Krisis ekologi yang bermanifestasi dalam bentuk banjir tahunan di pusat-pusat urban Indonesia seperti Jakarta dan Medan bukan sekadar anomali iklim, melainkan hasil dari dialektika politik tata ruang yang menempatkan akumulasi modal di atas daya dukung lingkungan. Fenomena pembangunan pusat perbelanjaan (mal) berskala raksasa dan kawasan perumahan mewah di atas daerah resapan air mencerminkan bagaimana instrumen hukum dan birokrasi sering kali disubordinasikan oleh kepentingan pengembang properti melalui mekanisme perizinan yang semakin permisif. Transformasi regulasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UUCK) telah mengubah fundamen perizinan dari berbasis izin (license-based) menjadi berbasis risiko (risk-based), yang dalam praktiknya memicu ketegangan antara ambisi percepatan investasi dan urgensi pelestarian ekosistem.

Genealogi Krisis: Transformasi Regulasi dari UU Penataan Ruang ke Rezim Cipta Kerja

Sejarah penataan ruang di Indonesia bermula dari semangat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsip ini diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menetapkan kerangka kerja untuk mewujudkan ruang yang aman, produktif, dan berkelanjutan. Namun, dalam satu dekade terakhir, kerangka hukum ini mengalami tekanan hebat seiring dengan perubahan paradigma pemerintahan yang berfokus pada kemudahan berusaha (Ease of Doing Business).

Munculnya UUCK (UU No. 11/2020 yang kemudian ditetapkan kembali melalui UU No. 6/2023) menandai pergeseran paradigma yang radikal.1 Rezim baru ini memangkas berbagai birokrasi perizinan yang dianggap menghambat investasi, termasuk penyederhanaan instrumen lingkungan seperti AMDAL dan integrasi berbagai izin lokasi ke dalam satu mekanisme Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). Bagi para aktivis lingkungan, perubahan ini dipandang sebagai pelemahan sistemik terhadap instrumen perlindungan alam demi memfasilitasi ekspansi industri ekstraktif dan properti berskala besar.

Paradigma Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR)

Dalam sistem terbaru yang diatur melalui PP Nomor 28 Tahun 2025, setiap kegiatan usaha diklasifikasikan berdasarkan tingkat risikonya terhadap kesehatan, keselamatan, dan lingkungan hidup. Proyek properti komersial besar seperti mal atau hunian elit umumnya masuk dalam kategori risiko menengah tinggi atau tinggi, yang mensyaratkan Persetujuan Lingkungan (AMDAL) dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Namun, klasifikasi ini sering kali dikritik karena penentuan tingkat risiko dilakukan secara administratif di tingkat pusat, yang mungkin tidak menangkap kompleksitas ekologis di tingkat lokal.

Kategori Risiko Persyaratan Dasar Instrumen Lingkungan Mekanisme Perizinan
Rendah NIB SPPL Otomatis via OSS
Menengah Rendah NIB + Sertifikat Standar SPPL Pernyataan Mandiri
Menengah Tinggi NIB + Sertifikat Standar UKL-UPL Verifikasi Pemerintah
Tinggi NIB + Izin AMDAL Persetujuan Teknis & Verifikasi

Arsitektur Kekuasaan: Siapa yang Memberi Izin?

Salah satu pertanyaan krusial dalam politik tata ruang adalah mengenai otoritas pemberi izin. Pasca-UUCK, terjadi sentralisasi kewenangan yang signifikan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Meskipun secara operasional Bupati atau Walikota masih memiliki peran, namun kendali atas norma, standar, dan sistem perizinan sepenuhnya berada di tangan kementerian terkait di Jakarta.

Peran Pemerintah Pusat dan Sistem OSS

Pemerintah Pusat, melalui kementerian yang menyelenggarakan urusan investasi (BKPM/Kementerian Investasi) dan urusan tata ruang (Kementerian ATR/BPN), mengelola Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS). Dalam ekosistem ini, KKPR menjadi syarat mutlak pertama yang harus dipenuhi oleh pengembang. Jika suatu lokasi telah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang terintegrasi, KKPR dapat terbit secara otomatis dalam bentuk Konfirmasi KKPR.

Namun, bagi daerah yang belum memiliki RDTR—yang mencakup sebagian besar wilayah Indonesia—penerbitan izin dilakukan melalui skema Persetujuan KKPR yang melibatkan penilaian dokumen oleh dinas teknis di daerah. Di sinilah letak titik krusial: jika pemerintah daerah lambat dalam memberikan penilaian, mekanisme “Fiktif Positif” akan mengambil alih.

Mekanisme Fiktif Positif: Kecepatan di Atas Keselamatan

Logika fiktif positif dalam PP Nomor 28 Tahun 2025 menetapkan bahwa jika permohonan Persetujuan KKPR tidak dijawab oleh otoritas berwenang dalam waktu 20 hari, maka permohonan tersebut secara hukum dianggap disetujui. Hal yang sama berlaku untuk PBG dengan batas waktu 32 hari. Mekanisme ini dirancang untuk mencegah kemacetan birokrasi, namun dalam realitas ekologis, hal ini menjadi bencana.

Audit yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN pada tahun 2025 menemukan data yang mengejutkan: sekitar 83% dari KKPR yang terbit melalui mekanisme otomatis (SLA/Fiktif Positif) ditemukan tidak patuh atau melanggar peruntukan tata ruang yang seharusnya. Hal ini membuktikan bahwa pengembang mal dan perumahan mewah sering kali mendapatkan legalitas bukan karena proyek mereka aman bagi lingkungan, melainkan karena kegagalan administratif pemerintah dalam melakukan verifikasi tepat waktu.

Politik “Pemutihan”: Revisi RTRW sebagai Instrumen Legalisasi

Ketika pembangunan properti telah terlanjur dilakukan di daerah resapan air atau kawasan lindung, pengembang tidak serta-merta dikenakan sanksi bongkar. Dalam banyak kasus, politik tata ruang menggunakan instrumen “Revisi RTRW” untuk melegalkan pelanggaran tersebut. Modus ini dikenal sebagai pemutihan, di mana peta tata ruang diubah agar sesuai dengan kondisi eksisting pembangunan yang melanggar.

Laporan dari berbagai wilayah menunjukkan bahwa revisi RTRW sering kali didorong oleh lobi pengembang besar yang menjanjikan peningkatan investasi dan PAD. Di Kabupaten Bulungan, misalnya, revisi RTRW dilakukan untuk meningkatkan alokasi kawasan industri secara drastis, yang sering kali mengabaikan hak kelola masyarakat lokal dan daya dukung lingkungan.Pemerintah daerah sering kali terjebak dalam dilema: menegakkan aturan dan kehilangan investasi, atau mengubah aturan untuk mengakomodasi pelanggaran demi pertumbuhan ekonomi.

Lokasi / Kasus Modus Pelanggaran Instrumen Legalisasi Dampak Ekologi
Jabodetabek 796 titik pelanggaran Usulan Revisi RDTR/RTRW Banjir meningkat di hilir
Bengkulu Alih fungsi DAS & Sempadan Penyesuaian RTRW Banjir bandang tahunan
Sumatera (Umum) Sawit di Kawasan Hutan Pasal 110A/110B UUCK Deforestasi & Konflik Air
Kalimantan Utara Ekspansi Kawasan Industri Revisi RTRW 2021-2041 Penggusuran & Krisis Air

Kompensasi dan Kewajiban Pengembang: Antara Simbolis dan Substansi

Pemerintah menetapkan berbagai kewajiban bagi pengembang properti sebagai bentuk kompensasi atas dampak lingkungan yang ditimbulkan. Namun, dalam banyak kasus, kewajiban ini hanya dipenuhi secara administratif namun gagal secara fungsional.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30 Persen

Berdasarkan Perpres Nomor 60 Tahun 2020 dan berbagai regulasi turunannya, setiap pengembang wajib menyediakan RTH sebesar 30% dari total luas lahan pengembangan. RTH ini diharapkan berfungsi sebagai daerah resapan air primer guna meminimalisir limpasan air hujan ke drainase kota. Namun, di kota-kota besar, pengembang sering kali memanipulasi perhitungan RTH dengan memasukkan area perkerasan yang menggunakan paving block berpori sebagai RTH, padahal daya serapnya jauh di bawah tanah alami.

Rekayasa Teknologi Resapan: Sumur dan Kolam Retensi

Selain RTH, pengembang diwajibkan membangun sumur resapan dan kolam retensi. Di Kabupaten Sragen, misalnya, setiap pengembang perumahan dengan luas minimal 55 m2 diwajibkan membangun satu sumur resapan dengan kapasitas minimal 1 m3. Persyaratan teknis ini mencakup penggunaan dinding beton berpori, pengisian material lepas seperti kerikil, dan pembuatan kolam pengendapan sedimen agar sumur tidak cepat mampet.

Namun, di Jakarta, efektivitas sumur resapan ini menjadi perdebatan politik yang sengit. Kritikan dari DPRD DKI Jakarta menunjukkan bahwa program sumur resapan senilai ratusan miliar sering kali tidak efektif karena lokasi penempatannya yang asal-asalan—seperti di atas aspal jalan—yang justru merusak infrastruktur jalan tanpa memberikan dampak signifikan terhadap penurunan genangan.

Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU)

Pengembang juga diwajibkan menyerahkan PSU (seperti jaringan drainase dan taman) kepada pemerintah daerah untuk dikelola lebih lanjut.1 Masalah muncul ketika pengembang membangun sistem drainase yang hanya “membuang air” keluar dari komplek mereka tanpa mempertimbangkan kapasitas saluran pembuangan utama kota.25 Akibatnya, perumahan mewah tetap kering, sementara kampung-kampung di sekitarnya tenggelam karena debit air kiriman dari komplek tersebut.

Studi Kasus Jakarta: Malapetaka di Wilayah Serapan

Jakarta adalah contoh paling nyata dari kegagalan tata kota akibat alih fungsi lahan resapan air secara masif. Wilayah Jakarta Selatan dan Timur, yang secara alami diposisikan sebagai daerah resapan, kini dipenuhi oleh mal dan perumahan elit.33 Penemuan 796 titik pelanggaran tata ruang di Jabodetabek-Punjur oleh Kementerian ATR/BPN pada Maret 2025 menegaskan bahwa krisis banjir di ibu kota adalah krisis buatan manusia (human-made disaster).

Kegagalan Mitigasi dan Korupsi Lahan

Banjir besar yang melanda Jabodetabek pada Maret 2025 menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp1,7 triliun. Di tengah krisis ini, publik disuguhkan dengan fakta pahit mengenai korupsi pengadaan lahan perumahan di Rorotan, Jakarta Timur. Kasus ini melibatkan Direktur Utama BUMD Sarana Jaya dan pimpinan PT Totalindo Eka Persada, yang diduga melakukan manipulasi harga dan peruntukan lahan. Praktik korupsi ini menjelaskan mengapa proyek properti sering kali mendapatkan izin meskipun berdiri di atas lahan yang secara ekologis seharusnya dilindungi sebagai daerah tangkapan air.

Dampak Pelanggaran Tata Ruang Jakarta Statistik / Data Konsekuensi Ekologi
Kerugian Ekonomi Banjir 2025 Rp1,7 Triliun Penurunan produktivitas & biaya pemulihan
Titik Pelanggaran Tata Ruang 796 Lokasi Terganggunya siklus hidrologi mikro
Capaian RTH Jakarta < 10% (Aktif) Peningkatan suhu kota & genangan
Kriminalisasi Aktivis (Sumatera) 827 warga Pelemahan kontrol sosial lingkungan

Studi Kasus Medan: Hegemoni Mal dan Perumahan Elit

Di Kota Medan, pembangunan properti skala besar seperti Mal Deli Park dan berbagai komplek perumahan mewah di Medan Sunggal serta Medan Tuntungan telah mengubah drastis lanskap hidrologi kota. Medan Tuntungan, yang merupakan wilayah peri-urban, mengalami alih fungsi lahan vegetasi menjadi perumahan secara besar-besaran, yang secara langsung mengurangi luas area resapan air.

Dampak terhadap Drainase dan Warga Sekitar

Pembangunan mal dan gedung perkantoran di kawasan hilir Medan telah menyebabkan permukaan tanah tertutup beton dan aspal, sehingga air hujan tidak dapat meresap dan langsung membebani drainase kota yang kapasitasnya terbatas. Laporan warga di Kelurahan Aur menunjukkan bahwa banjir kiriman dari hulu semakin parah karena rusaknya hutan di Kabupaten Karo dan Deli Serdang, ditambah dengan hilangnya pepohonan di kota akibat program pembangunan.

Banjir yang melanda kawasan Jalan Meteorologi hingga Tembung pada Desember 2025 sering kali dikaitkan dengan pembangunan perumahan mewah Ciputra Group yang dianggap tidak menyediakan sistem drainase yang memadai bagi lingkungan sekitarnya. Warga mengeluhkan bahwa pembangunan komplek elit tersebut telah menutup jalur aliran air alami, sehingga ketika hujan turun, air meluap ke pemukiman masyarakat menengah ke bawah.

Kontroversi Legalitas dan Sengketa Lahan

Sengketa lahan juga mewarnai pembangunan properti di Medan. Di Jalan Tapian Nauli, pembangunan perumahan didesak berhenti oleh ahli waris karena adanya dugaan penerbitan SHGB ganda oleh BPN di atas lahan yang status hukumnya masih dalam sengketa. Ketidakpastian hukum ini sering kali dimanfaatkan oleh pengembang besar untuk terus membangun, sementara pengawasan dari pemerintah daerah sering kali lemah atau kalah oleh lobi-lobi politik.

Sanksi dan Penegakan Hukum: Mengapa Denda Tidak Efektif?

PP Nomor 28 Tahun 2025 memperkenalkan skema denda administratif bagi pelanggar tata ruang dengan besaran maksimal 1% dari nilai investasi. Bagi proyek mal senilai triliunan rupiah, denda 1% dipandang sebagai “biaya bisnis” (cost of doing business) yang jauh lebih murah dibandingkan potensi keuntungan yang didapat dari memaksimalkan luas bangunan dengan mengorbankan RTH atau resapan air.

Struktur Sanksi Administratif Berjenjang

Meskipun terdapat sanksi yang lebih berat seperti pencabutan KKPR atau pembongkaran, namun dalam praktiknya sanksi ini sangat jarang diterapkan kepada pengembang besar. Prosedur pengenaan sanksi biasanya dimulai dengan peringatan tertulis sebanyak tiga kali, yang memberikan banyak waktu bagi pengembang untuk mencari celah hukum atau melakukan lobi revisi RTRW.

Jenis Pelanggaran Sanksi Utama Mekanisme Eksekusi
Membangun Tanpa KKPR Denda + Penghentian Sementara Penyegelan oleh Satpol PP
Melanggar Koefisien Resapan Denda + Paksaan Pemerintah Pembuatan sumur resapan tambahan
Menutup Akses Umum/Evakuasi Pembongkaran / Pencabutan Izin Daya paksa polisional
Pemalsuan Data Perizinan Pencabutan Izin + Pidana Sistem OSS & Aparat Penegak Hukum

Ketentuan dalam Pasal 541 PP 28/2025 menyatakan bahwa sanksi dapat diterapkan secara kumulatif. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada keberanian Pejabat Pengawas Pemerintah Daerah. Di banyak daerah, dinas teknis mengeluhkan minimnya anggaran dan personel untuk melakukan audit lapangan terhadap ratusan proyek yang masuk melalui OSS setiap bulannya.

Implikasi Ketidakadilan Ekologi dan Sosial

Politik tata ruang yang mengabaikan daerah resapan air menciptakan apa yang disebut WALHI sebagai “Krisis Ekologis Struktural”. Ketidakadilan terjadi ketika keuntungan pembangunan dinikmati oleh segelintir investor, sementara risiko bencana (eksternalitas negatif) dibebankan kepada masyarakat luas dan anggaran negara.

Kerugian Masyarakat Kecil

Masyarakat yang tinggal di pemukiman padat atau bantaran sungai menjadi pihak yang paling terdampak. Ketika resapan air hilang, debit air di sungai meningkat drastis (banjir kiriman), yang sering kali menghancurkan rumah-rumah semi-permanen. Dampak ini tidak hanya bersifat materiil, tetapi juga kesehatan, di mana pascabanjir terjadi peningkatan kasus infeksi kulit dan penyakit saluran pencernaan akibat rusaknya pasokan air bersih.

Kriminalisasi dan Pembungkaman Suara Kritis

Di berbagai wilayah, perjuangan warga untuk mempertahankan daerah resapan air atau kawasan hutan dari ekspansi properti dan industri sering kali dijawab dengan kriminalisasi. Data WALHI menunjukkan 827 warga mengalami kekerasan dan kriminalisasi sepanjang periode transisi rezim UUCK, dengan sektor konflik kawasan hutan menjadi yang paling dominan. Hal ini menunjukkan bahwa politik tata ruang bukan sekadar masalah teknis pemetaan, melainkan arena perebutan kuasa yang timpang.

Menuju Reformasi Tata Ruang yang Berkeadilan

Untuk mengatasi kegagalan sistemik ini, diperlukan langkah-langkah dekonstruksi terhadap rezim perizinan yang hanya mementingkan kecepatan investasi. Beberapa rekomendasi strategis meliputi:

  1. Moratorium Izin Otomatis di Kawasan Rawan Bencana: Pemerintah harus menangguhkan mekanisme fiktif positif untuk wilayah-wilayah yang secara geografis merupakan daerah resapan air atau rawan banjir hingga verifikasi lapangan dilakukan secara manual.
  2. Audit Independen terhadap KKPR dan PBG: Melakukan peninjauan kembali terhadap semua izin yang telah terbit melalui mekanisme SLA, terutama bagi proyek properti besar yang memiliki dampak lingkungan signifikan.
  3. Peningkatan Transparansi Data Spasial: Membuka akses peta RDTR dan KKPR kepada publik agar masyarakat dapat melakukan pengawasan mandiri terhadap pembangunan yang melanggar zona hijau.
  4. Reformasi Sanksi: Mengubah skema denda dari persentase investasi menjadi nilai kerugian ekologi yang dihitung berdasarkan biaya pemulihan lingkungan dan kerugian ekonomi warga terdampak.
  5. Akselerasi RDTR Berkualitas: Pemerintah daerah harus didorong untuk segera menyelesaikan RDTR yang berbasis kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang mendalam, bukan sekadar peta formalitas untuk menarik investasi.

Kesimpulan

Banjir yang menenggelamkan Jakarta dan Medan adalah monumen kegagalan dari politik tata ruang yang terlalu condong pada kepentingan kapital. Mekanisme perizinan melalui UUCK dan PP Nomor 28 Tahun 2025, meskipun menawarkan efisiensi, telah menciptakan celah lebar bagi pengabaian daerah resapan air melalui logika fiktif positif dan penyederhanaan AMDAL. Siapa yang memberi izin? Secara administratif adalah otoritas pusat dan daerah melalui sistem OSS, namun secara substantif, izin tersebut sering kali lahir dari kekosongan pengawasan dan tekanan ekonomi. Kompensasi berupa RTH dan sumur resapan tetap menjadi janji manis di atas kertas selama pengawasan di lapangan tidak diperkuat dan sanksi denda 1% tetap dianggap lebih murah daripada kepatuhan. Penataan ruang harus dikembalikan sebagai instrumen perlindungan publik, bukan sekadar alat legalisasi bagi penghancuran daya dukung lingkungan perkotaan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 65 = 72
Powered by MathCaptcha