Erosi Identitas: Komodifikasi Sejarah dalam Skala Global
Perdagangan ilegal properti budaya telah bertransformasi dari sekadar kejahatan terhadap benda menjadi ancaman sistemik terhadap integritas sejarah dan keamanan internasional. Dalam ekosistem global yang semakin terhubung, artefak tidak lagi dipandang semata sebagai relik masa lalu, melainkan sebagai aset likuid yang diperdagangkan dalam labirin gelap pasar gelap internasional. Fenomena ini merepresentasikan dwi-fungsi artefak sebagai modal budaya yang tak ternilai bagi bangsa asalnya dan sebagai komoditas ekonomi yang sangat menguntungkan bagi jaringan kriminal terorganisir. Skala ekonomi dari aktivitas ini menempatkan perdagangan artefak ilegal sebagai salah satu bentuk perdagangan gelap paling menguntungkan di dunia, bersanding dengan perdagangan senjata dan narkotika.
Krisis ini bukan sekadar persoalan transaksi moneter, melainkan tentang penghapusan memori kolektif suatu peradaban demi keuntungan finansial pihak tertentu. Ketika sebuah situs arkeologi dijarah, hubungan antara objek dan konteks tanahnya terputus selamanya, yang dalam disiplin arkeologi disebut sebagai hilangnya integritas stratigrafi. Tanpa konteks, sebuah artefak kehilangan kemampuannya untuk menceritakan sejarah manusia secara akurat, berubah menjadi sekadar objek estetika di tangan kolektor pribadi atau galeri ternama yang sering kali mengabaikan asal-usul barang tersebut demi prestise koleksi.
| Parameter Ekonomi dan Keamanan | Estimasi dan Dampak Terukur |
| Nilai Pasar Gelap Tahunan | US$ 300 Juta hingga US$ 6 Miliar |
| Peringkat Kejahatan Global | Peringkat ke-3 dalam volume perdagangan ilegal |
| Kaitan Kriminalitas | Pendanaan terorisme, pencucian uang, dan korupsi |
| Jumlah Objek Disita (2024) | Lebih dari 37.000 objek dalam operasi internasional |
Keterkaitan antara perdagangan artefak dan pendanaan terorisme telah menjadi perhatian utama Dewan Keamanan PBB. Kelompok-kelompok ekstremis memanfaatkan kekosongan kekuasaan di zona konflik untuk melegalkan penjarahan sebagai sumber pendapatan operasional, yang kemudian digunakan untuk memperkuat kapabilitas militer dan rekrutmen. Dengan demikian, setiap artefak yang dibeli tanpa provenans yang jelas berpotensi menjadi “antikuitas darah” (blood antiquities) yang secara tidak langsung mendanai ketidakstabilan global dan pelanggaran hak asasi manusia.
Anatomi Penjarahan di Zona Konflik: Industri Penghancuran Memori
Kawasan yang dilanda konflik bersenjata, seperti Suriah dan Irak, telah menjadi episentrum penjarahan sistematis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern. Di wilayah-wilayah ini, warisan budaya sering kali dijadikan target sengaja untuk menghancurkan identitas populasi setempat. Penjarahan ini bukan lagi dilakukan oleh individu secara sporadis, melainkan telah menjadi proses industri yang metodis dan terorganisir.
Industrialisasi Penjarahan oleh Kelompok Ekstremis
Kelompok seperti ISIS di Irak dan Suriah telah memformalkan penjarahan artefak sebagai departemen pemerintahan dalam struktur organisasi mereka. Penjarahan ini dilakukan dengan skala yang mencengangkan, di mana situs-situs arkeologi diubah menjadi tambang terbuka untuk mencari komoditas berharga. Di Suriah sendiri, citra satelit mengungkapkan bahwa dari 15.000 situs arkeologi yang terdaftar, sekitar 3.000 situs telah mengalami penjarahan dengan tingkat intensitas yang bervariasi.
Kehancuran yang diakibatkan oleh penggunaan alat berat seperti buldozer di situs-situs kuno seperti Dura Europos dan Palmyra tidak hanya merusak struktur fisik, tetapi juga menghancurkan data ilmiah yang sangat penting bagi rekonstruksi sejarah peradaban. Penggalian ilegal ini sering kali mengabaikan artefak yang dianggap tidak memiliki nilai pasar tinggi, namun sangat berharga bagi ilmu pengetahuan, sehingga menciptakan lubang permanen dalam narasi sejarah manusia.
| Lokasi dan Dampak Konflik | Status dan Bentuk Kerusakan |
| Palmyra, Suriah | Penghancuran sistematis situs Warisan Dunia UNESCO |
| Mosul, Irak | Penghancuran arsitektur Islam dan makam Nabi Yunus |
| Dura Europos | Penjarahan total situs Romawi kuno menggunakan alat berat |
| Aleppo, Suriah | Kerusakan parah pada pusat sejarah akibat pertempuran kota |
Dampak Sosiologis dan Penghapusan Identitas
Penghancuran warisan budaya di zona konflik memiliki dimensi psikologis yang mendalam bagi masyarakat lokal. Budaya merupakan salah satu pilar identitas populasi, dan penghancurannya secara sengaja bertujuan untuk menciptakan rasa fatalisme dan keterputusan (disconnection) antara masyarakat dengan tanah leluhur mereka. Fenomena ini sering kali disebut sebagai genosida budaya, di mana jejak fisik keberadaan suatu kelompok masyarakat dihapus untuk memastikan mereka tidak lagi memiliki landasan sejarah untuk masa depan mereka.
Dalam banyak kasus, masyarakat lokal yang terhimpit kemiskinan akibat perang terpaksa ikut serta dalam penggalian ilegal demi bertahan hidup. Hal ini menciptakan dilema etis yang kompleks, di mana warisan budaya yang seharusnya menjadi modal pembangunan ekonomi masa depan (seperti melalui pariwisata berkelanjutan) justru dikonsumsi secara prematur untuk kebutuhan jangka pendek yang didorong oleh pasar gelap internasional.
Mekanisme Pasar Gelap: Dari Situs Penggalian ke Galeri Elit
Perjalanan sebuah artefak dari lubang penggalian ilegal di wilayah konflik hingga sampai di etalase galeri ternama di New York atau London melibatkan jaringan perantara yang sangat canggih. Labirin ini dirancang untuk menyamarkan asal-usul ilegal barang tersebut melalui proses yang dikenal sebagai “pencucian provenans”.
Peran Freeport dan Zona Transit Rahasia
Salah satu elemen paling krusial namun tersembunyi dalam rantai pasokan artefak ilegal adalah penggunaan “Freeports” atau zona perdagangan bebas internasional. Fasilitas seperti Geneva Freeport di Swiss berfungsi sebagai tempat penyimpanan aset yang menawarkan anonimitas total dan pembebasan pajak. Bagi para penyelundup, freeport menyediakan “tombol jeda” (pause button) yang memungkinkan artefak curian disimpan selama puluhan tahun hingga memori tentang penjarahannya memudar atau masa kedaluwarsa hukum terlampaui.
Di dalam freeport, kepemilikan artefak dapat berpindah tangan berkali-kali tanpa objek tersebut pernah meninggalkan fasilitas tersebut. Hal ini menciptakan kesulitan luar biasa bagi penegak hukum untuk melacak aliran barang. Penggunaan perusahaan cangkang di yurisdiksi lepas pantai semakin memperumit upaya identifikasi pemilik sebenarnya, memungkinkan individu yang terlibat dalam aktivitas kriminal untuk menyimpan kekayaan mereka dalam bentuk seni dan antikuitas.
| Fitur Freeport yang Disalahgunakan | Dampak Terhadap Pelacakan Artefak |
| Eksemsi Bea Cukai | Barang dianggap “dalam transit” sehingga minim pemeriksaan dokumen |
| Kerahasiaan Identitas | Pemilik asli disembunyikan di balik nama perusahaan cangkang |
| Penyimpanan Jangka Panjang | Artefak “dibersihkan” secara perlahan melalui waktu dan pemalsuan dokumen |
| Nilai Kolektif Tinggi | Geneva Freeport diperkirakan menyimpan lebih dari satu juta karya seni |
Skandal di Institusi Seni Ternama
Keterlibatan museum-museum besar dan rumah lelang bereputasi dalam skandal antikuitas telah mengungkap betapa dalamnya infiltrasi pasar gelap ke dalam pasar seni legal. Investigasi terhadap Metropolitan Museum of Art (The Met) di New York mengungkapkan bahwa lebih dari seribu artefak dalam koleksi mereka memiliki keterkaitan dengan diler yang telah didakwa atau dihukum karena kejahatan antikuitas. Kasus Douglas Latchford, yang diduga menjadi arsitek penjarahan besar-besaran di Asia Tenggara, menunjukkan bagaimana diler dapat memanipulasi pasar dengan menciptakan sejarah kepemilikan palsu yang tampak kredibel bagi kurator museum.
Rumah lelang besar seperti Sotheby’s dan Christie’s juga telah berulang kali terjerat dalam penjualan artefak dengan catatan provenans yang meragukan. Meskipun lembaga-lembaga ini telah mulai membentuk departemen riset provenans internal, kesalahan dalam atribusi kepemilikan dan penjualan objek ilegal masih terus terjadi. Hal ini menunjukkan adanya ketegangan antara kepentingan profitabilitas komersial dan tanggung jawab etis untuk menjaga integritas warisan budaya dunia.
Kegagalan dan Celah Hukum Internasional
Meskipun komunitas internasional telah menyepakati berbagai konvensi untuk melindungi properti budaya, kerangka hukum yang ada sering kali tertatih-tatih mengejar dinamika pasar gelap yang sangat adaptif. Masalah utama terletak pada perbedaan implementasi hukum nasional dan sifat hukum internasional yang sering kali tidak memiliki mekanisme penegakan yang kuat.
Paradoks Konvensi UNESCO 1970 dan UNIDROIT 1995
Konvensi UNESCO 1970 merupakan instrumen pionir dalam melawan perdagangan ilegal, namun efektivitasnya dibatasi oleh prinsip non-retroaktivitas. Artinya, konvensi ini tidak dapat digunakan untuk mengklaim kembali objek yang telah dibawa keluar dari negara asalnya sebelum konvensi tersebut diratifikasi. Celah ini sangat merugikan bagi negara-negara yang kekayaan budayanya telah dikuras habis selama masa kolonial.
Konvensi UNIDROIT 1995 mencoba menutup celah tersebut dengan fokus pada aspek hukum perdata, namun banyak negara pasar (market states) yang enggan meratifikasinya karena dianggap terlalu memberatkan pembeli komersial. Akibatnya, beban pembuktian sering kali berada pada negara asal yang sudah kehilangan artefaknya, yang harus membuktikan bahwa objek tersebut dicuri dan diekspor secara ilegal, sebuah tugas yang hampir mustahil tanpa catatan arkeologis yang memadai.
| Instrumen Hukum Internasional | Fokus Utama | Keterbatasan Signifikan |
| Konvensi UNESCO 1970 | Pencegahan impor/ekspor ilegal | Tidak berlaku surut (non-retroaktif) |
| Konvensi UNIDROIT 1995 | Pengembalian objek curian/ilegal | Kurangnya ratifikasi dari negara-negara pasar utama |
| Konvensi Den Haag 1954 | Perlindungan di saat konflik bersenjata | Hanya fokus pada aksi militer, bukan perdagangan sipil |
| Resolusi DK PBB 2347 | Keamanan dan pendanaan terorisme | Bergantung pada kemauan politik negara anggota |
Celah Pasar Koleksi Pribadi dan Pencucian Uang
Pasar koleksi pribadi merupakan “lubang hitam” dalam pengawasan antikuitas. Berbeda dengan museum publik yang memiliki tanggung jawab transparansi, kolektor pribadi sering kali beroperasi di bawah radar pengawasan. Ketidakjelasan nilai artefak, yang sangat subjektif, menjadikannya kendaraan ideal untuk pencucian uang. Dengan menggelembungkan nilai artefak, pelaku kriminal dapat memindahkan dana besar melintasi perbatasan dengan kedok transaksi seni yang sah.
Undang-undang baru di beberapa negara, seperti Anti-Money Laundering Act of 2020 di Amerika Serikat, mulai memasukkan pedagang antikuitas ke dalam definisi lembaga keuangan yang wajib melaporkan transaksi mencurigakan. Namun, di banyak yurisdiksi lain, pasar seni tetap menjadi salah satu sektor yang paling minim regulasi, memberikan ruang bagi aliran dana ilegal untuk terus memicu permintaan akan artefak jarahan.
Transformasi Digital: Pedang Bermata Dua dalam Perdagangan Artefak
Kemajuan teknologi digital telah mengubah lanskap perdagangan artefak secara fundamental. Di satu sisi, internet menyediakan pasar global yang efisien bagi para penjarah; di sisi lain, teknologi mutakhir menawarkan alat baru bagi para pelindung warisan budaya untuk melacak dan memulihkan objek yang hilang.
Media Sosial sebagai Bazaar Antikuitas Gelap
Platform seperti Facebook telah bertransformasi menjadi pasar gelap digital yang sangat luas. Berdasarkan temuan Proyek ATHAR, grup-grup Facebook digunakan oleh para penjarah untuk berkomunikasi secara langsung dengan pembeli di seluruh dunia, memotong rantai perantara tradisional yang lebih mudah dipantau oleh polisi. Fitur seperti “Live Streaming” digunakan untuk memverifikasi keaslian artefak yang baru saja digali dari tanah, sementara enkripsi pesan menyulitkan upaya penyadapan oleh pihak berwenang.
Tantangan terbesar bagi penegak hukum adalah sifat efemeral dari bukti digital. Unggahan di media sosial dapat dihapus dalam hitungan detik setelah transaksi selesai, meninggalkan sedikit jejak bagi penyelidik. Meskipun beberapa platform telah memperbarui kebijakan mereka untuk melarang perdagangan antikuitas, implementasinya sering kali lemah karena algoritma pendeteksi sering kali gagal mengenali istilah-istilah slang atau deskripsi objek dalam bahasa non-Barat.
Inovasi Teknologi untuk Perlindungan
Menghadapi ancaman digital ini, muncul berbagai inisiatif teknologi yang bertujuan untuk mengamankan provenans artefak sejak dari lokasi penemuan.
- Blockchain dan Registri Imutabel: Teknologi blockchain sedang diuji coba untuk menciptakan sertifikat digital permanen bagi setiap artefak. Setiap perpindahan kepemilikan dicatat dalam buku besar yang terdesentralisasi, sehingga meminimalkan risiko pemalsuan dokumen provenans di masa depan.
- Kecerdasan Buatan (AI) untuk Pemantauan: Proyek seperti SIGNIFICANCE menggunakan AI untuk melakukan scraping otomatis pada web dan media sosial guna mendeteksi objek yang memiliki kemiripan dengan barang-barang yang dilaporkan dicuri dalam database INTERPOL.
- Virtualisasi 3D: UNESCO telah meluncurkan Virtual Museum of Stolen Cultural Objects yang menampilkan replika digital dari objek-objek curian paling dicari di dunia. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran publik dan mempersulit penjualan objek tersebut di pasar legal.
- Analisis Nuklir dan Forensik: Penggunaan teknologi nuklir melalui IAEA membantu peneliti untuk menentukan komposisi kimia artefak, yang dapat menghubungkan objek tersebut dengan lokasi geografis spesifik (source fingerprinting), membuktikan apakah barang tersebut berasal dari situs yang diketahui telah dijarah.
Kasus Repatriasi Indonesia: Mengembalikan Kepingan Memori Nusantara
Bagi Indonesia, isu pencurian warisan budaya bukan sekadar narasi kriminalitas modern, melainkan luka sejarah yang dalam akibat eksploitasi kolonial selama berabad-abad. Upaya repatriasi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir merupakan langkah krusial untuk memulihkan kedaulatan budaya dan identitas nasional.
Keberhasilan Repatriasi dari Belanda (2023-2024)
Kesepakatan antara Indonesia dan Belanda pada tahun 2017 telah membuka jalan bagi pengembalian ratusan objek bersejarah yang dijarah selama masa penjajahan. Pada tahun 2023, sebanyak 472 artefak dikembalikan, termasuk harta karun dari Lombok dan keris milik Kerajaan Klungkung. Gelombang kedua pada tahun 2024 membawa pulang 288 objek tambahan, termasuk koleksi dari Perang Puputan Badung dan arca-arca agung dari Candi Singosari.
Pengembalian Arca Singosari—seperti arca Ganesha, Brahma, Bhairawa, dan Nandi—memiliki signifikansi spiritual dan sejarah yang luar biasa. Arca-arca ini bukan sekadar objek seni abad ke-13, melainkan personifikasi dari keagungan peradaban Jawa kuno yang sempat “terasing” di museum-museum Eropa selama lebih dari satu abad.
| Koleksi Repatriasi Utama | Jumlah/Detail | Signifikansi Sejarah |
| Harta Karun Lombok | 472 Objek (Perhiasan, Emas) | Dijarah setelah penyerangan Istana Cakranegara |
| Koleksi Puputan Badung | 284 Objek (Senjata, Koin) | Diambil setelah peristiwa ritual bunuh diri massal 1906 |
| Arca Candi Singosari | 4 Arca Utama (Bhairawa, Nandi, dll) | Mahakarya pahat Jawa kuno dari abad ke-13 |
| Fosil Java Man | Proses Negosiasi | Bukti penting evolusi manusia di Indonesia |
Dimensi Emosional Puputan Badung
Koleksi Puputan Badung yang dikembalikan pada September 2024 memiliki beban emosional yang sangat berat bagi masyarakat Bali. Benda-benda tersebut, yang meliputi keris, perhiasan, dan tekstil, diambil oleh pasukan Belanda setelah peristiwa Puputan tahun 1906, di mana Raja Badung dan ratusan pengikutnya memilih untuk melakukan bunuh diri ritual daripada menyerah kepada penjajah. Pengembalian benda-benda ini dipandang sebagai bentuk pengakuan atas penderitaan masa lalu dan langkah menuju rekonsiliasi sejarah yang lebih adil.
Namun, tantangan tetap ada dalam kasus seperti fosil “Java Man” (Pithecanthropus erectus). Pihak Belanda sering kali berargumen bahwa penemuan tersebut dilakukan melalui penggalian ilmiah yang legal pada masanya, sehingga tidak termasuk dalam kategori penjarahan ilegal. Perdebatan ini menyoroti kompleksitas definisi “legalitas” dalam konteks hubungan kekuasaan kolonial yang asimetris, di mana hukum sering kali dirancang oleh penjajah untuk melegitimasi ekstraksi kekayaan budaya dari wilayah jajahan.
Psikologi dan Etika: Di Balik Hasrat Memiliki Masa Lalu
Untuk memahami mengapa perdagangan artefak terus bertahan meskipun ada tekanan hukum yang kuat, kita harus meninjau psikologi para kolektor. Banyak kolektor antikuitas yang secara umum mematuhi hukum dalam kehidupan sehari-hari, namun melakukan aktivitas kriminal dalam pengadaan koleksi mereka.
Mekanisme Netralisasi dan “Higher Loyalties”
Penelitian kriminologis menunjukkan bahwa kolektor sering menggunakan teknik netralisasi untuk membenarkan tindakan mereka. Salah satu yang paling umum adalah “kesetiaan yang lebih tinggi” (appeal to higher loyalties), di mana kolektor meyakinkan diri mereka bahwa mereka sedang “menyelamatkan” artefak tersebut dari kehancuran atau pengabaian di negara asalnya yang dianggap tidak stabil. Mereka melihat diri mereka bukan sebagai pembeli barang ilegal, melainkan sebagai penjaga (stewards) warisan kemanusiaan.
Paradoks ini menciptakan apa yang disebut sebagai “koleksi kriminogenik,” di mana keindahan dan kelangkaan sebuah objek justru memicu hasrat kepemilikan yang mengesampingkan pertimbangan etika. Hasrat ini diperkuat oleh status sosial yang diberikan oleh kepemilikan artefak langka, yang sering dianggap sebagai simbol intelektualitas dan kelas sosial tinggi di kalangan elit global.
| Tipe Kolektor dan Motivasinya | Karakteristik Perilaku | Justifikasi Etis |
| Kolektor Elit/Wealthy | Mencari “masterpiece” melalui diler ternama | “Penyelamatan” objek untuk tujuan ilmiah/estetika |
| Kolektor Amatir | Berburu melalui lelang online dan pasar loak | Kurangnya kesadaran akan dampak hukum/etika |
| Spekulan Keuangan | Menggunakan artefak sebagai aset investasi | Memaksimalkan profit melalui manipulasi pasar |
| Pemburu Artefak (Hunters) | Melakukan pencarian langsung di situs bersejarah | Sensasi penemuan dan hubungan langsung dengan masa lalu |
Tanggung Jawab Moral Institusi Kebudayaan
Museum memiliki peran ganda yang sering kali bertentangan: sebagai pelestari warisan budaya dan sebagai institusi yang bersaing untuk mendapatkan koleksi terbaik. Pergeseran paradigma saat ini menuntut museum untuk tidak lagi sekadar menjadi “gudang benda,” melainkan menjadi agen etika yang aktif melakukan dekolonisasi koleksi. Kebijakan akuisisi yang lebih ketat, yang mewajibkan dokumen provenans yang jelas sejak tahun 1970 (sesuai ambang batas UNESCO), kini menjadi standar wajib bagi institusi yang ingin menjaga kredibilitas mereka di mata publik.
Rekomendasi dan Strategi Penanganan Global
Menghadapi labirin gelap perdagangan artefak memerlukan pendekatan multi-disiplin yang mengintegrasikan penegakan hukum, teknologi, diplomasi, dan pendidikan publik. Tidak ada solusi tunggal yang dapat menyelesaikan masalah ini secara instan, namun langkah-langkah strategis berikut dapat mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan.
Penguatan Kapasitas Penegakan Hukum dan Kerjasama Internasional
INTERPOL dan UNODC telah menekankan perlunya pembentukan unit khusus perlindungan warisan budaya di setiap negara anggota. Model seperti Unit Carabinieri di Italia, yang memiliki database karya seni curian yang sangat komprehensif, terbukti efektif dalam memantau pasar gelap dan memfasilitasi pengembalian barang. Selain itu, koordinasi lintas batas antara otoritas kepolisian, bea cukai, dan kementerian kebudayaan harus ditingkatkan untuk menutup rute penyelundupan yang sering kali melewati zona transit yang lemah pengawasannya.
Transparansi Pasar Seni dan Regulasi Digital
Pasar seni internasional harus dipaksa untuk keluar dari tradisi kerahasiaan yang selama ini melindungi para pelaku kejahatan. Regulasi yang mewajibkan pengungkapan pemilik manfaat (beneficial ownership) dalam transaksi seni dan antikuitas harus diterapkan secara global untuk mencegah penggunaan karya seni sebagai alat pencucian uang. Di ranah digital, platform media sosial harus memikul tanggung jawab lebih besar dengan menggunakan teknologi deteksi otomatis dan bekerja sama dengan para arkeolog untuk memantau grup-grup yang mencurigakan.
Edukasi Publik dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Pada akhirnya, perlindungan warisan budaya bergantung pada kesadaran masyarakat. Di tingkat lokal, khususnya di negara-negara sumber, masyarakat harus dilibatkan sebagai mitra dalam menjaga situs arkeologi mereka. Program pariwisata berbasis komunitas yang memberikan insentif ekonomi bagi pelestarian (bukan penjarahan) terbukti lebih efektif dalam jangka panjang. Di tingkat global, kampanye seperti #Unite4Heritage harus terus didorong untuk mengubah persepsi publik agar melihat pembelian artefak tanpa provenans sebagai tindakan yang secara sosial tidak dapat diterima, sama halnya dengan membeli gading gajah atau produk hewan langka lainnya.
Kesimpulan: Menuju Masa Depan Tanpa Pencurian Identitas
Perdagangan ilegal artefak adalah salah satu bentuk kejahatan paling berbahaya karena dampaknya yang permanen dan tidak dapat dipulihkan. Setiap artefak yang dijarah adalah halaman sejarah yang robek dan hilang dari buku besar peradaban manusia. Kita sedang menyaksikan pertarungan antara keserakahan finansial jangka pendek dan hak asasi manusia untuk memiliki sejarah.
Labirin gelap perdagangan artefak hanya dapat diterangi melalui transparansi total, keberanian politik untuk melakukan repatriasi, dan pemanfaatan teknologi secara bertanggung jawab. Kasus Indonesia menunjukkan bahwa meskipun jalan menuju keadilan sejarah sangat panjang dan rumit, keberhasilan itu mungkin dicapai ketika ada kemauan bersama antara negara asal dan negara pasar. Melindungi warisan budaya bukan hanya tentang menjaga benda mati; ini adalah tentang menjaga martabat manusia dan memastikan bahwa identitas bangsa tidak menjadi sekadar barang dagangan di pasar gelap internasional. Masa lalu adalah milik kita semua, dan tugas kolektif kita adalah memastikan bahwa sejarah tidak lagi dicuri demi keuntungan segelintir orang.
