Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia pasca-reformasi menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai pilar krusial dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD diposisikan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memiliki kedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja pemerintah daerah. Namun, dalam perjalanan dua dekade desentralisasi, muncul kritik tajam mengenai efektivitas lembaga ini, khususnya terkait fungsi pengawasan yang sering dianggap “ompong”. DPRD seringkali terjebak dalam peran pasif sebagai “tukang stempel” bagi kebijakan eksekutif, di mana kritik tajam jarang terdengar dan pengawasan terhadap Wali Kota atau Bupati cenderung formalitas belaka.
Fenomena ini tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara kelemahan struktural dalam regulasi, asimetri kapasitas sumber daya manusia, ketergantungan finansial melalui mekanisme anggaran aspirasi, hingga hegemoni partai politik yang mengontrol gerak anggotanya melalui ancaman pergantian antar waktu.5 Analisis terhadap kegagalan oposisi lokal ini sangat penting untuk memahami mengapa korupsi kebijakan dan kegagalan proyek pembangunan seringkali terjadi meskipun mekanisme pengawasan secara formal telah tersedia.
Arsitektur Yuridis dan Paradoks Kedudukan DPRD
Landasan hukum fungsi pengawasan DPRD secara eksplisit diatur dalam Pasal 149 ayat (1) huruf c UU No. 23 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa fungsi pengawasan diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah (Perda), peraturan kepala daerah, pelaksanaan APBD, serta kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah. Secara teoretis, kedudukan “mitra sejajar” antara legislatif dan eksekutif dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances). Namun, istilah “mitra” ini seringkali disalahartikan di tingkat lokal sebagai kewajiban untuk selalu sejalan dengan kehendak kepala daerah.
Ruang Lingkup dan Instrumen Pengawasan Formal
DPRD dibekali dengan berbagai hak konstitusional untuk menjalankan fungsinya, termasuk hak interpelasi untuk meminta keterangan, hak angket untuk melakukan penyelidikan, dan hak menyatakan pendapat.2 Selain itu, mekanisme pengawasan juga dilakukan melalui rapat kerja dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), kunjungan lapangan, serta pembentukan Panitia Khusus (Pansus) apabila ditemukan indikasi pelanggaran serius dalam kebijakan pemerintah.
| Fungsi DPRD | Dasar Hukum Utama | Manifestasi Operasional | Tujuan Strategis |
| Pembentukan Perda | Pasal 149 ayat (1) a | Penyusunan prolegda bersama eksekutif | Menciptakan regulasi lokal yang responsif |
| Anggaran (Budgeting) | Pasal 149 ayat (1) b | Pembahasan KUA-PPAS dan RAPBD | Menjamin alokasi sumber daya yang pro-rakyat |
| Pengawasan (Controlling) | Pasal 149 ayat (1) c | Monitoring pelaksanaan Perda dan APBD | Menjaga akuntabilitas dan mencegah penyimpangan |
Meskipun instrumen ini tampak kuat di atas kertas, terdapat kelemahan mendasar dalam UU No. 23 Tahun 2014, yaitu ketiadaan sanksi yang jelas dan tegas apabila pemerintah daerah mengabaikan rekomendasi atau hasil pengawasan DPRD. Ketidakpastian akibat hukum ini menyebabkan fungsi pengawasan seringkali hanya berakhir pada tataran administratif tanpa mampu memberikan tekanan politik yang nyata untuk mengubah kebijakan yang menyimpang.
Asimetri Kapasitas dan Dominasi Teknokratik Eksekutif
Salah satu alasan mendasar mengapa DPRD seringkali “kalah” dalam berdebat dengan Wali Kota atau Bupati adalah adanya kesenjangan kapasitas intelektual dan teknis. Pemerintah daerah didukung oleh ribuan aparatur sipil negara (ASN) yang memiliki keahlian spesifik, data yang lengkap, dan pengalaman birokrasi yang panjang. Di sisi lain, anggota DPRD seringkali terpilih karena popularitas atau kekuatan logistik pemilu, namun memiliki latar belakang pendidikan dan pemahaman tata kelola pemerintahan yang sangat beragam, dan terkadang tidak memadai untuk mengimbangi tim teknis eksekutif.
Keterbatasan Dukungan Tenaga Ahli dan Data
Dalam proses pengawasan, data adalah senjata utama. Namun, DPRD sering menghadapi tantangan berupa kurangnya transparansi dari eksekutif dalam memberikan data dan informasi yang akurat secara tepat waktu. Anggota dewan seringkali dipaksa untuk membahas dokumen anggaran yang sangat tebal dalam waktu yang sangat singkat, yang secara sistematis dirancang oleh eksekutif untuk meminimalisir kritik mendalam. Ketidakmampuan DPRD dalam menguasai teknik legal drafting dan analisis public finance membuat mereka cenderung menerima usulan eksekutif tanpa perdebatan substansial.
Kurangnya dukungan backing staff atau staf ahli yang independen dan kompeten juga menjadi kendala serius. Sekretariat DPRD, yang seharusnya melayani kebutuhan anggota dewan, secara struktural merupakan bagian dari birokrasi pemerintah daerah yang dipimpin oleh Sekretaris Dewan (Sekwan) yang diangkat oleh kepala daerah. Kondisi ini menciptakan loyalitas ganda dan seringkali membuat aliran data dari eksekutif ke legislatif tersaring oleh kepentingan politik kepala daerah.
Politik Transaksional Melalui Pokok-Pokok Pikiran (Pokir)
Istilah “tukang stempel” tidak bisa dilepaskan dari praktik akomodasi kepentingan melalui mekanisme Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD. Secara normatif, Pokir adalah sarana bagi anggota dewan untuk menyalurkan aspirasi masyarakat yang diserap melalui masa reses ke dalam perencanaan pembangunan daerah. Namun, dalam realitas politik lokal, Pokir seringkali bermutasi menjadi instrumen “barter” politik antara eksekutif dan legislatif.
Mekanisme Kooptasi Anggaran
Agar usulan program pembangunan di daerah pemilihannya (dapil) diakomodasi oleh pemerintah daerah dalam RKPD dan APBD, anggota DPRD seringkali harus memberikan “kompensasi” politik berupa sikap kooperatif dan mengurangi daya kritis terhadap kebijakan strategis kepala daerah. Jika seorang anggota dewan terlalu vokal mengkritik kepala daerah, terdapat ancaman terselubung bahwa usulan Pokir mereka tidak akan direalisasikan oleh OPD terkait dengan berbagai alasan teknis atau keterbatasan anggaran.
| Tahapan Perencanaan | Peran DPRD dalam Pokir | Risiko Penyimpangan | Dampak pada Oposisi |
| Pengumpulan Aspirasi | Reses dan Rapat Dengar Pendapat | Usulan bersifat keinginan pribadi/elit bukan kebutuhan rakyat | Fokus beralih ke kepentingan sempit dapil |
| Penelaahan & Sinkronisasi | Pembahasan dengan Bappeda dan SKPD | Terjadi negosiasi transaksional “titipan” proyek | Melemahnya objektivitas pengawasan |
| Integrasi e-Planning | Input ke dalam sistem SIPD | Manipulasi data usulan untuk kepentingan pemenangan pemilu | Terbentuknya ketergantungan pada eksekutif |
Kondisi ini menciptakan apa yang disebut sebagai hubungan patron-klien, di mana kepala daerah bertindak sebagai patron yang memegang kendali anggaran, dan anggota DPRD bertindak sebagai klien yang membutuhkan kucuran dana untuk menjaga basis massa konstituennya guna kepentingan pemilihan legislatif periode berikutnya. Dalam pola relasi seperti ini, kritik tajam menjadi kontraproduktif bagi kelangsungan karier politik individu anggota dewan.
Hegemoni Partai Politik dan Instrumen “Recall”
Struktur politik Indonesia yang menempatkan partai politik sebagai pemegang mandat penuh terhadap anggotanya di parlemen turut andil dalam membungkam oposisi lokal. Mekanisme Penggantian Antar Waktu (PAW) atau recall menjadi instrumen yang sangat menakutkan bagi anggota DPRD yang berniat bersikap kritis secara mandiri.
Disiplin Partai Versus Aspirasi Rakyat
Banyak pemerintah daerah yang didukung oleh koalisi partai politik yang sangat besar, atau “koalisi gemuk”. Ketika sebuah partai politik secara resmi bergabung dalam koalisi pendukung kepala daerah, maka seluruh anggota fraksi partai tersebut di DPRD diwajibkan untuk mengamankan kebijakan kepala daerah tersebut. Keputusan mengenai sikap politik fraksi seringkali tidak diambil berdasarkan kebutuhan daerah, melainkan instruksi dari pengurus pusat partai (DPP) atau pengurus wilayah yang mungkin memiliki kepentingan strategis lain dengan kepala daerah.
Anggota DPRD yang mencoba keluar dari garis kebijakan partai atau bersikap terlalu kritis terhadap kepala daerah yang didukung partainya dapat dianggap melakukan pelanggaran disiplin organisasi. Konsekuensinya adalah pemecatan dari keanggotaan partai, yang sesuai dengan UU MD3 dan UU Pemerintahan Daerah, akan berujung pada pemberhentian dari jabatan anggota DPRD melalui mekanisme PAW. Ketakutan akan kehilangan jabatan ini membuat anggota dewan lebih cenderung menjadi “pengikut setia” instruksi partai daripada menjadi pengawas yang independen bagi pemerintah daerah.
Dampak Koalisi Gemuk dan Matinya Kompetisi Demokratis
Tren pemilihan kepala daerah yang seringkali menghasilkan koalisi partai politik yang mendominasi kursi di DPRD secara signifikan memperlemah mekanisme checks and balances. Fenomena ini diperparah dengan munculnya calon tunggal di beberapa daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Maros pada Pilkada 2024, di mana sembilan partai politik memberikan dukungan secara aklamasi kepada satu kandidat.
Krisis Akuntabilitas dalam Politik Konsensus
Dalam kondisi di mana hampir seluruh kekuatan politik di DPRD sudah “terangkul” ke dalam barisan pendukung eksekutif, ruang perdebatan publik menjadi hilang. Keputusan-keputusan strategis daerah tidak lagi diambil melalui dialektika argumen di ruang sidang paripurna, melainkan melalui kesepakatan informal antar-elit partai di balik layar. Akibatnya, DPRD hanya berfungsi sebagai lembaga pengesah administratif (stempel) terhadap kebijakan yang sudah diputuskan sebelumnya.
Matinya oposisi formal di DPRD menciptakan kekosongan pengawasan yang berbahaya. Tanpa adanya kekuatan yang secara konsisten melakukan evaluasi kritis, potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan korupsi kebijakan menjadi sangat besar. Koalisi yang terlalu dominan seringkali melahirkan kebijakan yang bersifat elitis dan tidak partisipatif, karena tidak ada lagi insentif bagi pemerintah daerah untuk mendengarkan suara minoritas atau kelompok kritis di masyarakat
Studi Kasus Kegagalan Pengawasan: Fenomena “Lampu Pocong” dan Proyek Strategis di Medan
Kegagalan fungsi pengawasan DPRD secara empiris terlihat jelas dalam penanganan proyek-proyek pembangunan yang bermasalah. Kasus proyek lampu jalan di Kota Medan, yang dikenal luas sebagai “Lampu Pocong”, menjadi contoh nyata bagaimana lemahnya pengawasan legislatif terhadap kebijakan eksekutif.
Analisis Proyek “Lampu Pocong”
Proyek penataan lanskap di delapan ruas jalan di Kota Medan dengan anggaran sebesar Rp 25,7 miliar ini akhirnya dinyatakan sebagai “proyek gagal” (total loss) oleh Wali Kota Bobby Nasution setelah menuai protes keras dari masyarakat. Kegagalan ini menunjukkan bahwa DPRD Medan gagal melakukan pengawasan preventif sejak tahap perencanaan dan pelaksanaan tender. Padahal, anggaran yang keluar sudah mencapai sekitar 90 persen dari total nilai kontrak, namun kualitas pekerjaan dinilai asal jadi dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Kritik dari DPRD Medan baru muncul secara signifikan setelah proyek tersebut viral dan mendapatkan kecaman publik, yang menandakan bahwa fungsi pengawasan seringkali bersifat reaktif dan sekadar mengikuti arus opini publik daripada melakukan deteksi dini melalui mekanisme kerja formal. Kondisi ini mencerminkan bahwa meskipun DPRD memiliki akses terhadap laporan keuangan dan perkembangan fisik proyek, mereka tidak memiliki kemauan atau ketelitian untuk melakukan audit kinerja yang mendalam selama proses pembangunan berlangsung.
Kontroversi Revitalisasi Lapangan Merdeka
Demikian pula dalam proyek revitalisasi Lapangan Merdeka Medan yang menelan anggaran fantastis mencapai Rp 500 miliar. Proyek ini memicu kontroversi karena dianggap merusak nilai sejarah dan status cagar budaya kawasan tersebut. Meskipun masyarakat sipil melalui Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Medan telah melayangkan gugatan hukum dan notifikasi keberatan, DPRD cenderung pasif dalam menindaklanjuti aspirasi tersebut.
| Indikator Kasus | Proyek Lampu Pocong | Revitalisasi Lapangan Merdeka |
| Alokasi Anggaran | Rp 25,7 Miliar (APBD Medan) | Rp 500 Miliar (Multiyears 2022-2024) |
| Status Proyek | Total Loss / Gagal | Masih berproses / Digugat warga |
| Isu Utama | Kualitas buruk & indikasi kongkalikong | Perusakan cagar budaya & transparansi dana |
| Respons DPRD | Reaktif setelah viral | Pasif terhadap gugatan masyarakat |
Lemahnya sikap kritis DPRD dalam proyek-proyek “jumbo” ini seringkali dikaitkan dengan kedekatan politik antara pimpinan dewan dengan kepala daerah. Ketika pimpinan legislatif dan eksekutif berasal dari blok politik yang sama, fungsi pengawasan cenderung dikesampingkan demi menjaga stabilitas politik dan citra kepemimpinan daerah.
Transparansi Anggaran dan Temuan Masyarakat Sipil
Ketidakefektifan DPRD dalam pengawasan anggaran juga seringkali dibongkar oleh lembaga swadaya masyarakat seperti FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran). Di Sumatera Utara, FITRA menemukan berbagai kejanggalan dalam pengelolaan APBD yang luput dari perhatian DPRD, mulai dari rincian dana penyelenggaraan Ujian Nasional yang tidak jelas hingga pergeseran anggaran yang diduga berkaitan dengan praktik korupsi.
Kesenjangan Pengawasan Anggaran
Temuan FITRA mengenai adanya “dana siluman” atau alokasi anggaran yang tidak memiliki rincian penggunaan yang jelas menunjukkan bahwa proses pembahasan APBD di DPRD seringkali hanya menyentuh permukaan. Anggota dewan seringkali lebih fokus pada mengamankan kuota anggaran untuk Pokir mereka daripada melakukan “bedah anggaran” terhadap pos-pos pengeluaran di setiap OPD.
Ketidakmampuan atau keengganan DPRD untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepala daerah menyebabkan siklus anggaran tahunan berjalan tanpa adanya perbaikan kualitas belanja. Tanpa adanya tekanan dari lembaga legislatif, pemerintah daerah tidak memiliki insentif yang kuat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana publik, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya kualitas pelayanan publik dan infrastruktur di daerah.
Kendala Struktural dalam Pengawasan Sektor Sosial
Dalam sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti penyaluran bantuan sosial (bansos), pengawasan DPRD juga sering dinilai tidak optimal. Penelitian di Kabupaten Bandung Barat menunjukkan bahwa ketidakefektifan ini disebabkan oleh hambatan komunikasi dan kurangnya pemanfaatan teknologi informasi untuk menyerap keluhan warga secara sistematis.
Masalah Distribusi dan Integritas
Program bansos seringkali rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik petahana, terutama menjelang pilkada. DPRD seharusnya berperan untuk memastikan bahwa data penerima bantuan akurat dan distribusinya transparan. Namun, dalam banyak kasus, anggota DPRD justru ikut memanfaatkan program bansos sebagai alat pencitraan politik pribadi melalui keterlibatan informal dalam proses penyaluran. Kondisi ini menyebabkan fungsi pengawasan menjadi bias karena pengawas (DPRD) ikut menjadi bagian dari pelaksanaan program yang seharusnya mereka awasi.
| Tantangan Pengawasan Sosial | Penyebab Utama | Dampak pada Masyarakat |
| Ketidakakuratan Data | Kurangnya sinkronisasi data antar OPD dan pusat | Bantuan tidak tepat sasaran |
| Politisasi Bantuan | Intervensi elit untuk kepentingan pemenangan pemilu | Terjadinya ketidakadilan distribusi |
| Lemahnya Pengaduan | Mekanisme kontrol publik tidak terlembaga di DPRD | Penyimpangan di lapangan tidak tertangani |
Keterlibatan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan audit eksternal oleh BPK memang ada, namun pengawasan politik dari DPRD tetap krusial sebagai jembatan bagi keluhan warga yang tidak terjangkau oleh audit formal. Ketika DPRD gagal menjalankan peran ini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal semakin tergerus.
Solusi dan Strategi Penguatan Fungsi Oposisi Lokal
Mengatasi fenomena DPRD sebagai “tukang stempel” memerlukan reformasi sistemik yang mencakup aspek regulasi, peningkatan kapasitas, hingga perubahan budaya politik partai. Tanpa adanya intervensi yang mendasar, fungsi pengawasan DPRD akan terus terpinggirkan oleh kepentingan pragmatis eksekutif.
Reformasi Regulasi dan Mekanisme Recall
Salah satu langkah mendesak adalah melakukan reformulasi terhadap mekanisme recall atau PAW. Hak untuk mengganti anggota dewan seharusnya tidak menjadi otoritas absolut partai politik, melainkan harus melibatkan mekanisme hukum yang objektif atau partisipasi langsung dari konstituen (rakyat pemilih) melalui saluran pengadilan atau referendum terbatas. Dengan adanya kepastian hukum bahwa seorang anggota dewan tidak bisa dipecat hanya karena bersikap kritis, keberanian anggota DPRD untuk menjalankan fungsi pengawasannya akan meningkat secara signifikan.
Peningkatan Kemandirian dan Dukungan Ahli
DPRD perlu diberikan otonomi yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran internalnya, terutama untuk penyediaan tenaga ahli dan staf pendukung yang independen dari birokrasi pemerintah daerah. Setiap anggota atau komisi di DPRD idealnya didukung oleh tim ahli yang memiliki kompetensi di bidang hukum, ekonomi, dan kebijakan publik untuk menganalisis dokumen-dokumen dari eksekutif secara kritis dan berbasis data.
Selain itu, transparansi data dari pemerintah daerah harus dipaksakan melalui regulasi yang lebih ketat. Eksekutif wajib memberikan akses data mentah mengenai perencanaan dan realisasi anggaran kepada DPRD melalui sistem informasi yang terintegrasi, bukan hanya memberikan ringkasan dokumen yang sudah diolah.
Optimalisasi Alat Kelengkapan Dewan (AKD)
Pemberdayaan komisi-komisi di DPRD dan Panitia Musyawarah (Panmus) sangat penting untuk memastikan agenda pengawasan berjalan secara rutin, bukan hanya saat ada masalah yang viral. AKD harus didorong untuk melakukan audit kinerja secara periodik terhadap mitra kerjanya di eksekutif. Selain itu, Tata Tertib (Tatib) DPRD harus diperjelas untuk memberikan bobot hukum yang lebih kuat terhadap rekomendasi yang dihasilkan oleh komisi atau Pansus.
Peran Masyarakat Sipil dan Media Sebagai Pengawas Eksternal
Di tengah melemahnya oposisi formal di dalam parlemen lokal, sinergi antara DPRD dengan kekuatan masyarakat sipil menjadi sangat vital. Masyarakat sipil, media, dan akademisi dapat berperan sebagai penyuplai data dan perspektif kritis yang mungkin tidak dimiliki atau tidak berani disuarakan oleh anggota dewan secara mandiri.
Membangun Ekosistem Pengawasan Partisipatif
DPRD harus membuka ruang bagi konsultasi publik yang lebih luas dalam setiap tahap pembentukan kebijakan dan pembahasan anggaran. Kemampuan masyarakat dalam melakukan lobi dan memberikan masukan teknis perlu ditingkatkan agar mereka bisa menjadi “mitra pengawas” bagi DPRD. Dengan adanya dukungan dari publik yang masif, anggota DPRD akan merasa memiliki legitimasi moral dan politik yang lebih kuat untuk menantang kebijakan eksekutif yang tidak populer atau merugikan daerah.
Digitalisasi pengawasan, melalui aplikasi pengaduan warga yang terintegrasi langsung dengan komisi-komisi di DPRD, dapat menjadi solusi untuk memperkecil jarak antara wakil rakyat dengan konstituennya. Transparansi proses rapat-rapat di DPRD, misalnya melalui siaran langsung di media sosial, juga akan mendorong anggota dewan untuk bekerja lebih serius dan menunjukkan keberpihakan mereka pada kepentingan publik daripada sekadar menjadi pengikut agenda kepala daerah.
Kesimpulan dan Implikasi bagi Masa Depan Demokrasi Lokal
Marginalisasi fungsi pengawasan DPRD hingga menjadi “tukang stempel” kebijakan eksekutif merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi dan otonomi daerah di Indonesia. Fenomena ini berakar pada ketimpangan kapasitas teknis, kooptasi melalui anggaran aspirasi (Pokir), serta kontrol ketat partai politik melalui instrumen recall. Akibatnya, mekanisme checks and balances yang seharusnya menjadi pengaman dari penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal menjadi tidak berfungsi secara optimal.
Kasus-kasus kegagalan proyek infrastruktur dan ketidaktransparanan anggaran di berbagai daerah, seperti yang terlihat dalam fenomena “Lampu Pocong” di Medan, hanyalah puncak gunung es dari lemahnya sistem pengawasan legislatif. Tanpa adanya reformasi yang memberikan kemandirian lebih besar kepada anggota dewan serta dukungan teknis yang memadai, DPRD akan terus terjebak dalam hubungan patronase dengan kepala daerah.
Membangun oposisi lokal yang kuat memerlukan keberanian politik untuk mereformulasi relasi antara partai dan anggotanya, serta memperkuat sinergi antara parlemen dengan masyarakat sipil. Hanya dengan fungsi pengawasan yang tajam dan independen, pemerintahan daerah dapat berjalan secara akuntabel, transparan, dan benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah. Masa depan otonomi daerah sangat bergantung pada kemampuan kita untuk menghidupkan kembali “taring” DPRD yang selama ini dianggap ompong.
