspirasional cenderung mendapatkan jangkauan (reach) yang lebih luas. Hal ini menciptakan tekanan struktural bagi pengguna untuk terus melakukan kurasi kehidupan mereka. Jika seseorang mengunggah momen hidup yang biasa-biasa saja atau tidak estetis, algoritma kemungkinan besar akan “menenggelamkan” unggahan tersebut karena rendahnya potensi interaksi.
Akibatnya, terjadi homogenitas konten secara global. Pengguna secara tidak sadar mempelajari jenis estetika atau narasi apa yang akan mendapatkan “likes” paling banyak, sehingga mereka menyesuaikan presentasi diri mereka agar sesuai dengan preferensi algoritma. Fenomena ini disebut sebagai “micro-virality,” di mana identitas individu dileburkan ke dalam tren atau subkultur yang telah ditentukan oleh mesin. Ketidakmampuan untuk tetap autentik dalam ekosistem yang menghargai performa daripada keberadaan adalah inti dari krisis ini.
Filter Bubbles dan Erosi Keberagaman Realitas
Algoritma personalisasi juga menciptakan “filter bubbles” atau ruang gema yang memperkuat bias pengguna. Dalam konteks kurasi kehidupan, pengguna yang sering terpapar pada gaya hidup mewah atau standar kecantikan tertentu akan terus-menerus disuguhi konten serupa. Hal ini menciptakan ilusi bahwa kehidupan yang terkurasi secara ekstrem tersebut adalah norma umum, sementara realitas yang lebih beragam dan realistis menjadi terpinggirkan.
Proses ini mengikis kapasitas masyarakat untuk memiliki pemahaman bersama tentang realitas. Ketika setiap orang hidup dalam gelembung hiperrealitas mereka sendiri yang dikurasi oleh algoritma, dialog sosial yang jujur menjadi sulit dilakukan karena tidak ada lagi referensi pengalaman yang benar-benar autentik dan bersifat umum. Erosi keberagaman narasi ini berdampak pada matinya empati sosial karena individu hanya terpapar pada versi hidup yang paling bersinar dari orang lain, tanpa memahami perjuangan nyata di baliknya.
Dampak pada Generasi Z: Penduduk Asli Digital dalam Pusaran Krisis
Generasi Z (mereka yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an) adalah kelompok yang paling terdampak oleh krisis autentisitas ini. Sebagai generasi pertama yang tumbuh dengan smartphone sebagai perpanjangan dari diri mereka, mereka tidak pernah mengenal dunia tanpa kurasi digital. Bagi mereka, teknologi bukan sekadar alat, melainkan cara hidup dan ruang utama pembentukan identitas.
FOMO sebagai Patologi Komunikasi
Fear of Missing Out (FOMO) telah bertransformasi dari sekadar tren bahasa menjadi patologi komunikasi yang serius di kalangan Gen Z. FOMO menciptakan kecemasan konstan bahwa orang lain sedang menjalani pengalaman yang lebih berharga, yang memicu dorongan kompulsif untuk selalu terhubung secara digital. Penelitian menunjukkan bahwa FOMO berkorelasi positif dengan peningkatan kecemasan sosial dan ketergantungan pada validasi digital.
Budaya kurasi memperparah FOMO dengan menyediakan aliran konten “prestisius” secara nonstop. Gen Z merasa tertekan untuk terus mengikuti tren viral, mengunjungi tempat-tempat populer, atau mengonsumsi produk tertentu hanya agar tetap dianggap relevan dalam lingkaran sosial mereka. Hal ini menciptakan pola komunikasi yang konsumtif dan dangkal, di mana kualitas interaksi di dunia nyata seringkali dikorbankan demi visibilitas online.
Kelelahan Digital dan Burnout Akademik
Upaya terus-menerus untuk menjaga panggung depan digital yang sempurna menyebabkan kelelahan kognitif yang masif. Gen Z menghabiskan rata-rata 4,5 jam sehari di media sosial, dan separuh dari mereka melaporkan merasa “lelah secara digital” atau mengalami “social media fatigue”. Kelelahan ini bukan hanya berdampak pada suasana hati, tetapi juga pada performa akademis dan produktivitas.
Penelitian menunjukkan adanya korelasi kuat antara penggunaan media sosial yang berlebihan dengan “learning burnout” di kalangan siswa. FOMO dan distraksi digital melemahkan kontrol regulasi diri, memperpendek rentang perhatian, dan mengurangi kapasitas kognitif untuk tugas-tugas akademis yang mendalam. Kehidupan yang terus-menerus “terkoneksi” tetapi secara emosional “terputus” ini menciptakan generasi yang secara lahiriah tampak sukses di layar, namun secara batiniah mengalami kelesuan dan kekosongan eksistensial.
| Perilaku Penggunaan Gen Z | Statistik Utama (2025) | Implikasi Psikososial |
| Durasi Penggunaan Harian | Rata-rata 4,5 jam per hari; 50% pengguna > 4 jam. | Peningkatan risiko depresi dan kecemasan secara eksponensial. |
| Frekuensi Pengecekan | Rata-rata mengecek ponsel > 150 kali per hari. | Fragmentasi perhatian dan penurunan produktivitas. |
| Motivasi Penggunaan | 68% menggunakan untuk hiburan/scrolling tanpa tujuan. | Konsumsi pasif yang memicu perasaan iri hati dan USC. |
| Pencarian Informasi | 46% lebih memilih TikTok/Instagram daripada Google. | Kerentanan terhadap informasi yang tidak diverifikasi dan bias visual. |
| Upaya Detoks | 57% melakukan istirahat (break) dari media sosial pada 2023. | Kesadaran akan dampak negatif namun sulit untuk lepas sepenuhnya. |
Fragmentasi Sosial dan Krisis Kepercayaan Kolektif
Pada tingkat masyarakat luas, budaya kurasi kehidupan berkontribusi pada pelemahan kohesi sosial dan krisis kepercayaan interpersonal. Ketika individu terbiasa melihat versi realitas yang terfragmentasi dan diperindah, kemampuan mereka untuk berempati dan bekerja sama dalam komunitas fisik mulai tergerus.
Dampak pada Hubungan Domestik dan Kepercayaan Keluarga
Media sosial telah mengubah dinamika komunikasi dalam keluarga, seringkali dengan cara yang merugikan. Penggunaan media sosial yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan frekuensi interaksi tatap muka di rumah tangga, menciptakan jarak emosional, dan memicu kecurigaan antar anggota keluarga. Budaya kurasi juga memengaruhi bagaimana anggota keluarga memandang satu sama lain; misalnya, anak-anak mungkin merasa malu jika orang tua mereka tidak menampilkan citra keluarga yang “ideal” sesuai standar tren online.
Ketegangan ini diperparah oleh munculnya pembatas privasi yang lebih kuat dan berkurangnya transparansi di antara anggota keluarga. Ketika panggung depan digital menjadi lebih penting daripada keharmonisan panggung belakang di rumah, keluarga berisiko mengalami disintegrasi fungsional di mana mereka tinggal bersama secara fisik tetapi terisolasi secara digital.
Krisis Kepercayaan terhadap Informasi dan Institusi
Budaya kurasi telah melahirkan lingkungan di mana “kebenaran” bersifat performatif. Influencer dan figur publik menggunakan strategi autentikasi untuk membangun kepercayaan audiens, namun strategi ini seringkali melibatkan manipulasi visual dan narasi yang cerdik. Hal ini menyebabkan skeptisisme publik yang meluas terhadap semua bentuk informasi digital.
Paparan konstan terhadap konten yang dipoles secara artifisial membuat individu sulit membedakan antara fakta, opini, dan simulasi. Fenomena deepfake dan konten yang dihasilkan AI semakin memperparah krisis ini, menciptakan dunia di mana “melihat bukan lagi mempercayai”. Krisis kepercayaan ini tidak hanya merusak hubungan antar-individu, tetapi juga mengancam stabilitas demokrasi dan efektivitas komunikasi kebijakan publik karena masyarakat kehilangan jangkar realitas objektif yang sama.
Gerakan Anti-Kurasi dan Batas-Batas Autentisitas Baru
Sebagai respons terhadap kelelahan akibat kesempurnaan digital, muncul berbagai upaya untuk merebut kembali autentisitas. Gerakan seperti penggunaan aplikasi BeReal atau tren “photo dump” tanpa filter mencerminkan keinginan kolektif untuk kembali ke kejujuran digital.
BeReal: Eksperimen Spontanitas dan Kegagalannya
BeReal dirancang untuk menjadi “anti-Instagram” dengan meminta pengguna mengambil foto secara acak dalam jendela waktu dua menit setiap hari tanpa opsi filter. Popularitas aplikasi ini menunjukkan adanya kerinduan akan koneksi yang lebih tulus dan kurang terkurasi di kalangan Gen Z. BeReal menawarkan “detoks mental” dengan cara membatasi feed menjadi sesuatu yang berhingga dan spontan.
Namun, tantangan autentisitas di media sosial tetap ada. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pengguna BeReal melakukan “late posting”—menunggu momen menarik dalam hari mereka untuk mengambil foto—sehingga unsur spontanitasnya hilang dan kembali menjadi bentuk kurasi yang lebih halus. Hal ini membuktikan argumen Baudrillard bahwa dalam sistem hiperrealitas, upaya untuk melarikan diri dari simulasi seringkali justru menciptakan simulasi baru yang lebih canggih.
Literasi Media dan Digital Resilience sebagai Solusi Individu
Meskipun sistemik, mitigasi terhadap krisis autentisitas harus dimulai dari tingkat individu melalui literasi media yang lebih tinggi. Pengguna perlu menyadari bahwa media sosial adalah platform yang secara inheren bersifat teatrikal. Pemahaman tentang cara kerja algoritma dan tujuan komersial di balik desain platform dapat membantu pengguna untuk tidak terlalu menginternalisasi komparasi sosial yang mereka alami.
Strategi praktis seperti membatasi waktu penggunaan hingga 30 menit per hari telah terbukti secara klinis dapat mengurangi kecemasan dan depresi secara signifikan. Selain itu, praktik “mindful scrolling”—di mana pengguna secara sadar memperhatikan emosi mereka saat melihat konten tertentu dan segera berhenti jika merasa buruk—adalah kunci untuk membangun resiliensi digital. Mengembalikan fokus pada hubungan di dunia nyata dan aktivitas fisik yang tidak terdokumentasi adalah cara terbaik untuk memulihkan rasa diri yang autentik.
Strategi Mitigasi Kolektif dan Rekomendasi Kebijakan
Krisis kesehatan mental kolektif yang dipicu oleh budaya kurasi memerlukan intervensi yang melampaui perubahan perilaku individu. Diperlukan tanggung jawab dari penyedia platform, pemerintah, dan organisasi internasional untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat.
Akuntabilitas Platform dan Desain Humanis
Platform media sosial harus didorong untuk mengadopsi desain yang lebih humanis dan berorientasi pada kesejahteraan pengguna daripada sekadar keterlibatan (engagement). Hal ini mencakup transparansi algoritma, penghapusan fitur yang mengeksploitasi kerentanan psikologis (seperti scrolling tanpa henti atau metrik popularitas publik yang obsesif), dan penyediaan alat kendali bagi pengguna untuk mengelola pengalaman digital mereka sendiri.
Rekomendasi dari organisasi internasional seperti UNESCO menekankan pentingnya regulasi yang menghormati hak asasi manusia dan mempromosikan literasi informasi sebagai pertahanan utama melawan disinformasi dan dampak negatif media sosial. Platform juga harus diwajibkan untuk memberikan label pada konten yang menggunakan AI atau pengeditan visual yang signifikan untuk membantu pengguna mempertahankan persepsi yang akurat tentang realitas.
Pendidikan dan Penguatan Kohesi Sosial
Sektor pendidikan harus mengintegrasikan kurikulum literasi digital yang tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis, tetapi juga pada aspek psikososial penggunaan teknologi. Generasi muda perlu diajarkan untuk menghargai keberagaman pengalaman manusia yang tidak selalu estetis atau sukses untuk dibagikan online.
Pada akhirnya, memulihkan kesehatan mental kolektif dunia berarti merebut kembali nilai dari momen-momen yang “tidak terbagi” (unshared moments). Masyarakat perlu didorong untuk membangun kembali modal sosial fisik melalui partisipasi komunitas dan interaksi tatap muka yang tidak dimediasi oleh layar. Hanya dengan menyeimbangkan kembali timbangan antara realitas dan simulasi, kita dapat mengatasi krisis autentisitas dan membangun masa depan di mana teknologi melayani kemanusiaan, bukan mengomodifikasinya.
| Level Intervensi | Strategi Utama | Rekomendasi Kebijakan/Tindakan |
| Kebijakan Global | Regulasi AI dan Transparansi. | Mandatori audit algoritma; pelabelan konten manipulatif. |
| Tanggung Jawab Platform | Desain Berorientasi Kesejahteraan. | Pembatasan fitur adiktif; moderasi konten yang memicu USC ekstrem. |
| Pendidikan/Institusi | Literasi Media Komprehensif. | Integrasi psikologi media dalam kurikulum sekolah. |
| Komunitas/Keluarga | Penguatan Interaksi Tatap Mukat. | Promosi ruang bebas teknologi di rumah dan komunitas. |
| Individu | Mindful Digital Habits. | Batasan waktu 30 menit; detoks digital berkala; fokus pada realitas offline. |
Krisis autentisitas di era media sosial merupakan cerminan dari tantangan eksistensial manusia modern dalam menavigasi antara diri yang biologis dan diri yang digital. Budaya kurasi kehidupan, dengan segala kemilau estetikanya, telah menciptakan beban psikologis yang masif, mulai dari kecemasan individu hingga fragmentasi sosial kolektif. Memahami bahwa representasi digital hanyalah sebuah simulasi, dan bukan realitas itu sendiri, adalah langkah pertama menuju pemulihan kesehatan mental dunia. Di tengah dunia yang semakin terkurasi, kemampuan untuk menjadi “nyata” dalam segala ketidaksempurnaan kita adalah tindakan perlawanan yang paling autentik dan menyehatkan.
