Perekonomian global kontemporer berdiri di atas landasan paradoks yang semakin sulit untuk dipertahankan, di mana kemakmuran suatu bangsa secara tradisional diukur melalui kapasitas produksinya, namun keberlanjutan masa depan justru bergantung pada kemampuannya untuk membatasi konsumsi. Di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi pada periode 2024-2025, negara-negara seperti Indonesia tetap memproyeksikan pertumbuhan ekonomi yang solid, dengan harapan mencapai status negara maju melalui visi Indonesia Emas 2045. Namun, proyeksi pertumbuhan ini muncul di saat dunia menghadapi realitas biofisik yang mengkhawatirkan: pola konsumsi di negara-negara maju telah lama melampaui kapasitas regeneratif bumi. Pertanyaan etis yang mendesak bagi para pembuat kebijakan dan sosiolog saat ini bukan lagi tentang bagaimana mencapai kemakmuran, melainkan apakah esensi dari kemakmuran tersebut harus selalu diwujudkan dalam bentuk akumulasi materi dan konsumsi yang berlebihan.

Dinamika Ekonomi Global dan Obsesi Pertumbuhan

Pada awal tahun 2024, dinamika ekonomi dunia masih dibayangi oleh risiko ketidakpastian global dan inflasi yang, meskipun menurun, tetap berada pada level yang relatif tinggi. Meskipun demikian, optimisme terhadap pertumbuhan tetap menjadi narasi dominan dalam kebijakan publik. Indonesia, misalnya, mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% pada tahun 2024 dengan inflasi yang terkendali pada angka 1,57%. Keberhasilan ekonomi makro semacam ini sering kali dijadikan indikator tunggal kemajuan, yang secara implisit mendorong peningkatan konsumsi domestik sebagai mesin penggerak utama pertumbuhan.

Dalam konteks negara maju, hubungan antara kemakmuran dan konsumsi telah mendarah daging dalam struktur sosial dan ekonomi. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) telah menjadi tolok ukur mutlak keberhasilan sebuah ekonomi, meskipun angka ini sering kali mengabaikan dimensi kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan. Kritik terhadap model ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas pada planet yang terbatas secara fisik merupakan suatu kemustahilan logis. Oleh karena itu, tantangan bagi negara-negara maju saat ini adalah melakukan redefinisi terhadap kemakmuran agar tidak lagi identik dengan konsumsi sumber daya yang boros.

Proyeksi Pertumbuhan dan Indikator Ekonomi Indonesia 2024-2025

Indikator Capaian 2024 (Realisasi/Estimasi) Target/Proyeksi 2025
Pertumbuhan Ekonomi 5,03% Lebih tinggi dari 2024
Inflasi (yoy) 1,57% – 1,71% Rentang sasaran 2,5% ±1%
Fokus Kebijakan SDM Unggul, Ekonomi Digital Akselerasi Teknologi & AI

Catatan: Data dirangkum dari publikasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Badan Pusat Statistik.

Kerangka Sosiologis: Modernitas Cair dan Konsumsi sebagai Identitas

Untuk menggugat etika konsumsi di negara maju, penting untuk memahami mekanisme sosiologis yang mendasarinya. Zygmunt Bauman, melalui teorinya tentang Liquid Modernity atau Modernitas Cair, memberikan diagnosis tajam terhadap kondisi masyarakat kontemporer. Bauman berpendapat bahwa dunia saat ini telah kehilangan bentuk “padatnya”—yaitu struktur stabil seperti pekerjaan seumur hidup, ikatan komunitas yang kuat, dan peran sosial yang jelas. Sebaliknya, modernitas saat ini bersifat cair; segala sesuatu berada dalam fluktuasi konstan, menciptakan ketidakpastian permanen bagi individu.5

Dalam kondisi cair ini, konsumsi telah menggantikan fungsi integrasi sosial yang dulunya dijalankan oleh kelas sosial atau milieu kerja. Di negara maju, belonging atau rasa memiliki terhadap komunitas tidak lagi diperoleh melalui loyalitas institusional, melainkan melalui performa konsumsi. Individu membangun identitas mereka melalui merek, gaya hidup, dan simbol-simbol material. Kepemilikan barang mewah atau produk teknologi terbaru bukan sekadar pemenuhan kebutuhan fungsional, melainkan cara untuk mengidentifikasi diri dengan “kelompok gaya hidup” (style packs) tertentu agar terhindar dari pengucilan sosial.

Transformasi dari Modernitas Padat ke Modernitas Cair

Dimensi Modernitas Padat (Solid) Modernitas Cair (Liquid)
Struktur Sosial Institusi stabil (Keluarga, Pekerjaan) Jaringan fleksibel, fluktuatif
Peran Individu Produsen, Warga Negara Konsumen, Pemilih Gaya Hidup
Sumber Identitas Kelas, Pekerjaan, Tradisi Merek, Konsumsi, Tren Global
Integrasi Sosial Kepatuhan pada Aturan Partisipasi dalam Konsumsi
Risiko Ditanggung Negara/Institusi Ditanggung Individu (Atomisasi)

Analisis berdasarkan pemikiran Zygmunt Bauman.

Bauman menekankan bahwa dalam masyarakat konsumen, individu dipaksa untuk terus-menerus memperbarui identitas mereka agar tetap relevan. Hal ini menciptakan siklus konsumsi yang tidak pernah berakhir, di mana kepuasan bersifat efemer (sementara) dan setiap konsumsi baru segera kehilangan daya tariknya, mendorong pembelian berikutnya. Mereka yang gagal memenuhi standar konsumsi ini dicap sebagai “konsumen buruk” dan berisiko menjadi “nyawa yang terbuang” (wasted lives), terlempar ke pinggiran masyarakat karena tidak lagi mampu berpartisipasi dalam mekanisme integrasi sosial utama.

Realitas Biofisik: Jejak Ekologis dan Batas Regeneratif Planet

Secara etis, konsumsi berlebihan di negara maju tidak dapat dipertahankan karena secara langsung melanggar batas-batas ekologis planet. Alat analisis yang paling menonjol untuk memantau beban ini adalah Jejak Ekologis (Ecological Footprint), yang mengukur permintaan manusia terhadap alam dibandingkan dengan biokapasitas bumi—yaitu kemampuan ekosistem untuk meregenerasi sumber daya dan menyerap limbah, terutama emisi karbon.

Pada tahun 2024, dunia mencatat bahwa kemanusiaan menggunakan sumber daya alam 1,7 kali lebih cepat daripada kemampuan bumi untuk memulihkannya. Earth Overshoot Day 2024 jatuh pada tanggal 1 Agustus, yang menandai bahwa sejak tanggal tersebut hingga akhir tahun, manusia hidup dengan cara “menghabiskan modal” alam, bukan sekadar memanfaatkan hasilnya. Negara-negara maju secara konsisten menunjukkan defisit biokapasitas yang ekstrem, yang berarti mereka mengonsumsi jauh melampaui apa yang dapat disediakan oleh wilayah teritorial mereka sendiri.

Perbandingan Jejak Ekologis dan Biokapasitas Negara Terpilih (Data 2022-2024)

Negara Jejak Ekologis (gha per orang) Biokapasitas (gha per orang) Defisit/Cadangan (%) Status
Singapura 5,87 (est) 0,02 -34.000% Debitur Ekologis
Luksemburg 15,82 1,68 -870% Debitur Ekologis
Israel Tidak disebutkan Tidak disebutkan -1.900% Debitur Ekologis
Denmark 24,5 (material) Tidak disebutkan -73% (biokapasitas) Debitur Ekologis
Amerika Serikat Tidak disebutkan Tidak disebutkan -110% Debitur Ekologis
Indonesia 1,7 (est) 1,2 (est) -48% Debitur Ekologis
Gabon Tidak disebutkan Tidak disebutkan +663% Kreditur Ekologis
Brasil Tidak disebutkan Tidak disebutkan +237% Kreditur Ekologis

Sumber: National Footprint and Biocapacity Accounts (NFBAs) dan Global Footprint Network.

Defisit ekologis di negara maju ditutupi melalui perdagangan internasional—dengan kata lain, mereka mengimpor biokapasitas dari negara lain atau mengekspor limbah karbon mereka ke atmosfer global. Hal ini menimbulkan pertanyaan moral yang serius mengenai keadilan lingkungan global. Jika standar konsumsi negara maju diadopsi secara universal, bumi tidak akan sanggup menopangnya. Sebagai contoh, jika seluruh penduduk dunia hidup seperti warga Denmark, dibutuhkan lebih dari empat planet bumi untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan.

Paradoks Kebahagiaan dan Dampak Psikologis Konsumsi Tinggi

Gugatan terhadap konsumsi berlebihan juga datang dari perspektif kesejahteraan psikologis. Di negara-negara dengan kemakmuran materi yang tinggi, sering kali ditemukan fenomena yang disebut sebagai Hedonic Treadmill. Teori ini menjelaskan bahwa seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kepemilikan materi, ekspektasi dan keinginan seseorang juga meningkat secara proporsional, sehingga tidak terjadi peningkatan kebahagiaan jangka panjang yang signifikan.

Neurokimia manusia cenderung mengalami desensitisasi terhadap stimulasi positif yang berulang. Kegembiraan saat membeli barang baru segera memudar dan individu kembali ke “titik setel” (set point) kebahagiaan semula, yang memicu keinginan untuk membeli barang lain demi mendapatkan sensasi serupa. Siklus ini tidak hanya melelahkan secara finansial tetapi juga dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya dan ketidakbahagiaan secara umum karena individu kehilangan motivasi untuk mengejar hal-hal yang memiliki nilai intrinsik lebih dalam.

Dampak Budaya Konsumsi Tinggi terhadap Kesejahteraan Psikologis

Dampak Deskripsi Mekanisme Konsekuensi Jangka Panjang
Status Anxiety Ketakutan akan kehilangan status sosial jika tidak memiliki barang terbaru.8 Stres kronis, isolasi sosial, dan perilaku kompetitif destruktif.
Hedonic Adaptation Penurunan kepuasan terhadap kepemilikan materi seiring berjalannya waktu. Ketergantungan pada belanja impulsif dan ketidakpuasan permanen.
Hilangnya Fokus Intrinsik Energi dialihkan dari hubungan sosial dan pengembangan diri ke pengejaran eksternal. Penurunan kualitas hubungan keluarga dan hilangnya makna hidup.
Kecemasan Eksistensial Disorientasi moral dalam masyarakat yang cair dan tidak memiliki struktur tetap. Depresi dan pencarian identitas yang dangkal melalui merek.

Analisis disintesis dari teori Bauman dan penelitian psikologi kesejahteraan.

Untuk mengatasi jebakan ini, para ahli menyarankan pergeseran fokus dari harta benda ke pengalaman, penguatan hubungan sosial, dan praktik rasa syukur. Namun, dalam masyarakat negara maju yang sistem ekonominya sangat bergantung pada konsumsi tinggi, perubahan perilaku individu ini sering kali berbenturan dengan dorongan pemasaran yang masif.

Degrowth: Menantang Hegemoni Pertumbuhan

Sebagai alternatif radikal terhadap model ekonomi berbasis konsumsi, muncul konsep Degrowth. Gerakan ini mengusulkan pengurangan skala penggunaan energi dan material secara drastis di negara-negara maju untuk mencapai keadilan lingkungan global dan sosial tanpa harus mengandalkan pertumbuhan PDB terus-menerus. Degrowth bukan berarti menciptakan kemiskinan; sebaliknya, konsep ini menuntut “kelimpahan setelah kapitalisme” melalui pembagian sumber daya yang lebih adil dan perluasan barang-barang milik bersama (public goods).

Jason Hickel dan Giorgos Kallis, dua pemikir utama dalam bidang ini, berargumen bahwa krisis iklim saat ini disebabkan oleh “penumpang kelas satu” di bumi, yaitu 20% penduduk terkaya dunia yang sebagian besar berada di Global North. Mereka menekankan bahwa efisiensi teknologi saja tidak akan cukup. Konsep decoupling—pemisahan pertumbuhan ekonomi dari penggunaan sumber daya—terbukti gagal secara historis pada skala global. Oleh karena itu, pengurangan konsumsi material secara absolut di negara maju menjadi suatu keharusan etis.

Perbandingan Paradigma: Pertumbuhan Hijau vs. Degrowth

Aspek Pertumbuhan Hijau (Green Growth) Pasca-Pertumbuhan (Degrowth)
Indikator Utama PDB yang dipisahkan dari emisi (decoupling) Kesejahteraan manusia dan kesehatan ekologis
Solusi Teknologi Efisiensi tinggi, energi terbarukan Kecukupan (sufficiency), teknologi demokratis
Peran Konsumsi Tetap tinggi, namun berbasis produk “hijau” Reduksi drastis konsumsi material di negara kaya
Distribusi Kekayaan Menetes ke bawah (trickle-down) Redistribusi radikal dan penguatan sektor publik
Hubungan Utara-Selatan Transfer teknologi untuk pertumbuhan Dekolonisasi imajinasi dan otonomi lokal

Analisis berdasarkan pemikiran Jason Hickel, Giorgos Kallis, dan Matthias Schmelzer.

Implementasi degrowth menuntut perubahan institusional yang mendalam. Misalnya, melepaskan ketergantungan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan dari fluktuasi pertumbuhan PDB, serta mendorong teknologi yang menunjang cita-cita keberlanjutan dan manfaat bagi manusia biasa daripada sekadar efisiensi ekonomi untuk profit. Di Indonesia, meskipun tantangannya berbeda karena statusnya sebagai negara berkembang, prinsip degrowth dapat diterapkan melalui pembangunan yang lebih selektif dan berkualitas, seperti penguatan transportasi publik dan sistem perlindungan sosial daripada ekspansi industri besar-besaran yang merusak alam.

Ekonomi Sirkular: Strategi Transisi di Negara Maju

Di tengah tuntutan untuk mengurangi konsumsi, model Ekonomi Sirkular muncul sebagai jembatan praktis bagi negara-negara maju. Ekonomi sirkular bertujuan meminimalkan penggunaan materi dan sumber daya melalui prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), sehingga nilai suatu produk dapat dipertahankan selama mungkin dalam sistem perekonomian. Ini adalah antitesis dari model ekonomi liberal yang cenderung hanya mengambil, membuat, dan membuang (take, make, dispose).

Studi kasus Denmark memberikan gambaran nyata tentang tantangan transisi ini. Denmark adalah negara berpendapatan tinggi dengan jejak ekologis yang besar. Meskipun memiliki reputasi sebagai pemimpin lingkungan, laporan tahun 2023 menunjukkan bahwa ekonomi Denmark hanya 4% sirkular, jauh di bawah rata-rata global sebesar 7,2%. Tingginya konsumsi material per kapita (24,5 ton per tahun) dan emisi karbon (11,1 ton per kapita) menunjukkan bahwa kemakmuran di Denmark masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya virgin.

Analisis Sektor Berdampak Tinggi di Denmark (Laporan 2023)

Sektor Jejak Material (%) Jejak Karbon (%) Tantangan Utama
Konstruksi 31% 17% Penggunaan semen dan material bangunan berat.
Manufaktur 18% 22% Industri pemurnian minyak dan kendaraan.
Agrifood 15% 16% Peternakan sapi dan produk susu yang intensif karbon.
Transportasi Rendahnya efisiensi mobil pribadi (digunakan hanya 5%).

Sumber: The Circularity Gap Report: Denmark.

Laporan tersebut menawarkan skenario transformasional yang dapat meningkatkan sirkularitas Denmark menjadi 7,6% dan mengurangi jejak material sebesar 39%. Langkah-langkahnya mencakup penerapan gaya hidup sirkular, mobilitas berkelanjutan, dan sistem pangan berputar. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada komitmen politik untuk melakukan reformasi sistemik, termasuk pendanaan untuk UKM dan perubahan kurikulum pendidikan vokasional untuk membekali tenaga kerja dengan keterampilan ekonomi sirkular.

Relevansi dan Peluang bagi Negara Berkembang: Kasus Indonesia

Gugatan terhadap konsumsi di negara maju memberikan ruang bagi negara berkembang untuk memikirkan kembali jalur pembangunannya. Indonesia, yang sedang bertransisi menuju ekonomi hijau, memiliki peluang untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip ekonomi sirkular sejak dini. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan studi mengenai manfaat ekonomi sirkular pada lima sektor industri prioritas: makanan dan minuman, konstruksi, elektronik, tekstil, dan plastik.

Penerapan ekonomi sirkular di Indonesia diproyeksikan dapat mengurangi limbah hingga 50% pada tahun 2030 dan menciptakan lapangan kerja hijau yang inklusif bagi kelompok perempuan dan penyandang disabilitas. Namun, tantangan besar tetap ada, seperti rendahnya literasi masyarakat mengenai bahaya konsumsi berlebihan—misalnya konsumsi gula tinggi yang menyebabkan gagal ginjal pada remaja—serta ketergantungan pada infrastruktur energi fosil yang masih dominan.

Sektor Prioritas Ekonomi Sirkular di Indonesia

Sektor Potensi Manfaat Inisiatif yang Sedang Berjalan
Pangan & Minuman Pengurangan limbah makanan dan jejak karbon. Pengelolaan sisa makanan dan kemasan ramah lingkungan.
Konstruksi Penggunaan kembali material bangunan. Pengembangan standar bangunan hijau.
Elektronik Pengurangan sampah elektronik (e-waste). Program daur ulang komponen elektronik.
Tekstil Pengurangan limbah kain dan polusi air. Penggunaan bahan pewarna alami dan serat daur ulang.
Plastik Pengurangan polusi laut dan emisi produksi. Bank sampah masyarakat dan pelarangan plastik sekali pakai.

Analisis berdasarkan dokumen Bappenas dan UNDP Indonesia.

Dalam konteks ini, keberhasilan transisi di negara maju seperti Denmark akan menjadi preseden penting bagi negara berkembang. Jika negara maju tidak mampu menurunkan tingkat konsumsinya, maka pesan tentang keberlanjutan yang mereka sampaikan ke negara berkembang akan kehilangan otoritas moralnya. Sebaliknya, kolaborasi antara negara maju (seperti Denmark) dan berkembang (seperti Indonesia) dalam mengembangkan kebijakan sirkularitas dapat mempercepat pencapaian SDG 12 mengenai konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.

Sintesis Etis: Kemakmuran Tanpa Eksploitasi

Menggugat apakah kemakmuran harus selalu berarti konsumsi yang berlebihan membawa kita pada kesimpulan bahwa model pembangunan saat ini memerlukan dekonstruksi total. Kemakmuran sejati tidak dapat dibangun di atas fondasi eksploitasi sumber daya yang melampaui batas planet dan penciptaan kecemasan psikologis melalui budaya konsumsi. Etika konsumsi baru di negara maju harus beralih dari paradigma “lebih banyak lebih baik” menuju paradigma “cukup untuk semua.”

Transformasi ini melibatkan beberapa langkah strategis:

Pertama, redefinisi indikator kemajuan. Negara-negara harus mulai mengintegrasikan metrik kesejahteraan sosial dan kesehatan ekologis ke dalam jantung pengambilan keputusan ekonomi, melampaui angka PDB. Kemakmuran harus diukur dari kualitas layanan publik, keadilan distribusi kekayaan, dan kelestarian ekosistem.

Kedua, restrukturisasi ekonomi melalui prinsip sirkularitas dan degrowth. Ini berarti secara sengaja mengurangi volume produksi material di sektor-sektor yang tidak esensial di negara maju, sembari memperkuat sektor-sektor yang menopang kehidupan, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan restorasi alam.

Ketiga, dekolonisasi identitas dan gaya hidup. Masyarakat perlu melepaskan diri dari jebakan modernitas cair di mana harga diri ditentukan oleh kepemilikan barang. Pendidikan dan narasi budaya harus diarahkan untuk menghargai hubungan antarmanusia, kreativitas, dan keterhubungan dengan alam sebagai sumber kebahagiaan yang lebih stabil daripada konsumsi impulsif.5

Keempat, keadilan global yang redistributif. Negara maju memikul tanggung jawab sejarah atas kerusakan iklim dan harus memberikan ruang biokapasitas bagi negara berkembang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, sembari memberikan dukungan teknologi dan finansial bagi transisi hijau di Global South.

Masa depan kemanusiaan bergantung pada kemampuan kita untuk membayangkan sebuah peradaban yang makmur namun rendah konsumsi. Jika kemakmuran tetap diartikan sebagai hak untuk mengonsumsi tanpa batas, maka kemakmuran tersebut pada akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri melalui keruntuhan ekologis. Sebaliknya, dengan merangkul etika kecukupan dan solidaritas, kita dapat membangun dunia yang tidak hanya lebih adil dan berkelanjutan, tetapi juga lebih bahagia bagi penghuninya. Kemakmuran tidak harus berarti konsumsi yang berlebihan; ia bisa berarti hidup yang bermartabat dalam harmoni dengan batas-batas bumi yang kita tinggali.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

89 − = 80
Powered by MathCaptcha