Fenomena penyediaan air bersih di Indonesia, khususnya dalam kontestasi politik lokal di Sumatera Utara, telah lama menjadi instrumen retorika yang sangat ampuh untuk menggalang dukungan massa. Air, sebagai kebutuhan dasar yang tidak dapat disubstitusi, sering kali diposisikan sebagai komoditas janji kampanye yang sangat persuasif, namun dalam realitas pasca-pelantikan, isu ini kerap terbentur oleh kompleksitas manajemen BUMD, keterbatasan infrastruktur warisan kolonial, serta inefisiensi koordinasi birokrasi. Analisis ini mengevaluasi secara mendalam dinamika antara janji politik para pemimpin daerah seperti Muhammad Bobby Afif Nasution dan Edy Rahmayadi dengan realitas operasional Perumda Tirtanadi, serta bagaimana masyarakat sipil menggunakan mekanisme hukum dan lembaga pengawas seperti Ombudsman untuk menagih akuntabilitas dari janji-janji manis tersebut.
Paradoks Populisme dan Kebutuhan Dasar dalam Kontrak Sosial Lokal
Dalam teori kontrak sosial, penyediaan layanan publik dasar seperti air bersih merupakan kewajiban fundamental negara yang seharusnya terlepas dari siklus politik praktis. Namun, di Sumatera Utara, pemenuhan kebutuhan air bersih bertransformasi menjadi janji kampanye yang eksplisit dan sering kali emosional. Pada Pilkada Medan 2020 dan Pilgub Sumatera Utara sebelumnya, isu ketersediaan air bersih menjadi titik sentral dalam narasi pembangunan yang ditawarkan. Bobby Nasution, misalnya, secara konsisten menekankan bahwa janji kampanye yang disampaikannya bukan sekadar alat untuk meraih suara, melainkan janji Pemerintah Kota yang harus ditepati melalui kolaborasi dan perencanaan matang.
Namun, kesenjangan antara janji dan realitas mulai terlihat ketika pemerintah daerah dihadapkan pada keterbatasan fiskal dan teknis. Meskipun Pemerintah Kota Medan telah mengalokasikan anggaran hingga 5,6 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH)—melampaui instruksi Presiden yang hanya mensyaratkan minimal 2 persen—masalah air bersih tetap menjadi keluhan kronis di pemukiman warga. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan anggaran secara nominal tidak serta-merta berkorelasi dengan perbaikan kualitas layanan jika tidak dibarengi dengan reformasi pada tingkat operasional penyedia jasa air minum.
Dinamika Retorika Kampanye dan Implementasi Kebijakan
Janji-janji manis politisi sering kali mengabaikan fakta bahwa sistem penyediaan air minum (SPAM) melibatkan rantai pasok yang sangat kompleks, mulai dari perlindungan sumber air di hulu hingga pemeliharaan pipa distribusi di hilir. Dalam berbagai kegiatan safari politik dan kunjungan lapangan, pemimpin daerah sering kali memberikan instruksi langsung untuk perbaikan pipa dalam jangka waktu yang sangat singkat, seperti janji perbaikan “bulan ini juga, sebelum hari raya”. Meskipun pendekatan ini memberikan kesan responsif (decisive leadership), secara teknis sering kali sulit diwujudkan karena kerusakan sistemik pada jaringan pipa distribusi membutuhkan waktu perbaikan yang lebih lama daripada siklus perayaan hari besar.
Tabel berikut menunjukkan perbandingan antara janji kapasitas infrastruktur yang diwacanakan dengan realitas kebutuhan debit air di Sumatera Utara:
| Komponen Sistem Air | Target/Kebutuhan Proyeksi (L/s) | Status Capaian Eksisting (L/s) | Defisit Kapasitas (L/s) |
| Target Debit Total 2025 | 11,000 | 7,300 | 3,700 |
| SPAM Regional Mebidang | 1,100 | 1,100 (Operasional) | 0 (Fase I) |
| IPA Medan Johor | 400 | Dalam Pembangunan | 400 |
| IPA Pulo Brayan | 500 | Dalam Pembangunan | 500 |
| Peningkatan IPA Deli Tua | $300$ | Perencanaan | $300$ |
| Peningkatan IPA Sunggal | $400$ | Perencanaan | $400$ |
Data di atas mengonfirmasi adanya kesenjangan yang signifikan antara target ambisius 11,000 L/s untuk tahun 2025 dengan kapasitas riil yang saat ini hanya mencapai 7,300 L/s. Kesenjangan sebesar $3,700 L/s} ini merupakan akar penyebab mengapa warga di berbagai wilayah seperti Medan Tuntungan masih mengalami mati air hingga 21 jam sehari.
Patologi Birokrasi dan Dilema Manajemen Perumda Tirtanadi
Sebagai operator utama, Perumda Tirtanadi berada di episentrum antara tekanan politik gubernur dan keluhan warga. Meskipun Direktur Utama Perumda Tirtanadi sering kali menyatakan optimisme bahwa target debit air akan terpenuhi melalui pembangunan berbagai Instalasi Pengolahan Air (IPA) baru, manajemen perusahaan menghadapi masalah internal yang mendalam, mulai dari inefisiensi operasional hingga tunggakan pelanggan yang tinggi. Kualitas pelayanan tidak hanya ditentukan oleh volume air yang diproduksi, tetapi juga oleh bagaimana air tersebut sampai ke pelanggan secara adil dan terjangkau.
Masalah Non-Revenue Water (NRW) atau tingkat kehilangan air menjadi tantangan terbesar. Di beberapa wilayah pelayanan Tirtanadi, tingkat kehilangan air mencapai angka mengkhawatirkan yaitu 40 persen. Hal ini berarti hampir separuh dari air yang diproduksi tidak pernah sampai ke pelanggan atau tidak dapat ditagih, baik karena kebocoran teknis pada pipa yang sudah tua maupun karena praktik sambungan ilegal. Janji kampanye untuk memberikan air bersih akan sulit terealisasi jika inefisiensi sebesar ini terus dibiarkan tanpa adanya investasi besar dalam rehabilitasi jaringan pipa.
Kegagalan Digitalisasi: Kasus Lonjakan Tagihan dan Ketidakpuasan Publik
Salah satu upaya modernisasi yang dilakukan Tirtanadi adalah peralihan sistem pencatatan meteran dari manual ke berbasis digital (Android) pada akhir tahun 2020 dan awal 2021. Alih-alih memberikan akurasi, program ini justru memicu gelombang protes akibat lonjakan tagihan yang tidak masuk akal. Laporan masyarakat ke Ombudsman Sumatera Utara mencatat adanya kenaikan tagihan hingga ratusan persen tanpa adanya koordinasi atau sosialisasi yang memadai kepada pelanggan.
Kasus Ezzy Herzia, seorang warga Jalan Gaperta, menjadi representasi dari kegagalan manajemen ini. Tagihan airnya melonjak drastis dari rata-rata Rp400.000 menjadi Rp4,2 juta dalam satu bulan pembayaran. Penjelasan pihak Tirtanadi bahwa lonjakan tersebut disebabkan oleh akumulasi selisih pemakaian yang tidak tercatat selama periode manual dianggap tidak adil oleh konsumen. Menurut analisis hukum yang dilakukan, tindakan membebankan kesalahan sistem internal perusahaan kepada pelanggan merupakan pelanggaran terhadap hak kenyamanan dan pelayanan yang benar sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.
| Perjalanan Tagihan Pelanggan (Kasus Ezzy) | Jumlah Tagihan (Rupiah) | Keterangan |
| Desember 2020 | Rp460.600 | Kondisi Normal |
| Januari 2021 | Rp467.000 | Kenaikan Tipis |
| Februari 2021 | Rp528.000 | Mulai Bergejolak |
| Maret 2021 | Rp4.200.000 | Lonjakan Ekstrem Pasca Digitalisasi |
Lonjakan ini memaksa Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara untuk membuka posko pengaduan khusus. Berdasarkan pemeriksaan, ditemukan bahwa sistem digital yang diterapkan belum sepenuhnya siap dan tidak memiliki mekanisme deteksi anomali yang memadai. Kegagalan ini menunjukkan bahwa janji politik tentang “pemanfaatan teknologi” sering kali diimplementasikan secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan kesiapan teknis dan dampak sosialnya terhadap masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Konflik Horizontal: Pembangunan Drainase versus Keamanan Utilitas
Ironi dari pembangunan kota di Medan adalah ketika satu proyek janji kampanye (seperti penanganan banjir melalui pembangunan drainase) justru merusak infrastruktur janji kampanye lainnya (penyediaan air bersih). Banyaknya pengaduan masyarakat mengenai air mati diakibatkan oleh pecahnya pipa Tirtanadi saat pengerjaan proyek drainase oleh Pemerintah Kota Medan. Hal ini mengungkap kelemahan mendasar dalam koordinasi antar-instansi (ego sektoral) dan ketiadaan peta utilitas yang terintegrasi.
DPRD Kota Medan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) menyoroti bahwa keterbatasan anggaran pemeliharaan yang dimiliki Tirtanadi membuat mereka tidak mampu meng-cover seluruh biaya perbaikan pipa yang rusak akibat proyek kota tersebut. Akibatnya, masyarakat harus menanggung beban ganda: jalanan macet karena pembangunan drainase, dan rumah mereka kekeringan karena pipa air yang terputus. Koordinasi yang buruk ini merupakan bukti bahwa retorika “kolaborasi” yang sering disampaikan saat kampanye sering kali terbentur oleh realitas birokrasi yang kaku dan tidak sinkron.
Dampak Sosial-Ekonomi dan Krisis Kepercayaan
Dampak dari ketidakteraturan pasokan air bersih sangat nyata dirasakan oleh warga, terutama pada hari-hari penting. Keluhan warga di Kecamatan Medan Johor yang mengalami air mati tepat pada hari pencoblosan Pilkada 2024 menunjukkan betapa masalah air bersih ini bisa mengganggu proses demokrasi itu sendiri. Warga terpaksa menggunakan air galon isi ulang untuk kebutuhan mandi dan sanitasi dasar, yang secara langsung menambah pengeluaran rumah tangga yang seharusnya tidak perlu terjadi jika layanan publik berjalan normal.
Kondisi ini menciptakan skeptisisme massal. Warga di Komplek Taman Melati Indah, Medan Tuntungan, melaporkan bahwa air hanya mengalir 3 jam sehari, itu pun pada dini hari antara pukul 01.00 hingga 04.00 WIB dengan tekanan yang sangat kecil. Selain kuantitas yang minim, kualitas air yang keruh dan berbau busuk menjadi pelengkap penderitaan warga. Upaya warga untuk menyurati PDAM dan menghubungi call center sering kali hanya dijawab dengan respon normatif tanpa tindakan nyata di lapangan, yang semakin memperdalam krisis kepercayaan terhadap janji-janji pemerintah daerah.
Degradasi Lingkungan dan Kerentanan Pasokan di Hulu
Masalah air bersih di Medan tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekologis di wilayah tangkapan air (catchment area). Berdasarkan catatan akhir tahun dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara, provinsi ini menghadapi ancaman bencana ekologis yang serius akibat kerusakan hutan dan alih fungsi lahan. Sepanjang tahun 2023 saja, tercatat ada 40 bencana ekologis seperti banjir dan longsor di Sumatera Utara yang berdampak langsung pada infrastruktur penyediaan air bersih.
Kerentanan ini terbukti nyata ketika pipa transmisi Tirtanadi di Sibolangit mengalami kerusakan akibat hantaman banjir dan longsor pada akhir tahun 2024. Gangguan ini menyebabkan pasokan air ke ribuan pelanggan terhenti total dan membutuhkan waktu perbaikan hingga tiga minggu. Hal ini menunjukkan bahwa sistem penyediaan air bersih di Sumatera Utara sangat rapuh terhadap perubahan iklim dan degradasi lingkungan di hulu. Janji kampanye tentang ketersediaan air bersih akan tetap menjadi janji kosong jika pemerintah tidak memiliki komitmen kuat dalam melindungi zona hijau dan daerah aliran sungai dari aktivitas ekstraktif yang merusak.
Analisis Kausalitas: Lingkungan, Infrastruktur, dan Pelayanan
Hubungan antara faktor lingkungan dan pemenuhan janji politik air bersih dapat digambarkan melalui rantai sebab-akibat berikut:
| Faktor Penyebab | Dampak Infrastruktur | Konsekuensi Layanan |
| Deforestasi di Sibolangit | Meningkatnya risiko longsor dan banjir bandang. | Kerusakan pipa transmisi utama secara mendadak. |
| Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) | Pencemaran zat kimia pada sumber air baku (sungai). | Penurunan kualitas air baku yang sulit diolah IPA. |
| Proyek Drainase Kota | Kerusakan pipa distribusi akibat alat berat. | Air mati di tingkat pemukiman (Medan Johor/Tembung). |
| Manajemen NRW yang Buruk | Kehilangan tekanan air dalam jaringan pipa. | Air tidak sampai ke ujung pipa/kawasan tinggi. |
Pencemaran air sungai akibat aktivitas penambangan liar (PETI) di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumatera Utara juga menjadi hambatan serius bagi instalasi pengolahan air untuk memproduksi air yang memenuhi standar kesehatan.17 Janji-janji politisi sering kali fokus pada pembangunan fisik IPA, namun sangat jarang menyentuh isu krusial mengenai penegakan hukum terhadap perusak lingkungan di wilayah hulu yang menjadi penyokong utama keberlangsungan air bersih bagi masyarakat kota.
Menagih Janji Melalui Jalur Hukum: Citizen Lawsuit dan Peran LBH
Ketika kanal pengaduan birokrasi dianggap tumpul, masyarakat sipil mulai melirik mekanisme hukum untuk menagih janji pelayanan publik. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan secara terbuka menyatakan bahwa warga yang dirugikan oleh buruknya pelayanan Tirtanadi memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata. Konsep Citizen Lawsuit (CLS) atau gugatan warga negara menjadi relevan karena memungkinkan masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas kegagalan pemenuhan hak-hak dasar.
Gugatan semacam ini bertujuan bukan hanya untuk menuntut ganti rugi material, tetapi untuk memaksa adanya perbaikan sistemik dalam pemenuhan fasilitas air bersih. Di Jakarta, mekanisme CLS telah terbukti sukses dalam kasus polusi udara, di mana pengadilan menyatakan Presiden dan Gubernur bersalah atas kelalaian dalam menjaga kualitas lingkungan bagi warga. Kesuksesan ini menjadi preseden penting bagi warga Medan dan Sumatera Utara untuk membawa isu krisis air bersih ke ranah hukum jika pemerintah tetap abai terhadap keluhan yang bertumpuk.
Instrumen Pengawasan: Ombudsman dan Akuntabilitas Publik
Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara memegang peranan vital dalam menjembatani keluhan warga dengan pihak penyedia layanan. Dalam kasus lonjakan tagihan air, Ombudsman tidak hanya meminta klarifikasi tetapi juga melakukan investigasi lapangan untuk memvalidasi data pengaduan masyarakat. Langkah Ombudsman menerbitkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang berisi saran kolektif merupakan bentuk nyata dari upaya menagih akuntabilitas publik.
Saran-saran dari Ombudsman, seperti permintaan untuk melengkapi syarat teknis pencatatan digital dan memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, merupakan bentuk teguran keras bagi manajemen BUMD agar tidak semena-mena dalam menetapkan kebijakan tarif atau sistem operasional. Namun, efektivitas pengawasan ini sangat bergantung pada kemauan politik (political will) dari kepala daerah untuk mengeksekusi rekomendasi tersebut. Tanpa adanya sanksi tegas bagi direksi BUMD yang gagal memberikan pelayanan, lembaga pengawas seperti Ombudsman akan terus berhadapan dengan masalah yang sama secara berulang.
Tantangan Keuangan dan Integritas dalam Pengelolaan BUMD
Sejarah pengelolaan air bersih di Sumatera Utara juga tidak lepas dari bayang-bayang korupsi dan penyimpangan anggaran. Kasus tindak pidana korupsi di PDAM Tirtanadi Cabang Deli Serdang yang merugikan negara hingga Rp10,9 miliar menjadi peringatan keras bahwa inefisiensi pelayanan sering kali berakar pada masalah integritas moral para pengelolanya. Penyalahgunaan dana yang seharusnya dialokasikan untuk perbaikan pipa atau peningkatan kapasitas produksi justru berakhir di kantong pribadi oknum pejabat.
Selain masalah integritas, Perumda Tirtanadi juga menghadapi masalah likuiditas akibat tingginya angka tunggakan pelanggan. Di Cabang Medan Kota dan Cabang HM Yamin, faktor ekonomi pelanggan dan ketidakpuasan terhadap layanan menjadi alasan utama di balik enggannya masyarakat membayar tagihan air tepat waktu. Hal ini menciptakan siklus negatif: pendapatan perusahaan menurun, kualitas pelayanan menurun karena kekurangan biaya operasional, dan pelanggan semakin tidak puas sehingga semakin malas membayar tagihan.
| Faktor Penyebab Tunggakan Rekening Air | Persentase Dampak/Kategori |
| Faktor Ekonomi (Penghasilan Rendah) | Utama (Pasca Pandemi) |
| Ketidakpuasan Pelayanan (Air Mati/Keruh) | Signifikan |
| Sistem Pembayaran yang Rumit | Moderat |
| Kesengajaan Pelanggan (Kurang Kesadaran) | Rendah hingga Menengah |
| Resistensi Terhadap Petugas (Premanisme) | Kendala Lapangan Khusus |
Upaya untuk menurunkan tunggakan melalui pemutusan sambungan sering kali terbentur oleh resistensi sosial, terutama di kawasan padat penduduk. Hal ini menuntut adanya pendekatan yang lebih humanis dan solutif, bukan sekadar penegakan sanksi yang kaku, guna memastikan keberlangsungan finansial perusahaan tanpa mengabaikan sisi kemanusiaan pelanggan yang berpenghasilan rendah.
Rekonstruksi Janji Kampanye: Menuju Tata Kelola yang Akuntabel
Menagih janji politik air bersih di Sumatera Utara memerlukan perubahan paradigma dari sekadar membangun fisik menjadi memperbaiki tata kelola (governance). Janji-janji manis politisi harus ditransformasikan ke dalam indikator kinerja utama (Key Performance Indicators/KPI) yang dapat diakses dan diawasi oleh publik secara transparan. Kehadiran berbagai kanal pengaduan seperti SP4N LAPOR! harus dioptimalkan bukan hanya sebagai kotak saran, melainkan sebagai basis data pengambilan keputusan strategis bagi kepala daerah.
Pemerintah Kota Medan di bawah kepemimpinan Bobby Nasution telah berupaya menunjukkan komitmen dengan mengalokasikan anggaran yang besar dan mempertemukan langsung warga dengan direksi Tirtanadi dalam format dialog terbuka. Namun, langkah simbolis ini harus diikuti dengan perbaikan struktural yang lebih dalam, termasuk audit menyeluruh terhadap sistem perpipaan dan restrukturisasi manajemen BUMD yang lebih profesional dan bebas dari kepentingan politik sempit.
Sinergi dan Kolaborasi sebagai Kunci Keberhasilan
Kunci dari penyelesaian krisis air bersih adalah kolaborasi yang nyata antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, dan Perumda Tirtanadi. Pembangunan infrastruktur besar seperti SPAM Mebidang dengan kapasitas $1,100 \text{ L/s}$ merupakan langkah maju yang signifikan, namun manfaatnya tidak akan maksimal jika pipa-pipa distribusi di tingkat pemukiman masih hancur akibat pengerjaan proyek drainase yang tidak terkoordinasi.
Selain itu, kerja sama dengan aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Negeri dalam melakukan pendampingan hukum dan pengawasan aset negara menjadi krusial untuk mencegah kebocoran anggaran. Dengan adanya kepastian hukum, manajemen Tirtanadi dapat bekerja dengan lebih fokus dalam mengejar target debit air $11,000 \text{ L/s}$ pada tahun 2025 tanpa dihantui oleh ketakutan akan penyimpangan administrasi di kemudian hari.
Kesimpulan: Realitas di Balik Janji dan Harapan Masyarakat
Krisis air bersih di Medan dan Sumatera Utara merupakan potret nyata dari betapa sulitnya menjembatani antara ekspektasi politik dan realitas teknis lapangan. Janji kampanye yang awalnya dimaksudkan sebagai solusi atas penderitaan rakyat sering kali berubah menjadi beban bagi pemerintah terpilih akibat kegagalan dalam mengantisipasi kompleksitas masalah di tingkat operasional. Masyarakat tidak lagi cukup diberikan “janji perbaikan bulan depan,” melainkan membutuhkan aliran air yang nyata di rumah mereka setiap hari dengan kualitas yang layak konsumsi.
Penagihan janji politik air bersih tidak boleh berhenti pada bilik suara. Melalui peran aktif lembaga pengawas seperti Ombudsman, pendampingan hukum dari organisasi sipil seperti LBH, dan pengawasan ketat dari media massa, akuntabilitas para pemimpin daerah harus terus diuji. Hanya dengan transparansi anggaran, perlindungan lingkungan hulu yang ketat, dan reformasi total manajemen BUMD, janji manis tentang “akses air bersih bagi semua” dapat menjadi kenyataan yang mengalir di seluruh pelosok Sumatera Utara. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini bukan hanya kegagalan politik, melainkan pengabaian terhadap martabat kemanusiaan warga negara yang telah memberikan mandatnya melalui proses demokrasi yang sah.
