Indonesia secara geografis dan geologis menempati posisi yang sangat rentan di peta bencana dunia, berada pada titik temu tiga lempeng tektonik utama yang secara konsisten memicu aktivitas seismik dan vulkanik tingkat tinggi. Kondisi ini menciptakan sebuah realitas eksistensial bagi masyarakatnya, di mana bencana alam bukan lagi dianggap sebagai anomali, melainkan sebagai bagian integral dari siklus kehidupan yang harus dikelola. Di tengah kerentanan fisik tersebut, masyarakat Indonesia telah mengembangkan mekanisme pertahanan psikologis yang canggih melalui nilai-nilai kearifan lokal. Salah satu pilar fundamental dari ketangguhan mental ini adalah paham “Legowo”. Paham ini bukan sekadar konsep etis, melainkan sebuah “seni menerima” yang transformatif, yang memungkinkan individu dan komunitas untuk mengolah trauma kolektif menjadi energi pemulihan yang aktif. Analisis ini akan mengeksplorasi secara mendalam bagaimana paham Legowo, bersama dengan nilai-nilai lokal pendukung lainnya, berfungsi sebagai arsitektur resiliensi psikokultural yang unik dalam menghadapi krisis berskala besar.
Landasan Filosofis dan Etimologis Paham Legowo
Paham Legowo secara etimologis berakar dari kata dalam bahasa Jawa legawa, yang merujuk pada sikap ikhlas, rela, dan lapang dada dalam menghadapi segala situasi kehidupan. Dalam taksonomi psikologi ulayat (indigenous psychology), Legowo dipahami sebagai disposisi batin yang memungkinkan seseorang untuk menerima realitas yang tidak menyenangkan tanpa terjebak dalam emosi negatif yang merusak seperti dendam atau penyesalan yang berlebihan. Konsep ini sering kali berkelindan dengan filosofi nerimo ing pandum, sebuah ajaran untuk menerima segala bentuk pemberian atau takdir dari Sang Pencipta dengan penuh rasa syukur.
Namun, penting untuk mengoreksi miskonsepsi umum yang menyamakan Legowo dengan kepasrahan fatalistik. Dalam budaya Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, Legowo adalah sebuah proses penerimaan aktif. Makna nerimo mencakup prasyarat adanya upaya maksimal (ikhtiar) sebelum seseorang akhirnya melepaskan hasil akhir kepada kehendak transendental. Sikap ini menciptakan keseimbangan psikologis antara kendali internal (upaya) dan penerimaan eksternal (hasil), yang sangat krusial dalam menjaga stabilitas mental saat menghadapi kehancuran akibat bencana alam yang berada di luar kontrol manusia.
Struktur Karakteristik Individu Legowo
Individu yang telah menginternalisasi paham Legowo menunjukkan serangkaian ciri psikologis yang adaptif terhadap krisis. Kematangan emosional menjadi inti dari sikap ini, di mana individu mampu meregulasi emosinya dengan baik sehingga tidak mudah terprovokasi oleh situasi negatif. Fleksibilitas mental juga menjadi komponen kunci, memungkinkan individu untuk dengan cepat mengubah strategi koping ketika rencana atau tatanan hidup mereka hancur akibat bencana.
| Dimensi Karakteristik | Manifestasi Psikologis dalam Paham Legowo | Dampak terhadap Ketangguhan Mental |
| Penerimaan Tulus | Kemampuan menerima kenyataan tanpa penyesalan berlebihan. | Mengurangi risiko stres pascatrauma (PTSD) dan depresi jangka panjang. |
| Fleksibilitas Mental | Adaptasi cepat terhadap perubahan situasi yang drastis. | Mempercepat transisi dari fase syok ke fase pemulihan aktif. |
| Fokus pada Proses | Menikmati dan belajar dari setiap pengalaman, terlepas dari hasil akhir. | Mempertahankan motivasi meskipun menghadapi kegagalan rekonstruksi awal. |
| Kemampuan Melepaskan | Melepaskan hal-hal di luar kendali tanpa keinginan untuk mengontrol segala sesuatu. | Mengurangi kecemasan kronis dan beban pikiran yang tidak produktif. |
| Empati Tinggi | Memahami dan menghargai perspektif serta penderitaan orang lain. | Memperkuat ikatan sosial dan solidaritas komunitas saat krisis. |
Selain itu, paham ini mendorong adanya introspeksi diri yang berkelanjutan. Dalam menghadapi musibah, individu Legowo sering kali melakukan refleksi untuk menemukan makna atau hikmah di balik penderitaan tersebut. Secara irasional namun bermakna secara psikologis, hal ini membantu penyintas untuk tidak merasa sebagai korban dari nasib buta, melainkan sebagai subjek yang sedang menjalani proses pendewasaan spiritual.
Legowo dalam Mitigasi dan Pemulihan Psikososial Pascabencana
Integrasi paham Legowo dalam manajemen bencana di Indonesia memberikan dimensi non-struktural yang sangat efektif. Jika mitigasi struktural berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik, nilai-nilai lokal seperti Legowo berfokus pada pembangunan “infrastruktur mental” masyarakat. Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia telah membuktikan bahwa kearifan lokal mampu menjadi instrumen penyelamatan jiwa dan pemulihan yang mandiri.
Kasus Tsunami Simeulue: Transformasi Trauma Menjadi Smong
Kearifan lokal Smong di Pulau Simeulue, Aceh, merupakan manifestasi dari bagaimana memori kolektif tentang trauma masa lalu diolah menjadi strategi resiliensi yang sangat tangguh. Tradisi ini lahir dari ingatan akan tsunami dahsyat tahun 1907 yang menghancurkan Simeulue. Alih-alih membiarkan kejadian tersebut menjadi trauma yang melumpuhkan, para leluhur merumuskannya menjadi pesan mitigasi yang sederhana namun efektif: “Ingatlah Smong, jika laut surut segera lari ke bukit”.
Pesan ini diwariskan lintas generasi melalui syair nandong, nyanyian, dan cerita pengantar tidur, menciptakan sebuah “cultural early warning system” yang terintegrasi dalam alam bawah sadar masyarakat. Secara psikologis, Smong memberikan rasa aman karena masyarakat memiliki pengetahuan yang jelas tentang tindakan yang harus diambil saat bencana terjadi, sehingga mencegah kepanikan massal. Saat tsunami 2004 mengguncang, meskipun Simeulue berada di dekat episentrum, jumlah korban jiwa hanya sedikit karena masyarakat segera melakukan evakuasi mandiri berdasarkan literasi budaya tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dijalankan dengan sikap Legowo—yakni menerima risiko alamiah wilayahnya dengan penuh kesiapan—jauh lebih efektif daripada bergantung sepenuhnya pada teknologi modern yang belum tentu tersedia di setiap titik kritis.
Kasus Gempa Yogyakarta 2006: Sinergi Nrimo dan Gotong Royong
Gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tahun 2006 menyisakan kehancuran fisik yang luar biasa, namun proses pemulihannya tercatat sebagai salah satu yang tercepat di dunia. Kunci dari fenomena ini adalah sinergi antara nilai individu nrimo (Legowo) dan nilai kolektif Gotong Royong. Sikap nrimo memungkinkan para penyintas untuk segera menerima kenyataan pahit kehilangan rumah dan harta benda sebagai kehendak Sang Pencipta, sehingga energi mental mereka tidak habis untuk meratapi nasib atau menyalahkan pihak lain.
Setelah fase penerimaan internal tercapai melalui sikap Legowo, masyarakat segera mengaktifkan modal sosial berupa Gotong Royong untuk melakukan rekonstruksi fisik secara mandiri. Di wilayah Bantul, pemulihan didasarkan pada model yang menghargai kearifan lokal, di mana masyarakat memiliki otonomi penuh untuk memutuskan cara membangun kembali hunian mereka sesuai dengan struktur sosial asli mereka. Semangat ini tercermin dalam berbagai slogan lokal seperti “Dlingo Bangkit”, yang memanifestasikan penyatuan energi positif komunitas untuk segera keluar dari keterpurukan.
Masyarakat Lereng Merapi: Harmoni dengan “Penguasa” Alam
Masyarakat yang bermukim di lereng selatan Gunung Merapi menunjukkan bentuk resiliensi yang sangat unik, di mana mereka mampu hidup selaras di tengah ancaman erupsi yang berulang kali terjadi. Dalam pandangan masyarakat Merapi, gunung berapi tersebut bukan sekadar fenomena geologi, melainkan entitas hidup yang memberikan kemakmuran bagi tanah mereka. Erupsi dipahami sebagai sebuah “hajat” (duwe gawe) dari Sang Penguasa Merapi yang harus diterima dengan ikhlas dan dihormati melalui berbagai upacara adat seperti Labuhan dan Nyadran.
Paham Legowo di sini bermanifestasi dalam bentuk keikhlasan untuk menerima siklus erupsi sebagai bagian dari nasib kolektif mereka. Ungkapan lokal seperti “sing eling lan waspada” (selalu ingat kepada Tuhan dan bersiapsiaga) menjadi pedoman hidup yang mencegah munculnya kecemasan patologis. Nilai-nilai spiritual ini menjadi faktor pelindung (protective factor) yang sangat kuat, membantu individu mempertahankan stabilitas emosi di bawah tekanan bencana yang terus-menerus. Berikut adalah komponen manajemen bencana berbasis kearifan lokal Merapi:
| Tahap Manajemen Bencana | Implementasi Kearifan Lokal | Fungsi Psikososial |
| Pra-Bencana (Kesiapsiagaan) | Penanaman filosofi Jawa Eling lan Waspada dan upacara tradisi. | Membangun kewaspadaan kolektif tanpa memicu rasa takut berlebihan. |
| Saat Bencana (Respons) | Penggunaan teknologi tradisional Kenthongan untuk peringatan dini. | Memberikan instruksi cepat dan teratur berdasarkan kepatuhan pada leluhur. |
| Pascabencana (Pemulihan) | Praktik Gugur Gunung, Sambatan, dan penggalangan dana Jimpitan. | Mempercepat rekonstruksi fisik dan memperkuat ikatan emosional warga. |
| Pemulihan Spiritual | Penemuan hikmah dan peningkatan kegiatan religius. | Memberikan makna baru pada penderitaan dan menenangkan batin penyintas. |
Keberadaan modal sosial yang kokoh di lereng Merapi memungkinkan masyarakat untuk melakukan pemulihan infrastruktur sosial ekonomi secara mandiri, sering kali sebelum bantuan pemerintah pusat sampai di lokasi. Hal ini membuktikan bahwa integrasi antara kearifan tradisional dan keterbukaan terhadap inovasi menciptakan masyarakat yang sangat berketahanan sosial.
Perbandingan Legowo dengan Pendekatan Psikologi Modern: ACT dan Mindfulness
Dalam perkembangan ilmu psikologi klinis modern, terdapat pergeseran menuju pendekatan berbasis penerimaan (acceptance) yang sangat sejalan dengan prinsip-prinsip Legowo. Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dan Mindfulness merupakan dua bentuk intervensi psikologis populer yang memiliki kemiripan struktural dengan seni menerima ala paham Legowo.
Legowo vs. ACT: Dari Fleksibilitas Menuju Keselarasan
ACT mengajarkan individu untuk menerima peristiwa privat (pikiran, perasaan, memori) yang tidak menyenangkan sebagai bagian dari pengalaman manusia, alih-alih mencoba mengubah atau menekannya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan fleksibilitas psikologis agar individu tetap dapat bertindak sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka. Legowo, secara paralel, menekankan pada penerimaan kenyataan hidup dengan hati terbuka sebagai cara untuk mempertahankan kedamaian batin dan kelanjutan hidup yang bijaksana.
Perbedaan mendasar terletak pada orientasi nilainya. Jika ACT cenderung bersifat individualistik, di mana penerimaan dilakukan demi efikasi diri dan pencapaian tujuan personal , Legowo memiliki orientasi kolektif dan kosmik. Dalam Legowo, penerimaan dilakukan untuk menjaga harmoni sosial dan keselarasan dengan alam semesta serta kehendak Tuhan. Selain itu, Legowo sering kali dianggap lebih “holistik” bagi masyarakat Indonesia karena menyertakan elemen spiritualitas dan kebersyukuran yang sangat dalam, yang sering kali tidak menjadi fokus utama dalam protokol klinis ACT yang sekuler.
Legowo dan Mindfulness: Pengamatan Tanpa Penghakiman
Praktik Mindfulness melibatkan perhatian sadar terhadap saat ini tanpa memberikan penilaian (non-judgmental). Hal ini sangat serupa dengan sikap aja gumunan (tidak mudah terheran-heran) dan aja dumeh (tidak menyombongkan diri) dalam etika Jawa, yang menuntut seseorang untuk mengamati realitas apa adanya tanpa distorsi ego. Di Indonesia, intervensi psikologis yang mengadopsi nilai-nilai Legowo terbukti efektif dalam meningkatkan penerimaan diri dan mengurangi gejala depresi pada berbagai kelompok, mulai dari remaja hingga penyandang disabilitas.
Studi menunjukkan bahwa masyarakat yang memegang teguh kearifan lokal ini memiliki skor resiliensi yang signifikan lebih tinggi karena nilai-nilai tersebut berfungsi sebagai faktor pelindung (protective factor) terhadap kecemasan dan keputusasaan saat krisis hidup melanda. Legowo memberikan sebuah kerangka kognitif yang memediasi hubungan antara tekanan lingkungan (bencana) dan distres psikologis, sehingga individu tetap mampu berfungsi secara optimal meskipun berada di bawah tekanan hebat.
Sinergi Solidaritas Sosial dan Legowo dalam Terapi Kolektif
Salah satu kekuatan unik dari resiliensi masyarakat Indonesia adalah kemampuan untuk mengubah solidaritas sosial menjadi instrumen terapi kolektif. Ketika bencana terjadi, paham Legowo menjadi fondasi batin bagi individu, sementara praktik Gotong Royong dan Sambatan menjadi jaring pengaman sosial yang memitigasi isolasi emosional.
Peran Ritual Kebersamaan dalam Penyembuhan Trauma
Tradisi-tradisi lokal seperti kenduri, tahlilan, dan doa bersama memiliki nilai terapeutik yang sangat tinggi dalam penyembuhan trauma kolektif. Melalui ritual-ritual ini, para penyintas diberikan ruang aman untuk mengekspresikan emosi duka mereka dalam lingkungan yang penuh dukungan dan kebersamaan. Partisipasi dalam aktivitas komunal ini mampu mengurangi perasaan terasing dan membantu penyintas untuk menemukan kembali “rasa memiliki” terhadap komunitas mereka yang sempat terguncang akibat bencana.
Spiritualitas yang terkandung dalam ritual-ritual ini membantu penyintas memberikan makna baru terhadap peristiwa tragis yang mereka alami. Keyakinan bahwa setiap musibah memiliki hikmah mengarahkan mereka pada sikap Legowo yang aktif, yakni menerima keadaan saat ini sembari membangun harapan baru untuk masa depan. Secara sosiologis, keterlibatan aktif dalam kegiatan membantu sesama penyintas—bahkan ketika diri sendiri juga menjadi korban—terbukti meningkatkan rasa percaya diri dan mempercepat proses transformasi dari kondisi trauma menuju pertumbuhan pascatrauma (post-traumatic growth).
Legowo dalam Konteks Kepemimpinan dan Resolusi Konflik
Sikap Legowo juga memegang peran vital dalam menjaga stabilitas sosial pascabencana, di mana sumber daya sering kali menjadi langka dan konflik kepentingan rentan terjadi. Seorang pemimpin yang memiliki sikap Legowo diharapkan mampu menerima kritik, mengesampingkan ego pribadi, dan bertindak demi kepentingan bersama. Dalam resolusi konflik antarmasyarakat pascabencana, pendekatan Legowo mendorong kesediaan untuk saling mengalah demi keharmonisan kolektif, sebuah mekanisme yang sangat krusial untuk mencegah terjadinya disintegrasi sosial di masa-masa sulit.
Mekanisme Koping Religius dalam Kerangka Legowo
Masyarakat Indonesia merupakan entitas yang sangat religius, dengan persentase populasi beragama mencapai 99%. Kondisi ini menjadikan religiusitas sebagai prediktor utama dalam mekanisme koping terhadap stres dan trauma. Dalam perspektif koping religius positif menurut teori Pargament, paham Legowo memfasilitasi individu untuk melakukan Benevolent Religious Reappraisal—menginterpretasikan kembali peristiwa buruk sebagai ujian dari Tuhan yang bertujuan untuk membersihkan diri atau memberikan hikmah tertentu.
| Tipe Koping Religius | Manifestasi dalam Nilai Legowo | Dampak Psikologis |
| Benevolent Reappraisal | Melihat bencana sebagai cara Tuhan untuk mendewasakan batin. | Mengubah persepsi ancaman menjadi tantangan bagi pertumbuhan diri. |
| Collaborative Coping | Bekerja sama dengan Tuhan melalui usaha nyata dan doa. | Meningkatkan efikasi diri (self-efficacy) dan mengurangi rasa tidak berdaya. |
| Spiritual Connection | Merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta melalui ibadah dan zikir. | Memberikan ketenangan batin (inner peace) yang stabil di tengah krisis. |
| Religious Forgiving | Memaafkan diri sendiri, orang lain, dan menerima takdir tanpa dendam. | Menurunkan tingkat stres dan emosi negatif yang merusak kesehatan mental. |
Internalisasi nilai Legowo dalam koping religius terbukti memberikan kekuatan spiritual yang menjadi fondasi untuk bertahan di tengah kesulitan hidup yang paling berat sekalipun. Bagi orang tua yang menghadapi anak penyalahguna narkoba atau lansia yang menghadapi kecemasan akan kematian, koping religius berbasis Legowo memberikan ketenangan batin yang substansial dan harapan untuk tetap menjalani hidup secara positif.
Internalisasi Nilai Legowo dan Pewarisan Kearifan Lokal
Keberlanjutan resiliensi mental bangsa sangat bergantung pada bagaimana nilai-nilai seperti Legowo dan kearifan mitigasi bencana diwariskan kepada generasi berikutnya. Pendidikan karakter sejak dini menjadi instrumen utama dalam menanamkan sikap tidak mudah marah, kemandirian, dan kemampuan menerima kegagalan dengan lapang dada pada anak-anak.
Integrasi Budaya dalam Pendidikan Kebencanaan
Belajar dari keberhasilan tradisi Smong, integrasi pengetahuan lokal ke dalam kurikulum pendidikan formal maupun nonformal menjadi sangat penting. Lagu-lagu daerah, cerita rakyat, dan program literasi anak yang memuat pesan-pesan kebencanaan berbasis nilai lokal dapat membuat generasi muda memiliki pemahaman yang lebih relevan dan kontekstual tentang tantangan di lingkungan mereka. Di Simeulue, nilai-nilai Smong kini telah diajarkan di sekolah dasar dan diadaptasi ke dalam berbagai media digital seperti komik dan film pendek, memastikan bahwa memori resiliensi tetap terjaga di era modern.
Selain itu, peran bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai alat komunikasi sehari-hari juga memiliki signifikansi dalam membangun ketahanan mental individu. Melalui penguasaan bahasa yang kaya akan makna filosofis seperti paham Legowo, individu memiliki kosakata kognitif yang memadai untuk memproses dan mengungkapkan pengalaman traumatis mereka secara lebih sehat.
Tantangan Modernitas dan Masa Depan Ketangguhan Mental Lokal
Meskipun nilai-nilai lokal seperti Legowo telah terbukti tangguh dalam menghadapi berbagai krisis sejarah, arus globalisasi dan modernisasi membawa tantangan yang tidak sedikit. Di daerah perkotaan, semangat kolektivitas dan nilai-nilai luhur budaya mulai tergerus oleh sikap pragmatis dan individualisme. Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya modal sosial komunitas saat bencana terjadi, sehingga masyarakat menjadi lebih rentan dan bergantung sepenuhnya pada intervensi birokrasi pemerintah yang terkadang lamban.
Oleh karena itu, diperlukan upaya revitalisasi yang serius terhadap kearifan lokal. Pendekatan hybrid knowledge system—yakni perpaduan antara teknologi mitigasi modern dan kebijaksanaan tradisional—merupakan jalan tengah yang paling efektif untuk masa depan. Pengetahuan masyarakat lereng Merapi tentang tanda-tanda alam sebelum erupsi, misalnya, dapat diperkuat dengan sensor seismik digital, sementara kebijakan manajemen bencana nasional harus memberikan ruang bagi otonomi komunitas dalam melakukan pemulihan psikososial mandiri.
Sintesis Analitis dan Simpulan
Secara keseluruhan, analisis terhadap paham Legowo mengungkapkan sebuah arsitektur resiliensi yang berakar pada kedalaman spiritualitas dan keseimbangan antara penerimaan internal dan aksi kolektif. Seni menerima ala Legowo bukanlah bentuk kelemahan, melainkan manifestasi dari kekuatan mental yang memungkinkan masyarakat Indonesia untuk tetap tegak berdiri setelah dihantam berbagai bencana dahsyat. Keunikan dari mekanisme ini terletak pada:
- Regulasi Emosi Transendental: Legowo memfasilitasi transisi cepat dari kemarahan atau penolakan menuju penerimaan tulus melalui penemuan hikmah spiritual.
- Efikasi Kolektif yang Kuat: Solidaritas sosial dalam bentuk Gotong Royong bertindak sebagai katalisator pemulihan fisik dan emosional yang jauh lebih cepat daripada intervensi luar yang murni bersifat teknis.
- Literasi Bencana Berbasis Budaya: Kearifan lokal seperti Smong membuktikan bahwa pesan-pesan penyelamatan yang terintegrasi dalam tradisi lisan mampu menciptakan masyarakat yang sadar risiko secara alamiah.
- Keseimbangan Koping Aktif-Pasif: Legowo mengajarkan keseimbangan antara upaya maksimal (ikhtiar) dan keikhlasan menerima hasil akhir, yang mencegah timbulnya burnout psikologis di tengah situasi yang penuh ketidakpastian.
Sebagai rekomendasi strategis, pemangku kebijakan di bidang penanggulangan bencana dan kesehatan mental di Indonesia perlu secara serius mengintegrasikan nilai-nilai lokal ini ke dalam protokol formal mereka. Pendekatan psikologi ulayat seperti intervensi berbasis Legowo dan nerimo harus dikembangkan sebagai alternatif yang lebih kontekstual bagi masyarakat Indonesia. Dengan merawat memori bencana melalui budaya dan memperkuat modal sosial komunitas, Indonesia tidak hanya akan memiliki infrastruktur fisik yang tangguh, tetapi juga bangsa yang memiliki ketangguhan mental luar biasa dalam menghadapi ketidakpastian alam semesta di masa depan. Legowo adalah warisan leluhur yang mentransformasi reruntuhan menjadi fondasi bagi pertumbuhan jiwa yang lebih mulia.
