Kejahatan lingkungan, atau yang secara global dikenal sebagai eco-crime, telah bertransformasi dari sekadar pelanggaran administratif lokal menjadi ancaman eksistensial transnasional yang terorganisir secara sistematis. Dalam satu dekade terakhir, fenomena ini tidak hanya mencakup ekstraksi sumber daya secara ilegal, tetapi telah berkembang menjadi industri kriminal global bernilai miliaran dolar yang menempati posisi keempat dalam daftar kejahatan paling menguntungkan di dunia, setelah perdagangan narkoba, barang palsu, dan perdagangan manusia. Pertumbuhannya yang mencapai dua hingga tiga kali lipat dari laju ekonomi global mencerminkan kegagalan arsitektur hukum internasional dalam membendung eksploitasi yang merusak biosfer. Laporan ini menganalisis bagaimana eco-crime—melalui pembuangan limbah beracun, pembalakan liar, dan perdagangan satwa—merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kelangsungan hidup Bumi, yang korbannya bukan hanya ekosistem saat ini, melainkan hak asasi generasi mendatang.
Arsitektur Ekonomi dan Operasional Kejahatan Lingkungan Global
Evolusi kejahatan lingkungan didorong oleh dinamika pasar yang menunjukkan margin keuntungan sangat tinggi dengan risiko hukum yang relatif rendah. Kelompok kriminal terorganisir transnasional telah mendiversifikasi portofolio mereka, berpindah dari komoditas tradisional ke sumber daya alam karena rendahnya pengawasan di perbatasan dan ringannya sanksi bagi pelaku kejahatan lingkungan. Nilai moneter dari kejahatan lingkungan saat ini diperkirakan mencapai USD 91 miliar hingga USD 258 miliar per tahun, sebuah angka yang melampaui bantuan pembangunan resmi (ODA) global, yang berarti keuntungan bagi segelintir jaringan kriminal jauh lebih besar daripada dana yang dialokasikan dunia untuk pengentasan kemiskinan dan keberlanjutan.
Analisis terhadap data INTERPOL menunjukkan adanya konvergensi kriminal yang mengkhawatirkan. Rute-rute yang digunakan untuk menyelundupkan kayu ilegal dari Amazon atau Kalimantan sering kali digunakan secara bersamaan untuk perdagangan manusia, senjata, dan narkoba. Kejahatan ini tidak lagi dilakukan oleh aktor individu kecil, melainkan oleh jaringan “kerah putih” yang menggunakan ribuan perusahaan cangkang di surga pajak (tax havens), penipuan pajak, transfer mispricing, hingga peretasan sistem elektronik pabean untuk mencuci hasil kejahatan mereka.
| Sektor Kejahatan Lingkungan | Estimasi Nilai Tahunan (USD) | Tren Pertumbuhan dan Karakteristik |
| Pembalakan Liar & Kejahatan Kehutanan | 51 – 152 Miliar | Tumbuh 5-7% per tahun; didominasi oleh pencucian kayu melalui perkebunan legal. |
| Perikanan Ilegal (IUU Fishing) | 11 – 24 Miliar | Mengancam ketahanan pangan dan stabilitas ekosistem laut global. |
| Perdagangan Satwa Liar | 7 – 23 Miliar | Permintaan tinggi untuk obat tradisional, hewan eksotis, dan simbol status. |
| Pertambangan Ilegal (Emas & Mineral) | 12 – 48 Miliar | Penggunaan merkuri secara masif; sering membiayai konflik bersenjata. |
| Perdagangan Limbah Beracun Ilegal | 10 – 12 Miliar | Eksploitasi celah regulasi di negara berkembang oleh industri negara maju. |
| Total Akumulasi | 91 – 258 Miliar | Kejahatan terbesar ke-4 di dunia dengan laju kenaikan 26% sejak 2014. |
Kejahatan lingkungan memicu dampak berantai yang tidak hanya merusak alam secara fisik, tetapi juga melemahkan tata kelola pemerintahan, merusak ekonomi legal, dan merampas pendapatan pajak pemerintah hingga USD 9-26 miliar per tahun. Kerusakan ini bersifat permanen; ketika sebuah hutan primer ditebang atau limbah kimia dibuang ke sungai, jasa ekosistem seperti pemurnian air, penyerapan karbon, dan mitigasi cuaca ekstrem hilang untuk selamanya, membebankan biaya pemulihan yang sangat besar kepada generasi mendatang.
Penjarahan Perairan Internasional: Krisis Limbah Beracun dan Kegagalan Konvensi Basel
Pembuangan limbah berbahaya lintas batas merupakan manifestasi paling nyata dari eksternalisasi biaya lingkungan oleh negara-negara maju ke wilayah-wilayah dengan pengawasan lemah. Sejak tahun 1980-an, meningkatnya biaya pembuangan limbah beracun di negara-negara maju mendorong para pedagang limbah untuk mencari metode pembuangan yang lebih murah, sering kali dengan mengirimkannya ke negara-negara berkembang di Afrika dan Asia. Tindakan ini bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan pelanggaran etika fundamental di mana polutan dibuang ke halaman tetangga yang tidak memiliki kapasitas untuk mengelolanya secara aman.
Mekanisme Perdagangan Limbah Transnasional
Limbah elektronik (e-waste), plastik yang terkontaminasi, dan residu kimia industri sering kali disamarkan sebagai barang bekas atau bahan baku daur ulang untuk menghindari pemeriksaan pabean. Sejak China memberlakukan larangan impor sampah padat pada tahun 2018 melalui kebijakan “Pedang Nasional”, arus limbah ilegal bergeser secara masif ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Wilayah ini kini menjadi pusat baru bagi perdagangan limbah yang mengeksploitasi perbedaan standar regulasi dan tingkat korupsi yang tinggi di kalangan pejabat pabean dan lingkungan.
Metodologi kriminal yang digunakan mencakup:
- Deklarasi Palsu dan Miskalifikasi: Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) didaftarkan dalam dokumen pengapalan sebagai bahan baku industri atau produk daur ulang yang sah.
- Penyembunyian Lapisan Ganda: Kontainer diisi dengan limbah berbahaya di bagian belakang, sementara bagian depan ditutup dengan barang-barang legal untuk mengelabui inspeksi fisik.
- Laundering Dokumen: Menggunakan perantara atau broker di negara ketiga untuk memutus rantai keterlacakan dari pengirim asli di negara maju ke pelabuhan tujuan.
Kelemahan Konvensi Basel dan Tantangan Penegakan Hukum
Konvensi Basel (1989) dibentuk untuk mengontrol pergerakan limbah berbahaya, namun efektivitasnya tetap terbatas karena beberapa faktor struktural. Salah satu tantangan terbesar adalah fakta bahwa Amerika Serikat, salah satu penghasil limbah elektronik terbesar di dunia, bukan merupakan pihak (party) dalam konvensi tersebut, yang secara signifikan melemahkan upaya global dalam mengatur perdagangan limbah berbahaya. Selain itu, konvensi ini memberikan fleksibilitas bagi negara-negara anggota untuk mengimplementasikan kebijakan mereka sendiri, yang sering kali berujung pada perbedaan standar pelabelan dan prosedur pemeriksaan yang dieksploitasi oleh jaringan kriminal.
| Wilayah Terdampak | Peran dalam Jaringan | Dampak Ekologis dan Kesehatan |
| Uni Eropa & Amerika Utara | Sumber utama limbah (E-waste, plastik). | Eksternalisasi biaya limbah ke negara-negara berkembang. |
| Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia) | Destinasi utama pembuangan ilegal. | Kontaminasi air tanah, keracunan logam berat pada populasi lokal. |
| Afrika (Ghana, Nigeria) | Pusat pemrosesan E-waste informal. | Gangguan kesehatan kronis bagi pekerja anak dan masyarakat sekitar. |
| Jalur Pelayaran Internasional | Area pembuangan limbah (dumping) ilegal. | Kerusakan ekosistem laut dalam dan kepunahan spesies sensitif. |
Di Indonesia, wilayah seperti Kepulauan Riau sering dijadikan tempat pembuangan limbah ilegal dari Singapura karena posisi geografisnya yang strategis dan pengawasan laut yang masih terbatas. Praktik ini diperburuk oleh rendahnya kapasitas SDM penegak hukum yang tidak memiliki pelatihan khusus dalam mengidentifikasi limbah kimia kompleks, sehingga banyak kasus “penyelundupan terselubung” yang lolos dari deteksi.
Kejahatan Kehutanan: Penghancuran Paru-Paru Dunia di Amazon dan Kalimantan
Hutan hujan tropis di Amazon dan Kalimantan merupakan benteng terakhir dalam menghadapi krisis iklim global. Namun, keduanya kini menjadi sasaran utama pembalakan liar yang didorong oleh permintaan kayu bernilai tinggi di pasar internasional. Diperkirakan 80% kayu yang ditebang di Amazon Brasil dan sekitar 70% di Indonesia berasal dari sumber ilegal. Pembalakan ini bukan hanya masalah penebangan pohon, melainkan penghancuran sistemik terhadap integritas ekosistem yang mengatur siklus hidrologi dan penyimpanan karbon dunia.
Modus Operandi “Pohon Imajiner” dan Pencucian Kayu
Investigasi di Brasil mengungkap skema penipuan dokumen yang sangat terstruktur untuk melegalkan kayu ilegal. Dalam metode “pohon imajiner”, insinyur kehutanan yang korup memalsukan inventaris hutan dengan mencantumkan pohon bernilai tinggi (seperti Ipe) yang sebenarnya tidak ada atau melebih-lebihkan volumenya dalam izin penebangan resmi. Berdasarkan dokumen palsu ini, perusahaan mendapatkan “kredit” kayu yang kemudian digunakan untuk menutupi kayu hasil tebangan liar dari kawasan lindung atau wilayah adat. Kayu ini kemudian diekspor ke Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Asia sebagai produk yang seolah-olah memiliki sertifikasi legal.
Di Kalimantan, pembalakan liar sering kali disamarkan melalui izin perkebunan kelapa sawit atau pertambangan batu bara. Deforestasi di Kalimantan menyumbang hampir setengah dari total kehilangan hutan di Indonesia pada tahun 2024, mencapai 129.896 hektar. Sebagian besar deforestasi ini terjadi di dalam konsesi industri kayu dan minyak sawit yang mengeksploitasi izin pembukaan lahan untuk melakukan penebangan habis di area hutan primer yang seharusnya dilindungi.
| Data Statistik Kehutanan (2024) | Bioma Amazon (Regional) | Pulau Kalimantan (Indonesia) |
| Tingkat Ilegalitas Estimasi | 80% dari total kayu | 70% dari total kayu |
| Kehilangan Hutan (2024) | 6.288 (terendah sejak 2015) | 129.896 Hektar |
| Pemicu Utama Deforestasi | Pertanian, Peternakan, Tambang Emas | Sawit, Tambang Batu Bara, HTI |
| Dampak Kebakaran Hutan | 60% kehilangan hutan dipicu api | Kebakaran rendah karena curah hujan tinggi |
| Tantangan Pengawasan | 1 Inspektur : 4 Juta Hektar | Tumpang tindih regulasi & korupsi |
Dampak Kumulatif dan Risiko “Tipping Point”
Pembalakan liar menciptakan fragmentasi hutan yang membuat ekosistem menjadi jauh lebih rentan terhadap kebakaran dan perubahan iklim. Pada tahun 2024, kebakaran hebat di Amazon—yang sebagian besar dipicu oleh aktivitas manusia untuk pembukaan lahan pertanian ilegal—menghancurkan jutaan hektar hutan primer, melepaskan emisi gas rumah kaca yang setara dengan emisi penerbangan global tahunan. Hutan yang telah terdegradasi kehilangan kemampuannya untuk menghasilkan hujan sendiri, yang membawa seluruh bioma menuju “tipping point” atau titik balik di mana hutan hujan akan berubah menjadi sabana kering secara permanen.
Eksploitasi ini juga merupakan serangan langsung terhadap masyarakat adat. Di Brasil, 88% deforestasi akibat pertambangan ilegal terjadi di wilayah adat dan kawasan lindung, menghancurkan ruang hidup dan budaya masyarakat yang telah menjaga hutan selama ribuan tahun. Di Indonesia, lebih dari 925 orang dari komunitas adat dikriminalisasi dalam satu dekade terakhir karena berupaya mempertahankan wilayah mereka dari ekspansi perusahaan tambang dan sawit ilegal.
Ekonomi Kepunahan: Perdagangan Satwa Liar dan Runtuhnya Jaring Makanan
Perdagangan satwa liar ilegal merupakan industri kriminal yang sangat merusak karena secara langsung menargetkan spesies kunci (keystone species) yang fungsinya tidak tergantikan dalam ekosistem. Dengan nilai tahunan mencapai USD 23 miliar, perdagangan ini bukan sekadar masalah hilangnya individu hewan, melainkan pemicu kaskade trofik yang dapat menyebabkan keruntuhan ekologis total.
Kaskade Trofik: Bagaimana Perburuan Membunuh Ekosistem
Setiap spesies memainkan peran spesifik dalam menjaga keseimbangan alam. Ketika predator puncak seperti harimau atau hiu diburu secara masif, terjadi ledakan populasi herbivora atau pemangsa tingkat menengah yang kemudian menghancurkan vegetasi hutan atau merusak terumbu karang.
- Gajah dan Penyebaran Benih: Gajah Afrika dijuluki “insinyur ekosistem”. Kematian mereka akibat perdagangan gading menyebabkan banyak spesies pohon besar kehilangan metode penyebaran benihnya, yang pada akhirnya mengurangi kepadatan hutan dan kemampuannya menyimpan karbon.
- Hiu dan Kesehatan Terumbu Karang: Perburuan hiu untuk sirip (mencapai 100 juta ekor per tahun) mengganggu rantai makanan laut. Tanpa hiu, populasi ikan pemangsa kecil meledak, menghabiskan ikan pemakan alga, sehingga alga tumbuh subur dan mencekik terumbu karang.
- Trenggiling (Pangolin): Sebagai mamalia paling banyak diselundupkan di dunia (>1 juta ekor dalam 15 tahun), trenggiling berperan penting dalam mengendalikan populasi semut dan rayap. Hilangnya mereka mengancam produktivitas tanah dan kesehatan hutan tropis.
Hasil Operation Thunder 2024-2025: Tren Kriminalitas Digital
Operation Thunder, koordinasi global antara INTERPOL dan World Customs Organization, menunjukkan bahwa skala perdagangan ini terus meluas ke wilayah digital. Pada tahun 2025, operasi ini berhasil menyita lebih dari 30.000 hewan hidup, termasuk primata, kucing besar, dan ribuan burung di 134 negara. Tren terbaru menunjukkan lonjakan tajam dalam perdagangan artropoda eksotis (kupu-kupu, laba-laba, dan serangga) yang dikirim melalui paket pos internasional dari Eropa ke Amerika dan Asia.
Platform media sosial dan pasar gelap daring telah memberikan anonimitas bagi sindikat kriminal untuk menjangkau kolektor global secara efisien. Dalam banyak kasus, hewan-hewan ini diangkut dalam kondisi yang sangat buruk di dalam koper atau wadah plastik kecil, di mana tingkat kematian selama pengiriman sering kali mencapai 50% atau lebih—sebuah kerugian yang telah dihitung sebagai biaya bisnis oleh para penyelundup.
Ancaman Zoonosis dan Keamanan Global
Perdagangan satwa liar bukan hanya krisis biodiversitas, tetapi juga ancaman kesehatan global. Satwa liar yang ditangkap secara ilegal sering kali menjadi inang bagi virus dan bakteri berbahaya. Pemindahan hewan lintas benua tanpa karantina yang memadai menciptakan titik kontak baru antara manusia dan patogen zoonosis, meningkatkan risiko pandemi seperti COVID-19. Selain itu, metode perburuan ilegal seperti penggunaan bom sianida untuk menangkap ikan hias tidak hanya menghancurkan terumbu karang, tetapi juga meracuni rantai makanan manusia melalui akumulasi racun dalam produk laut.
Korupsi, Impunitas, dan Kelumpuhan Penegakan Hukum
Kejahatan lingkungan tidak mungkin mencapai skala transnasional tanpa dukungan dari praktik korupsi sistemik. Korupsi adalah pelumas yang memungkinkan kayu ilegal mendapatkan dokumen legal, limbah beracun melewati gerbang pelabuhan, dan penyelundup satwa menghindari jeratan hukum. Sektor sumber daya alam merupakan area yang paling rawan korupsi karena melibatkan perizinan bernilai tinggi dan lokasi geografis yang terpencil.
Hambatan Struktural dalam Penegakan Hukum
Di banyak negara berkembang, aparat penegak hukum menghadapi tantangan ganda: keterbatasan sumber daya dan intimidasi dari jaringan kriminal yang sering kali berafiliasi dengan elite politik atau kelompok bersenjata.
- Kurangnya Koordinasi Antar-Lembaga: Di Indonesia, buruknya koordinasi antara Dinas Lingkungan Hidup, Kepolisian, dan Kementerian Kehutanan sering kali mengakibatkan kegagalan penanganan kasus lingkungan di lapangan. Penelitian menunjukkan bahwa 70% kegagalan kasus lingkungan di Kalimantan Timur bersumber dari koordinasi yang buruk.
- Korupsi “Kerah Putih”: Jaringan kriminal menggunakan perusahaan cangkang dan pencucian uang yang sangat canggih. Fokus penegakan hukum saat ini sering kali hanya terbatas pada pelaku lapangan (penebang atau pemburu), sementara “aktor intelektual” yang mendanai dan mendapatkan keuntungan terbesar jarang tersentuh hukum.
- Iklim Impunitas: Sanksi hukum yang dijatuhkan sering kali terlalu ringan dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Denda administratif bagi perusahaan pencemar lingkungan dianggap sebagai “biaya operasional” biasa daripada instrumen yang memberikan efek jera.
Biaya Sosial dan Ekologis Korupsi
Korupsi di sektor lingkungan menciptakan kerugian sosial yang jauh melampaui nilai nominal uang yang dikorupsi. Hal ini mencakup hilangnya pendapatan pajak negara, degradasi kesehatan masyarakat akibat polusi, dan hilangnya kesempatan pembangunan bagi masyarakat lokal. Negara sering kali harus menanggung beban biaya pemulihan lingkungan yang hancur akibat praktik pertambangan atau pembalakan liar yang difasilitasi oleh izin korup, sementara keuntungan finansialnya telah dialirkan ke luar negeri melalui skema pencucian uang.
Keadilan Antargenerasi: Warisan Bumi bagi Mereka yang Belum Lahir
Perspektif sentral dari laporan ini adalah bahwa eco-crime merupakan pelanggaran terhadap hak-hak generasi mendatang. Prinsip keadilan antargenerasi menyatakan bahwa setiap generasi memiliki kewajiban untuk menjaga integritas planet sebagai “pemegang amanah” bagi anak-anak mereka. Kejahatan lingkungan secara sistematis menghancurkan modal biologis yang menjadi dasar kehidupan manusia di masa depan.
Prinsip Edith Brown Weiss: Opsi, Kualitas, dan Akses
Dalam hukum lingkungan internasional, pakar Edith Brown Weiss (1989/1993) mengemukakan tiga kewajiban fundamental antargenerasi yang kini dilanggar secara masif oleh aktivitas eco-crime :
- Konservasi Opsi (Conservation of Options): Generasi saat ini dilarang menghancurkan keragaman sumber daya alam secara ireversibel. Pembalakan liar dan perburuan satwa liar yang menyebabkan kepunahan spesies secara permanen merampas opsi generasi masa depan untuk menggunakan sumber daya tersebut demi kemajuan medis, budaya, atau ekonomi mereka.
- Konservasi Kualitas (Conservation of Quality): Generasi mendatang berhak menerima Bumi dalam kondisi yang tidak lebih buruk dari kondisi saat generasi saat ini menerimanya. Pembuangan limbah beracun ke laut dan pencemaran air tanah akibat tambang ilegal merupakan pengkhianatan langsung terhadap prinsip ini.
- Konservasi Akses (Conservation of Access): Setiap generasi harus memastikan bahwa anggota generasinya sendiri dan generasi mendatang memiliki akses yang adil terhadap warisan alam Bumi. Monopoli sumber daya oleh sindikat kriminal dan kerusakan ekosistem lokal menciptakan ketimpangan akses yang kronis.
Hak Konstitusional dan Gugatan Anak Muda
Kesadaran akan keadilan antargenerasi mulai meresap ke dalam sistem peradilan nasional. Di beberapa yurisdiksi, anak-anak di bawah umur telah diakui memiliki “kepentingan hukum” untuk menggugat pemerintah atau korporasi yang dianggap gagal melindungi lingkungan. Di Indonesia, gelombang protes mahasiswa dan pemuda pada tahun 2025 yang menolak revisi undang-undang yang melemahkan perlindungan alam mencerminkan kecemasan generasi Z terhadap masa depan ekologis mereka. Mereka menuntut reforma agraria sejati, penindakan tegas terhadap mafia tanah, dan ratifikasi RUU Keadilan Iklim sebagai upaya untuk mengamankan hak hidup mereka di masa depan.
Pergeseran Paradigma Hukum: Pengakuan Ekosida dan Kebijakan ICC 2025
Menanggapi eskalasi kejahatan lingkungan, komunitas hukum internasional mulai mengadopsi instrumen yang lebih kuat. Pada Desember 2025, International Criminal Court (ICC) melalui Kantor Jaksa Penuntut (OTP) mengeluarkan kebijakan bersejarah yang secara resmi menempatkan kerusakan ekologis di jantung hukum pidana internasional.
Jalur Hukum di Bawah Statuta Roma
Kebijakan baru ini merinci bagaimana kerusakan lingkungan yang parah dapat menjadi dasar penuntutan untuk kejahatan inti yang sudah ada dalam yurisdiksi ICC :
- Genosida: Penghancuran sumber daya alam yang penting bagi kelangsungan hidup kelompok tertentu (seperti perusakan hutan adat atau peracunan sumber air) dapat dikategorikan sebagai tindakan genosida.
- Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Pemindahan paksa populasi melalui perusakan lingkungan secara sengaja atau pengepungan wilayah dengan limbah beracun kini dapat dituntut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Kejahatan Perang: Kebijakan ini mempertegas ambang batas kerusakan lingkungan yang dilarang selama konflik bersenjata, menutup celah bagi impunitas militer terhadap ekosistem.
Upaya untuk menjadikan “ekosida”—penghancuran ekosistem secara luas, parah, atau jangka panjang—sebagai kejahatan mandiri kelima di bawah Statuta Roma terus mendapatkan dukungan dari negara-negara pulau kecil seperti Vanuatu dan kelompok aktivis global. Langkah ini bertujuan untuk menciptakan tanggung jawab pidana pribadi bagi para eksekutif korporasi dan pemimpin politik yang mengambil keputusan sadar yang berujung pada bencana ekologis.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Kejahatan lingkungan adalah bentuk penjarahan terhadap masa depan planet yang memerlukan respon global yang terkoordinasi, tegas, dan berpihak pada keadilan antargenerasi. Kegagalan untuk bertindak hari ini akan memaksa generasi mendatang untuk hidup di Bumi yang tidak stabil secara iklim dan miskin secara biologis.
Langkah-langkah strategis yang harus diambil meliputi:
- Kriminalisasi Ekosida: Negara-negara harus mendukung amandemen Statuta Roma untuk memasukkan ekosida sebagai kejahatan internasional dan mengintegrasikan definisi tersebut ke dalam hukum pidana nasional.
- Transparansi Rantai Pasok dan Finansial: Mewajibkan korporasi untuk melakukan uji tuntas (due diligence) yang ketat terhadap asal-usul bahan baku mereka, terutama kayu dan mineral, serta memperkuat intelijen finansial untuk melacak pencucian uang dari kejahatan lingkungan.
- Penguatan Kapasitas Penegakan Hukum Lintas Batas: Meningkatkan kerjasama melalui INTERPOL dan WCO, serta memberikan pelatihan khusus bagi jaksa dan hakim mengenai kompleksitas kejahatan lingkungan dan perhitungan kerugian ekologis.
- Perlindungan Pejuang Lingkungan: Membentuk mekanisme perlindungan hukum bagi aktivis lingkungan dan masyarakat adat dari kriminalisasi dan intimidasi (Anti-SLAPP) guna memastikan partisipasi publik dalam pengawasan alam tetap terjaga.
Menyelamatkan masa depan planet bukan lagi sekadar pilihan etis, melainkan kewajiban hukum internasional yang mendesak. Kejahatan terhadap lingkungan adalah pengkhianatan terhadap kehidupan itu sendiri, dan saatnya dunia menyatakan bahwa menjarah masa depan tidak lagi dapat diterima.
