Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) menandai fajar baru dalam sistem desentralisasi fiskal di Indonesia. Transformasi ini bukan sekadar pergantian nomenklatur regulasi dari UU Nomor 28 Tahun 2009, melainkan sebuah rekayasa ulang fundamental terhadap cara daerah mengelola sumber daya keuangannya untuk mencapai kemandirian fiskal. Namun, di balik ambisi besar untuk memperkuat local taxing power, muncul ketegangan antara target peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan daya dukung ekonomi masyarakat, terutama pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta warga kelas menengah ke bawah yang menjadi motor utama konsumsi domestik.

Polemik yang berkembang di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Jakarta dan Medan menunjukkan bahwa instrumen pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta retribusi jasa umum seperti tarif parkir telah menjadi titik singgung yang sensitif. Kenaikan tarif yang dilakukan secara agresif tanpa mitigasi sosial yang memadai berisiko menciptakan efek crowding-out terhadap pengeluaran rumah tangga dan investasi skala mikro. Melalui analisis mendalam terhadap struktur UU HKPD, kebijakan spesifik daerah, dan dampaknya terhadap sektor informal, laporan ini membedah bagaimana dinamika fiskal daerah berinteraksi dengan realitas sosial-ekonomi di tingkat akar rumput.

Transformasi Regulasi dan Filosofi Local Taxing Power dalam UU HKPD

UU HKPD didesain untuk mengatasi empat isu krusial dalam hubungan keuangan pusat-daerah: ketimpangan vertikal dan horizontal, gap pelayanan publik antar-daerah, ketergantungan tinggi pada dana transfer, serta kualitas belanja daerah yang belum optimal. Dengan merancang ulang pengelolaan Transfer Ke Daerah (TKD) dan memberikan kewenangan pemungutan pajak yang lebih tajam, pemerintah pusat berharap daerah dapat lebih lincah dalam membiayai kebutuhan pembangunannya sendiri.

Salah satu pilar utama UU HKPD adalah simplifikasi jenis pajak daerah melalui klasifikasi ulang. Sebagai contoh, penggabungan lima jenis pajak berbasis konsumsi—hotel, restoran, hiburan, parkir, dan penerangan jalan—menjadi satu jenis pajak tunggal yang disebut Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) bertujuan untuk mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak. Namun, di balik penyederhanaan ini, terdapat perluasan objek pajak yang mencakup area-area yang sebelumnya mungkin belum tergarap secara maksimal, seperti parkir di objek wisata dan persewaan sarana olahraga.

Dimensi Perubahan UU No. 28 Tahun 2009 UU No. 1 Tahun 2022 (HKPD) Signifikansi bagi Daerah
Struktur Pajak 16 Jenis Pajak 14 Jenis Pajak (melalui integrasi) Efisiensi biaya kepatuhan dan administrasi
Pajak Konsumsi Tersebar (5 Jenis Pajak) Terintegrasi dalam PBJT Harmonisasi tarif atas konsumsi barang/jasa
Opsen Pajak Tidak ada sistem opsen formal Opsen PKB dan BBNKB untuk Kab/Kota Penguatan porsi PAD bagi pemerintah tingkat II
Skema Retribusi 30 Jenis Retribusi 18 Jenis Retribusi Fokus pada layanan yang benar-benar memberikan manfaat

Filosofi local taxing power yang diusung oleh UU HKPD menuntut daerah untuk tidak hanya sekadar memungut pajak, tetapi juga harus bertanggung jawab atas kualitas pelayanan publik yang dihasilkan dari pungutan tersebut. Penguatan ini dilakukan melalui penetapan tarif pajak daerah yang bersifat close-list, namun dengan fleksibilitas bagi daerah untuk menetapkan besaran dalam koridor batas atas yang diatur secara nasional. Hal ini menciptakan tantangan bagi pemerintah daerah untuk menyeimbangkan kebutuhan anggaran dengan kemampuan ekonomi warga, terutama ketika inflasi dan biaya hidup mulai menekan daya beli.

Dinamika Pajak Bumi dan Bangunan: Beban Properti di Tengah Gentrifikasi

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan salah satu instrumen PAD yang paling stabil namun juga paling kontroversial bagi warga perkotaan. Di Jakarta, sebagai kota dengan nilai tanah tertinggi di Indonesia, PBB-P2 seringkali menjadi beban yang tidak terhindarkan bagi masyarakat kelas menengah. Fenomena ini semakin kompleks dengan adanya pembaruan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) secara periodik yang bertujuan mengikuti harga pasar.

Pada tahun 2025, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 281 Tahun 2025 yang mencoba menyeimbangkan kebutuhan fiskal dengan perlindungan sosial melalui berbagai skema insentif. Kebijakan ini mencakup pembebasan 100% PBB-P2 bagi rumah tapak dengan NJOP hingga Rp2 miliar dan rumah susun dengan NJOP hingga Rp650 juta. Langkah ini secara eksplisit ditujukan untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah bawah agar beban pajak properti tidak menggerus kebutuhan dasar mereka.

Fenomena Asset Rich, Cash Poor dan Tekanan pada Kelas Menengah

Namun, tantangan berat justru dirasakan oleh kelompok masyarakat yang masuk dalam kategori asset rich, cash poor. Kelompok ini biasanya terdiri dari pensiunan atau keluarga yang telah tinggal selama puluhan tahun di kawasan yang mengalami gentrifikasi atau perkembangan komersial pesat, seperti Menteng, Kebayoran Baru, atau Lebak Bulus. Meskipun secara kertas mereka memiliki aset bernilai miliaran rupiah karena kenaikan NJOP, aliran kas harian mereka tidak sebanding dengan pajak yang harus dibayar.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencoba memitigasi risiko ini dengan menetapkan batas maksimal kenaikan PBB sebesar 50% dari tahun sebelumnya bagi mereka yang tidak memenuhi kriteria pembebasan penuh. Kebijakan ini penting untuk mencegah disrupsi arus kas rumah tangga yang mendadak. Meski demikian, bagi warga kelas menengah, kenaikan 50% tetap merupakan angka yang signifikan di tengah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% secara nasional di tahun yang sama.

Kategori Properti Jakarta 2025 NJOP / Kriteria Skema Pajak / Insentif Dampak pada Wajib Pajak
Hunian Sederhana/Mengah < Rp2 Miliar (Tapak) / < Rp650 Juta (Rusun) Pembebasan Pokok 100% Bebas pajak untuk 1 objek tertinggi
Hunian Menengah Atas > Rp2 Miliar (Wajib Pajak Orang Pribadi) Diskon Otomatis 50% Pengurangan beban untuk menjaga daya beli
Kenaikan NJOP Ekstrem Lonjakan > 50% dari PBB 2024 Cap kenaikan maksimal 50% Mitigasi “shock” fiskal tahunan
Pembayar Tepat Waktu Pembayaran April – Mei 2025 Keringanan tambahan 10% Insentif kepatuhan sukarela

Analisis terhadap data realisasi pajak di Jakarta hingga Juli 2025 menunjukkan bahwa PBB-P2 tetap menjadi penyumbang terbesar dengan nilai mencapai Rp9 triliun. Keberhasilan pengumpulan dana ini di satu sisi menunjukkan efektivitas administrasi, namun di sisi lain memerlukan transparansi dalam penyalurannya. Jika masyarakat kelas menengah merasa bahwa pajak yang mereka bayarkan tidak berkorelasi dengan perbaikan kualitas hidup—seperti pengurangan kemacetan atau peningkatan keamanan lingkungan—maka resistensi terhadap pajak properti akan terus meningkat.

Polemik Retribusi Parkir: Modernisasi vs Realitas Sosial Ekonomi

Jika PBB menyerang aset jangka panjang, retribusi parkir menyerang mobilitas harian dan biaya operasional bisnis. Kebijakan parkir di kota besar seperti Medan dan Jakarta menjadi medan pertempuran antara ambisi digitalisasi birokrasi dan ketergantungan masyarakat pada sektor informal. Di Kota Medan, implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menetapkan kenaikan tarif parkir konvensional menjadi Rp3.000 untuk roda dua dan Rp5.000 untuk roda empat.

Kebijakan ini diikuti oleh peluncuran program parkir berlangganan pada Juli 2024, di mana warga dapat membayar biaya parkir setahun penuh untuk mendapatkan stiker barcode. Tujuannya mulia: menghapus praktik pungutan liar, meningkatkan transparansi, dan memberikan kenyamanan bagi pengguna kendaraan. Namun, dalam praktiknya, program ini menghadapi badai penolakan dan kegagalan implementasi yang berujung pada penghentian kebijakan barcode pada Agustus 2025.

Kegagalan Digitalisasi Tanpa Mitigasi Sosial

Kegagalan sistem parkir berlangganan di Medan menjadi studi kasus penting mengenai bagaimana kebijakan fiskal daerah dapat menjadi bumerang jika tidak mempertimbangkan ekosistem sosial di lapangan. Terdapat tiga masalah utama yang memicu polemik ini:

  1. Friksi Sosial antara Jukir dan Warga: Munculnya konflik verbal hingga fisik antara juru parkir (jukir) tradisional dengan warga yang sudah memiliki stiker berlangganan. Jukir merasa pendapatan harian mereka terancam, sementara warga merasa berhak parkir gratis karena sudah membayar iuran tahunan.
  2. Kesenjangan Keterampilan (Digital Divide): Banyak jukir tradisional yang tidak memiliki keterampilan teknologi untuk mengoperasikan sistem pemindaian barcode, sehingga mereka merasa terpinggirkan dari sistem baru tersebut.
  3. Infrastruktur yang Tidak Memadai: Kurangnya rambu-rambu yang jelas dan marka jalan yang tertata membuat sistem berlangganan sulit diterapkan secara konsisten, sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi pengguna jasa.

Dampaknya sangat terasa bagi kelompok marginal. Juru parkir di Medan melaporkan penurunan pendapatan hingga lebih dari 50%, yang membuat mereka sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di sisi lain, pemerintah daerah dituntut untuk tetap mengejar target retribusi yang telah ditetapkan dalam APBD, sehingga terjadi tekanan ganda pada struktur birokrasi di tingkat bawah.

Beban Kumulatif pada UMKM dan Sektor Transportasi Daring

UMKM di Indonesia, yang berjumlah sekitar 64,2 juta unit dan berkontribusi lebih dari 61% terhadap PDB, berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap kenaikan pajak dan retribusi daerah. Meskipun pemerintah pusat memberikan insentif berupa PPh Final 0,5% bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar, manfaat ini seringkali “terhapus” oleh kenaikan berbagai pungutan di tingkat lokal.

Di Surakarta, penelitian menunjukkan bahwa rencana kenaikan pajak hiburan hingga kendaraan bermotor berdampak negatif pada pedagang pasar dan pelaku usaha kecil. Kenaikan pajak dan retribusi daerah biasanya memicu kenaikan harga bahan pokok dan biaya logistik, namun UMKM seringkali tidak memiliki kekuatan pasar untuk menaikkan harga jual produk mereka tanpa kehilangan pelanggan. Akibatnya, pelaku UMKM harus menanggung beban tersebut dengan mengurangi margin keuntungan mereka yang sudah tipis.

Sektor Ojek Online dan Dilema Biaya Parkir

Sektor transportasi daring (ojol) dan kurir logistik menjadi kelompok yang paling vokal dalam memprotes kenaikan tarif parkir. Dengan sistem kerja yang menuntut mobilitas tinggi—masuk dan keluar area komersial atau pemukiman berkali-kali dalam sehari—kenaikan retribusi parkir harian secara kumulatif dapat memakan porsi besar dari pendapatan bersih mereka.

Pada September 2025, muncul usulan dari elemen legislatif di Medan untuk memberikan tarif parkir gratis bagi pengemudi ojol sebagai bentuk dukungan sosial. Hal ini didorong oleh realitas bahwa margin keuntungan pengemudi ojol semakin tertekan oleh potongan aplikasi yang tinggi (hingga 20%) dan biaya operasional kendaraan yang meningkat akibat pajak bahan bakar dan perawatan.

Komponen Biaya Ojol Status Saat Ini Dampak Kenaikan Retribusi/Pajak
Potongan Aplikasi ~20% (Tuntutan penurunan ke 10%) Mengurangi pendapatan dasar sebelum biaya operasional
Parkir Harian Akumulasi Rp10rb – Rp25rb/hari Menjadi beban tetap harian yang sulit dihindari
Pajak Kendaraan (PKB) Progresif 2% – 6% di Jakarta Menambah biaya kepemilikan aset produktif
PPN 12% (2025) Tarif Nasional Meningkatkan harga suku cadang dan kebutuhan hidup

Ketidakpastian regulasi parkir dan pajak kendaraan bermotor menciptakan keresahan kolektif yang berujung pada aksi unjuk rasa besar-besaran oleh ribuan pengemudi online dan kurir di berbagai kota pada November 2025. Tuntutan mereka jelas: adanya perlindungan tarif dan regulasi yang tidak hanya mementingkan peningkatan PAD, tetapi juga mempertimbangkan kelangsungan hidup pekerja sektor informal.

Analisis Ekonomi: Korelasi Pajak Daerah dan Daya Beli Masyarakat

Dari perspektif makroekonomi, kebijakan pajak daerah memiliki elastisitas yang kuat terhadap konsumsi rumah tangga. Pajak daerah seperti PBJT pada makanan dan minuman serta PBB pada hunian secara langsung mengurangi pendapatan disposabel (disposable income) warga kelas menengah. Penurunan pendapatan disposabel ini akan diikuti oleh penurunan konsumsi di sektor lain, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi daerah.

Kenaikan tarif pajak daerah seringkali dibenarkan dengan alasan untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN. Namun, Kadin Indonesia mengingatkan bahwa peningkatan rasio pajak tidak boleh dilakukan secara “ugal-ugalan” dengan membebani sektor yang sudah formal, melainkan harus melalui ekstensifikasi atau menjangkau sektor informal yang selama ini belum terdeteksi sistem pajak.

Model Transmisi Beban Pajak ke Konsumen

Transmisi beban pajak dari pemerintah ke warga dapat dianalisis melalui fungsi konsumsi sederhana:

Di mana  adalah konsumsi,  adalah konsumsi otonom,  adalah kecenderungan mengonsumsi marjinal,  adalah pendapatan total, dan  adalah pajak. Ketika  meningkat akibat kenaikan PBB, tarif parkir, dan PBJT, maka  akan mengecil, sehingga secara matematis konsumsi rumah tangga () akan turun. Bagi warga kelas menengah ke bawah yang memiliki  tinggi (sebagian besar pendapatan digunakan untuk konsumsi), kenaikan  sekecil apa pun akan berdampak sistemik pada kesejahteraan mereka.

Selain itu, tantangan fiskal 2025 akan semakin berat dengan rencana pemberlakuan PPN 12%. Sinergi kebijakan antara pusat dan daerah menjadi krusial. Jika daerah tidak memberikan insentif pajak (seperti yang dilakukan Jakarta dengan PBB-nya), maka warga akan menghadapi tekanan ganda dari pajak pusat dan daerah secara bersamaan, yang berisiko memicu stagflasi di tingkat lokal.

Kualitas Pelayanan Publik sebagai Kontrak Sosial

Penerimaan pajak dan retribusi pada hakikatnya adalah bentuk kontrak sosial antara warga dan pemerintah daerah. Warga bersedia membayar pajak dengan harapan mendapatkan pelayanan publik yang sebanding. Namun, gap antara perolehan PAD dan kualitas layanan masih menjadi keluhan utama. Di Jakarta, meskipun realisasi pajak sangat kuat, masalah seperti kemacetan ekstrim masih menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota dengan lalu lintas terburuk di dunia.

Hal ini memicu perdebatan mengenai apakah kenaikan tarif (seperti rencana tarif parkir Rp30.000 per jam) benar-benar ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat agar beralih ke transportasi umum, atau sekadar cara untuk menambal defisit anggaran. Data menunjukkan bahwa subsidi untuk transportasi publik seperti Transjakarta tetap menjadi prioritas, namun jangkauan dan integrasi layanan masih perlu diperluas agar sebanding dengan beban pajak yang dipungut.

Di Kota Medan, nilai Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang mencapai 89,96 pada kuartal III tahun 2025 memberikan gambaran bahwa secara administratif pelayanan sudah membaik. Namun, survei tersebut juga mencatat bahwa mekanisme umpan balik dan penanganan pengaduan masih perlu diperkuat. Hal ini mengindikasikan bahwa kepuasan warga tidak hanya diukur dari kecepatan layanan di kantor pemerintahan, tetapi juga dari keadilan kebijakan yang mereka rasakan dalam interaksi harian di jalan raya atau pasar tradisional.

Proyeksi dan Rekomendasi Kebijakan Fiskal Inklusif

Menyongsong tahun anggaran 2025 dan seterusnya, pemerintah daerah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi warga. Modernisasi administrasi pajak melalui digitalisasi (seperti Coretax atau integrasi NIK) harus dilanjutkan untuk meningkatkan efisiensi, namun tidak boleh melupakan aspek perlindungan sosial bagi mereka yang terdampak oleh transisi tersebut.

Kebijakan insentif pajak, seperti yang diterapkan dalam Keputusan Gubernur Jakarta Nomor 281 Tahun 2025, patut dicontoh oleh daerah lain untuk melindungi aset hunian warga kelas menengah bawah. Namun, insentif tersebut harus disertai dengan transparansi data yang kuat agar tidak terjadi salah sasaran. Validasi NIK pada sistem pajak online menjadi kunci untuk memastikan bahwa hanya warga yang benar-benar berhak yang mendapatkan pembebasan atau pengurangan pajak.

Strategi Mitigasi Fiskal Langkah Operasional Output yang Diharapkan
Ekstensifikasi Basis Pajak Menjangkau sektor ekonomi digital dan baru Peningkatan PAD tanpa menambah beban wajib pajak lama
Klasifikasi Retribusi Progresif Tarif parkir/jasa umum berdasarkan zonasi & kemampuan Keadilan biaya bagi pengguna layanan di berbagai strata
Harmonisasi Pusat-Daerah Sinkronisasi jadwal kenaikan tarif pajak pusat & daerah Menghindari tumpukan beban fiskal pada tahun yang sama
Transparansi Tax Expenditure Laporan publik mengenai nilai insentif yang diberikan Akuntabilitas dan edukasi pentingnya pajak bagi warga

Polemik kenaikan pajak dan retribusi daerah adalah pengingat bahwa otonomi fiskal memerlukan kematangan dalam perencanaan dan empati dalam pelaksanaan. UU HKPD telah memberikan kerangka kerja yang kuat, namun keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan pemerintah daerah untuk meramu kebijakan yang tidak hanya mengejar angka pertumbuhan PAD, tetapi juga menjaga denyut nadi ekonomi UMKM dan kesejahteraan warga kelas menengah ke bawah. Pajak yang adil bukan sekadar pajak yang terkumpul banyak, melainkan pajak yang mampu mendistribusikan kemakmuran dan memperkuat fondasi sosial ekonomi masyarakat secara berkelanjutan.

Pemerintah daerah harus menyadari bahwa UMKM bukan sekadar objek pajak, melainkan mitra strategis dalam agenda pembangunan. Kebijakan fiskal yang inklusif, yang memberikan ruang bagi pelaku usaha kecil untuk tumbuh dan melindungi daya beli warga, akan menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih stabil dan resilien terhadap guncangan di masa depan. Pada akhirnya, pajak adalah investasi kolektif warga untuk masa depan kota mereka, dan tugas pemerintah adalah memastikan bahwa investasi tersebut memberikan imbal hasil yang nyata bagi kesejahteraan setiap individu di dalamnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

71 + = 77
Powered by MathCaptcha