Kesenjangan akses terhadap layanan keuangan formal telah lama menjadi salah satu rintangan struktural yang menghambat pertumbuhan ekonomi inklusif di negara-negara berkembang. Sejak peluncuran Database Global Findex oleh Bank Dunia pada tahun 2011, pemahaman mengenai dinamika kepemilikan akun telah berkembang secara signifikan, menyoroti realitas bahwa akses terhadap pembayaran, tabungan, dan kredit merupakan landasan pembangunan berkelanjutan. Meskipun kemajuan dramatis telah tercatat selama dekade terakhir—di mana kepemilikan akun global meningkat dari 51% pada tahun 2011 menjadi 79% pada tahun 2025—masih terdapat sekitar 1,4 miliar orang dewasa yang tetap berada di luar sistem keuangan formal. Populasi yang “belum terjamah bank” atau unbanked ini secara konsisten terkonsentrasi di wilayah pedesaan, memiliki tingkat pendidikan rendah, dan beroperasi dalam ekonomi informal yang sangat bergantung pada uang tunai.
Hadirnya teknologi blockchain dan aset kripto menawarkan paradigma baru yang secara mendasar berbeda dari infrastruktur perbankan tradisional. Teknologi buku besar terdistribusi (distributed ledger technology atau DLT) memungkinkan terciptanya sistem transaksi yang transparan, aman, dan beroperasi secara peer-to-peer (P2P) tanpa memerlukan perantara pusat. Dengan menghilangkan ketergantungan pada bank koresponden dan lembaga kliring tradisional, blockchain memberikan kesempatan bagi individu yang sebelumnya tidak memiliki akses ke kantor cabang fisik untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital global hanya dengan bermodalkan telepon pintar dan koneksi internet. Analisis mendalam terhadap data terbaru menunjukkan bahwa evolusi keuangan digital ini telah melompati (leapfrogging) rintangan geografis dan birokrasi, memberikan harapan baru bagi tercapainya inklusi keuangan universal.
Anatomi Populasi Unbanked dan Hambatan Sistemik Inklusi
Mengidentifikasi karakteristik populasi unbanked adalah langkah krusial untuk memahami mengapa solusi teknologi konvensional gagal menjangkau mereka. Menurut statistik terbaru, lebih dari setengah populasi dewasa yang belum memiliki akun bank di seluruh dunia tinggal di tujuh ekonomi utama, dengan proporsi yang signifikan adalah perempuan. Data menunjukkan bahwa kesenjangan gender masih menjadi tantangan persisten; di ekonomi berkembang, 74% laki-laki memiliki akun, sementara hanya 68% perempuan yang memiliki akses serupa, menciptakan celah gender sebesar 6 poin persentase. Ketimpangan ini tidak hanya mencerminkan akses finansial tetapi juga kendala sosial-budaya yang lebih luas.
| Indikator Kepemilikan Akun Global (2011 – 2025) | 2011 | 2014 | 2017 | 2021 | 2025 (Proyeksi) |
| Kepemilikan Akun Dewasa Global (%) | 51 | 62 | 69 | 76 | 79 |
| Kepemilikan Akun di Ekonomi Berkembang (%) | 42 | 54 | 63 | 71 | 75 |
| Populasi Dewasa Unbanked (Miliar) | 2,5 | 2,0 | 1,7 | 1,4 | 1,3 |
| Kesenjangan Gender di Ekonomi Berkembang (%) | 9 | 9 | 9 | 6 | 4 |
Sumber: Diolah dari Bank Dunia Global Findex Database.
Hambatan utama yang sering dikutip oleh individu yang belum memiliki akun mencakup ketiadaan dana yang cukup, jarak fisik yang jauh ke lembaga keuangan terdekat, dan kurangnya dokumentasi identitas yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan Know Your Customer (KYC). Bagi masyarakat miskin, biaya administrasi bank dan persyaratan saldo minimum sering kali tidak terjangkau. Analisis keterjangkauan menunjukkan bahwa di wilayah Uni Ekonomi dan Moneter Afrika Barat (WAEMU) dan Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC), biaya untuk memelihara akun bank dan melakukan transaksi dasar dapat melebihi 5% dari pendapatan bulanan konsumen, yang secara efektif mengunci mereka dalam siklus eksklusi finansial.
Ketergantungan pada mekanisme informal, seperti menyimpan uang tunai atau menggunakan jasa pengiriman uang yang tidak teregulasi, membawa risiko keamanan yang tinggi dan biaya yang lebih besar daripada metode formal. Bukti dari berbagai studi menunjukkan bahwa akses ke layanan keuangan digital, seperti uang seluler dan blockchain, memungkinkan rumah tangga untuk mengelola guncangan ekonomi dengan lebih baik, meningkatkan investasi dalam pendidikan dan nutrisi, serta memperkuat pemberdayaan ekonomi perempuan.
Fondasi Teknologi Blockchain: Mekanisme Perubahan Paradigma
Tekonologi blockchain berfungsi sebagai catatan digital transaksi yang dibagikan ke seluruh jaringan daripada disimpan di satu lokasi pusat. Terdapat tiga pilar utama yang menjadikan blockchain sebagai solusi revolusioner bagi inklusi keuangan: desentralisasi, immutabilitas, dan transparansi. Dalam sistem tradisional, bank bertindak sebagai perantara tepercaya yang memvalidasi setiap transaksi. Sebaliknya, blockchain menggunakan mekanisme konsensus—seperti Proof of Work atau Proof of Stake—di mana jaringan komputer global secara kolektif memverifikasi transaksi tanpa otoritas pusat.
Kontrak Pintar dan Otomatisasi Transaksi
Kontrak pintar (smart contracts) adalah protokol komputer yang secara otomatis mengeksekusi ketentuan perjanjian ketika kriteria tertentu terpenuhi. Dalam konteks keuangan mikro, kontrak pintar menghilangkan kebutuhan akan verifikasi manual yang mahal dan lambat. Sebagai contoh, dalam asuransi pertanian, kontrak pintar dapat diprogram untuk melepaskan dana kompensasi kepada petani segera setelah data satelit mengonfirmasi kegagalan panen akibat curah hujan yang rendah. Otomatisasi ini tidak hanya mengurangi biaya operasional hingga 70% bagi penyedia layanan tetapi juga membangun kepercayaan di antara populasi yang mungkin memiliki pengalaman negatif dengan institusi keuangan tradisional.
Dompet Non-Kustodian dan Akses Universal
Akses ke blockchain biasanya dilakukan melalui dompet digital, yang memungkinkan pengguna untuk menyimpan, mengirim, dan menerima aset digital. Berbeda dengan akun bank konvensional yang memerlukan persetujuan institusi, dompet non-kustodian dapat dibuat oleh siapa saja dengan akses internet, memberikan kendali penuh atas aset mereka sendiri. Hal ini sangat relevan bagi pengungsi atau pekerja migran yang mungkin tidak memiliki dokumen identitas resmi atau alamat tetap, namun tetap memerlukan sarana untuk menyimpan nilai dan melakukan pembayaran.
| Fitur | Perbankan Tradisional | Teknologi Blockchain |
| Otoritas | Terpusat (Bank Sentral/Komersial) | Terdesentralisasi (P2P) |
| Kecepatan Penyelesaian | 3 – 5 Hari Kerja (Lintas Batas) | Menit ke Jam (24/7) |
| Biaya Transaksi | Tinggi (Biaya Perantara & Administrasi) | Rendah hingga Menengah (Biaya Jaringan) |
| Persyaratan Akses | Dokumentasi Resmi & Kehadiran Fisik | Smartphone & Koneksi Internet |
| Transparansi | Terbatas pada Institusi | Terbuka dan Dapat Diaudit Publik |
Sumber: Diolah dari Laporan IMF dan Analisis Industri.
Transformasi Remitansi: Menghancurkan Tembok Biaya Tinggi
Remitansi lintas batas merupakan garis hidup ekonomi bagi jutaan keluarga di negara berkembang, dengan nilai aliran yang diperkirakan mencapai $857 miliar pada tahun 2023. Namun, saluran remitansi konvensional sering kali tidak efisien, dengan biaya rata-rata pengiriman $200 mencapai sekitar 6,4% hingga 6,5%. Di koridor tertentu, biaya ini dapat melonjak hingga di atas 15%, yang secara tidak proporsional membebani pekerja migran berpendapatan rendah.
Sistem tradisional sangat bergantung pada perbankan koresponden, di mana uang harus melewati beberapa bank perantara sebelum sampai ke penerima, menciptakan keterlambatan dan biaya tambahan di setiap langkah. Blockchain memutus rantai ini dengan memungkinkan pengiriman nilai secara langsung. Penggunaan stablecoin—aset digital yang nilainya dipatok pada mata uang fiat seperti dolar AS—telah menjadi metode yang semakin populer karena menggabungkan kecepatan blockchain dengan stabilitas harga.
Data tahun 2025 menunjukkan bahwa penggunaan stablecoin dalam remitansi dapat memotong biaya pengiriman hingga hanya 1% sampai 3%. Selain itu, waktu penyelesaian yang biasanya memakan waktu berhari-hari dalam sistem SWIFT dapat dikurangi menjadi kurang dari tiga menit melalui rel blockchain. Efisiensi ini tidak hanya berarti lebih banyak uang sampai ke tangan keluarga penerima, tetapi juga mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar yang sering merugikan mereka selama masa tunggu penyelesaian transaksi.
Keuangan Terdesentralisasi (DeFi): Melampaui Perbankan Dasar
Keuangan Terdesentralisasi atau DeFi merujuk pada ekosistem aplikasi keuangan yang dibangun di atas blockchain, yang bertujuan untuk menyediakan layanan perbankan tradisional—seperti pinjaman, tabungan, dan asuransi—tanpa perantara. Bagi populasi unbanked, DeFi mewakili teknologi “lompatan” yang memungkinkan mereka mengakses pasar modal global secara langsung.
Pinjaman Mikro dan Kolateral Digital
Dalam sistem perbankan tradisional, mendapatkan kredit adalah tantangan besar bagi mereka yang tidak memiliki sejarah kredit formal atau agunan fisik. Protokol DeFi seperti Aave dan Compound memungkinkan pengguna untuk meminjam dana dengan menggunakan aset digital mereka sebagai jaminan. Inovasi yang lebih maju, seperti platform Goldfinch, bahkan sedang mengembangkan model pinjaman tanpa agunan kripto dengan menggunakan referensi kepercayaan komunitas, yang sangat relevan untuk usaha kecil di pasar negara berkembang.
Tabungan dan Akumulasi Kekayaan
Banyak orang di negara berkembang menderita akibat inflasi mata uang lokal yang tinggi, yang mengikis nilai tabungan mereka. Melalui DeFi, individu dapat mengonversi pendapatan mereka ke dalam stablecoin dan menyimpannya dalam protokol tabungan digital yang menawarkan imbal hasil yang lebih kompetitif daripada bank lokal. Platform seperti PoolTogether bahkan menawarkan model “tabungan tanpa kerugian,” di mana bunga yang dihasilkan dari simpanan kolektif digunakan sebagai hadiah dalam undian, sementara semua partisipan tetap memegang kendali atas modal pokok mereka—sebuah konsep yang menggabungkan insentif menabung dengan peluang keuntungan finansial.
| Kategori Layanan DeFi | Platform Contoh | Fungsi Utama | Dampak bagi Unbanked |
| Pinjaman / Kredit | Aave, Goldfinch | Peminjaman aset digital P2P | Akses modal tanpa skor kredit tradisional |
| Tabungan | PoolTogether, Moola Market | Tabungan berbunga / berhadiah | Perlindungan nilai terhadap inflasi lokal |
| Remitansi / Pembayaran | Celo, Stellar | Transfer stablecoin berbiaya rendah | Pengurangan biaya pengiriman uang internasional |
| Asuransi | Etherisc, Arbol | Asuransi parametrik otomatis | Payout instan untuk bencana alam / gagal panen |
Sumber: Analisis Platform DeFi dan Laporan Inklusi Digital 2025.
Studi Kasus Regional: Implementasi dan Dinamika Lapangan
Keberhasilan blockchain dalam inklusi keuangan sangat bervariasi tergantung pada kebijakan nasional, infrastruktur digital, dan kebutuhan ekonomi lokal. Tiga wilayah memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana teknologi ini beroperasi dalam skala besar.
Nigeria dan Afrika Sub-Sahara: Kebutuhan sebagai Induk Inovasi
Afrika Sub-Sahara telah lama menjadi pemimpin dalam penggunaan uang seluler, dengan 33% orang dewasa di wilayah tersebut memiliki akun uang seluler pada tahun 2021. Namun, keterbatasan uang seluler dalam transaksi lintas batas dan perlindungan terhadap inflasi telah mendorong adopsi kripto yang masif. Nigeria, sebagai ekonomi terbesar di Afrika, mencatat volume transaksi kripto lebih dari $92,1 miliar antara Juli 2024 hingga Juni 2025.
Di Nigeria, penggunaan Bitcoin dan stablecoin didorong oleh devaluasi Naira yang terus-menerus dan kontrol ketat terhadap akses mata uang asing. Masyarakat menggunakan aset digital bukan hanya sebagai investasi spekulatif, tetapi sebagai alat praktis untuk membiayai impor usaha kecil dan menerima kiriman uang dari luar negeri dengan biaya minimal. Regulasi tahun 2025 melalui Investments and Securities Act (ISA 2025) memberikan landasan hukum bagi bursa kripto berlisensi untuk beroperasi, yang diharapkan akan meningkatkan kepercayaan institusional dan perlindungan konsumen di wilayah tersebut.
Filipina: Sinergi antara Regulator dan Inovator
Filipina merupakan salah satu pasar remitansi terbesar di dunia, dengan aliran tahunan melebihi $40 miliar. Integrasi blockchain di negara ini didorong oleh kolaborasi erat antara bank sentral (BSP) dan platform digital seperti Coins.ph. Pada tahun 2025, Filipina mencapai tonggak sejarah dengan integrasi stablecoin PHPC ke dalam jaringan pembayaran nasional QRPH.
Integrasi ini memungkinkan pengguna untuk membelanjakan saldo aset digital mereka di lebih dari 600.000 pedagang ritel di seluruh negeri menggunakan kode QR standar. Langkah ini sangat krusial karena menyelesaikan masalah “last-mile delivery”—kemampuan untuk menggunakan uang digital untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus selalu mengonversinya kembali ke uang tunai fisik. Dengan 57,4% transaksi ritel di Filipina yang sudah berbentuk digital pada tahun 2024, infrastruktur untuk adopsi kripto arus utama sudah sangat siap.
El Salvador: Eksperimen Berani dan Pembelajaran Pahit
El Salvador menjadi negara pertama di dunia yang menjadikan Bitcoin sebagai alat pembayaran sah (legal tender) pada tahun 2021. Pemerintah meluncurkan dompet “Chivo” dan memberikan insentif awal sebesar $30 dalam Bitcoin kepada setiap warga negara. Namun, hingga tahun 2025, data menunjukkan bahwa adopsi tersebut gagal mencapai tujuan inklusi keuangan yang diharapkan. Penggunaan Bitcoin untuk pembayaran sehari-hari tetap sangat rendah, dan hanya sebagian kecil dari total remitansi yang masuk melalui dompet digital pemerintah.
Kegagalan ini menyoroti bahwa pemberian teknologi saja tidak cukup tanpa literasi keuangan yang memadai dan kepercayaan pada stabilitas sistem. Volatilitas harga Bitcoin yang ekstrim membuat masyarakat enggan menggunakannya sebagai penyimpan nilai untuk kebutuhan mendesak. Selain itu, kurangnya transparansi mengenai operasional Chivo dan risiko fiskal bagi negara telah memicu kritik dari IMF, yang akhirnya mendorong pemerintah El Salvador pada akhir 2025 untuk mulai memprivatisasi infrastruktur dompet digital tersebut guna memitigasi risiko keuangan publik.
Tantangan dan Risiko: Menyeimbangkan Inovasi dengan Stabilitas
Meskipun blockchain menawarkan peluang besar, jalannya tidak bebas dari rintangan yang signifikan. Identifikasi risiko secara akurat sangat penting bagi pembuat kebijakan dan penyedia layanan.
Skalabilitas dan Infrastruktur Fisik
Banyak jaringan blockchain utama, seperti Ethereum, menghadapi tantangan skalabilitas yang menyebabkan biaya transaksi tinggi dan waktu konfirmasi yang lambat saat terjadi lonjakan trafik. Bagi individu dengan pendapatan rendah, membayar biaya transaksi sebesar beberapa dolar untuk pengiriman uang kecil sangatlah memberatkan. Solusi sedang dikembangkan melalui jaringan Layer 2 dan blockchain berbiaya rendah seperti Celo dan Stellar, namun ini memerlukan investasi infrastruktur internet yang lebih luas di daerah terpencil.
Literasi Digital dan Keamanan Konsumen
Teknologi blockchain mengharuskan pengguna untuk bertanggung jawab penuh atas keamanan aset mereka sendiri. Kehilangan kunci privat atau menjadi korban penipuan phishing berarti kehilangan dana secara permanen, karena tidak ada layanan pelanggan terpusat yang dapat membatalkan transaksi. Kurangnya literasi digital di kalangan populasi unbanked membuat mereka sangat rentan terhadap eksploitasi oleh aktor jahat. Program pendidikan masif, seperti inisiatif edukasi stablecoin di Filipina tahun 2025, menjadi kunci untuk memitigasi risiko ini.
Volatilitas dan Substitusi Mata Uang
Mata uang kripto spekulatif sering kali terlalu volatil untuk digunakan sebagai alat pembayaran rutin oleh masyarakat miskin yang memiliki margin kesalahan finansial yang sangat kecil. Selain itu, adopsi luas stablecoin yang dipatok pada dolar AS dapat menyebabkan “dolarisasi digital,” di mana bank sentral kehilangan kontrol atas kebijakan moneter domestik dan aliran modal lintas batas. Hal ini menciptakan dilema bagi negara dengan mata uang lokal yang lemah: membiarkan inovasi berkembang atau melindungi kedaulatan moneter.
Masa Depan: Konvergensi dengan Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC)
Sebagai tanggapan terhadap kebangkitan aset kripto swasta, banyak bank sentral (lebih dari 90% secara global) sedang menjajaki pengembangan Mata Uang Digital Bank Sentral atau CBDC. CBDC bertujuan untuk menggabungkan keunggulan blockchain—seperti kecepatan dan efisiensi—dengan keamanan dan stabilitas uang negara yang diatur.
Peran CBDC dalam Inklusi Keuangan
CBDC dapat dirancang khusus untuk menjangkau populasi unbanked dengan fitur-fitur seperti transaksi luar jaringan (offline), yang memungkinkan orang melakukan pembayaran di area tanpa koneksi internet yang stabil. Selain itu, CBDC dapat berfungsi sebagai “infrastruktur publik digital” yang memungkinkan perusahaan fintech swasta untuk membangun layanan di atasnya, menciptakan ekosistem yang lebih kompetitif dan berbiaya rendah bagi konsumen.
Analisis IMF menunjukkan bahwa di negara dengan populasi unbanked yang besar, keuntungan inklusi dari CBDC sering kali jauh lebih besar daripada risiko disintermediasi perbankan tradisional. Namun, keberhasilan CBDC akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk beroperasi secara interoperabel dengan dompet digital dan sistem pembayaran yang sudah ada di sektor swasta.
| Perbandingan | Stablecoin Swasta | Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC) |
| Penerbit | Perusahaan Teknologi / Konsorsium | Bank Sentral Negara |
| Dukungan Aset | Uang Tunai, Surat Berharga, Komoditas | Kredit dan Kedaulatan Negara |
| Fokus Utama | Efisiensi Transaksi & Akses Pasar Kripto | Stabilitas Moneter & Inklusi Publik |
| Status Hukum | Tergantung Yurisdiksi (Seringkali Aset) | Alat Pembayaran Sah (Legal Tender) |
| Risiko Utama | Risiko Penerbit & Gagal Bayar Cadangan | Privasi Data & Kontrol Pemerintah |
Sumber: Diolah dari Laporan Stabilitas IMF dan PwC 2025.
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Integrasi teknologi blockchain dalam upaya inklusi keuangan global telah bergerak dari tahap eksperimental menuju implementasi praktis yang berdampak nyata bagi jutaan orang. Bagi 1,4 miliar individu yang masih berada di luar jangkauan perbankan tradisional, teknologi ini menawarkan jalan pintas untuk mendapatkan akses ke layanan keuangan dasar yang selama ini tertutup bagi mereka. Namun, pelajaran dari El Salvador dan kesuksesan di Nigeria serta Filipina menunjukkan bahwa teknologi hanyalah salah satu komponen dari solusi yang lebih besar.
Untuk memaksimalkan potensi blockchain dalam melayani populasi unbanked, diperlukan pendekatan multifaset yang mencakup kejelasan regulasi yang mendukung inovasi tanpa mengabaikan perlindungan konsumen, investasi dalam literasi digital dan keuangan, serta pembangunan infrastruktur internet yang lebih merata. Konvergensi masa depan antara stablecoin yang efisien dan CBDC yang stabil kemungkinan besar akan menjadi model dominan dalam ekosistem keuangan global tahun 2030. Dengan menempatkan kebutuhan pengguna—terutama mereka yang paling rentan—sebagai inti dari desain teknologi, blockchain memiliki kekuatan untuk mengubah secara permanen lanskap ekonomi dunia menjadi lebih adil dan inklusif.
