Fenomena transportasi publik di Indonesia saat ini mencerminkan sebuah paradoks pembangunan perkotaan yang sangat kontras antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Di satu sisi, terdapat kota-kota yang berhasil melakukan lompatan kuantum dalam menyediakan layanan mobilitas yang terintegrasi, modern, dan inklusif. Di sisi lain, banyak kota besar yang justru mengalami degradasi layanan angkutan umum yang kronis, di mana moda transportasi konvensional terjebak dalam kondisi mati suri, ditinggalkan oleh penumpang, dan kalah bersaing dengan kendaraan pribadi maupun transportasi daring. Perbedaan nasib antara kota-kota ini bukan sekadar masalah ketersediaan anggaran atau kecanggihan infrastruktur fisik semata, melainkan manifestasi dari keberadaan atau ketiadaan kemauan politik (political will) dari para kepala daerah untuk menempatkan transportasi publik sebagai isu sentral dalam agenda pembangunan mereka.
Urbanisasi yang berlangsung sangat cepat di Indonesia telah menjadi kenyataan sosiologis yang menuntut kesiapan sistem transportasi darat yang mumpuni. Diprediksi bahwa pada tahun 2025, sekitar 60% penduduk Indonesia akan menetap di daerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang masif ini membawa konsekuensi logis berupa peningkatan volume pergerakan yang jika tidak dikelola dengan baik akan berujung pada kemacetan parah, penurunan kualitas udara akibat emisi karbon, dan inefisiensi ekonomi.3 Namun, realitas menunjukkan bahwa koordinasi tata ruang dan pengembangan transportasi umum sering kali tidak sejalan dengan kecepatan urbanisasi tersebut. Sebagai contoh, di wilayah Jabodetabek, penggunaan transportasi umum masih tertahan di kisaran 10% hingga 20%, sebuah angka yang sangat jauh dari target ideal sebesar 60% yang dicanangkan untuk tahun 2029.5 Kegagalan mencapai target ini sering kali berakar pada kondisi internal dan eksternal angkutan umum yang buruk, yang membuat masyarakat kehilangan niat untuk beralih dari kendaraan pribadi.
Landasan Teoretis Kemauan Politik dalam Kebijakan Transportasi
Keberhasilan transformasi sistem transportasi di tingkat lokal sangat bergantung pada komitmen atau kesungguhan pemerintah daerah dalam memandang masalah transportasi sebagai prioritas pembangunan. Kemauan politik dalam konteks ini dapat dipahami sebagai kesediaan pemimpin politik untuk melakukan tindakan nyata guna mencapai tujuan jangka panjang yang disertai dengan usaha berkelanjutan. Tanpa adanya political will yang kuat, program-program transportasi hanya akan menjadi kebijakan yang bersifat parsial, tidak konsisten, dan mudah terhenti ketika terjadi pergantian kepemimpinan atau tekanan dari kelompok kepentingan tertentu.
| Komponen Kemauan Politik | Manifestasi dalam Transportasi Publik | Dampak Terhadap Keberhasilan Sistem |
| Inisiatif Pemerintah | Munculnya kebijakan inovatif tanpa paksaan pihak luar, seperti digitalisasi rute. | Mempercepat adopsi teknologi dan respons terhadap kebutuhan warga. |
| Penentuan Prioritas | Penempatan anggaran transportasi dalam posisi strategis di APBD dibandingkan proyek jalan baru. | Menjamin keberlangsungan operasional dan pemeliharaan infrastruktur. |
| Mobilisasi Para Pihak | Kemampuan menggalang dukungan dari legislatif, operator swasta, dan masyarakat. | Meminimalkan resistensi sosial dari operator angkutan konvensional. |
| Keberlanjutan Usaha | Kebijakan yang tetap berjalan lintas periode kepemimpinan dan tidak hanya saat kampanye. | Menciptakan kepastian bagi investor dan kepercayaan bagi pengguna jasa. |
Berdasarkan kerangka teori Brinkerhoff, kemauan politik sering kali diuji ketika pemerintah daerah dihadapkan pada tantangan lingkungan, seperti polusi udara yang mendesak. Di beberapa kota seperti Palembang, meskipun sudah ada regulasi formal mengenai pengendalian emisi, implementasinya sering kali masih terhambat oleh keterbatasan anggaran dan lemahnya koordinasi antarlembaga. Hal ini menunjukkan bahwa kemauan politik yang hanya bersifat formalitas tanpa dukungan alokasi sumber daya yang memadai tidak akan mampu menghasilkan transformasi yang signifikan. Sebaliknya, pemimpin daerah yang memiliki visi jangka panjang akan berani melakukan restrukturisasi kelembagaan, seperti mengubah status pengelola transportasi dari Badan Layanan Umum (BLU) yang terbebani target profit menjadi entitas yang lebih fokus pada kualitas pelayanan publik.
Studi Kasus Keberhasilan: Transformasi Terintegrasi di Jakarta dan Surakarta
Kota Jakarta dan Surakarta (Solo) sering kali dijadikan model rujukan nasional dalam hal keberhasilan transformasi transportasi lokal. Di Jakarta, kemauan politik gubernur berperan krusial dalam membangun ekosistem transportasi yang adil melalui program JakLingko. JakLingko bukan sekadar penyatuan sistem pembayaran, melainkan sebuah integrasi total yang mencakup aspek fisik, tarif, dan kelembagaan. Program ini berhasil menghubungkan berbagai moda mulai dari MRT, LRT, Transjakarta, hingga angkutan kota yang dibranding ulang menjadi Mikrotrans. Keberanian pemimpin daerah untuk mengintegrasikan operator-operator kecil ke dalam sistem korporasi besar merupakan langkah politik yang berisiko namun terbukti mampu menurunkan indeks kemacetan secara nyata.
| Indikator Performa | JakLingko (Jakarta) | Batik Solo Trans (Surakarta) |
| Jangkauan Wilayah | 92% wilayah terkoneksi pada akhir 2022. | Melayani pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan pendidikan. |
| Sistem Tarif | Tarif terintegrasi dan tarif khusus untuk kelompok prioritas. | Tarif terjangkau dengan skema Buy The Service (BTS). |
| Integrasi Pembayaran | Satu kartu dan satu aplikasi untuk semua moda. | Pembayaran nontunai dengan sistem pelacakan armada. |
| Kepuasan Pelanggan | Sangat baik dalam dimensi responsivitas dan empati. | Dinilai baik dalam aspek keamanan dan kenyamanan. |
Di Surakarta, keberhasilan Batik Solo Trans (BST) menunjukkan bahwa kota dengan skala menengah pun dapat memiliki sistem transportasi yang mumpuni jika didukung oleh sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah Kota Surakarta secara konsisten melakukan koordinasi lintas sektor dan menjalin kemitraan publik-swasta untuk menjaga keberlanjutan layanan. Peran Wali Kota Surakarta dalam menempatkan integrasi transportasi sebagai langkah strategis merespons dinamika urbanisasi telah membuahkan hasil berupa peningkatan kualitas hidup warga dan daya saing daerah. Hal ini tercermin dari skor Indeks Daya Saing Daerah (IDSD) Kota Solo yang mencapai 4,39 pada tahun 2024, menempatkannya sebagai salah satu kota termaju di Indonesia.
Analisis Kota yang Mengalami Stagnasi: Bandung dan Medan
Berbanding terbalik dengan Jakarta dan Solo, kota-kota seperti Bandung dan Medan menghadapi tantangan berat dalam mereformasi angkutan umumnya. Di Bandung, meskipun sempat menjadi pelopor dalam beberapa inisiatif transportasi, kenyataannya penggunaan transportasi publik hanya mencapai 13% dari total populasi. Penurunan minat masyarakat terhadap angkutan kota (angkot) di Bandung disebabkan oleh kualitas layanan yang semakin memburuk, armada yang menua, serta ketidakpastian waktu tempuh akibat kebiasaan “ngetem”.1Masyarakat Bandung secara rasional lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi online yang menawarkan fleksibilitas dan kenyamanan lebih tinggi.
Salah satu faktor penghambat utama di Bandung adalah struktur tata ruang yang tidak mendukung operasional bus besar di kawasan pemukiman. Jalan-jalan yang sempit menyulitkan angkutan umum untuk melayani seluruh kawasan secara merata, sehingga mendorong warga untuk memiliki kendaraan pribadi. Selain itu, dominasi kendaraan pribadi di jalanan Bandung sangat timpang; angkutan umum hanya menguasai sekitar 0,8% dari total ruang jalan, yang secara otomatis memperparah kemacetan. Tanpa adanya kebijakan pembatasan kendaraan pribadi yang tegas dan revitalisasi angkot yang menyentuh aspek kesejahteraan sopir, sistem transportasi di Bandung akan terus terjebak dalam kondisi stagnasi.
| Faktor Kegagalan | Analisis Kondisi di Kota Bandung | Analisis Kondisi di Kota Medan |
| Kualitas Armada | Mayoritas armada angkot sudah tua dan tidak terawat. | Kondisi bus BTS cukup baik, namun mikrobus konvensional masih buruk. |
| Kepastian Waktu | Jadwal tidak teratur dan sering ngetem di sembarang tempat. | Masih ada tumpang tindih rute dengan angkutan tradisional. |
| Infrastruktur | Kurangnya halte yang representatif dan jalur khusus bus. | Fasilitas pendukung di beberapa koridor masih sangat minim. |
| Persaingan Moda | Kalah bersaing dengan ojek online dalam aksesibilitas. | Rendahnya load factor bus karena masyarakat masih bergantung pada mikrobus. |
Di Kota Medan, implementasi layanan bus dengan skema Buy The Service (BTS) melalui Trans Metro Deli telah memberikan alternatif transportasi yang nyaman bagi warga. Namun, survei menunjukkan bahwa fasilitas pendukung seperti halte masih perlu banyak perbaikan agar dapat melayani kelompok rentan dan penyandang disabilitas secara maksimal. Selain itu, tantangan di Medan serupa dengan kota-kota besar lainnya, yaitu adanya resistensi dari operator angkutan konvensional dan rendahnya jumlah penumpang pada koridor-koridor tertentu karena masyarakat belum sepenuhnya beralih dari kebiasaan menggunakan mikrobus yang rutenya lebih fleksibel namun tidak teratur.
Dampak Disrupsi Transportasi Daring dan Tantangan Adaptasi
Munculnya transportasi berbasis aplikasi digital telah mengubah lanskap mobilitas perkotaan di Indonesia secara drastis dalam satu dekade terakhir. Ojek online dan taksi online menawarkan kemudahan akses, transparansi harga, dan layanan pintu ke pintu yang tidak dapat dipenuhi oleh sistem angkutan umum tradisional yang kaku. Dampak langsung dari fenomena ini adalah penurunan pendapatan yang signifikan bagi para sopir angkot dan tukang becak konvensional, yang di beberapa kota memicu konflik sosial dan aksi penolakan.
Namun, keberadaan transportasi online sebenarnya dapat dipandang sebagai peluang jika dikelola dengan regulasi yang tepat. Lembaga seperti ITDP Indonesia menyarankan agar transportasi daring diarahkan sebagai pengumpan (feeder) bagi angkutan umum massal dengan pembatasan jarak tempuh maksimal, misalnya hanya untuk perjalanan di bawah 5 km. Hal ini bertujuan untuk menciptakan sinergi di mana transportasi online menutup celah aksesibilitas (first and last mile) sementara moda massal melayani koridor utama kota.24 Sayangnya, banyak pemerintah daerah belum memiliki kapasitas atau kemauan politik untuk menyusun aturan main yang adil, sehingga persaingan bebas yang terjadi justru semakin mematikan angkutan umum formal.
Mekanisme Pendanaan dan Subsidi: Peran Pemerintah Pusat vs Daerah
Transformasi transportasi publik membutuhkan investasi yang besar dan berkelanjutan. Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan telah mengalokasikan anggaran subsidi yang terus meningkat untuk mendukung layanan PSO (Public Service Obligation) dan angkutan perintis. Pada tahun 2024, total anggaran subsidi transportasi umum mencapai Rp 12,2 triliun, yang mencakup operasional bus BTS di 11 kota besar. Namun, ketergantungan pada stimulus pemerintah pusat tanpa disertai inisiatif pendanaan mandiri dari pemerintah daerah sering kali menjadi penyebab kegagalan program dalam jangka panjang.
| Tahun Anggaran | Total Alokasi Subsidi (Triliun Rp) | Cakupan Utama Layanan |
| 2021 | – | Subsidi Laut dan Perkeretaapian. |
| 2022 | 3,2 | Subsidi khusus untuk Kereta Api dan KRL. |
| 2023 | 9,1 | Subsidi perintis dan PSO di semua moda. |
| 2024 | 12,2 | Layanan BTS di 11 kota dan peningkatan PSO. |
Masalah klasik yang sering ditemui adalah ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menyediakan infrastruktur pendukung seperti halte, jalur khusus bus, maupun sistem informasi rute yang terintegrasi setelah mendapatkan bantuan bus dari pusat. Perbedaan antara keberhasilan Trans Musi di Palembang dan stagnasi Trans Pakuan di Bogor secara jelas menunjukkan bahwa stimulus dari pemerintah pusat hanya akan efektif jika pemerintah daerah memiliki niat yang kuat untuk mengembangkan unit-unit bantuan tersebut melalui kebijakan anggaran daerah yang pro-transportasi publik.
Peran Strategis Organisasi Profesi dan Lembaga Non-Pemerintah
Dalam mendorong transformasi transportasi lokal, peran aktor non-negara seperti Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dan ITDP Indonesia sangatlah vital. MTI berfungsi sebagai mitra strategis pemerintah yang memberikan masukan berbasis riset dan advokasi kebijakan untuk mewujudkan transportasi berkelanjutan. Mereka secara konsisten mendesak pemerintah untuk beralih dari kebijakan yang mendorong penggunaan kendaraan pribadi menuju penguatan sistem transportasi massal yang aman, hemat, dan berkeadilan. MTI juga menyoroti pentingnya integrasi tarif nasional sebagai “seni menyusun irama” untuk memastikan semua moda berjalan dalam satu harmoni pelayanan.
ITDP Indonesia berperan aktif dalam memberikan pendampingan teknis kepada pemerintah daerah terkait perencanaan sistem BRT (Bus Rapid Transit), pengembangan jalur sepeda, hingga implementasi kawasan rendah emisi. Melalui kampanye seperti Urban Transport Day, ITDP mengingatkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam setiap tahap perencanaan agar sistem yang dibangun benar-benar inklusif dan menjawab kebutuhan nyata warga, termasuk perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Tanpa adanya tekanan dan masukan dari lembaga-lembaga ini, arah kebijakan transportasi daerah sering kali hanya terjebak pada proyek-proyek fisik jangka pendek yang tidak menyentuh akar permasalahan mobilitas.
Kesimpulan dan Arah Masa Depan Mobilitas Lokal
Keberhasilan transformasi transportasi lokal di Indonesia tidak ditentukan oleh seberapa besar anggaran yang dimiliki suatu kota, melainkan oleh seberapa kuat kemauan politik pemimpinnya untuk merombak sistem yang ada demi kepentingan publik. Jakarta dan Surakarta telah membuktikan bahwa integrasi yang menyeluruh—mencakup aspek fisik, tarif, dan kelembagaan—adalah kunci untuk menarik kembali masyarakat menggunakan angkutan umum. Sebaliknya, kota-kota yang membiarkan angkutan kotanya berjalan tanpa pengawasan dan tanpa integrasi hanya akan mempercepat kematian moda transportasi tersebut di tengah gempuran disrupsi digital.
Untuk masa depan, diperlukan pergeseran paradigma dari sekadar “membangun jalan” menjadi “mengatur pergerakan orang”. Pemerintah daerah harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer namun diperlukan, seperti manajemen parkir yang ketat, pembatasan lalu lintas kendaraan pribadi, dan pengalokasian ruang jalan yang lebih adil bagi pejalan kaki serta pengguna transportasi massal. Sinergi antara pemerintah pusat yang menyediakan stimulus anggaran dan pemerintah daerah yang memiliki visi strategis akan menjadi faktor penentu apakah transportasi lokal di Indonesia akan terus berkembang atau semakin tertinggal dalam hiruk-pikuk urbanisasi yang tidak terkendali. Pelajaran dari keberhasilan JakLingko dan Batik Solo Trans harus segera diadopsi secara luas oleh kota-kota lain sebelum kemacetan dan polusi udara mencapai titik yang tidak dapat dipulihkan kembali.
