Dinamika interaksi sosial di ruang digital Indonesia pada dekade ketiga abad ke-21 menyajikan sebuah kontradiksi sosiologis yang sangat kompleks. Di satu sisi, jati diri bangsa Indonesia secara historis dan kultural dibangun di atas fondasi keramah-tamahan, kesantunan, dan kolektivitas yang tertuang dalam berbagai kearifan lokal. Di sisi lain, data empiris menunjukkan bahwa ruang digital Indonesia sering kali menjadi episentrum bagi agresi verbal, ujaran kebencian, dan fragmentasi sosial yang tajam. Fenomena ini menciptakan urgensi untuk meninjau kembali relevansi nilai-nilai tradisional, khususnya filosofi Jawa Tepo Seliro, sebagai instrumen etika diskursif di tengah hegemoni algoritma media sosial yang cenderung memicu polarisasi.
Lanskap Digital Indonesia 2025: Paradoks Konektivitas dan Keadaban
Perkembangan teknologi informasi di Indonesia telah mencapai titik penetrasi yang sangat signifikan. Hingga awal tahun 2025, data menunjukkan pertumbuhan yang masif dalam jumlah pengguna internet dan koneksi seluler, yang secara fundamental mengubah cara masyarakat berkomunikasi dan berinteraksi. Namun, pertumbuhan infrastruktur digital ini tidak selalu berjalan selaras dengan peningkatan kualitas interaksi sosial dalam ruang virtual.
| Metrik Digital Indonesia | Statistik (Januari 2025) | Pertumbuhan Tahunan (YoY) |
| Total Koneksi Seluler | 356 Juta (125% dari populasi) | +1,6% (+5,7 Juta) |
| Pengguna Internet Aktif | 212 Juta (74,6% dari populasi) | +8,7% (+17 Juta) |
| Identitas Pengguna Media Sosial | 143 Juta (50,2% dari populasi) | +2,9% (+4 Juta) |
| Waktu Rata-rata di Media Sosial | 3 Jam 8 Menit per hari | -1,3% (-3 Menit) |
| Rata-rata Platform yang Digunakan | 7,9 Platform per bulan | +1,3% (+0,1 Platform) |
Data tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas penduduk Indonesia kini hidup dalam kondisi “selalu terhubung”. Dengan rata-rata penggunaan media sosial melebihi tiga jam setiap harinya, individu secara terus-menerus terpapar pada arus informasi yang dikurasi oleh algoritma. Masalah muncul ketika paparan yang intens ini justru berkontribusi pada penurunan keadaban digital. Laporan Digital Civility Index (DCI) menempatkan netizen Indonesia pada peringkat yang mengkhawatirkan di Asia Tenggara, dengan skor 76 pada evaluasi terakhir—di mana skor yang lebih rendah mencerminkan tingkat kesantunan yang lebih baik.
Kondisi ini menciptakan apa yang disebut sebagai paradoks digital: sebuah bangsa yang di dunia nyata sangat menjunjung tinggi unggah-ungguh (tata krama), namun di dunia maya sering kali dipersepsikan sebagai salah satu yang paling tidak sopan. Ketidakhadiran fisik dalam interaksi digital, yang sering kali bersifat anonim, tampaknya melunturkan filter moral yang biasanya bekerja dalam interaksi tatap muka.
Ontologi Tepo Seliro: Akar Filosofis dan Relevansi Kontemporer
Dalam tradisi budaya Jawa, Tepo Seliro bukan sekadar istilah etika yang dangkal, melainkan sebuah kerangka berpikir yang mendalam mengenai eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Secara etimologis, Tepo berarti mengukur atau membandingkan, dan Seliro berarti diri sendiri atau badan. Secara substansial, kearifan lokal ini mengajarkan seseorang untuk mengukur perasaan orang lain dengan standar perasaan diri sendiri.
Komponen Filosofis Tepo Seliro
Prinsip Tepo Seliro mencakup aspek-aspek moral yang sangat krusial jika diintegrasikan ke dalam etika berkomentar di media sosial:
- Mawas Diri (Kesadaran Diri): Kemampuan untuk mengontrol sikap dan ucapan dengan menyadari bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi sosial. Dalam konteks digital, ini berarti memiliki kesadaran untuk tidak mengirimkan komentar impulsif yang bersifat menghakimi.
- Empati Aktif: Bukan sekadar memahami, tetapi secara aktif mencoba menempatkan diri pada perspektif orang lain sebelum memberikan respons. Hal ini selaras dengan ajaran Tat Tvam Asi (Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku) yang menekankan kesatuan kemanusiaan.
- Andhap Asor (Rendah Hati): Menghindari sikap merasa paling benar atau superior, terutama dalam diskusi daring yang sering kali berubah menjadi debat kusir.
- Tenggang Rasa: Kepekaan terhadap situasi sosial dan budaya sekitar, yang mengharuskan individu untuk menghargai perbedaan latar belakang lawan bicara.
Integrasi nilai-nilai ini ke dalam ruang digital bertujuan untuk mengembalikan martabat luhur manusia sebagai citra Tuhan yang memiliki akal budi dan suara hati. Ketika seseorang menerapkan Tepo Seliro, ia tidak lagi melihat avatar di layar sebagai objek semata, melainkan sebagai subjek manusia yang memiliki hak untuk dihargai dan tidak disakiti.
Hegemoni Algoritma: Mesin Penyekatan dan Fragmentasi Sosial
Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan etika tradisional di ruang digital adalah arsitektur teknis dari media sosial itu sendiri. Algoritma media sosial beroperasi dengan logika yang sering kali bertentangan dengan prinsip harmoni sosial. Tujuan utama algoritma adalah memaksimalkan keterlibatan pengguna (user engagement) untuk kepentingan profitabilitas iklan.
Mekanisme Polarisasi Algoritmik
Analisis terhadap pengoperasian algoritma mengungkapkan beberapa mekanisme yang secara langsung mengikis nilai-nilai Tepo Seliro:
- Filter Bubbles dan Echo Chambers: Algoritma menyaring informasi berdasarkan preferensi masa lalu pengguna, sehingga menciptakan ruang gema di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang memperkuat bias mereka sendiri. Studi menunjukkan bahwa fenomena ini mengurangi paparan terhadap perspektif yang berbeda hingga 40%.
- Outrage Economy (Ekonomi Kemarahan): Konten yang bersifat provokatif, memicu amarah, atau kontroversial terbukti menghasilkan keterlibatan tiga kali lebih tinggi dibandingkan konten netral atau edukatif. Algoritma secara sistematis mempromosikan konten yang memecah belah karena konten tersebut lebih efektif dalam menjaga pengguna tetap berada di platform.
- Segregasi Digital: Media sosial cenderung merangkul pengguna dalam jaringan pergaulannya sendiri yang homogen. Hal ini menyebabkan pengguna tercerabut dari keterlibatan dengan khalayak yang lebih luas, sehingga kemampuan untuk bertenggang rasa terhadap kelompok yang berbeda menjadi tumpul.
Logika penyekatan ini membawa kerentanan bagi ketahanan sosial masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, dalam konteks pemilihan umum atau isu-isu religius, algoritma dapat mempercepat penyebaran narasi yang membingkai kontestasi politik sebagai “konflik eksistensial”, yang pada akhirnya memicu ujaran kebencian dan permusuhan antar-kelompok.
Dampak Empiris Algoritma terhadap Perilaku Publik
Dampak dari mekanisme algoritma ini tercermin dalam berbagai laporan global dan lokal yang menunjukkan peningkatan ekstremisme dan fragmentasi politik.
| Fenomena Algoritmik | Dampak Sosiologis di Indonesia | |
| Bias Informasi | Pengguna kehilangan kemampuan berpikir independen dan keberagaman opini. | |
| Peningkatan Ekstremisme | Grup radikal direkomendasikan 64% lebih sering ke pengguna dengan kecenderungan tertentu. | |
| Polarisasi Politik | Narasi yang berbeda 89% lebih sering terpapar pada pendukung kubu yang berbeda. | |
| Penyebaran Hoaks | Misinformasi menyebar lebih cepat karena fragmentasi jaringan digital. |
Psikodinamika Komentar: Anonimitas dan Efek Disinhibisi Online
Kegagalan penerapan Tepo Seliro di media sosial juga berakar pada perubahan psikologis yang dialami individu saat berada dalam ruang virtual. Perbedaan antara interaksi tatap muka dan interaksi berbasis teks di layar menciptakan fenomena yang dikenal sebagai Online Disinhibition Effect (Efek Disinhibisi Online).
Peran Anonimitas Visual
Dalam interaksi tatap muka, kehadiran fisik lawan bicara memberikan isyarat sosial yang kaya, seperti ekspresi wajah, nada suara, dan bahasa tubuh. Isyarat-isyarat ini memicu interpretasi kognitif dan emosional yang memaksa individu untuk mengontrol perilakunya agar tetap selaras dengan norma sosial. Sebaliknya, media sosial menawarkan anonimitas visual yang berdampak pada:
- Keterbebasan Identitas: Pengguna merasa bebas dari identitas tubuh dan ruang fisik, sehingga mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab atas dampak dari ucapannya.
- Reduksi Empati: Tanpa melihat reaksi emosional langsung dari lawan bicara, pengguna sulit mempraktikkan Tepo Seliro. Lawan bicara hanya dianggap sebagai deretan teks yang tidak bernyawa.
- Toxic Disinhibition (Disinhibisi Merusak): Seseorang menjadi lebih berani mengungkapkan sisi gelap diri, melakukan perundungan siber (cyberbullying), atau menyebarkan kebencian karena merasa terlindungi oleh layar.
Data survei Microsoft mencatat bahwa 47% responden di Indonesia pernah terlibat dalam perundungan siber, dengan kelompok milenial dan Generasi Z menjadi kelompok yang paling terpapar risiko ini. Ketidakhadiran isyarat sosial ini melemahkan standar etika tradisional, sehingga interaksi di media sosial sering kali bersifat dangkal dan kurang mendalam secara emosional.
Institusionalisasi Etika: Peran Komite Etika Berinternet dan Literasi Digital
Menghadapi tantangan ganda dari algoritma dan disinhibisi psikologis, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengambil langkah-langkah sistematis untuk mengintegrasikan kembali nilai-nilai kearifan lokal ke dalam ruang digital. Salah satu langkah kuncinya adalah pembentukan Net Ethics Committee (NEC) atau Komite Etika Berinternet pada Februari 2021.
Tugas dan Strategi Net Ethics Committee (NEC)
NEC dibentuk sebagai respons terhadap rendahnya tingkat kesopanan netizen Indonesia. Tugas utamanya meliputi:
- Merumuskan Panduan Praktis: Menciptakan pedoman budaya dan etika berinternet yang berlandaskan pada asas kejujuran, penghargaan, kebajikan, kesantunan, dan penghormatan terhadap privasi.
- Meningkatkan Literasi Digital: Melalui Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi, pemerintah berupaya menumbuhkan kecakapan digital yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga etis.
- Edukasi Multisektoral: Melibatkan tokoh masyarakat, agama, akademisi, dan pegiat literasi untuk mensosialisasikan pentingnya adab digital yang disinergikan dengan nilai-nilai luhur seperti gotong royong dan Tepo Seliro.
Upaya ini dioperasionalkan melalui empat pilar literasi digital utama: Digital Skills (Kecakapan Digital), Digital Ethics (Etika Digital), Digital Culture (Budaya Digital), dan Digital Safety (Keamanan Digital). Dalam pilar Budaya Digital, penekanan diberikan pada bagaimana nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal dapat menjadi filter terhadap konten negatif dan perilaku agresif.
Modul Literasi Digital Berbasis Budaya Lokal
Sebagai bagian dari strategi jangka panjang, telah dikembangkan berbagai modul literasi digital yang secara spesifik memasukkan elemen budaya lokal. Contohnya adalah pengembangan modul yang menggunakan hikayat dan tradisi masyarakat di Jawa Tengah untuk mengajarkan kesantunan berbahasa kepada siswa menengah atas. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan materi yang akrab dengan latar belakang budaya peserta didik jauh lebih efektif dalam mengubah perilaku dibandingkan dengan materi yang bersifat teknis-abstrak.
Mitigasi Teknis: Algoritma vs. Algoritma
Meskipun penguatan etika individu melalui Tepo Seliro sangat penting, intervensi teknis juga diperlukan untuk melawan dampak negatif algoritma. Pengembangan teknologi AI untuk deteksi ujaran kebencian menjadi salah satu instrumen penting dalam moderasi ruang digital.
Implementasi Sistem Deteksi Ujaran Kebencian
Penelitian di bidang informatika telah mencoba menerapkan algoritma seperti Support Vector Machine (SVM) dan Recursive Neural Network (RNN) untuk mengidentifikasi ujaran kebencian di media sosial secara otomatis. Sistem ini bekerja dengan menganalisis sentimen publik dan pola bahasa yang merendahkan individu atau kelompok.
| Parameter Kinerja AI | Nilai Rata-rata (RNN) | Interpretasi |
| Precision | 0,78 | Akurasi sistem dalam menentukan konten yang benar-benar ujaran kebencian. |
| Recall | 0,74 | Kemampuan sistem untuk menemukan semua konten ujaran kebencian yang ada. |
| Accuracy | 0,76 | Tingkat keberhasilan keseluruhan sistem dalam klasifikasi. |
| F-Measure | 0,76 | Keseimbangan antara precision dan recall. |
Meskipun performa sistem ini cukup baik, teknologi saja tidak cukup. Terdapat fenomena di mana pengguna yang melihat ujaran kebencian cenderung memilih untuk mendiamkannya saja, terutama jika mereka bukan merupakan bagian dari kelompok yang diserang. Inilah titik di mana Tepo Seliro harus berperan sebagai motor penggerak partisipasi aktif: individu yang memiliki empati tinggi tidak akan membiarkan ketidakadilan terjadi di depan matanya, baik di dunia nyata maupun digital.
Reorientasi Etika Berkomentar: Strategi Implementasi Tepo Seliro
Agar nilai-nilai etika tradisional dapat diterapkan secara efektif di media sosial, diperlukan dekonstruksi terhadap cara kita memandang interaksi digital. Tepo Seliro harus ditransformasikan dari sekadar nasihat kuno menjadi kompetensi digital praktis.
Operasionalisasi Tepo Seliro dalam Praktik Digital
- Filter Mandiri Sebelum Share/Comment: Setiap individu harus membiasakan diri untuk berhenti sejenak dan bertanya: “Jika saya berada di posisi orang tersebut, bagaimana perasaan saya menerima komentar ini?” Tindakan sederhana ini merupakan bentuk pengendalian diri (mawas diri) yang paling efektif.
- Verifikasi dan Tabayyun: Menghindari penyebaran informasi tanpa cek fakta. Tepo Seliro mengajarkan tanggung jawab sosial untuk tidak merugikan orang lain melalui berita bohong yang dapat merusak reputasi atau menimbulkan keresahan.
- Etika Bahasa yang Inklusif: Menggunakan bahasa yang santun, menghindari stereotip, dan tidak memandang rendah orang lain. Kesantunan berbahasa mencerminkan penghormatan terhadap martabat manusia.
- Manajemen Konflik Secara Damai: Mengedepankan dialog dan musyawarah daripada konfrontasi. Jika terjadi perbedaan pendapat, gunakan pendekatan yang mencari solusi bersama daripada sekadar memenangkan argumen.
Transformasi Perilaku Melalui Pendidikan Karakter
Internalisasi Tepo Seliro tidak dapat terjadi secara instan. Ia membutuhkan upaya konsisten dalam pendidikan karakter, terutama bagi Generasi Alpha yang tumbuh dalam lingkungan serba digital. Penyuluhan budaya di sekolah-sekolah terbukti dapat menurunkan perilaku negatif seperti phubbing dan meningkatkan penghargaan terhadap interaksi langsung.
Kritik Terhadap Digital Civility dan Tantangan Masa Depan
Meskipun berbagai inisiatif telah dilakukan, tantangan dalam memperbaiki keadaban digital Indonesia tetap besar. Beberapa kritik menunjukkan bahwa pengukuran literasi digital sejauh ini masih sering bersifat asumsi dan belum sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan riil di lapangan. Selain itu, terdapat risiko di mana program-program literasi digital menjadi kurang efektif jika infrastruktur aplikasi yang disediakan tidak mampu menampung partisipasi masyarakat dengan baik.
Tren Mendatang: The Liveable Web
Muncul sebuah gerakan baru yang disebut sebagai The Liveable Web atau internet yang layak huni. Gerakan ini mendorong pengguna untuk memprioritaskan konsumsi konten yang lebih lambat, lebih sadar, dan memisahkan kebahagiaan dari sekadar kemajuan jumlah pengikut atau keterlibatan digital. Audiens mulai mencari tempat perlindungan dari beban emosional akibat tren yang terlalu cepat dan konten yang tidak henti-hentinya. Konsep ini sangat sejalan dengan filosofi Tepo Seliro yang mengutamakan kedamaian dan kenyamanan hidup bersama daripada kompetisi ego yang melelahkan.
Sintesis dan Rekomendasi Strategis
Ulasan mendalam ini menunjukkan bahwa nilai-nilai etika tradisional seperti Tepo Seliro bukan hanya bisa, tetapi sangat perlu diterapkan dalam etika berkomentar di media sosial. Algoritma, meskipun memiliki kekuatan besar untuk memecah belah, tetap merupakan alat yang dapat dikendalikan melalui regulasi yang ketat dan kesadaran pengguna yang tinggi.
Kesimpulan dan Arah Kebijakan
- Sinergi Manusia dan Teknologi: Solusi terhadap polarisasi digital tidak bisa hanya bersifat teknis (algoritma) atau hanya bersifat moral (etika). Diperlukan kolaborasi antara platform yang menyediakan algoritma etis, pemerintah yang menyediakan regulasi adil, dan masyarakat yang memiliki literasi digital tinggi berdasarkan kearifan lokal.
- Internalisasi Nilai Tradisional dalam Desain: Platform media sosial harus didorong untuk mengintegrasikan fitur-fitur yang memicu empati, seperti prompt peringatan sebelum mengirim komentar kasar atau transparansi algoritma agar pengguna menyadari jika mereka berada dalam echo chamber.
- Penguatan Ketahanan Sosial: Etika berkomentar yang baik adalah kunci bagi ketahanan nasional Indonesia. Di tengah keberagaman, hanya melalui tenggang rasa dan Tepo Seliro kita dapat mencegah perpecahan yang dipicu oleh segregasi digital.
Masa depan digital Indonesia bergantung pada kemampuan kita untuk menjaga jati diri bangsa di tengah arus globalisasi. Dengan menjadikan Tepo Seliro sebagai landasan dalam setiap komentar dan interaksi daring, kita dapat mengubah wajah ruang digital Indonesia dari medan konflik menjadi ruang diskusi yang produktif, santun, dan manusiawi. Keberhasilan transformasi ini akan membuktikan bahwa kemajuan teknologi tidak harus mengorbankan keluhuran budi pekerti, melainkan justru dapat menjadi sarana untuk memperluas jangkauan kebaikan tradisional ke seluruh dunia.
