Fenomena calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia telah berkembang dari sebuah anomali hukum menjadi sebuah pola sistemik yang mengancam fundamen demokrasi elektoral. Sejak pelembagaan mekanisme “kotak kosong” melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015, jumlah daerah yang hanya menyuguhkan satu pasangan calon terus meningkat secara signifikan, mencapai puncaknya pada Pilkada Serentak 2024. Krisis ini bukan sekadar persoalan teknis administratif dalam penyelenggaraan pemilu, melainkan manifestasi dari kegagalan fungsional partai politik dalam menjalankan peran rekrutmen dan kaderisasi kepemimpinan lokal yang kompetitif. Ketika rakyat hanya diberikan satu pilihan pasangan calon untuk melawan kolom kosong, esensi dari kontestasi demokrasi—yakni kompetisi gagasan dan rekam jejak—secara otomatis tereduksi menjadi sekadar upacara validasi kekuasaan.

Evolusi Hukum Calon Tunggal: Dari Kebuntuan Prosedural Menuju Normalisasi Konstitusional

Akar yuridis fenomena calon tunggal di Indonesia bermula dari kekosongan hukum yang dialami pada fase awal Pilkada Serentak 2015. Pada saat itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 menetapkan bahwa pemilihan hanya dapat dilanjutkan jika terdapat minimal dua pasangan calon. Namun, realitas politik di lapangan menunjukkan adanya beberapa daerah yang hanya memiliki satu pendaftar, seringkali karena dominasi petahana yang terlalu kuat sehingga menghalangi munculnya penantang. Kebuntuan ini memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan pemilihan di daerah-daerah tersebut, yang berpotensi menyebabkan kevakuman kepemimpinan definitif dalam jangka waktu lama.

Respon hukum terhadap krisis ini datang melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XIII/2015. Mahkamah memberikan interpretasi baru terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih tidak boleh terhambat oleh ketiadaan kompetitor. Mahkamah kemudian memperkenalkan model pemilihan yang menyerupai plebisit atau referendum, di mana rakyat diminta untuk menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap calon tunggal melalui mekanisme kolom kosong pada surat suara.

Tahun Pilkada Jumlah Daerah dengan Calon Tunggal Lokasi Terpilih (Contoh) Implikasi Regulasi
2015 3 Daerah Tasikmalaya, Blitar, Timor Tengah Utara Inisiasi pasca Putusan MK 100/2015
2017 9 Daerah Pati, Landak, Buton Penguatan mekanisme surat suara dua kolom
2018 16 Daerah Makassar, Tangerang, Pasuruan Kekalahan pertama calon tunggal di Makassar
2020 25 Daerah Semarang, Balikpapan, Ngawi Peningkatan signifikan selama pandemi
2024 38 Daerah Surabaya, Samarinda, Ciamis Puncak fenomena meski threshold diturunkan

Evolusi ini menunjukkan transisi dari sebuah emergency exit (pintu keluar darurat) menjadi strategi politik yang sengaja diciptakan oleh elit partai. Data statistik menunjukkan tren eskalasi yang konsisten sejak 2015 hingga 2024, mengindikasikan bahwa partai-partai politik telah melakukan adaptasi terhadap celah hukum ini untuk meminimalkan risiko kekalahan dalam kontestasi yang sesungguhnya.

Kegagalan Institusional: Mengapa Partai Politik Gagal Mencetak Kader?

Inti dari persoalan calon tunggal adalah kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen politik yang inklusif. Partai politik di Indonesia cenderung beroperasi sebagai organisasi yang sentralistik dan elitis, di mana keputusan mengenai pencalonan kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh pengurus tingkat pusat (DPP) daripada aspirasi kader di akar rumput. Ketidaksiapan partai dalam menghasilkan alternatif calon bagi masyarakat mencerminkan degradasi fungsi partai dari pilar demokrasi menjadi sekadar kendaraan bagi kepentingan oligarki.

Sentralisasi Keputusan dan Pengabaian Meritokrasi

Mekanisme internal partai politik dalam menyeleksi calon pemimpin daerah seringkali tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik. Meskipun secara normatif undang-undang mengharuskan seleksi dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai AD/ART, dalam praktiknya transparansi partai dalam proses ini masih sangat rendah. Partai-partai lebih memilih untuk mencalonkan figur yang sudah memiliki popularitas tinggi atau kemampuan finansial besar ketimbang kader internal yang telah meniti karier dari bawah.

Kondisi ini diperparah dengan fenomena “politisi kutu loncat,” di mana individu dapat dengan mudah berpindah partai demi mendapatkan tiket pencalonan, mengabaikan ideologi dan loyalitas. Ketiadaan syarat minimal masa keanggotaan dalam undang-undang pencalonan membuat partai lebih mudah mengambil jalan pintas dengan merekrut keluarga pejabat, artis, atau pengusaha. Akibatnya, mesin partai yang seharusnya berfungsi sebagai sarana pendidikan politik tidak berjalan efektif, menciptakan krisis kepemimpinan di tingkat lokal.

Pragmatisme Koalisi dan Strategi “Borong Partai”

Fenomena calon tunggal seringkali merupakan hasil dari rekayasa politik melalui strategi “borong partai.” Calon yang memiliki modal finansial besar—terutama petahana yang kuat—berupaya mengunci dukungan dari mayoritas partai politik di DPRD. Strategi ini bertujuan untuk menghilangkan kesempatan bagi kandidat lain untuk maju, karena partai-partai potensial pengusung telah dirangkul masuk ke dalam koalisi besar.

Bagi partai politik, bergabung dalam koalisi besar untuk mendukung calon tunggal dianggap sebagai pilihan rasional secara pragmatis. Mereka menghindari biaya kampanye yang mahal untuk mengusung kader sendiri yang belum tentu menang, dan lebih memilih untuk bersekutu dengan pemenang potensial demi mendapatkan akses kekuasaan dan kompensasi politik pasca-pemilihan. Pragmatisme ini secara sistematis mematikan kompetisi dan memberikan sinyal buruk bagi kader muda partai yang ingin maju secara jujur dan kompetitif.

Ekonomi Politik: Mahar, Biaya Politik, dan Peran Pemodal (Bohir)

Krisis kaderisasi tidak dapat dilepaskan dari biaya politik yang sangat tinggi di Indonesia. Struktur biaya yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah mencakup mahar politik kepada partai, biaya logistik kampanye, hingga biaya saksi. Beban finansial ini seringkali melampaui kapasitas ekonomi kader-kader internal yang memiliki integritas namun keterbatasan modal, sehingga membuka jalan bagi intervensi pemodal besar yang dikenal sebagai “bohir”.

Komponen Biaya Politik Dampak pada Kaderisasi Mekanisme Transaksional
Mahar Politik (Ongkos Perahu) Menyingkirkan kader internal yang tidak memiliki dana besar. Pembayaran tunai untuk mendapatkan surat rekomendasi DPP.
Dana Kampanye & Logistik Menciptakan ketergantungan calon pada pemodal eksternal. Pertukaran dana dengan janji kemudahan perizinan pasca-terpilih.
Biaya Operasional & Saksi Menaikkan ambang batas finansial untuk bertarung secara kompetitif. Penggunaan dana pribadi atau utang politik yang memicu korupsi.

Mahar politik, meskipun dilarang secara hukum, tetap menjadi praktik lumrah sebagai kompensasi atas penggunaan “perahu” partai politik. Dalam beberapa kasus, besaran mahar ditentukan oleh jumlah kursi di parlemen atau tingkat elektabilitas calon. Kebutuhan partai akan pendanaan mandiri seringkali mengalahkan idealisme untuk mengusung kader terbaik. Hal ini menciptakan siklus koruptif di mana kepala daerah terpilih harus mengembalikan “investasi” kepada bohir melalui proyek-proyek pemerintah atau kemudahan perizinan sumber daya alam, seperti pertambangan. Kehadiran calon tunggal di daerah kaya sumber daya seringkali mengindikasikan adanya persekongkolan antara elit partai dan pemodal untuk mengamankan penguasaan sumber daya tersebut tanpa gangguan oposisi.

Paradoks Putusan MK 60/2024: Syarat Mudah, Calon Tetap Tunggal

Menjelang Pilkada 2024, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang secara dramatis menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Sebelumnya, partai harus memiliki 20% kursi DPRD atau 25% suara sah untuk mengusung calon, namun MK mengubahnya menjadi berkisar antara 6,5% hingga 10% suara sah, tergantung jumlah pemilih di daerah tersebut. Putusan ini diharapkan dapat meminimalisir calon tunggal dengan memberi ruang bagi partai kecil untuk mengusung kandidat alternatif.

Namun, data Pilkada 2024 menunjukkan hasil yang paradoksal: jumlah calon tunggal justru meningkat menjadi 38 daerah. Analisis terhadap fenomena ini menunjukkan bahwa hambatan pencalonan tidak lagi bersifat yuridis-administratif, melainkan bersifat sosiopolitik dan finansial.

Mengapa Penurunan Ambang Batas Gagal Menghadang Calon Tunggal?

Pertama, faktor dominasi koalisi besar di tingkat nasional (seperti KIM Plus) yang direplikasi secara kaku ke tingkat daerah. Partai-partai politik yang sebenarnya memiliki tiket untuk maju sendiri setelah Putusan MK 60/2024 tetap memilih untuk bergabung dengan koalisi besar demi menjaga stabilitas politik pusat-daerah dan mengamankan jatah kekuasaan.

Kedua, faktor kesiapan kader. Putusan MK dikeluarkan pada waktu yang sangat mepet dengan jadwal pendaftaran, sehingga partai-partai politik tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan rekrutmen dan menyiapkan logistik bagi kader baru. Ketidaksiapan ini mencerminkan betapa keroposnya sistem kaderisasi internal partai selama ini; ketika pintu kesempatan dibuka lebar oleh MK, partai tidak memiliki stok kepemimpinan yang siap bertarung.

Ketiga, kalkulasi rasional calon penantang. Di daerah dengan petahana yang sangat kuat dan memiliki kontrol luas terhadap sumber daya daerah, calon-calon potensial lebih memilih untuk tidak maju daripada menghabiskan modal besar untuk kekalahan yang hampir pasti. Penurunan ambang batas hukum tidak secara otomatis menurunkan “ambang batas biaya” untuk menang, yang tetap menjadi penghalang utama bagi munculnya penantang.

Fenomena Kotak Kosong: Antara Hak Memilih dan Resistensi Rakyat

Dalam sistem calon tunggal di Indonesia, pemilihan tidak dilakukan secara aklamasi, melainkan melalui plebisit melawan kotak kosong. Rakyat diberikan pilihan untuk “Setuju” pada calon tunggal atau “Tidak Setuju” dengan mencoblos kolom kosong. Untuk memenangkan Pilkada, pasangan calon tunggal harus meraih lebih dari 50% suara sah. Jika kotak kosong menang, pemilihan ditunda hingga periode berikutnya, dan daerah dipimpin oleh Penjabat (Pj).

Kotak Kosong sebagai Simbol Protes Demokrasi

Keberadaan kotak kosong telah bertransformasi dari sekadar pilihan administratif menjadi instrumen perlawanan masyarakat sipil terhadap kegagalan partai politik. Kemenangan kotak kosong di Pilkada Makassar 2018 menjadi titik balik bersejarah, di mana pasangan tunggal Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi yang didukung 10 partai politik (47% suara) dikalahkan oleh kotak kosong (53% suara). Peristiwa ini membuktikan bahwa dukungan elit partai tidak serta-merta mencerminkan preferensi pemilih di akar rumput.

Pada Pilkada 2024, gerakan relawan kotak kosong semakin terorganisir di berbagai daerah seperti Ciamis, Bangka, dan Pangkalpinang. Masyarakat menggunakan narasi “kotak kosong sebagai pilihan cerdas” untuk mengkritik pragmatisme partai politik yang tidak memberi mereka alternatif pemimpin. Fenomena ini menunjukkan adanya jurang komunikasi yang lebar antara partai politik dan konstituennya; rakyat merasa dikhianati oleh partai yang lebih sibuk melakukan transaksi koalisi daripada melakukan pendidikan politik bagi kader-kadernya.

Implikasi Terhadap Kualitas Demokrasi dan Tata Kelola Daerah

Dominasi calon tunggal membawa konsekuensi serius bagi kesehatan demokrasi lokal di Indonesia. Tanpa adanya rivalitas, prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti akuntabilitas dan kontrol publik melemah secara drastis.

Erosi Mekanisme Check and Balances

Kemenangan calon tunggal yang didukung oleh koalisi besar seringkali berakibat pada lumpuhnya fungsi pengawasan DPRD. Karena hampir seluruh partai di parlemen daerah adalah pengusung kepala daerah tersebut, potensi terjadinya persekongkolan antara eksekutif dan legislatif dalam penyalahgunaan anggaran dan kebijakan sangat tinggi. Ketiadaan oposisi membuat kebijakan daerah tidak lagi diuji secara kritis, yang pada gilirannya merugikan kepentingan publik luas.

Penurunan Partisipasi dan Legitimasi Pemilih

Fenomena calon tunggal berkontribusi pada rendahnya partisipasi pemilih. Banyak warga merasa hasil pemilihan sudah dapat diprediksi sehingga enggan datang ke TPS. Data Pilkada 2024 menunjukkan angka partisipasi pemilih turun di bawah 70%, jauh di bawah partisipasi Pemilihan Presiden 2024 yang mencapai 81%. Rendahnya partisipasi ini melemahkan legitimasi politik kepala daerah terpilih dan mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem politik yang ada.

Indikator Kualitas Demokrasi Dampak Calon Tunggal Risiko Masa Depan
Kompetisi Politik Nihil; tidak ada pertarungan visi dan gagasan. Monopoli kekuasaan oleh elit tertentu (Dinasti).
Akuntabilitas Publik Melemah; DPRD cenderung menjadi stempel eksekutif. Meningkatnya potensi korupsi politik dan suap perizinan.
Partisipasi Pemilih Menurun signifikan di bawah rata-rata nasional. Apatisme politik kronis pada generasi muda (Gen Z).
Pendidikan Politik Gagal; partai tidak mempromosikan kader baru. Krisis kepemimpinan nasional di masa mendatang.

Analisis Komparatif: Model Calon Tunggal Global

Dalam praktik pemilu global, fenomena calon tunggal sebenarnya juga terjadi di beberapa negara lain, namun dengan mekanisme penetapan yang berbeda. Di Jepang dan Singapura, calon tunggal dapat langsung dinyatakan menang secara otomatis tanpa melalui proses pemungutan suara jika tidak ada lawan hingga batas waktu pendaftaran berakhir. Di Filipina, mekanisme kemenangan calon tunggal bahkan lebih sederhana, di mana satu suara saja sudah cukup untuk menyatakan kemenangan kandidat.

Sebaliknya, Indonesia menerapkan syarat yang jauh lebih ketat dan demokratis melalui model plebisit 50%+1 suara sah. Syarat ini merupakan hasil dari upaya Mahkamah Konstitusi untuk menjaga agar pemilihan tetap memiliki nilai kontestasi, meskipun lawannya adalah kotak kosong. Hal ini memberikan ruang bagi rakyat untuk melakukan veto terhadap calon tunggal yang dianggap tidak layak. Ketentuan ini secara tidak langsung memaksa pasangan calon tunggal untuk tetap berkampanye dan meyakinkan rakyat, meskipun mereka tidak memiliki kompetitor fisik.

Kesimpulan dan Rekomendasi Reformasi Sistem Kepartaian

Fenomena calon tunggal di Indonesia adalah gejala klinis dari krisis kaderisasi dan pelembagaan partai politik yang belum tuntas. Selama partai politik masih dikelola secara sentralistik, transaksional, dan pragmatis, fenomena kotak kosong akan terus menghantui setiap perhelatan Pilkada.

Untuk memperbaiki kondisi ini, diperlukan langkah-langkah reformasi sistemik sebagai berikut:

  1. Demokratisasi Internal Partai Politik: Revisi Undang-Undang Partai Politik harus mewajibkan partai untuk melakukan proses rekrutmen dan seleksi calon secara transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi anggota serta masyarakat luas. Partai harus didorong untuk mengusulkan kader internal yang telah mengikuti pendidikan politik berjenjang di “sekolah partai”.
  2. Pemberlakuan Syarat Masa Keanggotaan: Diperlukan regulasi yang mewajibkan seseorang telah menjadi anggota partai politik minimal 2-3 tahun sebelum dapat diusung sebagai calon kepala daerah atau legislatif. Hal ini penting untuk menghambat praktik “kandidat instan” dan memperkuat militansi kader internal.
  3. Transparansi Keuangan dan Larangan Mahar: Pengawasan terhadap mahar politik harus diperketat dengan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam melacak aliran dana pencalonan. Biaya politik yang mahal harus ditekan melalui efisiensi kampanye dan pendanaan partai oleh negara yang lebih proporsional.
  4. Optimalisasi Putusan MK 60/2024 melalui Pendidikan Politik: Partai-partai menengah dan kecil harus didorong untuk berani menggunakan hak pencalonan mandiri mereka tanpa terjebak dalam koalisi pragmatis. Hal ini memerlukan penguatan ideologi partai agar tidak mudah dibeli oleh kepentingan modal.
  5. Kodifikasi Undang-Undang Pemilu: Menggabungkan pengaturan Pemilu dan Pilkada dalam satu naskah (Kodifikasi) untuk menciptakan kepastian hukum dan sinkronisasi jadwal yang lebih baik, sehingga partai memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan kader di daerah pasca-Pemilu Nasional.

Hanya dengan reformasi yang menyentuh akar masalah kepartaian ini, demokrasi lokal di Indonesia dapat kembali ke khitahnya sebagai arena kompetisi yang sehat, di mana rakyat diberi hak untuk memilih di antara yang terbaik, bukan dipaksa menerima pilihan tunggal demi kepentingan elit semata. Kontribusi aktif masyarakat sipil dalam mengawal gerakan kotak kosong tetap menjadi pengingat penting bahwa kedaulatan tertinggi tetap berada di tangan rakyat, bukan di tangan pimpinan partai politik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

38 − 37 =
Powered by MathCaptcha