Fenomena digitalisasi global telah membawa kemanusiaan ke ambang pergeseran paradigma yang fundamental mengenai makna privasi. Dalam struktur ekonomi kontemporer, data pribadi tidak lagi sekadar representasi identitas individu, melainkan telah bermutasi menjadi komoditas paling berharga yang menggerakkan mesin pertumbuhan ekonomi digital. Persoalan utama yang muncul adalah apakah perlindungan atas data tersebut telah bergeser dari hak asasi yang bersifat universal menjadi barang mewah yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki kapasitas finansial untuk membelinya. Analisis mendalam terhadap struktur pasar, regulasi global, dan dinamika sosial menunjukkan adanya stratifikasi yang semakin tajam antara individu yang mampu mengamankan kedaulatan digitalnya dan mereka yang dipaksa menyerahkan integritas pribadinya demi akses layanan dasar.
Arsitektur Kapitalisme Pengawasan dan Logika Akumulasi Data
Konsep kapitalisme pengawasan, sebagaimana dipopulerkan oleh Shoshana Zuboff, memberikan kerangka teoretis untuk memahami bagaimana komersialisasi data pribadi beroperasi. Kapitalisme pengawasan didefinisikan sebagai tatanan ekonomi baru yang mengklaim pengalaman manusia sebagai bahan mentah gratis untuk diterjemahkan menjadi data perilaku untuk praktik komersial tersembunyi berupa ekstraksi, prediksi, dan penjualan. Fenomena ini secara historis dipelopori oleh Google melalui peluncuran AdWords, yang menandai pergeseran dari penggunaan data untuk meningkatkan kualitas layanan menjadi penggunaan data untuk memprediksi perilaku masa depan konsumen demi kepentingan pengiklan.
Dalam logika ini, perusahaan teknologi tidak hanya mengumpulkan data yang diperlukan untuk fungsi layanan utama, tetapi juga mengekstraksi apa yang disebut sebagai “surplus perilaku.” Surplus ini mencakup jejak digital yang tidak terlihat seperti kecepatan mengetik, pola lokasi, durasi perhatian pada konten tertentu, hingga nada emosional dalam komunikasi. Data tersebut kemudian diproses melalui algoritma kecerdasan buatan untuk menciptakan “produk prediksi” yang dijual di pasar masa depan perilaku. Mekanisme ini beroperasi di luar jangkauan kesadaran individu, menciptakan apa yang disebut Zuboff sebagai “Big Other”—sebuah kekuasaan terdistribusi yang memantau dan membentuk perilaku manusia tanpa mekanisme persetujuan yang bermakna.
Transformasi Nilai Data dari Informasi ke Kontrol
Komersialisasi data pribadi telah melampaui batas iklan bertarget dan merambah ke area modifikasi perilaku. Kasus Cambridge Analytica menjadi bukti nyata bagaimana data yang diekstraksi dari platform media sosial tidak hanya digunakan untuk menjual produk, tetapi dipersenjatai untuk manipulasi psikologis dan pengaruh politik. Dengan membangun profil kepribadian yang mendalam dari jutaan pengguna tanpa izin mereka, perusahaan dapat mengirimkan pesan-pesan yang dirancang secara mikro untuk memicu emosi tertentu, seperti kemarahan atau ketakutan, guna mengubah perilaku pemilih.
Perubahan ini mencerminkan transisi dari personalisasi menjadi kontrol. Individu dalam ekosistem kapitalisme pengawasan bukan lagi subjek yang berdaulat, melainkan sarana bagi tujuan pihak lain (means to others’ ends). Hubungan antara penyedia layanan dan pengguna telah menjadi sangat asimetris, di mana pengguna membayar layanan “gratis” dengan privasi, rutinitas, emosi, dan bahkan pemikiran pribadi mereka.
| Komponen Kapitalisme Pengawasan | Deskripsi Fungsi dalam Ekonomi Data | Implikasi Terhadap Subjek Data |
| Surplus Perilaku | Data sisa yang tidak diperlukan untuk fungsi layanan utama. | Ekstraksi tanpa izin yang melampaui kebutuhan operasional. |
| Produk Prediksi | Hasil pemrosesan data untuk menebak tindakan masa depan. | Reduksi otonomi individu melalui pengaruh algoritmik. |
| Big Other | Arsitektur komputer global yang memediasi kekuasaan digital. | Pengawasan massal yang tidak terlihat dan sulit dilawan. |
| Pasar Masa Depan Perilaku | Tempat perdagangan prediksi perilaku manusia oleh korporasi. | Komodifikasi pengalaman hidup manusia menjadi aset modal. |
Privasi sebagai Komoditas: Munculnya Jurang Pemisah Sosio-Ekonomi
Seiring dengan meningkatnya kesadaran publik akan bahaya pengawasan massal, pasar merespons dengan menciptakan produk-produk yang menawarkan perlindungan privasi sebagai nilai tambah premium. Fenomena ini memicu kekhawatiran bahwa privasi sedang bertransformasi menjadi barang mewah (luxury good). Dalam skenario ini, perlindungan data pribadi hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar biaya langganan tinggi atau membeli perangkat keras mahal yang mengutamakan keamanan.
Model Bisnis Pay-for-Privacy (PFP)
Model bisnis “bayar-untuk-privasi” atau pay-for-privacy (PFP) mengharuskan konsumen membayar biaya tambahan untuk mencegah data mereka dikumpulkan atau digunakan untuk tujuan iklan. Sebaliknya, konsumen yang tidak mampu membayar diberikan diskon atau akses gratis sebagai imbalan atas persetujuan mereka untuk dilacak. Praktik ini menciptakan ketimpangan akses, di mana individu berpenghasilan rendah secara efektif dipaksa untuk menjual data pribadi mereka demi mendapatkan layanan digital yang setara dengan mereka yang lebih kaya.
Salah satu contoh paling menonjol dari tren ini adalah strategi pemasaran Apple, yang memposisikan privasi dan keamanan data sebagai pembeda utama untuk membenarkan harga premium pada perangkat iPhone dan Mac. CEO Apple, Tim Cook, secara eksplisit menyatakan bahwa jika sebuah bisnis dibangun di atas eksploitasi data, maka bisnis tersebut berhak untuk direformasi. Namun, implikasi sosiologisnya adalah perlindungan privasi yang kuat menjadi hak istimewa yang hanya dapat dimiliki oleh pembeli perangkat kelas atas, sementara pengguna perangkat anggaran rendah sering kali terjebak dalam ekosistem yang penuh dengan pelacak iklan dan perangkat lunak bloatware yang haus data.
Studi Kasus: Model “Pay or OK” Meta di Uni Eropa
Perdebatan mengenai privasi sebagai barang mewah mencapai puncaknya dengan diperkenalkannya model “bayar atau setuju” (Pay or OK) oleh Meta di Uni Eropa. Setelah keputusan pengadilan yang membatasi dasar hukum Meta untuk memproses data bagi iklan bertarget, perusahaan ini memberikan pilihan kepada pengguna: membayar biaya bulanan untuk pengalaman tanpa iklan atau menyetujui penggunaan data pribadi mereka untuk iklan personal.
Komisi Eropa menemukan bahwa model ini melanggar Digital Markets Act (DMA) karena tidak memberikan alternatif gratis yang “setara” namun kurang intensif data. Ketidakseimbangan kekuasaan sangat nyata di sini, di mana pengguna yang sangat bergantung pada platform Facebook atau Instagram untuk kebutuhan sosial dan profesional merasa dipaksa untuk memberikan persetujuan guna menghindari biaya finansial. Kelompok hak sipil seperti NOYB menegaskan bahwa hak asasi manusia, termasuk privasi, tidak seharusnya menjadi barang dagangan yang dapat dijual atau ditukar dengan biaya langganan.
| Aspek Model “Pay or OK” | Implikasi Hukum (DMA/GDPR) | Dampak Sosio-Ekonomi |
| Biaya Langganan | Dianggap sebagai hambatan akses bagi kelas ekonomi rendah. | Privasi menjadi hak eksklusif bagi pelanggan berbayar. |
| Persetujuan Terpaksa | Tidak memenuhi kriteria persetujuan “sukarela” (freely given). | Eksploitasi terhadap ketergantungan pengguna pada platform. |
| Alternatif Kurang Data | Kurangnya pilihan layanan gratis dengan iklan kontekstual saja. | Hilangnya otonomi bagi mereka yang tidak mampu membayar. |
| Fragmentasi Pasar | Perbedaan standar perlindungan antara UE dan wilayah lain. | Ketidakadilan global dalam perlindungan data pribadi. |
Kemiskinan Privasi: Dampak pada Kelompok Berpenghasilan Rendah
Ketimpangan dalam akses terhadap privasi menciptakan kondisi yang disebut sebagai “kemiskinan privasi” (privacy poverty). Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah menghadapi matriks kerentanan yang lebih kompleks akibat pengumpulan dan agregasi data besar serta penggunaan analitik prediktif. Alih-alih mempersempit kesenjangan ekonomi, sistem data besar sering kali memperlebar kesenjangan dengan memfasilitasi praktik predatori atau pengecualian dari peluang ekonomi.
Statistik Kerentanan dan Kekhawatiran Digital
Penelitian menunjukkan adanya disparitas yang signifikan dalam tingkat kekhawatiran terhadap privasi digital berdasarkan tingkat pendapatan. Masyarakat dengan pendapatan rendah cenderung lebih khawatir tentang dampak nyata dari kebocoran data terhadap kesejahteraan finansial dan sosial mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan risiko privasi bukan hanya masalah pendidikan, tetapi merupakan refleksi dari kerentanan hidup yang nyata.
| Jenis Kekhawatiran Digital | Pendapatan Rendah (Sangat Khawatir) | Pendapatan Tinggi (Sangat Khawatir) |
| Kehilangan/Pencurian Info Finansial | 60% | 38% |
| Ketidakpastian Pengumpulan Data | 52% | 37% |
| Korban Penipuan/Scam Internet | 48% | 24% |
| Menjadi Target Pelecehan Online | 38% | 12% |
| Target Ketidakadilan Penegak Hukum | 30% | 11% |
Data tersebut menegaskan bahwa bagi masyarakat miskin, risiko digital sering kali tumpang tindih dengan tantangan sehari-hari dalam menghadapi ketidakamanan fisik dan finansial. Kemiskinan privasi bukan hanya soal iklan yang mengganggu, tetapi ancaman terhadap kemampuan mereka untuk menutupi kebutuhan dasar keluarga jika menjadi korban penipuan atau diskriminasi algoritmik.
Hambatan Struktural dan Perangkat Lunak Usang
Individu yang terkena dampak kemiskinan sering kali didorong untuk melakukan praktik keamanan yang buruk bukan karena kurangnya kesadaran, melainkan karena keterbatasan sumber daya. Mereka cenderung menggunakan perangkat keras bekas atau murah yang tidak lagi menerima pembaruan keamanan, menggunakan layanan penyimpanan awan gratis yang tidak terpercaya karena keterbatasan ruang penyimpanan lokal, dan mengandalkan koneksi internet publik yang tidak aman.
Selain itu, kesenjangan kualitas penggunaan internet (quality of use gap) mencerminkan ketidakseimbangan dalam kemampuan individu untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat dan mengamankan diri di dunia digital. Masyarakat berpenghasilan rendah sering kali terjebak dalam penggunaan internet yang bersifat pasif dan konsumtif, yang justru mengekspos mereka pada pengumpulan data yang lebih agresif dibandingkan dengan kelompok elit yang memiliki literasi dan alat untuk meminimalkan jejak digital mereka.
Lanskap Indonesia: UU PDP, Pinjol, dan Advokasi Hak Digital
Di Indonesia, komersialisasi data pribadi menghadapi tantangan unik akibat pertumbuhan ekonomi digital yang sangat cepat namun tidak dibarengi dengan literasi privasi yang merata. Pengesahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) merupakan langkah penting, namun efektivitasnya dalam melindungi kelompok rentan masih dipertanyakan.
Kerentanan dalam Sektor Pinjaman Online (Pinjol)
Sektor teknologi finansial, khususnya pinjaman online (peer-to-peer lending), menjadi area di mana komodifikasi data pribadi paling terasa dampaknya bagi masyarakat kecil. Transaksi ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan data oleh oknum pemberi pinjaman yang tidak bertanggung jawab. Karena regulasi operasional yang sering kali belum sinkron dengan UU PDP secara menyeluruh, data pengguna sering kali disadap atau disebarluaskan untuk tujuan penagihan yang bersifat intimidatif, yang melanggar hak asasi dan martabat subjek data.
Ketidakmampuan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengakses layanan perbankan formal mendorong mereka ke platform digital yang haus data. Dalam konteks ini, privasi benar-benar menjadi barang mewah yang dikorbankan demi kelangsungan hidup finansial jangka pendek. Subjek data sering kali tidak memiliki pilihan selain memberikan akses ke kontak, galeri foto, dan lokasi demi mendapatkan persetujuan pinjaman, sebuah bentuk pertukaran data yang sangat tidak adil.
Peran Masyarakat Sipil dalam Advokasi Privasi
Organisasi seperti ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) dan SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) memainkan peran krusial dalam melindungi hak digital kelompok rentan di Indonesia. Fokus advokasi mereka mencakup peningkatan kapasitas masyarakat sipil, pendampingan korban pelanggaran hak digital, dan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap mengancam kedaulatan data warga negara.
ELSAM secara khusus menekankan pentingnya perlindungan bagi subjek data yang mungkin kurang menyadari risiko pemrosesan data pribadi, seperti anak-anak dan masyarakat di daerah terpencil. Advokasi diarahkan untuk memastikan bahwa UU PDP tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi juga memiliki mekanisme pengawasan yang independen untuk mencegah konflik kepentingan, terutama ketika data warga negara dikelola oleh lembaga pemerintah atau korporasi besar.
| Organisasi | Fokus Strategis | Wilayah Kerja |
| ELSAM | Advokasi kebijakan, perlindungan HAM, dan hak privasi. | Nasional (berbasis di Jakarta). |
| SAFEnet | Keamanan digital, kebebasan berekspresi, dan hak digital. | 33 kota di Indonesia (Pekanbaru hingga Papua). |
| MAKPI | Analisis kebijakan publik dan kedaulatan data nasional. | Fokus pada diplomasi data internasional. |
Analisis Komparatif: Standar Global vs Implementasi Nasional
Perbandingan antara UU PDP Indonesia dan GDPR Uni Eropa menunjukkan adanya upaya harmonisasi standar, namun terdapat celah implementasi yang signifikan yang dapat memengaruhi bagaimana privasi diperlakukan sebagai hak atau komoditas.
Struktur Penegakan dan Sanksi
GDPR mewajibkan adanya lembaga pengawas independen (Data Protection Agency) di setiap negara anggota, yang anggotanya harus memiliki kualifikasi mumpuni di bidang perlindungan data. Di Indonesia, UU PDP belum sepenuhnya menjamin independensi lembaga pengawas karena strukturnya yang direncanakan berada di bawah otoritas eksekutif (Presiden), yang berisiko melemahkan pengawasan terhadap pelanggaran data oleh instansi pemerintah sendiri.
Dari sisi sanksi, GDPR menetapkan denda yang sangat tinggi hingga 20 juta Euro atau 4% dari pendapatan global tahunan perusahaan untuk pelanggaran berat. UU PDP Indonesia mengatur sanksi administratif berupa denda maksimal 2% dari pendapatan tahunan perusahaan, namun juga menyertakan sanksi pidana penjara hingga 6 tahun untuk perbuatan sengaja yang merugikan subjek data, seperti pemalsuan atau penjualan data secara ilegal.
Kedaulatan Data dalam Perjanjian Internasional
Salah satu kritik tajam terhadap implementasi UU PDP adalah ketidakmampuannya melindungi warga negara dalam kesepakatan transfer data lintas batas, terutama dengan negara-negara yang memiliki standar perlindungan lebih rendah atau memiliki undang-undang pengawasan yang agresif seperti AS (CLOUD Act). Para pakar memperingatkan bahwa menjadikan data pribadi warga negara sebagai komoditas pertukaran dalam perjanjian dagang adalah bentuk pengabaian terhadap kedaulatan rakyat. Data sebagai “minyak baru” abad ke-21 tidak seharusnya dibiarkan mengalir tanpa kendali ke yurisdiksi asing yang tidak menjamin perlindungan setara dengan standar domestik.
| Fitur Regulasi | GDPR (Uni Eropa) | UU PDP (Indonesia) |
| Lembaga Pengawas | Independen (DPA). | Dibentuk Pemerintah (di bawah Presiden). |
| Sanksi Administrasi | Hingga 4% pendapatan global. | Hingga 2% pendapatan tahunan. |
| Sanksi Pidana | Tidak diatur langsung (diserahkan ke negara anggota). | Diatur secara spesifik (penjara dan denda). |
| Transfer Data Lintas Batas | Memerlukan Adequacy Decision atau mekanisme setara. | Memerlukan persetujuan atau tingkat perlindungan setara. |
| Hak Subjek Data | Sangat rinci (akses, lupa, portabilitas). | Mengadopsi prinsip serupa (akses, hapus, perbaiki). |
Inovasi Teknologis dan Kebijakan untuk Demokratisasi Privasi
Menghadapi kenyataan bahwa privasi menjadi barang mewah, diperlukan upaya sadar untuk mendemokratisasi perlindungan data melalui inovasi teknologi dan model tata kelola baru. Privacy-Enhancing Technologies (PETs) menawarkan kemungkinan bagi organisasi untuk tetap memanfaatkan data tanpa harus mengekspos identitas individu.
Teknologi Peningkat Privasi (PETs) sebagai Solusi
Penggunaan PETs dapat memutus siklus ekstraksi data yang eksploitatif. Beberapa teknologi kunci yang sedang dikembangkan meliputi:
- Differential Privacy: Memasukkan gangguan statistik ke dalam dataset untuk melindungi privasi individu sambil mempertahankan kegunaan data secara agregat. Teknologi ini telah digunakan oleh Biro Sensus AS dan Google dalam pengolahan data besar.
- Federated Learning: Melatih algoritma kecerdasan buatan secara lokal di perangkat pengguna tanpa perlu mengirimkan data mentah ke server pusat. Contohnya adalah peningkatan prediksi teks pada papan ketik smartphone tanpa pernah “melihat” apa yang diketik pengguna secara pribadi.
- Homomorphic Encryption: Memungkinkan pemrosesan data dilakukan dalam kondisi terenkripsi, sehingga pihak yang memproses data tidak pernah mengetahui isi data tersebut.
- Zero-Knowledge Proofs: Memungkinkan seseorang membuktikan kebenaran suatu informasi (seperti usia atau kelayakan kredit) tanpa harus mengungkapkan data pendukung yang sensitif.
Meskipun PETs sangat menjanjikan, implementasinya masih menghadapi hambatan biaya dan kompleksitas teknis yang tinggi, yang berisiko menciptakan lapisan baru ketimpangan jika hanya perusahaan besar yang mampu menerapkannya.
Data Trusts dan Data Cooperatives
Solusi lain bersifat struktural dan legal, yaitu melalui pembentukan Data Trusts dan Data Cooperatives. Model ini menempatkan wali amanat (fiduciary) independen antara subjek data dan korporasi besar. Koperasi data memungkinkan individu untuk secara kolektif mengelola, mengontrol, dan mendapatkan manfaat dari informasi mereka sendiri.
Dalam koperasi data, keputusan tentang siapa yang boleh mengakses data dan untuk tujuan apa diambil secara demokratis oleh anggota, bukan oleh pemegang saham perusahaan teknologi. Model ini bertujuan untuk mengembalikan kekuatan tawar kepada masyarakat, memastikan bahwa nilai yang diciptakan dari data didistribusikan secara adil dan tidak hanya menguntungkan segelintir elit digital. Contoh sukses seperti Salus.coop di Spanyol menunjukkan bagaimana warga dapat menyumbangkan data kesehatan mereka untuk penelitian medis dengan jaminan anonimitas dan kontrol penuh atas penggunaan data tersebut.
| Model Tata Kelola | Prinsip Utama | Keuntungan bagi Masyarakat Kecil |
| Data Trust | Wali amanat independen mengelola data untuk kepentingan subjek. | Perlindungan hukum yang kuat terhadap penyalahgunaan data. |
| Data Cooperative | Kepemilikan anggota dan kontrol demokratis. | Pembagian nilai ekonomi dan otonomi kolektif. |
| Data Commons | Data sebagai aset bersama yang diakses secara terbuka. | Mendorong inovasi tanpa monopoli korporasi besar. |
| Data Union | Kekuatan tawar kolektif untuk kompensasi data. | Mendapatkan imbalan finansial dari pemanfaatan data. |
Pergeseran Etis dan Filosofis: Privasi sebagai Infrastruktur Hak Asasi
Secara filosofis, perlakuan terhadap data pribadi sebagai komoditas pasar merupakan serangan terhadap martabat manusia (human dignity). Mengacu pada pemikiran Immanuel Kant, manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sekadar alat untuk mencapai keuntungan ekonomi. Ketika data perilaku diekstraksi secara masif tanpa transparansi, individu direduksi menjadi objek pengamatan yang otonominya dirampas oleh sistem algoritmik.
Teori keadilan John Rawls tentang justice as fairness juga memberikan dasar untuk mengkritik ketimpangan kekuasaan dalam ekonomi data. Jika 90% nilai ekonomi data hanya dikuasai oleh segelintir platform teknologi global, maka diperlukan instrumen hukum yang berfungsi sebagai redistribusi kekuasaan. Konsep “solidaritas data” (data solidarity) muncul sebagai paradigma baru yang menantang distribusi risiko dan manfaat yang tidak merata, dengan menekankan perlunya pengawasan kolektif selain kontrol individu.
Privasi dan Masa Depan Demokrasi
Komersialisasi data pribadi yang tidak terkendali juga mengancam fondasi demokrasi. Demokrasi membutuhkan ruang bagi warga negara untuk membentuk opini secara bebas tanpa manipulasi eksternal yang tidak terlihat. Kapitalisme pengawasan yang mengandalkan kerahasiaan mekanisme algoritmik bertentangan dengan prinsip transparansi demokrasi. Jika privasi menjadi barang mewah, maka kebebasan politik juga akan menjadi hak istimewa kelas atas, karena hanya mereka yang mampu melindungi diri dari pengaruh manipulasi perilaku berbasis data.
Kesadaran akan solidaritas sosial sangat dibutuhkan untuk mengontrol kekuasaan absolut korporasi data. Gerakan masyarakat sipil di Indonesia harus terus mendorong agar privasi tidak dilihat sebagai hambatan bagi inovasi, melainkan sebagai prasyarat bagi ekonomi digital yang adil dan berdaulat.
Kesimpulan dan Arah Kebijakan Masa Depan
Berdasarkan analisis komprehensif terhadap mekanisme kapitalisme pengawasan dan dampaknya terhadap stratifikasi sosial, dapat disimpulkan bahwa privasi memang sedang berada dalam lintasan berbahaya untuk menjadi barang mewah. Ketimpangan digital tidak lagi hanya soal siapa yang bisa mengakses internet, tetapi soal siapa yang memiliki hak untuk tidak dipantau, tidak diprediksi, dan tidak dimanipulasi oleh kepentingan komersial.
Untuk membalikkan tren ini, diperlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek yuridis, teknologis, dan etis. Pemerintah harus memastikan bahwa lembaga pengawas data memiliki kekuatan dan independensi yang nyata untuk melindungi warga negara, terutama kelompok rentan yang paling mudah terpapar eksploitasi digital. Inovasi teknologi seperti PETs harus didorong untuk menjadi standar operasional, bukan hanya fitur tambahan bagi produk mahal. Akhirnya, masyarakat harus mulai melihat data pribadi bukan sebagai minyak untuk dijual, melainkan sebagai perpanjangan dari identitas dan martabat manusia yang tidak ternilai harganya. Perjuangan untuk privasi di abad ke-21 adalah perjuangan untuk masa depan kemanusiaan yang otonom dan merdeka dari belenggu pengawasan komersial.
