Transformasi geopolitik Tiongkok pada awal abad ke-15 menandai salah satu periode paling ambisius dalam sejarah maritim global. Di bawah naungan Kaisar Yongle dari Dinasti Ming, Tiongkok meluncurkan serangkaian ekspedisi samudera yang tidak tertandingi dalam skala, teknologi, dan visi diplomatik hingga berabad-abad kemudian. Inti dari proyek raksasa ini adalah sosok Laksamana Zheng He (Cheng Ho), seorang kasim Muslim yang memimpin armada “Kapal Pusaka” (Baochuan) melintasi Asia Tenggara, Samudera Hindia, hingga pesisir Afrika Timur. Berbeda secara fundamental dengan penjelajahan Barat yang kelak didorong oleh motif merkantilisme agresif dan kolonisasi, misi Zheng He dirancang untuk memperluas pengaruh budaya Tiongkok, mengamankan jalur perdagangan, dan mengintegrasikan dunia ke dalam sistem upeti Sinosentris yang mengedepankan pengakuan simbolis atas kekuasaan Tiongkok daripada penaklukan teritorial.
Konteks Politik dan Genealogi Laksamana Zheng He
Kelahiran armada pusaka tidak dapat dipisahkan dari ambisi pribadi Kaisar Yongle (Zhu Di), yang merebut takhta dari keponakannya dalam perang saudara yang berdarah. Kebutuhan untuk melegitimasi kekuasaannya sebagai penguasa yang sah atas “Segala Sesuatu di Bawah Langit” (Tianxia) mendorongnya untuk mengirim misi diplomatik ke luar negeri guna mengumpulkan pengakuan dari berbagai kerajaan asing. Zheng He, yang lahir dengan nama Ma He di Yunnan pada tahun 1371 dari keluarga Muslim keturunan suku Hui, terpilih untuk tugas ini karena kesetiaannya yang luar biasa dan latar belakang budayanya yang unik.
Keluarga Ma He memiliki akar sejarah yang kuat dalam administrasi Mongol sebelumnya, dengan kakek dan ayahnya menyandang gelar “Hajji,” yang mengindikasikan bahwa mereka telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Pengetahuan tentang Islam dan kemampuan berkomunikasi dengan dunia Muslim di Samudera Hindia menjadi aset strategis bagi Ming dalam upaya mereka menjalin hubungan dengan penguasa-penguasa di Malaka, India, dan Jazirah Arab. Setelah ditangkap oleh tentara Ming saat penaklukan Yunnan pada tahun 1381, Ma He dikebiri dan ditempatkan dalam dinas Pangeran Yan (Zhu Di), di mana ia kemudian mendapatkan nama keluarga “Zheng” atas jasa militernya yang luar biasa dalam pertempuran di Beiping.
Karakteristik Fisik dan Intelektual
Catatan sejarah menggambarkan Zheng He sebagai sosok yang megah dan berwibawa, dengan tinggi badan sekitar tujuh chi dan suara yang “sekeras lonceng”. Penampilan fisiknya yang mengesankan ini mencerminkan kekuatan negara yang diwakilinya. Sebagai seorang kasim yang terdidik di lingkungan istana Beiping, ia memiliki akses terhadap literatur klasik dan strategi militer yang tidak dimiliki oleh kasim pada umumnya. Kombinasi antara identitas Muslim, pendidikan Konfusianis, dan kecakapan militer menjadikannya diplomat ideal bagi Dinasti Ming yang ingin menjembatani berbagai peradaban.
Arsitektur dan Teknologi Armada Pusaka
Pencapaian paling mencolok dari ekspedisi Zheng He adalah armada itu sendiri, yang sering disebut sebagai “metropolis terapung”. Skala kapal-kapal yang dibangun di galangan kapal Longjiang di Nanjing melampaui segala sesuatu yang pernah dilihat di Eropa pada masa itu. Pembangunan armada ini melibatkan ribuan pengrajin dan penggunaan teknologi maritim yang paling maju pada zamannya, termasuk kompas magnetik, peta bintang yang rumit, dan sistem kompartemen kedap air.
Kontroversi Ukuran dan Spesifikasi Teknis
Ukuran kapal pusaka terbesar telah menjadi subjek perdebatan akademik yang panjang. Catatan resmi Ming menyebutkan bahwa kapal terbesar memiliki panjang 44 zhang (sekitar 138-140 meter) dan lebar 18 zhang. Meskipun beberapa sarjana modern meragukan kelayakan struktural kapal kayu sebesar itu, penemuan arkeologis berupa poros kemudi sepanjang 11 meter di galangan kapal Nanjing memberikan dukungan kuat pada klaim tentang kapal berukuran raksasa. Kapal-kapal ini dilengkapi dengan hingga sembilan tiang layar yang dapat disesuaikan dengan arah angin, memberikan stabilitas dan kecepatan meskipun ukurannya masif.
| Jenis Kapal | Perkiraan Panjang (Kaki/Meter) | Jumlah Tiang | Fungsi Utama |
| Baochuan (Kapal Pusaka) | 440-538 kaki / 134-164 m | 9 | Kapal bendera, membawa komoditas berharga, kargo besar, dan utusan diplomatik. |
| Machuan (Kapal Kuda) | 340 kaki / 103 m | 8 | Mengangkut kuda untuk upeti, bahan bangunan untuk perbaikan, dan barang kargo berat. |
| Liangchuan (Kapal Gandum) | 257 kaki / 78 m | 7 | Mengangkut pasokan makanan utama (beras/gandum) bagi puluhan ribu awak kapal. |
| Zuochuan (Kapal Personel) | 220 kaki / 67 m | 6 | Mengangkut pasukan infantri, marinir, dan personel administrasi. |
| Zhanchuan (Kapal Perang) | 165 kaki / 50 m | 5 | Melindungi armada dari serangan bajak laut dan ancaman militer di perairan asing. |
Inovasi Konstruksi: Kompartemen Kedap Air dan Navigasi
Teknologi kompartemen kedap air (watertight compartments) merupakan salah satu keunggulan teknis utama kapal Tiongkok dibandingkan kapal Barat pada abad ke-15. Hull kapal dibagi menjadi beberapa bagian yang terpisah secara vertikal menggunakan papan kayu dan pengisi khusus, sehingga jika satu bagian bocor karena benturan atau serangan, air tidak akan membanjiri seluruh kapal. Selain faktor keamanan, desain ini juga memberikan kekakuan struktural yang memungkinkan kapal membawa beban berat, termasuk air tawar yang berfungsi sebagai pemberat (ballast) sekaligus pasokan logistik vital bagi ribuan orang dalam perjalanan jauh.
Sistem navigasi armada Zheng He menggunakan kombinasi canggih antara kompas magnetik dan navigasi astronomi. Kompas yang digunakan dibagi menjadi 24 orientasi berdasarkan batang surgawi dan cabang bumi, yang secara praktis dapat memberikan akurasi hingga 7,5 derajat. Untuk pelayaran di laut lepas seperti melintasi Samudera Hindia, mereka mengandalkan peta bintang (astronavigation charts) yang mencatat ketinggian rasi bintang tertentu untuk menentukan posisi lintang kapal.
Kronologi Tujuh Ekspedisi Agung (1405–1433)
Antara tahun 1405 dan 1433, Zheng He memimpin tujuh ekspedisi besar yang menjangkau seluruh wilayah Samudera Hindia. Setiap perjalanan melibatkan antara 27.000 hingga 30.000 awak, termasuk pelaut, prajurit, dokter, juru tulis, penerjemah, dan bahkan barber serta ahli nujum.
Perjalanan Awal: Konsolidasi di Asia Tenggara dan India
Tiga perjalanan pertama (1405–1411) berfokus pada penataan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan pantai barat India. Malaka diidentifikasi sebagai titik transit strategis, dan dukungan Ming membantu kota pelabuhan ini tumbuh menjadi emporium perdagangan internasional yang utama. Dalam perjalanan ini, armada Zheng He juga harus berhadapan dengan ancaman internal, seperti pertempuran besar melawan bajak laut Chen Zuyi di Palembang pada tahun 1407, yang berakhir dengan kekalahan total armada bajak laut tersebut dan pemulihan keamanan di Selat Malaka.
| Ekspedisi | Tahun | Rute Utama | Peristiwa Penting |
| Pertama | 1405–1407 | Champa, Jawa, Malaka, Ceylon, Calicut | Penghancuran armada bajak laut Chen Zuyi di Palembang. |
| Kedua | 1407–1409 | Siam, Jawa, Malabar Coast | Menghadiri penobatan raja baru di Calicut; memperkuat ikatan diplomatik. |
| Ketiga | 1409–1411 | Champa, Jawa, Malaka, Ceylon, India | Konflik militer di Ceylon; penangkapan Raja Alagakkonara yang bermusuhan. |
| Keempat | 1413–1415 | Maladewa, Hormuz, Aden, Mogadishu | Mencapai Jazirah Arab; intervensi militer di Samudera (Sumatra) melawan Sekandar. |
| Kelima | 1417–1419 | Pantai Swahili (Afrika Timur), Aden | Memulangkan utusan dari 30 negara; membawa hewan eksotis (jerapah) ke Tiongkok. |
| Keenam | 1421–1422 | Afrika Timur, Teluk Persia | Perjalanan singkat untuk mengantar utusan; kaisar Yongle meninggal setelah ini. |
| Ketujuh | 1431–1433 | Seluruh rute Samudera Hindia | Ekspedisi terakhir di bawah Kaisar Xuande; Zheng He meninggal dalam perjalanan pulang. |
Perluasan ke Jazirah Arab dan Afrika Timur
Mulai dari perjalanan keempat, jangkauan armada meluas ke barat melintasi Laut Arab menuju Hormuz di Teluk Persia, Aden di Yaman, hingga pesisir Afrika Timur. Di wilayah-wilayah Muslim ini, identitas keagamaan Zheng He dan para penerjemahnya memainkan peran kunci dalam memfasilitasi dialog diplomatik dengan para sultan lokal. Ekspedisi ini menghasilkan masuknya barang-barang eksotis ke Tiongkok yang sangat dihargai oleh istana, termasuk rempah-rempah langka, batu mulia, gading, dan hewan-hewan Afrika seperti singa, macan tutul, dan jerapah—yang oleh orang Tiongkok diidentifikasi sebagai makhluk legendaris Qilin.
Strategi Diplomatik: Sistem Upeti Berbasis Perdagangan
Visi utama dari misi Zheng He sering dikontraskan dengan model penjelajahan Eropa yang muncul di kemudian hari. Jika penjelajah Barat seperti Vasco da Gama atau Christopher Columbus mencari rute untuk menguasai sumber daya secara langsung atau mengklaim wilayah melalui kolonisasi, Zheng He beroperasi dalam kerangka “Sistem Upeti” (Tribute System) yang bersifat hegemonik namun kooperatif.
Filosofi Sinosentris dan “Tianyia”
Bagi Dinasti Ming, tujuan utama ekspedisi ini adalah untuk menempatkan kaisar Tiongkok sebagai pusat moral dan politik dari tatanan dunia yang harmonis, sebuah konsep yang dikenal sebagai “Segala Sesuatu di Bawah Langit” (Tianxia). Melalui praktik diplomatik yang mengedepankan kemurahan hati kekaisaran, Ming menunjukkan kekuatan mereka bukan dengan penaklukan tanah, melainkan dengan pemberian hadiah mewah berupa sutra, porselen, dan emas kepada penguasa asing. Sebagai imbalannya, penguasa lokal diharapkan untuk mengakui supremasi kaisar Ming secara simbolis melalui pengiriman utusan dan barang-barang lokal sebagai upeti.
Paradigma Keamanan: Penggunaan Kekuatan yang Selektif
Meskipun mengedepankan perdamaian dan perdagangan, armada Zheng He tetap merupakan kekuatan militer yang masif. Kehadiran militer ini tidak ditujukan untuk aneksasi wilayah, melainkan untuk menjaga ketertiban jalur perdagangan global dan melindungi kepentingan sekutu Ming. Tindakan militer Zheng He biasanya bersifat responsif terhadap ancaman terhadap keamanan maritim atau penghinaan diplomatik.
Contoh paling menonjol dari “diplomasi kapal perang” ini adalah penumpasan bajak laut Chen Zuyi di Palembang. Chen, yang mengontrol rute vital di Selat Malaka dengan 10.000 pengikut, mencoba menjebak armada Zheng He melalui negosiasi palsu. Berkat informasi dari informan lokal bernama Shi Jinqing, Zheng He berhasil menghancurkan armada bajak laut tersebut, menewaskan 5.000 orang, dan menangkap Chen untuk dieksekusi di Nanjing. Tindakan ini memberikan rasa aman bagi pedagang regional dan memperkuat reputasi Ming sebagai pelindung laut.
Kontras dengan Model Eksplorasi Barat
Perbedaan mendasar antara Zheng He dan para penjelajah Eropa satu abad kemudian terletak pada motivasi ekonomi dan integrasi budaya. Ekonomi Ming yang besar dan mandiri tidak memerlukan eksploitasi sistematis atas sumber daya asing, berbeda dengan negara-negara Eropa yang didorong oleh kebutuhan mendesak akan logam mulia dan kontrol langsung atas pasar rempah-rempah.
| Dimensi Perbandingan | Paradigma Zheng He (Ming) | Paradigma Penjelajah Barat (Eropa) |
| Tujuan Strategis | Prestise diplomatik, pengakuan upeti, dan stabilitas regional. | Akumulasi kapital, penguasaan rute dagang eksklusif, dan aneksasi teritorial. |
| Pendekatan Hubungan | Integrasi sukarela ke dalam sistem hierarkis Tiongkok; pemberian lebih banyak daripada penerimaan. | Penaklukan militer, pembangunan benteng permanen, dan ekstraksi kekayaan paksa. |
| Identitas Keagamaan | Kosmopolitanisme Muslim-Konfusianis; toleransi terhadap adat lokal. | Eksklusivisme agama; sering kali disertai misi kristenisasi paksa di tanah baru. |
| Dampak Sejarah | Memperkuat jaringan perdagangan yang sudah ada tanpa menghancurkan kedaulatan lokal. | Mengubah tatanan dunia secara radikal melalui kolonialisme dan perpindahan penduduk besar-besaran. |
Analisis mendalam menunjukkan bahwa sementara penjelajahan Eropa menandai awal dari era dominasi Barat, ekspedisi Zheng He adalah puncak dari sebuah sistem “Mediterania Asia” yang lebih mengutamakan interaksi budaya dan kemakmuran bersama daripada dominasi hegemonik yang merusak.
Warisan Laksamana Zheng He di Nusantara dan Islamisasi Jawa
Nusantara, khususnya pulau Jawa dan Sumatra, merupakan wilayah yang paling mendalam merasakan dampak dari kunjungan berulang armada Zheng He. Pengaruh sang laksamana di wilayah ini melampaui dimensi politik, merambah ke dalam struktur sosial dan penyebaran agama Islam.
Semarang dan Integrasi Budaya di Sam Poo Kong
Semarang berdiri sebagai monumen hidup bagi warisan Zheng He di Indonesia. Menurut tradisi lisan dan legenda lokal, Zheng He mendarat di pesisir utara Jawa Tengah ketika beberapa awak kapalnya jatuh sakit. Di sana, ia menemukan sebuah gua untuk berdoa, yang kemudian hari dikenal sebagai situs Sam Poo Kong atau Gedung Batu. Pemujaan terhadap Zheng He di Semarang bersifat lintas etnis dan agama; ia dihormati oleh komunitas Tionghoa sebagai dewa pelindung dan oleh penduduk Jawa sebagai penyebar Islam yang bijaksana.
Masjid dan kuil di kompleks Sam Poo Kong mencerminkan akulturasi arsitektur Tiongkok dan Jawa, dengan warna merah cerah yang mendominasi namun tetap mempertahankan elemen-elemen tradisional lokal. Setiap tahun, festival besar diadakan di Semarang untuk memperingati kedatangan sang laksamana, sebuah peristiwa yang memperkuat kohesi sosial dan identitas multikultural kota tersebut.
Peran Strategis dalam Islamisasi Pesisir Utara Jawa
Salah satu perdebatan paling menarik dalam historiografi Nusantara adalah sejauh mana pengaruh Zheng He dalam proses Islamisasi di Jawa. Beberapa sumber, termasuk teks kontroversial seperti Malay Annals of Semarang and Cerbon, menyarankan bahwa kehadiran armada pusaka memicu berdirinya komunitas Muslim Tionghoa (Hanafiyah) di kota-kota pelabuhan utama seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Cirebon. Zheng He dikabarkan menunjuk perwakilan seperti Bong Swie Ho (yang kelak dikenal sebagai Sunan Ampel) untuk memimpin komunitas-komunitas ini.
Kehadiran ribuan awak kapal yang beragama Islam, termasuk figur elit seperti Ma Huan dan Wang Jinghong, memberikan dorongan signifikan bagi penyebaran agama di wilayah yang saat itu masih didominasi oleh pengaruh Hindu-Buddha Majapahit. Masjid-masjid bergaya Tiongkok yang didirikan belakangan di berbagai kota di Indonesia, seperti Masjid Cheng Hoo di Surabaya dan Palembang, adalah bentuk penghormatan modern terhadap kontribusi sejarah ini dalam membangun harmoni antar-agama dan etnis.
Analisis Navigasi: Peta Mao Kun dan Pemandu Astronomi
Kecanggihan armada Zheng He sangat bergantung pada kemampuan kartografi dan navigasi yang presisi. Peta navigasi Zheng He, yang kemudian diterbitkan dalam traktat militer Wubei Zhi oleh Mao Yuanyi pada tahun 1621 (sering disebut sebagai Peta Mao Kun), merupakan salah satu dokumen maritim paling berharga dari masa itu.
Struktur Peta dan Instruksi Pelayaran
Peta tersebut digambarkan dalam bentuk gulungan panjang yang mencakup rute dari Nanjing hingga Afrika Timur. Berbeda dengan peta modern yang menggunakan skala yang seragam, Peta Mao Kun lebih mementingkan fitur navigasi seperti garis pantai, pulau, terumbu karang, pagoda, dan gunung yang dapat digunakan sebagai penanda posisi.
Instruksi pelayaran dalam peta ini menggunakan satuan waktu yang disebut Geng (sekitar 2,4 jam pelayaran atau 12,5-18 mil laut) dan satuan kedalaman yang disebut Tuo (sekitar 1,7 meter). Peta ini mencatat lebih dari 100 rute pelayaran dengan detail kompas yang sangat akurat, yang jika dibandingkan dengan peta modern, menunjukkan tingkat presisi yang luar biasa dalam menentukan jalur yang aman melintasi laut dangkal dan selat sempit.
Diagram Astronomi dan Penentuan Lintang
Untuk pelayaran lintas samudera di mana daratan tidak terlihat, armada Zheng He menggunakan diagram astronomi khusus. Mereka mengukur ketinggian bintang di atas cakrawala menggunakan instrumen yang mirip dengan kuadran atau astrolab. Diagram bintang ini memberikan panduan khusus untuk rute-rute kritis, seperti penyeberangan antara Sumatra dan Sri Lanka, atau antara Hormuz dan Calicut, memastikan bahwa kapal tetap berada pada jalur lintang yang benar meskipun arus laut mencoba menyeret mereka.
Faktor-Faktor Pengakhiran Ekspedisi dan Kemunduran Maritim Ming
Meskipun kesuksesan diplomatik dan teknisnya luar biasa, kebijakan ekspansi maritim Tiongkok berakhir secara tiba-tiba dan permanen setelah tahun 1433. Pengakhiran ini merupakan hasil dari pergeseran internal yang kompleks dalam prioritas politik dan ekonomi kekaisaran.
Ketegangan Fraksi: Kasim vs. Birokrasi Konfusianis
Pelayaran Zheng He adalah proyek pribadi Kaisar Yongle yang dikelola dan diawasi oleh korps kasim istana. Sebaliknya, faksi birokrat sipil Konfusianis melihat ekspedisi ini dengan rasa jijik karena beberapa alasan:
- Biaya Ekonomi: Pengeluaran raksasa untuk membangun dan memelihara armada dianggap menguras perbendaharaan negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk infrastruktur pertanian atau pertahanan darat.
- Ideologi Konfusianis: Perdagangan dianggap sebagai aktivitas rendah dalam hierarki Konfusianis dibandingkan dengan pertanian; mereka percaya bahwa kemakmuran Tiongkok harus datang dari dalam negeri, bukan dari petualangan luar negeri yang tidak pasti.
- Persaingan Kekuasaan: Kesuksesan Zheng He memperkuat posisi politik para kasim, yang merupakan saingan tradisional para pejabat sipil dalam memperebutkan pengaruh di hadapan kaisar.
Ancaman Mongol dan Krisis Tumu
Pada pertengahan abad ke-15, ancaman dari suku-suku Mongol di perbatasan utara menjadi sangat akut. Pemindahan ibu kota ke Beijing oleh Kaisar Yongle membuat pusat pemerintahan sangat dekat dengan ancaman nomad ini. Puncak dari krisis ini adalah Pertempuran di Benteng Tumu pada tahun 1449, di mana tentara Ming dihancurkan dan kaisar Zhengtong ditawan oleh Mongol. Tragedi ini meyakinkan istana Ming bahwa Tiongkok tidak mampu lagi membiayai angkatan laut yang besar dan pertahanan darat yang intensif secara bersamaan. Akibatnya, dana dialihkan sepenuhnya untuk memperkuat dan memperluas Tembok Besar, sementara kebijakan isolasionis (Haijin) mulai diberlakukan untuk membatasi kontak dengan dunia luar.
Implikasi Global dan Relevansi Modern
Penghentian mendadak ekspedisi Zheng He meninggalkan kekosongan kekuasaan di Samudera Hindia yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa Eropa. Jika Tiongkok terus mempertahankan kehadiran maritimnya, sejarah globalisasi kemungkinan besar akan mengambil arah yang sangat berbeda, di mana pengaruh Sinosentris mungkin akan mendominasi jalur perdagangan dunia jauh sebelum kedatangan kolonialisme Barat.
Penemuan Kembali dalam Konteks “Peaceful Rise”
Di abad ke-21, sosok Zheng He telah diangkat kembali oleh pemerintah Tiongkok sebagai simbol historis dari kebijakan “Kebangkitan Damai” (Peaceful Rise) dan inisiatif “Sabuk dan Jalan” (Belt and Road Initiative). Narasi modern menekankan bahwa Tiongkok, melalui Zheng He, telah membuktikan kemampuan mereka untuk menjadi kekuatan global yang mempromosikan kemakmuran bersama tanpa harus melakukan kolonisasi atau agresi militer. Meskipun beberapa sejarawan kritis menunjukkan bahwa intervensi militer Zheng He di Ceylon dan Palembang merupakan bentuk proto-kolonialisme, paradigma upeti Ming tetap dianggap lebih harmonis dibandingkan dengan penghancuran budaya sistematis yang dilakukan oleh penaklukan Barat.
Simbol Multikulturalisme di Asia Tenggara
Bagi masyarakat di Asia Tenggara, Zheng He tetap menjadi pahlawan rakyat dan simbol integrasi budaya. Peninggalannya yang berupa masjid, kuil, dan cerita rakyat di sepanjang pesisir Nusantara membuktikan bahwa kekuatan maritim yang besar dapat meninggalkan jejak yang melampaui kepentingan politik jangka pendek, yaitu berupa warisan budaya yang mempromosikan toleransi dan pemahaman antarperadaban. Dari teko porselen biru-putih yang ditemukan di Kenya hingga kuil megah di Semarang, jejak Laksamana Zheng He terus menceritakan kisah tentang sebuah era di mana Tiongkok merangkul dunia dengan tangan terbuka, membawa sutra daripada pedang, dan perdagangan daripada penindasan.
Kesimpulan: Paradigma yang Terlupakan
Analisis mendalam terhadap tujuh ekspedisi Laksamana Zheng He mengungkapkan sebuah model interaksi internasional yang unik dalam sejarah manusia. Dalam jangka waktu kurang dari tiga dekade, Dinasti Ming berhasil menciptakan jaringan diplomasi maritim yang membentang di separuh dunia, didukung oleh teknologi yang melampaui zamannya. Meskipun armada ini akhirnya dibubarkan karena intrik politik internal dan ancaman militer di darat, esensi dari misi Zheng He—yaitu pencarian harmoni melalui perdagangan dan upeti—tetap menjadi studi kasus yang menarik tentang bagaimana sebuah adidaya dapat memproyeksikan pengaruhnya tanpa harus menghancurkan struktur sosial bangsa lain. Warisan Zheng He di Nusantara, yang termanifestasi dalam Islamisasi Jawa dan akulturasi budaya Tionghoa-Indonesia, merupakan bukti abadi bahwa diplomasi yang tulus dan perdagangan yang adil dapat menciptakan ikatan sejarah yang tetap kuat bahkan setelah enam abad berlalu.
