Struktur politik Indonesia telah lama dibayangi oleh kehadiran militer yang melampaui batas-batas barak, sebuah fenomena sosiopolitik yang secara historis terangkum dalam doktrin Dwifungsi ABRI. Doktrin ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan sebuah ideologi mendalam yang mengakar pada persepsi militer terhadap jati dirinya sebagai penyelamat bangsa. Sejarah Dwifungsi mencerminkan dinamika hubungan sipil-militer yang fluktuatif, mulai dari upaya mencari stabilitas pasca-kemerdekaan hingga dominasi otoritarian di bawah rezim Orde Baru yang merembes ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Meskipun gerakan Reformasi 1998 telah berupaya keras memutus rantai politik militer, perkembangan legislatif dan kebijakan praktis dalam satu dekade terakhir, terutama melalui revisi Undang-Undang TNI tahun 2025, memicu diskursus intensif mengenai potensi kebangkitan dwifungsi dalam format baru yang lebih adaptif, sistemik, dan tersegmentasi dalam birokrasi sipil serta sektor ekonomi strategis.
Genealogi Pemikiran dan Akar Historis Peran Politik Militer (1945–1958)
Keterlibatan militer dalam politik Indonesia tidak dapat dipisahkan dari proses lahirnya negara ini. Berbeda dengan militer di negara-negara demokrasi Barat yang dibentuk oleh otoritas sipil yang mapan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir secara organik dari rahim revolusi rakyat. Karakteristik ini menciptakan kesadaran kolektif di kalangan prajurit bahwa mereka bukan sekadar tentara bayaran atau alat negara, melainkan pejuang-pejuang yang memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal kedaulatan dan arah politik bangsa. Pada masa awal kemerdekaan, militer sering kali harus mengisi kekosongan kepemimpinan saat elit sipil tertangkap atau terjebak dalam diplomasi yang buntu.
Ketidakharmonisan antara hubungan sipil dan militer merupakan kunci stabilitas pemerintahan suatu negara, dan dalam sejarah Indonesia, ketidakharmonisan ini sering kali menjadi pintu masuk bagi militer untuk memperluas perannya. Pada periode 1950-an, sistem Demokrasi Liberal di Indonesia mengalami kegagalan struktural. Kabinet yang silih berganti dalam waktu singkat, perdebatan ideologis yang tidak berujung di Konstituante, serta munculnya berbagai pemberontakan daerah seperti PRRI dan Permesta, menciptakan persepsi di kalangan militer bahwa politisi sipil tidak mampu mengelola negara. Dalam konteks ketidakstabilan inilah, Jenderal A.H. Nasution, yang terinspirasi oleh pemikiran jenderal perang Prusia Karl von Clausewitz mengenai hubungan antara perang dan politik, merumuskan gagasan yang akan mengubah wajah politik Indonesia.
Konsep yang kemudian dikenal sebagai “Jalan Tengah” (Middle Way) secara resmi diperkenalkan oleh Nasution pada November 1958 dalam pidatonya di Dies Natalis Akademi Militer Nasional di Magelang. Nasution berargumen bahwa militer tidak seharusnya menjadi alat pasif bagi politisi sipil—yang ia sebut sebagai model Barat—tetapi juga tidak boleh melakukan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan sepenuhnya seperti model junta militer di Amerika Latin. Sebagai jalan tengah, militer harus diberikan posisi sebagai “golongan fungsional” yang berhak berpartisipasi dalam perumusan kebijakan negara, administrasi pemerintahan, dan pembangunan nasional. Pada tahap awal ini, Nasution menekankan bahwa keterlibatan tersebut harus bersifat perseorangan oleh eksponen organisasi militer, bukan oleh institusi militer secara kolektif sebagai mesin politik.
| Fase Sejarah | Konsep Utama | Tokoh/Latar Belakang | Dampak Politik |
| 1945 – 1949 | Tentara Pejuang | Jenderal Sudirman / Revolusi Fisik | Militer merasa sebagai pemegang kedaulatan moral. |
| 1950 – 1957 | Profesionalisme Terbatas | Rasionalisasi Militer | Ketegangan sipil-militer akibat intervensi parlemen. |
| 1958 – 1965 | Jalan Tengah | A.H. Nasution / Kegagalan Demokrasi Liberal | Militer masuk kabinet dan birokrasi sebagai golongan fungsional. |
| 1966 – 1998 | Dwifungsi ABRI | Soeharto / Stabilitas Orde Baru | Dominasi total militer di legislatif, eksekutif, dan ekonomi. |
| 1998 – 2024 | Paradigma Baru | Reformasi 1998 / Penarikan dari Politik | Militer kembali ke fungsi pertahanan (Back to Barracks). |
| 2025 – Depan | Multifungsi / Residu Dwifungsi | Prabowo Subianto / Revisi UU TNI 2025 | Ekspansi peran militer di jabatan sipil dan sektor strategis. |
Institusionalisasi Dominasi: Era Orde Baru dan Hegemoni Militer (1966–1998)
Transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pasca-peristiwa G30S menandai perubahan drastis dalam implementasi doktrin militer. Konsep “Jalan Tengah” Nasution yang awalnya bersifat partisipatif terbatas, di bawah rezim Orde Baru, ditransformasikan menjadi doktrin Dwifungsi ABRI yang hegemonik dan sistemik. Soeharto menyadari bahwa untuk mempertahankan kekuasaan dalam jangka panjang, ia membutuhkan militer sebagai pilar penyangga utama yang tidak hanya menjaga keamanan tetapi juga mengendalikan proses politik dan pembangunan ekonomi.
Doktrin Dwifungsi secara resmi dimatangkan melalui Seminar Angkatan Darat I (1965) dan II (1966) di Bandung, yang menghasilkan dokumen Tri-Ubaya Cakti. Dalam dokumen ini, ABRI ditetapkan memiliki dua peran permanen: sebagai kekuatan pertahanan-keamanan (Hankam) dan sebagai kekuatan sosial-politik. Sebagai kekuatan sosial-politik, ABRI difungsikan sebagai dinamisator dan stabilisator pembangunan. Legalitas formal dwifungsi ini kemudian diperkuat melalui TAP MPRS No. XXIV/MPRS/1966 dan puncaknya pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982.
Selama masa pemerintahan Soeharto, implementasi dwifungsi merembes ke seluruh tingkatan birokrasi melalui sistem “kekaryaan.” Perwira militer aktif ditempatkan di posisi-posisi kunci pemerintahan sipil, mulai dari menteri, gubernur, duta besar, hingga direktur BUMN. Pada puncaknya di tahun 1990-an, militer menguasai hampir seluruh relung kehidupan bernegara, yang sering kali melampaui batas konvensional keberadaannya sebagai alat pertahanan. Di tingkat desa, melalui program ABRI Masuk Desa (AMD) yang dimulai tahun 1980, militer melakukan pengawasan ketat terhadap dinamika masyarakat dan memastikan loyalitas massa terhadap rezim melalui struktur Komando Teritorial (Koter) yang mencakup Kodam, Korem, Kodim, Koramil, hingga Babinsa.
| Institusi/Aspek | Bentuk Dominasi Militer Era Orde Baru | Mekanisme Kontrol |
| Legislatif | Fraksi ABRI di DPR/MPR (Jatah Kursi Gratis) | Penunjukan langsung tanpa melalui pemilihan umum. |
| Eksekutif | Jabatan Gubernur, Bupati, dan Menteri | Sistem kekaryaan perwira aktif di birokrasi sipil. |
| Partai Politik | Golongan Karya (Golkar) | Militer sebagai “bidan” dan pendukung utama kemenangan Golkar. |
| Birokrasi Sipil | Monoloyalitas melalui KORPRI | Kewajiban pegawai sipil untuk setia pada satu wadah yang didukung ABRI. |
| Ekonomi | Penguasaan BUMN (Pertamina, Bulog) dan Yayasan | Sayap bisnis militer untuk pendanaan mandiri dan kontrol sumber daya. |
Militer juga berperan krusial dalam pembentukan dan pemenangan Golongan Karya (Golkar) sebagai mesin politik pemerintah. Hubungan antara ABRI, Birokrasi, dan Golkar (yang dikenal sebagai jalur ABG) menjadi fondasi kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun. Dalam setiap pemilihan umum, ABRI diwajibkan untuk memenangkan Golkar, sementara birokrasi dipaksa mengikuti kebijakan “monoloyalitas” melalui Kokar-Mendagri dan KORPRI. Hal ini mengakibatkan hilangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, karena militer sering kali bertindak sebagai pelindung kepentingan kapitalisme dan elit penguasa daripada kepentingan rakyat secara luas.
Gelombang Reformasi dan Dekonstruksi Dwifungsi (1998–2004)
Runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 membawa tuntutan fundamental dari gerakan mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi untuk menghapuskan Dwifungsi ABRI. Masyarakat sipil mengidentifikasi bahwa keterlibatan militer dalam politik praktis merupakan akar dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta penghambat utama bagi terciptanya sistem pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan. Tuntutan ini memaksa militer untuk melakukan introspeksi mendalam melalui perumusan “Paradigma Baru” TNI.
Proses penghapusan Dwifungsi dilakukan secara bertahap demi menjaga stabilitas nasional selama masa transisi. Setelah Soeharto lengser, TNI mulai meninjau ulang doktrin pertahanannya dan secara resmi tidak lagi menggunakan istilah “Dwifungsi ABRI” sejak Juli 1998. Langkah-langkah krusial dekonstruksi peran politik militer mencakup pemisahan Polri dari struktur ABRI melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000, yang bertujuan untuk membedakan fungsi pertahanan negara (TNI) dengan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat (Polri). Selain itu, TAP MPR No. VII/MPR/2000 menetapkan bahwa TNI dilarang terlibat dalam politik praktis dan harus fokus sebagai alat pertahanan negara yang profesional.
Puncak dari reformasi hukum ini adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. UU ini secara eksplisit melarang prajurit aktif menduduki jabatan sipil, terlibat dalam kegiatan bisnis, serta mewajibkan mereka untuk netral dalam pemilu. Pasal 47 UU TNI 2004 menjadi “benteng utama” supremasi sipil dengan menegaskan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun, kecuali pada 10 kementerian/lembaga tertentu yang berkaitan erat dengan fungsi pertahanan dan keamanan. Penghapusan Fraksi ABRI di DPR/MPR secara bertahap hingga tahun 2004 menandai berakhirnya keterlibatan institusional militer dalam proses legislatif formal di tingkat nasional.
Dinamika Residivisme dan Kebangkitan Multifungsi (2014–2024)
Meskipun secara formal Dwifungsi telah dihapuskan, bayang-bayang keterlibatan militer dalam urusan sipil tidak pernah benar-benar hilang. Seiring berjalannya waktu, muncul gejala yang disebut oleh para peneliti sebagai “residivisme” atau sisa-sisa paradigma dwifungsi yang kembali muncul dalam berbagai kebijakan pemerintah. Tren ini mulai terlihat menguat sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo pada tahun 2014, di mana militer kembali dilibatkan secara masif dalam program-program pembangunan nasional yang bersifat non-militer.
Salah satu pintu masuk utama bagi kembalinya peran sipil militer adalah melalui perluasan interpretasi Operasi Militer Selain Perang (OMSP). TNI mulai diterjunkan dalam berbagai sektor, seperti program ketahanan pangan (cetak sawah), pengawasan distribusi sembako melalui Bulog, hingga program-program pendidikan dan kesehatan di daerah terpencil. Keterlibatan ini sering kali diformalkan melalui Nota Kesepahaman (MoU) antara TNI dengan berbagai kementerian/lembaga sipil, yang jumlahnya mencapai puluhan dalam beberapa tahun terakhir. Masyarakat sipil mengkritik hal ini sebagai bentuk kegagalan birokrasi sipil yang kemudian “diselesaikan” dengan cara instan melalui mobilisasi militer—sebuah justifikasi klasik yang juga digunakan pada era Orde Baru.
| Sektor Pelibatan | Program/Kegiatan Kontemporer | Peran Militer/TNI |
| Ketahanan Pangan | Food Estate & Satgas Swasembada Pangan | Babinsa sebagai motivator petani dan pengawas gabah. |
| Infrastruktur | Pembangunan Jalan dan Jembatan di Daerah | Pelaksana konstruksi melalui skema karya bakti. |
| Ekonomi | Pengelolaan Lahan Strategis (Agrinas) | Purnawirawan dan perwira tinggi dalam struktur direksi. |
| Penegakan Hukum | Pengamanan Proyek Strategis Nasional (PSN) | Penjagaan lahan dan penanganan konflik agraria. |
| Birokrasi | Penunjukan Pj. Kepala Daerah dari Militer/Polri | Mengisi kekosongan jabatan eksekutif daerah. |
Selain itu, fenomena penempatan perwira aktif di jabatan-jabatan sipil di luar batasan Pasal 47 UU TNI 2004 mulai marak terjadi. Data dari lembaga pemantau menunjukkan adanya ribuan prajurit TNI aktif yang menduduki posisi di birokrasi pemerintahan tanpa melalui mekanisme pensiun dini. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran dasar terhadap semangat Reformasi dan mengancam sistem meritokrasi dalam birokrasi sipil. Munculnya istilah “Multifungsi” merujuk pada perluasan peran ini yang tidak hanya menyasar politik praktis, tetapi juga merambah ke sektor ekonomi, energi, dan sumber daya alam (SDA).
Bedah Undang-Undang TNI Nomor 3 Tahun 2025: Legalisasi Perluasan Jabatan
Tahun 2025 menandai titik balik penting dalam sejarah hukum militer Indonesia dengan disahkannya revisi Undang-Undang TNI yang kini menjadi UU Nomor 3 Tahun 2025. Proses legislasi revisi ini menuai kritik tajam karena dianggap dilakukan secara terburu-buru, kurang transparan, dan tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Banyak pihak, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil, memandang revisi ini sebagai upaya untuk melegalkan praktik-praktik keterlibatan militer dalam ranah sipil yang sebelumnya dianggap ilegal atau kontroversial.
Perubahan paling fundamental dalam UU TNI 2025 terletak pada perluasan Pasal 47 mengenai penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga negara. Jika pada UU sebelumnya daftar institusi yang boleh diisi TNI aktif dibatasi hanya 10, UU terbaru ini memperluasnya menjadi 14 kementerian/lembaga. Penambahan ini mencakup lembaga-lembaga strategis yang memiliki dampak langsung pada tata kelola sipil dan hukum.
| No | Lembaga/Kementerian (Pasal 47 UU TNI 2025) | Fungsi Utama | Implikasi Keterlibatan Militer |
| 1 | Kemenko Bidang Politik dan Keamanan | Koordinasi kebijakan keamanan | Dominasi dalam perumusan kebijakan strategis nasional. |
| 2 | Kementerian Pertahanan (termasuk Wantannas) | Pertahanan negara | Sesuai dengan fungsi pokok TNI sebagai alat pertahanan. |
| 3 | Sekretariat Militer Presiden / Setpres | Dukungan administratif Presiden | Akses langsung ke lingkaran kekuasaan tertinggi. |
| 4 | Badan Intelijen Negara (BIN) | Intelijen strategis | Penguatan fungsi deteksi dan pengamanan internal. |
| 5 | Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) | Keamanan ruang siber | Adaptasi TNI terhadap ancaman perang modern (hibrida). |
| 6 | Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) | Pendidikan kepemimpinan nasional | Indoktrinasi nilai-nilai ketahanan pada calon pemimpin sipil. |
| 7 | Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) | Pencarian dan penyelamatan | Pemanfaatan kemampuan taktis TNI dalam kedaruratan. |
| 8 | Badan Narkotika Nasional (BNN) | Pemberantasan narkoba | Pelibatan militer dalam penegakan hukum domestik. |
| 9 | Mahkamah Agung (MA) | Yudikatif / Peradilan | Pengaruh militer dalam sistem peradilan tinggi. |
| 10 | Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) | Tata kelola wilayah perbatasan | Integrasi pertahanan perbatasan dengan pembangunan daerah. |
| 11 | Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) | Manajemen bencana alam | Militer sebagai aktor utama tanggap darurat nasional. |
| 12 | Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) | Kontra-terorisme | Penegasan peran TNI dalam ancaman keamanan dalam negeri. |
| 13 | Badan Keamanan Laut (Bakamla) | Keamanan maritim sipil | Potensi tumpang tindih kewenangan dengan TNI AL. |
| 14 | Kejaksaan RI (JAM-Pidmil) | Penuntutan pidana militer | Formalisasi pengaruh militer di dalam struktur kejaksaan. |
Selain perluasan jabatan, revisi ini juga memberikan landasan bagi perpanjangan usia pensiun anggota TNI, di mana bintara dan tamtama pensiun di usia 55 tahun, perwira menengah di usia 58 tahun, dan perwira tinggi dapat mencapai usia 60 hingga 63 tahun melalui keputusan presiden. Pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menyetarakan usia pensiun militer dengan PNS demi efisiensi birokrasi. Namun, para pakar politik memperingatkan bahwa perpanjangan usia pensiun tanpa disertai restrukturisasi organisasi yang jelas hanya akan memperburuk masalah penumpukan perwira dan pada akhirnya menciptakan tekanan baru bagi militer untuk mencari “lahan” jabatan di sektor sipil.
Kabinet Merah Putih: Dominasi Faksi Militer dan Kasus Penempatan Strategis
Implementasi dari semangat revisi UU TNI 2025 terlihat nyata dalam susunan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang dilantik pada akhir 2024. Kabinet Merah Putih mencerminkan konsolidasi kekuatan yang sangat kental dengan latar belakang militer. Tidak hanya purnawirawan, sejumlah perwira aktif juga mulai menempati posisi-posisi yang secara hukum dan etika politik menjadi sorotan publik. Hal ini memicu perdebatan mengenai apakah Indonesia sedang menuju ke arah “Junta Militer” terselubung atau sekadar pemanfaatan sumber daya manusia militer yang dianggap lebih disiplin.
Salah satu kasus yang paling banyak dibicarakan adalah pengangkatan Mayor (kini Letkol) Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab). Penunjukan ini dianggap kontroversial karena Seskab merupakan jabatan sipil di bawah Sekretariat Negara, sementara Teddy tetap berstatus sebagai prajurit aktif. Meskipun pemerintah berargumen bahwa Seskab bukan lagi setingkat menteri dan berada di bawah Setneg (yang termasuk dalam daftar pengecualian UU TNI), para aktivis reformasi menilai hal ini sebagai pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil dan etika profesionalisme militer yang seharusnya menjauhkan prajurit aktif dari urusan politik harian presiden.
| Nama Perwira | Pangkat | Jabatan Sipil / Strategis (2024-2025) | Keterangan Institusi |
| Teddy Indra Wijaya | Letkol Inf | Sekretaris Kabinet | Diangkat oleh Presiden Prabowo. |
| Maryono | Mayjen TNI | Irjen Kementerian Perhubungan | Mutasi dari Panglima TNI. |
| Irham Waroihan | Mayjen TNI | Irjen Kementerian Pertanian | Sebelumnya Wairjen AD. |
| Ian Heriyawan | Laksma TNI | Pejabat Badan Penyelenggara Haji | Berasal dari Pusbintal TNI. |
| Novi Helmy Prasetya | Mayjen TNI | Direktur Utama Perum Bulog | Merangkap/Mundur dari Danjen Akademi TNI. |
| Maruli Simanjuntak | Jenderal TNI | Komisaris Utama PT Pindad | Jabatan rangkap sebagai KSAD. |
| Muhammad Ali | Laksamana TNI | Komisaris Utama PT PAL Indonesia | Jabatan rangkap sebagai KSAL. |
| Restu Widiyantoro | Kolonel (Purn) | Direktur Utama PT Timah Tbk | Purnawirawan di sektor industri ekstraktif. |
| Mohamad Tonny Harjono | Marsekal TNI | Komisaris Utama PT Dirgantara Indonesia | Jabatan rangkap sebagai KSAU. |
Dominasi militer juga merambah ke sektor ekonomi melalui pengangkatan perwira tinggi aktif sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis, seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia. Keterlibatan ini dijustifikasi sebagai bagian dari penguatan industri pertahanan nasional, namun kehadiran mereka dalam struktur korporasi sipil menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya konflik kepentingan, kurangnya transparansi bisnis, dan potensi penggunaan pengaruh militer untuk mengamankan kepentingan ekonomi tertentu. Penempatan perwira aktif di sektor logistik pangan melalui Bulog juga menunjukkan bahwa militer kini dipandang sebagai solusi untuk masalah-masalah ekonomi kerakyatan, sebuah fenomena yang sangat mirip dengan era awal Orde Baru.
Analisis Risiko: Supremasi Sipil, Akuntabilitas, dan Regresi Demokrasi
Kebangkitan peran militer dalam birokrasi dan ekonomi Indonesia saat ini membawa risiko sistemik terhadap keberlangsungan demokrasi. Para ahli hubungan sipil-militer memperingatkan bahwa Indonesia sedang mengalami pergeseran dari objective civilian control (pengendalian sipil objektif) menuju subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif). Dalam model objektif, militer dikendalikan dengan cara meningkatkan profesionalisme mereka dan membatasi peran mereka hanya pada domain pertahanan luar negeri. Sebaliknya, dalam model subjektif, elit sipil mencoba mengendalikan militer dengan cara merangkul mereka ke dalam politik dan birokrasi, menjadikan militer sebagai sekutu politik untuk memperkuat kekuasaan rezim.
Salah satu dampak paling nyata dari pergeseran ini adalah terganggunya sistem akuntabilitas hukum. Hingga saat ini, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum di luar tugas militer—termasuk saat menjabat di posisi sipil—masih tunduk pada Undang-Undang Peradilan Militer (UU No. 31 Tahun 1997). Hal ini menciptakan celah impunitas, di mana prajurit yang terlibat dalam korupsi atau pelanggaran HAM di sektor sipil sulit untuk diadili di peradilan umum yang transparan dan imparsial. Tanpa adanya reformasi peradilan militer yang sejajar dengan revisi UU TNI, perluasan jabatan sipil bagi militer hanya akan memperlemah kontrol hukum terhadap aparat bersenjata.
Selain itu, keterlibatan militer dalam sektor ekonomi melalui program ketahanan pangan dan pengawasan SDA dapat memicu pelanggaran hak asasi manusia di tingkat akar rumput. Penggunaan struktur Komando Teritorial (Koter) untuk mengawasi petani atau mengamankan Proyek Strategis Nasional (PSN) sering kali berakhir dengan intimidasi terhadap warga sipil yang memiliki aspirasi berbeda dengan pemerintah. Munculnya fenomena “Batalyon Teritorial Pembangunan” dan peningkatan jumlah personel Kodim secara masif di daerah-daerah dianggap sebagai upaya untuk menciptakan “negara di dalam negara” yang berfungsi sebagai instrumen kontrol sosial yang efektif namun tidak demokratis.
| Risiko Utama | Deskripsi Dampak Terhadap Negara | Potensi Jangka Panjang |
| Krisis Meritokrasi | Jalur karir PNS/ASN terhambat oleh masuknya militer. | Penurunan kualitas layanan publik dan demoralisasi birokrat sipil. |
| Loyalitas Ganda | Kebingungan antara perintah Panglima TNI dan Menteri Sipil. | Ketidakstabilan komando dalam pengambilan keputusan kritis. |
| Impunitas Hukum | Pidana umum militer tetap di peradilan militer. | Lemahnya penegakan hukum terhadap oknum aparat di ranah sipil. |
| Distorsi Ekonomi | Militer mengintervensi pasar pangan dan SDA. | Terhambatnya kompetisi sehat dan eksploitasi sumber daya secara paksa. |
| Militerisme | Normalisasi kehadiran senjata dalam urusan domestik. | Penurunan kualitas kebebasan berpendapat dan berkumpul. |
Kesimpulan: Menakar Masa Depan Hubungan Sipil-Militer Indonesia
Perjalanan panjang doktrin Dwifungsi ABRI dari masa revolusi, melalui masa kegelapan Orde Baru, hingga upaya pembersihan di era Reformasi, menunjukkan bahwa militer adalah aktor politik yang sangat ulet dalam sejarah Indonesia. Relevansi dwifungsi saat ini tidak lagi mewujud dalam bentuk kursi di parlemen atau dominasi total partai politik, melainkan melalui penetrasi sistemik dalam birokrasi, pengelolaan bencana, keamanan siber, dan ekonomi strategis yang dilegalkan melalui instrumen hukum baru seperti UU TNI 2025.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa ekspansi peran TNI adalah untuk kepentingan nasional dan efisiensi birokrasi, bukti-bukti lapangan menunjukkan adanya risiko regresi demokrasi yang serius. Munculnya “Multifungsi TNI” mengancam prinsip supremasi sipil yang menjadi mandat utama Reformasi 1998. Tanpa adanya kontrol sipil yang kuat, transparansi dalam proses legislasi, dan reformasi peradilan militer yang mendalam, Indonesia berisiko kembali ke pola-pola kekuasaan masa lalu di mana senjata dan birokrasi menyatu untuk membungkam aspirasi demokratis.
Masa depan hubungan sipil-militer di Indonesia akan sangat bergantung pada keberanian otoritas sipil—baik presiden, parlemen, maupun masyarakat sipil—untuk menetapkan batas-batas yang tegas bagi peran militer. Profesionalisme militer seharusnya tidak diukur dari seberapa banyak jabatan sipil yang bisa mereka isi, melainkan dari seberapa tangguh mereka dalam melindungi kedaulatan negara dari ancaman eksternal tanpa mengintervensi kehidupan sipil. Jika kecenderungan saat ini terus berlanjut tanpa evaluasi kritis, maka jargon “kembali ke barak” akan menjadi sekadar catatan kaki dalam sejarah, sementara dwifungsi dalam format barunya akan terus menjadi realitas politik Indonesia di masa depan. Pengawasan publik yang ketat terhadap implementasi UU TNI 2025 dan kebijakan penempatan perwira aktif adalah kunci untuk mencegah Indonesia jatuh kembali ke dalam pelukan militerisme yang telah lama coba ditinggalkan.
